BAB I PENDAHULUAN. dipersiapkan untuk menjadi produktif dan diharapkan menjadi pewaris



dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, khususnya remaja. Berdasarkan laporan dari World Health

BAB I PENDAHULUAN. atau peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa yang meliputi

KESEHATAN REPRODUKSI REMAJA. By : Basyariah Lubis, SST, MKes

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Di seluruh dunia, lebih dari 1,8 miliar. penduduknya berusia tahun dan 90% diantaranya

BAB I PENDAHULUAN. belahan dunia, tidak terkecuali Indonesia. Tahun 2000 jumlah penduduk

BAB I PENDAHULUAN. berbagai tantangan dan masalah karena sifatnya yang sensitif dan rawan

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

SKRIPSI. Proposal skripsi. Skripsi ini Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Ijazah S-1 Kesehatan Masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. yang lebih dikenal dengan International Conference on Population and

BAB 1 PENDAHULUAN. Masa remaja adalah masa terjadinya perubahan-perubahan baik perubahan

Riska Megayanti 1, Sukmawati 2*, Leli Susanti 3 Universitas Respati Yogyakarta *Penulis korespondensi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanan menuju masa dewasa.

BAB I PENDAHULUAN. Menurut WHO, remaja adalah penduduk dalam rentang usia tahun,

BAB I PENDAHULUAN. perubahan fisik, emosi dan psikis. Masa remaja, yaitu tahun, adalah. disebut masa remaja. (Widyastuti, 2009).

BAB I PENDAHULUAN. Remaja adalah masa peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa. reproduksi sehingga mempengaruhi terjadinya perubahan perubahan

BAB I PENDAHULUAN. melalui perubahan fisik dan psikologis, dari masa kanak-kanak ke masa

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai pendahuluan dalam babi secara garis besar memuat penjelasan

BAB I PENDAHULUAN. sehingga memunculkan masalah-masalah sosial (sosiopatik) atau yang biasa

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Remaja merupakan masa peralihan dari anak-anak ke masa dewasa yang

BAB I PENDAHULUAN. Remaja merupakan masa transisi dari anak-anak menuju dewasa yang

BAB 1 PENDAHULUAN. jumlah remaja dan kaum muda berkembang sangat cepat. Antara tahun 1970 dan

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Perilaku kesehatan reproduksi remaja semakin memprihatinkan. Modernisasi,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja adalah masa peralihan dari masa anak-anak ke masa dewasa

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Masa remaja merupakan masa perubahan atau peralihan dari masa kanak-kanak

BAB 1 PENDAHULUAN. Internasional Kependudukan dan Pembangunan (International. berhubungan dengan sistem reproduksi dan fungsi serta proses-prosesnya

BAB I PENDAHULUAN. Remaja adalah bagian yang penting dalam masyarakat, terutama di negara

BAB I PENDAHULUAN. dewasa. Oleh karena itu, orang dewasa merupakan individu yang. bersama dengan orang dewasa lainnya (Hurlock, 2004).

BAB I PENDAHULUAN. mengalami transisi dari masa kanak-kanak ke masa dewasa disertai dengan

HUBUNGAN ANTARA FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENGETAHUAN KESEHATAN REPRODUKSI DI SMA N 3 SURAKARTA

BAB 1 PENDAHULUAN. Remaja merupakan masa peralihan dari anak-anak ke masa dewasa,

BAB I PENDAHULUAN. dengan orang lain, perubahan nilai dan kebanyakan remaja memiliki dua

BAB I PENDAHULUAN. (Soetjiningsih, 2004). Masa remaja merupakan suatu masa yang menjadi

KARYA TULIS ILMIAH HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN REMAJA TENTANG KESEHATAN REPRODUKSI DENGAN SIKAP REMAJA TENTANG

BAB 1 PENDAHULUAN. Perkembangan fisik remaja di awal pubertas terjadi perubahan penampilan

BAB І PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Dinamika Kebidanan vol. 2 no.2. Agustus 2012

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. topik yang menarik untuk dibicarakan. Topik yang menarik mengenai masalah

BAB I PENDAHULUAN. I.1.Latar Belakang. antara 10 hingga 19 tahun (WHO). Remaja merupakan suatu

BAB 1 PENDAHULUAN. remaja-remaja di Indonesia yaitu dengan berkembang pesatnya teknologi internet

BAB 1 PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa peralihan antara anak-anak yang dimulai saat

BAB 1 PENDAHULUAN. sosial yang utuh bukan hanya bebas penyakit atau kelemahan dalam segala aspek

BAB I PENDAHULUAN. dan kreatif sesuai dengan tahap perkembangannya. (Depkes, 2010)

BAB I PENDAHULUAN. Tindakan seksual pranikah umumnya berawal dari masa pacaran atau masa penjajakan.

ANALISIS TINGKAT PENGETAHUAN REMAJA TENTANG KESEHATAN REPRODUKSI DAN SEKSUAL KABUPATEN KULON PROGO PUSAT STUDI SEKSUALITAS PKBI DIY 2008

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Remaja adalah masa peralihan diantara masa kanak-kanak dan dewasa.

mengenai seksualitas membuat para remaja mencari tahu sendiri dari teman atau

BAB I PENDAHULUAN. yang ditandai adanya proses perubahan pada aspek fisik maupun psikologis

BAB 1 PENDAHULUAN. dipungkiri kenyataan bahwa remaja sekarang sudah berperilaku seksual secara bebas.

BAB I PENDAHULUAN. generasi berikutnya (Jameela, 2010). fase ini individu mengalami perubahan dari anak-anak menuju dewasa

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Masa remaja adalah masa transisi dari masa kanakkanak. menjadi masa dewasa. Masa transisi ini kadang

BAB 1 PENDAHULUAN. Statistik (BPS) Republik Indonesia melaporkan bahwa Indonesia memiliki

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan reproduksi mempengaruhi kualitas sumber daya manusia,

BAB 1 PENDAHULUAN. manusia yang didalamnya penuh dengan dinamika. Dinamika kehidupan remaja ini

BAB I PENDAHULUAN. seorang individu. Masa ini merupakan masa transisi dari kanak-kanak ke masa

BAB 1 PENDAHULUAN. alat kelamin atau hal-hal yang berhubungan dengan perkara-perkara. dua orang yang berlainan jenis kelamin (Dariyo, 2004).

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Pada perkembangan zaman saat ini, perilaku berciuman ikut dalam

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Remaja merupakan tahap akhir pematangan sosio biologis manusia dalam mata rantai tumbuh kembang anak.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah-masalah pada remaja yang berhubungan dengan kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. dibandingkan dengan remaja di perkotaan. Dimana wanita dengan pendidikan yang

BAB I PENDAHULUAN. Perilaku seksual khususnya kalangan remaja Indonesia sungguh

BAB 1 PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan suatu masa dalam perkembangan hidup manusia. WHO

BAB 1 PENDAHULUAN. individu mulai mengembangkan ciri-ciri abstrak dan konsep diri menjadi

PENINGKATAN PENGETAHUAN DAN SIKAP TENTANG KESEHATAN REPRODUKSI PADA REMAJA DI DESA MARGOSARI KECAMATAN LIMBANGANKABUPATEN KENDAL

Dewi Puspitaningrum 1), Siti Istiana 2)

BAB 1 PENDAHULUAN. masa dewasa dan relatif belum mancapai tahap kematangan mental sosial

BAB 1 PENDAHULUAN. harus menghadapi tekanan-tekanan emosi dan sosial yang saling bertentangan.

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan, makin banyak pula ditemukan penyakit-penyakit baru sehingga

BAB I PENDAHULUAN. akurat khususnya teman (Sarwono, 2006). menarik secara seksual, apakah mereka akan bertumbuh lagi, apakah orang

Lina Afiyanti 2, Retno Mawarti 3 INTISARI

BAB I PENDAHULUAN. seksual, baik dengan lawan jenis maupun dengan sesama jenis (Sarwono, 2013).

BAB I PENDAHULUAN. ketergantungan sosial-ekonomi secara total ke arah ketergantungan yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. negara-negara Barat, istilah remaja dikenal dengan adolescence yang berasal

BAB I PENDAHULUAN. menyenangkan. Apalagi pada masa-masa sekolah menengah atas. Banyak alasan. sosial yang bersifat sementara (Santrock, 1996).

FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERILAKU SEKS PRANIKAH PADA SISWA KELAS XI SMK MUHAMMADIYAH 2 BANTUL YOGYAKARTA NASKAH PUBLIKASI

BAB I PENDAHULUAN. remaja. Kelompok usia remaja menurut WHO (World Health Organization) adalah kelompok umur tahun (Sarwono, 2008).

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

SKRIPSI Diajukan UntukMemenuhi Salah Satu Persyaratan Meraih Derajat Sarjana S-1 Keperawatan. Oleh : ROBBI ARSYADANI J

BAB 1 PENDAHULUAN. Remaja merupakan masa peralihan dari kanak-kanak ke dewasa yang

BAB I PENDAHULUAN. depan. Keberhasilan penduduk pada kelompok umur dewasa sangat. tergantung pada masa remajanya (BKKBN, 2011).

BAB I PENDAHULUAN. menular yang disebabkan oleh virus HIV (Human Immunodefeciency Virus).

BAB I PENDAHULUAN. goncangan dan stres karena masalah yang dialami terlihat begitu

BAB 1 PENDAHULUAN. Hubungan karakteristik..., Sarah Dessy Oktavia, FKM UI, 2009 Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. sumber daya manusia berkualitas untuk mewujudkan bangsa yang berkualitas

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. dan dewasa yang ditandai dengan adanya perubahan secara fisik, kematangan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN REMAJA TENTANG KESEHATAN REPRODUKSI DENGAN PERILAKU SEKS BEBAS PADA SISWA KELAS XI SMA NEGERI 6 SURAKARTA

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 : PENDAHULUAN. remaja tertinggi berada pada kawasan Asia Pasifik dengan 432 juta (12-17 tahun)

BAB I PENDAHULUAN. Remaja diidentifikasikan sebagai masa peralihan antara anak-anak ke masa

BAB I PENDAHULUAN. terkecuali setiap individu akan mengalami masa peralihan ini.

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan seksual yang memuaskan dan aman bagi dirinya, juga mampu. berapa sering untuk memiliki keturunan (Kusmiran, 2012 : 94).

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang .

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang. Unwanted pregnancy atau dikenal sebagai kehamilan yang tidak

BAB I PENDAHULUAN. kematangan mental, emosional, sosial dan fisik (Hurlock, 2007). World Health

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pelayanan kesehatan remaja penting sebab remaja harus dipersiapkan untuk menjadi produktif dan diharapkan menjadi pewaris bangsa yang bermutu. Akhir-akhir ini masalah kesehatan reproduksi remaja akibat perilaku seksual yang kurang sehat telah mendapatkan perhatian yang cukup besar baik secara global, pemerintah maupun organisasi swasta dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) (Narendra, dkk, 2002). Melalui pemberian pelayanan kesehatan dalam promosi kesehatan remaja di komunitas sekolah dengan melibatkan orang tua atau wali, personel sekolah dan lingkungan sekitar sekolah peningkatan akan kebutuhan pelayanan kesehatan remaja dapat terpenuhi (Anderson & Mc Farlane, 2007). International Conference on Population and Development (ICPD) tahun 1994 mendorong pemerintah dan LSM untuk mengembangkan program tanggap terhadap masalah perilaku seksual reproduksi remaja. Program pelayanan yang dapat diberikan meliputi perilaku seksual yang bertanggung jawab, penyakit menular, konseling keluarga berencana (KB) dan konseling terkait dengan kekerasan. Selain itu, pelayanan klinis bagi remaja yang aktif secara seksual seperti pencegahan, perawatan terhadap penganiayaan seksual (sexual abuse) dan hubungan seksual sedarah (incest) (PATH UNFPA, 2000).

Hubungan yang kurang baik dengan orang tua dan kurangnya akses pelayanan kesehatan seringkali remaja mengalami kebingungan dengan siapa remaja dapat membicarakan masalah-masalah kesehatan reproduksi (PATH UNFPA, 2000). Hal ini memberi dampak merugikan, baik pada remaja sendiri maupun keluarga. Perasaan bersalah dan berdosa tidak jarang dialami remaja yang pernah melakukan perilaku seksual yang tidak sehat seperti onani. Selain itu, pemahaman ilmu pengetahuan yang dipertentangkan dengan pemahaman agama yang sebenarnya harus saling menyokong (Soetjiningsih, dkk, 2004). Masa remaja merupakan masa transisi dari anak-anak ke dewasa dimana mulai muncul permasalahan remaja. Permasalahan yang terjadi pada remaja diataranya infeksi menular seksual (IMS), kehamilan yang tidak diinginkan, aborsi, penyalahgunaan obat, merokok, kenakalan, depresi, bunuh diri dan penyimpangan seksual remaja. Memahami jiwa remaja dan mencari solusi yang tepat bagi permasalahannya itu penting, dengan memahami remaja dan konsep perkembangan psikologisnya, yaitu konsep diri, intelegensi, emosi, seksual, motif sosial, moral dan religi (Sarwono, 2011). Mitos atau persepsi yang keliru di kalangan remaja mengenai perilaku seksual cenderung menghalalkan untuk melakukan hubungan seksual. Adanya anggapan bahwa senggama (intercourse) yang dilakukan sekali tidak akan mengakibatkan hamil atau tidak akan pernah terinfeksi Human Immunodeficiency Virus/ Acquired Immunodeficiency Syndrome

(HIV/AIDS) karena pertahanan tubuhnya cukup kuat. Situasi seperti ini memiliki risiko perilaku seksual remaja pranikah seperti melakukan hubungan seksual sehingga berakibat pada kehamilan yang tidak diinginkan (unwanted pregnancy), terinfeksi penyakit menular seksual (PMS) dan bahkan berdampak pada gangguan psikologis (Notoatmodjo, 2007). Remaja merupakan masa perkembangan individu yang sangat penting sebagai suatu tahap perkembangan fisik, yaitu dimana alat-alat kelamin mengalami kematangan atau pubertas (Yusuf, 2011). Perkembangan berlanjut menjadi suatu rentang umur kronologis yang luas dan berbeda antara jenis kelamin (Narendra, dkk, 2002). Biasanya ditandai dengan tanda-tanda seks sekunder seperti haid pada perempuan dan mimpi basah atau ejakulasi pada laki-laki (Soetjiningsih, dkk, 2004). Remaja usia antara 13-20 tahun mengalami perubahan terutama mengenai masalah kesehatan reproduksi yang membutuhkan adaptasi dan menimbulkan perasaan kecemasan (Potter & Perry, 2009). Adanya penurunan usia rata-rata pubertas mendorong remaja untuk aktif secara seksual lebih dini. Perasaan seksual remaja memiliki resiko yang berbedabeda dan tergantung perilaku seksual remaja untuk mengendalikan dorongan seksualnya tersebut (Notoatmodjo, 2007). Survei yang dilakukan oleh Service Medical du Rectorat de Toulouse pada 24 negara dengan sampel 33.943 di Amerika Utara dan Eropa menunjukkan bahwa perilaku seksual remaja dimulai pada usia 15

tahun. Sekitar 13,2% remaja berperilaku seks aktif semenjak usia 15 tahun dan tidak menggunakan alat kontrasepsi. Sementara 82% lainnya, menggunakan alat kontrasepsi (Anonim, 2008). Survei yang dilakukan Youth Center Pilar PKBI Jawa Tengah pada tahun 2004 remaja perkotaan di Semarang tentang proses terjadinya bayi, KB, cara pencegahan HIV/AIDS, anemia, cara-cara merawat organ reproduksi dan pengetahuan fungsi reproduksi bahwa didapat informasi sekitar 43,22% pengetahuannya rendah, 37,28% pengetahuan cukup sedangkan 19,50% pengetahuan memadai. Selain itu, perilaku remaja berpacaran tergambar, yaitu sekitar 100% saling ngobrol, 93,3% berpegang tangan, mencium pipi/kening 84,6%, berciuman bibir 60,9%, mencium leher 36,1%, saling meraba (payudara dan kelamin) 25% dan melakukan hubungan seks 7,6%. Khusus melakukan hubungan seksual pasangannya merupakan pacar 78,4%, teman 10,3% dan pekerja seks 9,3%. Alasan remaja melakukan hubungan seks adalah coba-coba 15,5%, sebagai ucapan rasa cinta 43,3%, kebutuhan biologis 29,9%, sedangkan tempatnya adalah rumah sendiri/pacar 30%, tempat kos/kontrakan 32%, hotel 28% dan lainnya 9% (Husni, 2005). Data demografi menunjukkan bahwa remaja merupakan populasi terbesar dengan usia di bawah 24 tahun. Hampir setengah dari populasi dunia yaitu sekitar tujuh milyar. Kurang lebih 1,2 milyar adalah remaja usia 10-19 tahun. Di negara berkembang adalah 30% dengan usia di bawah 15 tahun, 19% adalah usia antara 15-24 tahun, sedangkan sekitar

60% lainnya di negara berkembang dari populasi usia dibawah 25 tahun (UNFPA, 2011). Sedangkan di Indonesia pada tahun 2010, jumlah remaja berusia 10-24 tahun adalah sekitar 63.426.993 atau 26,69% dari jumlah total penduduk Indonesia (Depkes, 2011). Menurut hasil regresi tahun 2010, jumlah penduduk Kabupaten Cilacap mencapai 1.748.705 jiwa terdiri dari laki-laki 875.825 jiwa dan perempuan 872.880 jiwa. Sekitar 178.589 jiwa adalah remaja usia 10-14 tahun, 139.229 jiwa adalah usia 15-19 tahun dan 106.403 jiwa lainnya adalah usia 20-24 tahun (BPS, 2011). Remaja yang mendapat pelayanan kesehatan reproduksi di Kabupaten Cilacap, yaitu sekitar 71.234. Sasaran program ini adalah remaja sekolah tingkat menengah. Kegiatan ini dilakukan baik di dalam maupun di luar sarana kesehatan. Namun hanya sekitar 29.601 remaja yang mendapatkan pelayanan kesahatan atau didapat cakupan hasil 41,55% (Dinkes Cilacap, 2011). Pengembangan kebijakan atau program melalui layanan pendidikan kesehatan seksual dan reproduksi dapat diperkenalkan di sekolah (Suryoputro, dkk, 2006). Bimbingan dan Konseling (BK) merupakan layanan sekolah yang disusun berdasarkan kebutuhan remaja sekolah. BK memberikan beberapa layanan salah satunya layanan informatif dengan kegiatan pemeberian pendidikan kesehatan seksual dan reproduksi (Crespi, 2009). Setiap sekolah, BK menjadi salah satu mata ajar dan masuk menjadi kurikulum. Pengelolahan BK di setiap sekolah/ madrasah perlu memperhatikan keseimbangan dan kesinambungan dari

setiap program antarkelas, antar jenjang kelas, mata pelajaran dan kegiatan ekstrakurikuler. Selain itu, mengefektifkan dan mengefisienkan penggunaan fasilitas sekolah/ madrasah (Tim Musyawarah Guru BK, 2010). Di SMA Negeri 1 Maos, BK menjadi salah satu kurikulum mata ajar dalam pembelajaran terutama di kelas XI dan XII. Namun, kelas X tidak masuk dalam kurikulum mata ajar, hanya dilaksanakan di luar kegiatan siswa, misalnya pada waktu jam kosong berlangsung. Kelas XI jenis layanan yang diberikan adalah informasi, penempatan dan penyaluran, konseling perorangan, bimbingan kelompok, konseling kelompok, konsultasi dan mediasi. Kegiatan layanan informasi yang sudah diberikan antara lain kesehatan reproduksi termasuk pergaulan antar remaja dan perilaku seksual yang sehat, kehamilan yang tidak diinginkan dan sebagainya. Di kelas XII pemanfaatan BK lebih ditekankan pada layanan bimbingan belajar dengan mengembangkan sikap dan kebiasaan dalam belajar efektif dalam menghadapi ujian akhir nasional. Hasil survei pendahuluan yang telah dilakukan terhadap 15 siswa, 10 diantaranya dengan diberikan lembar kuesioner dan 5 lainnya dengan wawancara, bahwa siswa belum memaksimalkan fasilitas program BK. Sebagian siswa masih belum mengetahui tentang BK. Pemanfaatan BK selama ini, siswa hanya mengikuti jadwal yang sudah ditentukan oleh guru BK dan tuntutan sebagai ketua kelas. Walaupun demikian, terdapat siswa yang tidak mengikuti BK dengan alasan merasa bosan, pergi ke tempat

lain seperti Unit Kesehatan Sekolah (UKS) dan latihan upacara dalam kegiatan perkemahan. Pemanfaatan BK oleh siswa, kebanyakan untuk konsultasi tentang pencarian perguruan tinggi dan jenjang karir. Data tahun 2009 menyebut bahwa terdapat siswa yang di keluarkan dari sekolah disebabkan hamil diluar nikah. Para guru dengan pemerintah dan lembagalembaga terkait haruslah pandai dalam memilih topik masalah yang terpenting mengingat terbatasnya waktu dan ketatnya kurikulum formal yang ada. Berdasarkan uraian latar belakang di atas, akibat kurang pemahamannya perilaku seksual remaja dan pemanfaatan BK di sekolah, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang Hubungan Antara Tingkat Pengetahuan dan Sikap Remaja dalam Pemanfaatan BK Terhadap Perilaku Seksual di SMA Negeri 1 Maos Cilacap. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang diuraikan di atas dapat dirumuskan bahwa, Apakah ada hubungan antara tingkat pengetahuan dan sikap remaja dalam pemanfaatan BK terhadap perilaku seksual di SMA Negeri 1 Maos Cilacap. C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Mengetahui ada tidaknya hubungan antara tingkat pengetahuan dan sikap remaja dalam pemanfaatan BK terhadap perilaku seksual di SMA Negeri 1 Maos Cilacap.

2. Tujuan Khusus a. Diketahuinya tingkat pengetahuan remaja dalam pemanfaatan BK di SMA Negeri 1 Maos Cilacap. b. Diketahuinya sikap remaja dalam pemanfaatan BK di SMA Negeri 1 Maos Cilacap. c. Diketahuinya perilaku seksual remaja di SMA Negeri 1 Maos Cilacap. d. Diketahuinya hubungan tingkat pengetahuan remaja dalam pemanfaatan BK dengan perilaku seksual di SMA Negeri 1 Maos Cilacap. e. Diketahuinya hubungan sikap remaja dalam pemanfaatan BK dengan perilaku seksual di SMA Negeri 1 Maos Cilacap. D. Manfaat Penelitian 1. Bagi Ilmu Keperawatan Hasil penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan teori Keperawatan Komunitas khususnya dan menjadi acuan dalam promosi kesehatan masyarakat terkait pelayanan kesehatan reproduksi bagi remaja. 2. Bagi SMA Negeri 1 Maos Cilacap Sebagai pemberi masukan materi-materi dan informasi yang bermanfaat bagi siswa SMA Negeri 1 Maos Cilacap sehingga dapat menambah pengetahuan dan sebagai penerapan dalam pendidikan.

3. Bagi Responden Sebagai masukan pentingnya pelayanan BK sekolah dan informasi mengenai perilaku seksual remaja. 4. Bagi Peneliti Lain Sebagai acuan dalam penelitian selanjutnya dalam bidang Keperawatan Komunitas terutama tentang kesehatan reproduksi dan perilaku seksual remaja. E. Penelitian Terkait 1. Suryoputro, A., dkk. (2006). Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Seksual Remaja di Jawa Tengah: Implikasinya Terhadap Kebijakan dan Layanan Kesehatan Seksual dan Reproduksi. Penelitian ini adalah jenis penelitian penjelasan (explanatory research) dengan pendekatan cross sectional, melibatkan 2000 sampel remaja perkotaan 18-24 tahun dengan latar belakang sosial demografi yang berbeda di Jawa Tengah dalam kurun waktu 2003-2004. Masing-masing 1000 sampel diambil secara acak dari populasi remaja bekerja dengan pendapatan rendah di pabrik dan populasi remaja kelas menengah dari para mahasiswa di perguruan tinggi. Pengumpulan data dengan metode survey (wawancara dan angket/ self administered). Hasil penelitian menunjukan bahwa secara umum pola resiko terhadap kesehatan seksual dan reproduksi pada remaja relatif rendah, diantaranya adanya hubungan karakter budaya di Jawa Tengah. Faktor percaya diri untuk menentukan kesehatan reproduksi merupakan faktor yang berpengaruh

terhadap perilaku seksual remaja, yaitu lebih dari limabelas kali lebih besar untuk melakukan hubungan seksual pranikah. Perbedaan dengan penelitian ini adalah tempat, populasi dan jumlah sampel, desain penelitian dan waktu serta variabel yang digunakan. 2. Gusmiarni, T. (2000). Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Perilaku Seksual Remaja Siswa Kelas 2 SMU Negeri 1 Purwakarta Tahun 2000. Jenis penelitian ini adalah cross sectional, populasinya adalah siswa kelas 2 SMU Negeri 1 Purwakarta, jenis kelamin laki-laki dan perempuan yang berusia 15-19 tahun. Cara pengambilan sampel simple random sampling dengan jumlah sampel 185 siswa. Hasil analisis uji Chi-Square dengan p<0,05 diketahui bahwa faktorfaktor yang berpengaruh dengan perilaku seksual remaja adalah karakteristik remaja (jenis kelamin), komunikasi dalam keluarga, sikap terhadap hubungan seksual pranikah dan sikap terhadap onani/masturbasi. Perbedaan dengan penelitian ini adalah tempat, jumlah sampel, desain penelitian dan waktu serta variabel yang digunakan. 3. Syarifah, M.S & Maas,. L.T. (1997). Strategi Komunikasi Informasi dan Edukasi (KIE) Kesehatan Reproduksi pada Remaja di Kotamadya Medan. Penelitian ini merupakan cross sectional study dengan tehnik pengambilan sampel purposive sampling. Sampel adalah remaja dan orang tua yang bermukim di daerah elite dan kumuh, serta remaja yang kontak dengan Biro Konsultasi Remaja (BKR). Penentuan lingkungan

dilakukan dengan systematic random sampling, jumlah sampel 75 orang responden remaja dan 75 orang responden orang tua untuk masing-masing daerah yakni elite dan kumuh. Sedangkan untuk remaja yang kontak dengan BKR diwawancarai di BKR CMR Medan dengan jumlah sampel 40 orang. Sehingga total sampel seluruhnya 340 orang. Hasil penelitian ini, yaitu remaja di daerah kumuh 6,27%, elite 48% dan kontak dengan BKR 47,5% masih merasa tabu membicarakan masalah kesehatan reproduksi dalam keluarga. Hampir semua responden remaja pernah mendengar informasi tentang kesehatan reproduksi (90,7%) daerah kumuh, (98,7%) daerah elite dan 100% responden kontak dengan BKR. Perbedaan dengan penelitian ini adalah tempat, populasi, jumlah sampel, waktu dan variabel yang digunakan.