Konsolidasi Moralitas Hukum dan Kekuasaan di Panggung Negara Demokrasi Konstitusional; Apa, Mengapa dan Bagaimana Mewujudkannya



dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. The Constitution is made for men, and not men for the Constitution. (Soekarno, dalam pidato tanggal 17 Agustus 1959)

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 selanjutnya

DEMOKRASI. Demokrasi berasal dari kata Yunani demos dan kratos. Demos artinya rakyat, Kratos berarti pemerintahan.

Demokrasi di Indonesia

2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. membuat UU. Sehubungan dengan judicial review, Maruarar Siahaan (2011:

Negara Hukum. Manusia

TUGAS AKHIR PENERAPAN PANCASILA DALAM PENDIDIKAN. Tahajudin S, Drs. : Novia Ningsih NIM : Kelompok : D Jurusan : Teknik Informatika

KOMISI YUDISIAL BARU DAN PENATAAN SISTEM INFRA-STRUKTUR ETIKA BERBANGSA DAN BERNEGARA. Oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH 1.

SEJARAH HAK AZASI MANUSIA

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

BAB II PERKEMBANGAN DEMOKRASI DI INDONESIA YANG DITUANGKAN DALAM UNJUK RASA (DEMONSTRASI) SEBAGAI HAK DALAM MENGEMUKAKAN PENDAPAT

CONTOH SOAL DAN JAWABAN UKG PKN SMP Berikut ini contoh soal beserta jawaban Uji Kompetensi Guru PKn SMP

SEJARAH PEMILU DUNIA

KEWARGANEGARAAN NEGARA HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA. Nurohma, S.IP, M.Si. Modul ke: Fakultas FASILKOM. Program Studi Teknik Informatika

Diadopsi oleh resolusi Majelis Umum 53/144 pada 9 Desember 1998 MUKADIMAH

Tugas dan Fungsi MPR Serta Hubungan Antar Lembaga Negara Dalam Sistem Ketatanegaraan

TUGAS PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN MAKALAH DEMOKRASI PANCASILA INDONESIA

MENGANALISIS SISTEM PEMERINTAHAN DI BERBAGAI NEGARA

PENDAHULUAN. kendatipun disebut sebagai karya agung yang tidak dapat terhindar dari

Soal LCC 4 Pilar kehidupan berbangsa dan bernegara :)

MENGGAPAI KEDAULATAN RAKYAT YANG MENYEJAHTERAKAN RAKYAT 1

IMPLIKASI AMANDEMEN UUD 1945 TERHADAP SISTEM HUKUM NASIONAL

INTELIJEN NEGARA DALAM NEGARA HUKUM YANG DEMOKRATIS 1. Oleh: Muchamad Ali Safa at 2

KONSTITUSI DAN DEMOKRASI KONSTITUSIONAL

TUGAS AKHIR KULIAH PENDIDIKAN PANCASILA

PANCASILA DAN EMPAT PILAR KEHIDUPAN BERBANGSA. Oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH 1.

HAK DAN KEWAJIBAN WARGA NEGARA

29. Mata Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan untuk Sekolah Dasar Luar Biasa Tunadaksa (SDLB-D)

RANI PURWANTI KEMALASARI SH.MH. Modul ke: Fakultas EKONOMI DAN BISNIS. Program Studi MANAJEMEN.

Dua unsur utama, yaitu: 1. Pembukaan (Preamble) ; pada dasarnya memuat latar belakang pembentukan negara merdeka, tujuan negara, dan dasar negara..

MATA KULIAH CIRI UNIVERSITAS (MKCU)

KONSTITUSI EKONOMI (Ekonomi Pasar, Demokrasi, dan Konstitusi) Oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH. 1

AMANDEMEN II UUD 1945 (Perubahan tahap Kedua/pada Tahun 2000)

PENGUATAN SISTEM DEMOKRASI PANCASILA MELALUI INSTITUSIONALISASI PARTAI POLITIK Oleh: Muchamad Ali Safa at (Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya)

MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR XVII /MPR/1998

HAK ASASI MANUSIA dalam UUD Negara RI tahun Dr.Hj. Hesti

POLITIK DAN STRATEGI (SISTEM KONSTITUSI)

NEGARA HUKUM DAN NEGARA HUKUM INDONESIA

Demokrasi Sebagai Kerangka Kerja Hak Asasi Manusia

DEKLARASI PEMBELA HAK ASASI MANUSIA

RINGKASAN PUTUSAN. 2. Materi pasal yang diuji: a. Nomor 51/PUU-VI/2008: Pasal 9

26. Mata Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan untuk Sekolah Dasar (SD)/Madrasah Ibtidaiyah (MI)

DEMOKRASI. Drs. H.M. Umar Djani Martasuta, M.Pd

B A B N E G A R A. A. Pengertian Negara

RANGKUMAN KN DEMOS KRATOS DEMOKRASI RAKYAT ARTI : RAKYAT MEMERINTAH PEMERINTAHAN. a) SEJARAH DEMOKRASI. b) PRINSIP DEMOKRASI

26. Mata Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan untuk Sekolah Dasar (SD)/Madrasah Ibtidaiyah (MI)

Prof.DR.H.GUNARTO,SH.SE.Akt.M.Hum.

proses perjalanan sejarah arah pembangunan demokrasi apakah penyelenggaranya berjalan sesuai dengan kehendak rakyat, atau tidak

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2016 MATA PELAJARAN/PAKET KEAHLIAN GURU KELAS SD

I. PENDAHULUAN. Sejak diumumkannya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia Universal Declaration of

C. Konsep HAM dalam UU. No. 39 tahun 1999

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1999 TENTANG

3.2 Uraian Materi Pengertian dan Hakikat dari Dasar Negara Pancasila sebagai dasar negara sering juga disebut sebagai Philosophische Grondslag

BAB V. Kesimpulan. lahir dalam amandemen ketiga. Secara de facto DPD RI baru ada pada tanggal 1

BAB I PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah Negara hukum. 1 Konsekuensi

Hubungan Antar Lembaga Negara IRFAN SETIAWAN, S.IP, M.SI

KONSTITUSIONALITAS PENGALIHAN KEWENANGAN PENGELOLAAN PENDIDIKAN MENENGAH DARI KABUPATEN/KOTA KE PROVINSI 1. Oleh: Muchamad Ali Safa at 2

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

SISTEM POLITIK INDONESIA

Analisis Kewenangan Mahkamah Konstitusi Dalam Mengeluarkan Putusan Yang Bersifat Ultra Petita Berdasarkan Undang-Undangnomor 24 Tahun 2003

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

KEWARGANEGARAAN KONSTITUSI, KONSTITUSIONALISME DAN RULE OF LAW. Modul ke: 05Fakultas FASILKOM. Program Studi Teknik Informatika

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan 1. Ada peluang yuridis perubahan non-formal konstitusi dalam hal bentuk negara

A. Beberapa pemimpin yang bertindak diktator terhadap rakyatnya : 1. Adolf Hilter

SKRIPSI. Diajukan Guna Memenuhi Sebagai Salah Satu Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum. Oleh : Nama : Adri Suwirman.

UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 35/PUU-XII/2014 Sistem Proporsional Terbuka

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintahan Daerah yang baik (good local governace) merupakan

HAKIKAT DEMOKRASI CONDRA ANTONI

REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL

TINJAUAN ATAS PENGADILAN PAJAK SEBAGAI LEMBAGA PERADILAN DI INDONESIA

PENGGUNAAN HAK RECALL ANGGOTA DPR MENURUT PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 27 TAHUN 2009 TENTANG MPR, DPR, DPD, DAN DPRD (MD3) FITRI LAMEO JOHAN JASIN

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di

BAB I PENDAHULUAN. Perubahan ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

POLITIK HUKUM BAB IV NEGARA DAN POLITIK HUKUM. OLEH: PROF.DR.GUNARTO,SH.SE.A,kt.MH

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

Modul ke: Fakultas DESAIN SENI KREATIF. Program Studi DESAIN PRODUK

RINGKASAN PUTUSAN.

Aji Wicaksono S.H., M.Hum. Modul ke: Fakultas DESAIN SENI KREATIF. Program Studi DESAIN PRODUK

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Konstitusi dan Rule of Law

Mata Pelajaran : PPKn Kelas / Sem : VIII / 1

5. Materi sejarah berguna untuk menanamkan dan mengembangkan sikap bertanggung jawab dalam memelihara keseimbangan dan kelestarian lingkungan hidup.

BAB I PENDAHULUAN. Di zaman modern sekarang ini, hampir semua negara mengklaim menjadi

NEGARA HUKUM DAN DEMOKRASI

PENEGAKAN HUKUM DAN TATA KELOLA PEMERINTAHAN YANG BAIK 1

sebelumnya, yaitu Zaman Pertengahan. Walau demikian, pemikiran-pemikiran yang muncul di Zaman Pencerahan tidaklah semuanya baru.

TUGAS KEWARGANEGARAAN LATIHAN 4

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Citra Antika, 2013

BAB II KAJIAN PUSTAKA. semua warga menikmati kebebasan untuk berbicara, kebebasan berserikat,

I. PENDAHULUAN. praktik ketatanegaraan Indonesia. Setiap gagasan akan perubahan tersebut

Ringkasan Putusan.

INSTRUMEN NASIONAL HAK ASASI MANUSIA (HAM)

Keterangan Pers Presiden RI tentang Penegakan Hukum dan Pemberantasan Korupsi, Jumat, 26 Juni 2009

NEGARA DAN SISTEM PEMERINTAHAN

LATIHAN PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI TERBUKA

Tugas Akhir. STMIK AMIKOM Yogyakarta Taufik Rizky Afrizal. Kelompok I. S1 Sistem Informasi. Drs. Muhammad Idris P, MM

MAZHAB FILSAFAT PENDIDIKAN. Imam Gunawan

PEDOMAN POKOK NILAI-NILAI PERJUANGAN YAYASAN LBH INDONESIA DAN KODE ETIK PENGABDI BANTUAN HUKUM INDONESIA

Transkripsi:

Konsolidasi Moralitas Hukum dan Kekuasaan di Panggung Negara Demokrasi Konstitusional; Apa, Mengapa dan Bagaimana Mewujudkannya Margarito Kamis 1 Pendahuluan Sepuluh tahun yang lalu, atau dua tahun setelah pemerintahan Soeharto berakhir, tatanan hukum, di dalamnya termasuk moralitas hukum seolah berada dalam masa kegelapan. Kala itu, boleh dikatakan dunia hukum Indonesia mengalami kemunduran sekian puluh abad yang lalu. Betapa tidak. Pencuri jemuran dihakimi beramai-ramai sampai mati. Pencuri sandal juga dihakimi beramai-ramai sampai mati. Tak jarang korban dibakar hidup-hidup. Padahal tatanan normatif formal sedang eksis. Peristiwa demi peristiwa itu, tentu memukul bangsa ini. Padahal bangsa ini dikenal luas di Asia Tenggara, bahkan dunia, sebagai bangsa santun bangsa yang begitu mengeta- 1 Doktor Hukum Tata Negara. Staf Pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Khairun Ternate. 32

hui adab bermasyarakat. Kala itu, bangsa ini berhasil dibanggakan, sekurang-kurangnya di lingkungan negara-negara Asean, sebagai bangsa yang memiliki tertib sosial, ekonomi, dan hukum yang begitu mengagumkan. Tetapi peristiwa demi peristiwa sosial, hukum, dan ekonomi di penghujung tahun 1997 hingga tahun 2000, sekali lagi, menunjukkan kenyataan kontras. Pondasi sosial, ekonomi, dan hukum yang dibangga-banggakan itu ternyata rapuh. Semangat gotong-royong dan integralistik dalam bernegara ternyata tidak sekokoh yang dibayangkan. Penegakan hukum tidak seadil sebagaimana seharusnya. Distribusi sumbersumber daya ekonomi, juga sama, tak cukup proporsional. Semuanya tatanan di Romawi dan Yunan kuno. Itu sebabnya dibutuhkan perbaikan segera. Diambil sejumlah kebijakan makro politik pembaruan hukum pada tahun 1998 itu juga. Pemerintahan B.J. Habibie mencabut undangundang subversif, mencabut regulasi tentang SIU yang membenarkan Departemen Penerangan mencabut izin penerbitan pers. Begitu juga dengan pembebasan terhadap sejumlah narapidana politik karena menantang pemerintah. Semuanya merupakan kebijakan pembaruan kala itu. MPR yang sepanjang sejarah Orde Baru menjadi lembaga tukang stempel kemauan pemerintah malah bergerak lebih jauh dan berani. Dalam sidang istimewa mereka sidang istimewa kedua mereka membatasi masa jabatan Presiden. Gagasan ini kemudian diadopsi ke dalam UUD 1945 oleh MPR hasil pemilu 1999 ketika mengubah UUD 1945. Ketika mengubah UUD 1945 pada tahun 1999, MPR menggeser kekuasaan pembentukan undang-undang dari Presiden ke DPR, melembagakan sejumlah hak DPR dengan tujuan untuk menguatkan kedudukannya sebagai pengawas kebijakan makro pemerintah. Mereka juga melembagakan prinsip independensi pada lembaga pengawas keuangan negara. Dilembagakan sejumlah lembaga baru. DPD, Komisi Pemilihan Umum, KY, dan Mahkamah Konstitusi. Mahkamah ini dimimpikan untuk memastikan terjaminnya hak warga negara dari kalangan minoritas secara kultural, politik, atau ekonomi. 33

Mengagumkan, mereka melembagakan hak asasi manusia, bahkan untuk memastikan keadilan spasial, mereka melembagakan juga ide mengormati hak-hak masyarakat adat. Di atas semuanya, perubahan UUD 1945 menghasilkan postur hubungan antarkekuasaan negara yang begitu tumpang-tindih. Postur hubungan seperti ini memang merupakan cara yang dikenalkan pada akhir abad ke 18 dalam mengekang absolutisme. Secara terbalik, pola hubungan ini merupakan cara para pembaharu menyingkirkan kesewenang-wenangan. Moralitas Hukum dan Kekuasaan Klasik Moralitas hukum dan kekuasaan sepanjang pemerintahan Orde Baru, sejujurnya begitu rapuh. Personalisasi negara pada Presiden merupakan kekeliruan terbesar pada saat itu, betapapun harus diakui bahwa negara demokratis konstitusional sekalipun membutuhkan kepemimpinan politik dan hukum yang kuat. Kemauannya yang keras untuk menyejahterakan rakyat yang dipimpinnya, yang sesungguhnya bagus pada dirinya, tidak terartikulasi secara tepat berdasarkan ukuran-ukuran rasionalitas kemanusiaan sejati. Moralitas kekuasaan seperti itu mengakibatkan hukum tidak tajam ke atas atau kesamping. Hukum hanya tajam ke bawah, ke rakyat tak berdaya, ke lawan-lawan politik Presiden. Moralitas kekuasaan seperti itu segaris dengan moralitas hukum Romawi dan Yunani kuno. Hukum berkarakter Romawi dan Yunani kuno merupakan hasil dari moralitas penguasanya. Tatanan sosial, hukum, dan ekonomi kala itu, sering disebut tatanan feodal, disebabkan ia dibangun dan dialiri serta dinafasi oleh kemauan raja-raja korup. Bagaimana mungkin manusia dikonstruksi sebagai properti barang yang dimiliki dan diperjualbelikan oleh manusia lain? Moralitas seperti ini juga dapat ditemui di Inggris sebelum Revolusi Gemilangnya pada tahun 1688 atau Perancis di bawah kepemimpinan Louise ke-xvi atau sebelum Revolusi Pembebasannya pada tahun 1789. Di Inggris, misalnya dikenal dengan tree estate, yang menurut tatanan 34

sosial, hukum, dan ekonomi kala itu 1688 adalah para tuan tanah, para pengurus agama, dan pengurus pemerintahan wilayah. Hanya mereka inilah yang dimungkinkan ikut berpartisipasi dalam penyelenggaraan kerajaan. Bentuknya adalah mereka dimasukkan ke dalam House of Common dan House of Lord. Orang kebanyakan tidak dapat memiliki tanah dan tidak dapat berpartisipasi dalam penyelenggaraan pemerintahan kerajaan. Raja, sebagaimana dibentangkan dalam sejarah hukum tata negara dan administrasi negara, memerintah dengan mengandalkan decree keputusan raja setara dengan Keputusan Presiden setelah berkembangnya demokrasi konstitusional. Raja mengatur apa saja yang dikehendakinya. Raja tidak pernah salah, apalagi harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Du tate et s moi negara adalah saya demikian kata Louise ke-xiv di Perancis yang terkenal itu, atau ana alhaq, kata Fir aun di Mesir, adalah cerminan moralitas hukum dan kekuasaan kala itu. Raja adalah hukum merupakan makna lain dari raja adalah negara atau negara adalah raja itu sendiri. Dalam arti itu, raja tidak tunduk dan tidak terikat pada hukum. Hukum yang dibuat tidak untuk dirinya melainkan hanya untuk rakyatnya. Hukum menjadi alat pukul terampuh yang dikenakan kepada siapa saja yang bertindak di luar hukum. Senatum di Romawi atau House of Common di Inggris bukan perkakas rakyat. Pada zamannya, badan ini merupakan perkakas raja. Di tempat inilah para estate berkumpul atau dikumpulkan oleh raja untuk membicarakan kebutuhan keuangan kerajaan terutama kebutuhan membiayai perang. Padahal perang, oleh beberapa penulis kritis, dinilai sebagai siasat raja, bukan untuk memperluas wilayah kerajaannya, melainkan untuk mendapat uang, melipatgandakan kekayaannya. Moralitas hukum dan kekuasaan klasik menempatkan manusia merdeka terpisah dari orang kebanyakan yang berstatus budak. Orang merdeka, sebagaimana pernah dijelaskan oleh Soetandyo Wignjosoebroto, sosiolog kenamaan ini, yang menjadikan hukum, khususnya sejarahnya sebagai 35

obyek kajian, adalah mereka yang bertempat tinggal terpisah dari rakyat kebanyakan. Mereka bertempat tinggal di dalam tembok, yang memiliki batas jelas. Inilah yang disebut kota state. Dalam moralitas ini, orang merdeka dan budak merupakan dua entitas moralitas yang berbeda. Postur moralitas hukum dan sosial seperti di atas mirip dengan apa yang eksis atau dialami oleh orang pribumi di masa Hindia Belanda dahulu. Apa yang disebut Kota di Batavia yang sekarang dikenal dengan Kota, yang dibangun segera setelah VOC menginjakkan kakinya di Batavia, tidak lain adalah gambaran tentang orang merdeka pada zaman itu. Moralitas hukum dan kekuasaan yang berpostur seperti itu menandakan keadilan pada zaman itu adalah keadilan yang bersumber dari mereka yang berkuasa dan berpunya secara ekonomis. Keadilan bukan sesuatu yang universal sesuai dengan mimpi semua orang. Adil dan tidak adil, adalah apa yang dipersepsikan oleh, sekali mereka yang berkuasa dan berpunya. Mempromosikan Kemanusiaan Tatanan moralitas seperti di atas itulah yang ditolak. Di Inggris, restorasi digemakan bersamaan dan segera setelah revolusi gemilangnya. Tetapi, entah bagaimana logikanya, atau mungkin begitulah logika restorasi, sampai dengan awal ke-18, tidak semua orang dapat berpartisipasi dalam penyelenggaraan negara. Dalam arti belum semua orang diberi atau diakui hak individunya, termasuk hak yang pada saat ini disebut hak politik. Padahal hingga abad itu, pengakuan terhadap individu mulai membuahkan hasil. Revolusi industri sesungguhnya berasal-usul atau merupakan sumbangan terbesar atas pengakuan hak-hak individu di bidang ekonomi, khususnya hak individu untuk memiliki barang hak milik. Sayangnya, sampai dengan abad tersebut tatanan hukum dan politik belum mengakui eksistensi setiap individu untuk ikut serta dalam penyelenggaraan negara. Hanya mereka yang berpeng- 36

hasilan tertentu yang dapat ikut serta dalam pemilihan umum. Itu sebabnya hanya mereka yang tinggal di perkotaan, dan laki-laki yang bekerja, dan berpenghasilan tertentulah yang dapat ikut serta dalam pemilu. Di luar itu tidak. Di Amerika Serikat, malah hal itu masih dapat dijumpai hingga memasuki pertengahan abad ke-20. Orang kulit hitam, perempuan, dan mereka yang tidak memiliki pendapatan dalam batas tertentu, belum diakui hak pilihnya hingga tahun itu. Hal-ihwal pendapatan tertentu sebagai dasar dalam memilih ini kemudian tertafsir menjadi pajak sebagai unsure penentukan hak seseorang untuk ikut serta dalam pemilihan umum. Pajak berdimensi perwakilan. Sesungguhnya usaha untuk mempromosikan kemanusiaan mengakui eksistensi setiap individu sebagai manusia merdeka manusia yang memiliki hak yang terberkati secara kodrati karena ia adalah manusia ciptaan Tuhan, telah diusahakan secara sistimatis sejak tahun 970, begitu kata Harold J. Berman, dalam bukunya yang terkenal Law and Revolution. Perjuangan ini berlangsung selama berabad-abad dan ramai di sebagian daratan Eropa. Tidak banyak yang dicapai, tetapi yang sedikit itu ternyata berhasil mengubah tatanan sosial dan politik mereka. Clarendom Constitution di awal abad ke 12 di Inggris, kemudian Magna Charta 1215, juga di Inggris dan Hunggarian Golden Bull pada pertengahan abad 14, tepatnya 1364, adalah buah dari perjuangan panjang untuk mengubah tatanan feodal. Betul, sampai saat itu, perjuangan tersebut belum berhasil melahirkan satu polity. Civics, civilis, state atau estate, masih begitu terbatas. Tetapi, seperti Clarendom Constitution, perjuangan ini telah berhasil meletakkan tatanan otoritas ecclesia dengan tatanan sekuler. Kedua otoritas diberi garis batas wilayah yang jelas. Dalam salah satu pasal Magna Charta 1215, yang dikenal luas sebagai satu pilar penting dalam perjuangan hak asasi manusia, telah dicantumkan dua mimpi besar. Pertama, mimpi tentang pengakuan terhadap hak milik para petani dan pertenak terhadap hasil pertanian dan ternaknya. 37

Pengakuan itu berintikan bahwa hasil pertanian para petani tidak akan diambil tanpa memberi bayaran tertentu kepada pemiliknya atau tanpa izin pemiliknya. Begitu juga dengan peternakan. Magna Charta memberi garis jelas. Barangbarang itu tidak bisa diambil begitu saja tanpa izin dari pemiliknya atau tanpa bayaran kepadanya. Sejarah ini memang panjang dan ruang yang tersedia tidak memungkinkan untuk mengungkapkan semuanya. Yang ingin dijelaskan di ruang yang terbatas ini adalah saripati perjuangan itu. Kalau digunakan logika dialektis, maka kehadiran moralitas hukum modern sekaligus yang berlanggam demokratis konstitusional adalah antithesis dari moralitas hukum kuno hukum yang menurut ukuran kemanusiaan tidak manusiawi. Hukum modern begitu juga kekuasaan modern pada dirinya adalah hukum dan kekuasaan yang dibangun di atas mimpi-mimpi indah tentang hakikat kemanusiaan. Hukum dan kekuasaan modern dibuat berdasarkan ambisi untuk memanusiakan manusia mengakui manusia sebagai ciptaan Tuhan tertinggi dan termulia dan tidak bermaksud sedikitpun untuk mendegradasinya. Hukum dan kekuasaan modern memang menjadi sangat teknikal. Tetapi sekompleks apapun hukum dan kekuasaan modern, semuanya tak dapat mengingkari hakikatnya sendiri sebagai hukum dan kekuasaan yang dimimpikan untuk mempromosikan kemanusiaan. Sebagai sarana kebudayaan yang dipilih oleh manusia untuk berkehidupan secara beradab dan bermartabat, hukum dan kekuasaan modern tetap merupakan sarana budaya yang paling diandalkan untuk sekali lagi menjamin terus terpromosinya kemanusiaan. Dalam arti itu, hukum dan kekuasaan modern tidak lain adalah hukum dan kekuasaan yang membebaskan. Membebaskan bukan berarti membiarkan manusia bertindak sesuai isi perutnya, sesuai maunya. Tetapi, hukum dan kekuasaan modern meletakkan kemauan seseorang dalam bingkai kemauan yang ternalar, kemauan yang teruji menurut prinsip-prinsip kemaslahatan umum. Bebas, dalam arti apa- 38

pun, tidak pernah bermakna bertindak tanpa kaidah. Dalam arti apapun, kaidah memang bersisi dua membatasi dan membebaskan. Hukum memperoleh sifatnya sebagai hukum karena cara membuat, isi, dan tingkatan wadahnya, juga karena sifat-sifat itu dapat diperiksa secara terbuka oleh siapapun, dalam keadaan apapun. Isi hukum, begitu dalam alam demos kratein adalah ungkapan-ungkapan agung demos, yang diformulasi oleh para wakilnya di Senatum atau House of Common House of Representative atau DPR. Menariknya, demokrasi juga memiliki langgamnya. Inggris, karena pengalamannya, menolak untuk memberi hak kepada pengadilan untuk menguji, apa yang di negeri kita menyebut-nya dengan konstitusionalitas undang-undang. Inggris menolak itu, sekali lagi, karena masa lalu mereka. Tabiat raja-raja yang telah menyengsarakan para demos berabad-abad lamanya membuat mereka berketetapan untuk tidak memberikan hak, sekalipun cuma sedikit, kepada pengadilan untuk menguji konstitusionalitas undang-undang. Demos adalah segala-galanya, begitulah tesis agung sang Groundrechten, John Locke, sekaligus bapak constitutional government. Para hakim, selain karena jumlahnya yang sedikit, juga karena berabad-abad lamanya, pengadilan menjadi raja, dicurigai akan berbuat menurut tabiat lamanya, kalau diberi hak menguji undang-undang. Memberi mereka hak menguji undang-undang, sama dengan memungkinkan mereka mereduksi undang-undang, atau menggunakan kepentingan lain untuk menggagalkan undang-undang itu. Sementara undangundang terlanjur keterlanjuran yang beralasan disifatkan sebagai suara dan kemauan suci rakyat the voice and the sacre will of demos. Memberikan hakim hak untuk menguji undang-undang sama dengan mereduksi keagungan rakyat. Dalam langgam teknikal, sebagaimana diperikan oleh A.V. Dicey, seorang konstitusionalis yang begitu membanggakan negara hukum Inggris, dan sedikit merendahkan negara hukum Perancis, memiliki pikiran menarik mengenai soal di atas. Katanya dalam buku An Introduction of The Rule of Law 39

yang tersohor itu, tak diberikannya hak menguji kepada para hakim di Inggris disebabkan satu hal. Para hakim itu tak dipilih rakyat. Sementara anggota House of Common dipilih dan mewakili rakyat. Tidak mungkin rakyat terbanyak salah dalam mengartikulasi mimpi-mimpinya, dibandingkan hakim yang jumlahnya cuma sedikit itu. Itulah intisari mengapa pengadilan di Inggris tak diberi hak menguji undang-undang. Demi kemuliaan kemanusiaan itu pulalah tetapi di sini memperlihatkan sesuatu yang berbeda Perancis tidak memberikan hak kepada pengadilan untuk mengadili para pejabat pemerintah di pengadilan umum. Berbeda dengan Inggris, kata Napoleon, sang arsitek Kode Penal, dan Kode Decomerce Perancis, kalau pengadilan diberi mengadili para pejabat di pengadilan umum, maka pengadilan telah ikut campur dan merusak pemerintah. L sprit d corps akan rusak karenanya. Itu sebabnya, Perancis melembagakan peradilan, yang salam istilah kita Pengadilan Tata Usaha Negara, untuk mengadili kelakuan para pejabat. Inilah sebabnya mengapa Dicey menyepelekan postur negara hukum Perancis. Kata Dicey, Perancis tidak memiliki semangat memperlakukan semua manusia dalam derajat yang sama. Singkatnya, tidak ada kesamaan derajat di Perancis, begitu katanya. Betapa tidak. Di Inggris, satu pengadilan untuk semua orang, pejabat atau rakyat biasa. Semuanya disidangkan di pengadilan yang sama, bukan seperti Perancis, yang menyidangkan para pejabat di pengadilan yang lain. Begitulah kisi-kisi peradaban politik dan hukum pada dua belahan dunia ini. Tetapi faktanya kedua negara tersebut tumbuh menjadi dua negara hukum terkemuka yang mempraktikkan demokrasi konstitusional. Kemanusiaan, yang di dalamnya harga diri dan martabat seseorang memperoleh tempat untuk bersinar terang nan indah, di belahan politik manapun, selalu menjadi pondasi bernegara. Itulah yang ditampilkan di Jerman, betapapun Hegel mengartikulasinya secara berbeda dengan Emmanuel Kant, seorang pesohor di bidang filsafat tentang hak-hak individu sebagai dasar bernegara, sekaligus dasar penentu batas masuk negara dalam urusan individu. Hegel 40

tidak memberi tempat kepada eksistensi individu karena baginya eksistensi individu terserap ke dalam kolektivitas, tetapi Emmanuel Kant yang jauh lebih senior, justru sebaliknya. Kant, seperti diketahui dari berbagai kajian, adalah seseorang filosof Jerman yang begitu mengagungkan eksistensi individu. Sedemikian agungnya individu bagi Kant sehingga ia berpendapat negara cukup berperan dalam menjaga ketertiban masyarakat. Peran itu dimaksudkan untuk memungkinkan mereka para individu beraktivitas. Negara jaga malam, begitu ahli-ahli kita mensifatkan tesis dasar Kant itu. Kant menempatkan individual will pada jantung teorinya, sementara Hegel menempatkan collective will pada jantung teorinya. Tetapi perbedaan keduanya hanya berarti sampai pada titik itu. Sebab, keduanya sama dalam satu hal; ingin memanusiakan kehidupan berbangsa dan bernegara. Mereka, seperti para penganjur negara hukum demokrasi dan negara kesejahteraan, menempatkan kemanusiaan sebagai inti bernegara. Kemanusiaanlah hakikat gagasan demokrasi konstitusional. Kekuasaan yang Bertanggung Jawab Untuk mencapai itu semua, maka kekuasaan diorganisasikan kembali. Apa yang dikenal pada saat ini dengan kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif, tidak lain merupakan antithesis atau perwujudan dari pengorganisasian kekuasaan yang dipraktikkan oleh raja-raja absolut. Pengorganisasian itu memiliki dua wujud berbeda, tetapi berhakikat sama. Kedua wujud tersebut adalah membagi dan memisahkan. Pola pertama, saya lebih suka menyebut pola John Locke, sedang pola kedua saya lebih suka menyebut pola Montesqieu. Pola pertama lebih dahulu dipraktikkan, segera setelah Glorius Revolution, dan pola kedua dipraktikkan di Amerika Serikat setelah mereka berhasil membentuk konstitusi Federalisnya pada tahun 1787. Sekali lagi, seperti disebutkan 41

di atas, kedua pola ini sesungguhnya berhakikat sama, mempromosikan kemanusiaan atau secara terbalik memba-tasi kekuasaan. Logikanya sederhana kekuasaan yang telah dibatasi akan akrab dengan soal-soal kemanusiaan. Pada dirinya, kedua cara ini memang dimaksudkan untuk mengisolasi abolutisme. Tujuannya adalah agar kemanusiaan dapat dipromosikan. Harus diakui secara jujur, rasa curiga yang menyelimuti semangat kaum Whig yang mengarsiteksi pengorganisasian kekuasaan di Inggris sesudah revolusi pada tahun 1688. Kecurigaan terhadap penguasa itu pulalah yang menjadi napas perencana konstitusi Amerika Serikat ketika membentuk konstitusi mereka pada tahun 1787. Semangat itu yang melahirkan postur kekuasaan seperti saat ini. Kecurigaan terhadap absolutisme itulah yang membedakan bapakbapak pendiri bangsa kita dengan pembentuk konstitusi Amerika Serikat. Desain organ dan mekanisme hubungan antarorgan dilakukan dengan penuh curiga. Intinya, mereka selalu curiga kepada penguasa. Penguasa, begitu yang mereka yakini selalu cenderung korup dan menjadi tiran. Sementara para perencana atau pembentuk negara kita tidak menaruh curiga kepada kekuasaan. Memang ada sedikit nuansa itu, terutama oleh Bung Hatta, tetapi kecurigaan bukan sesuatu yang menjadi atmosfir utama kala itu. Tetapi semangat ini tanpa sadar dianut oleh anggota MPR ketika mengubah UUD 1945. Sekali lagi berbeda dengan pengorganisasi kekuasaan di Inggris dan Amerika Serikat. Para penyusun kekuasaan pada kedua negara bersemangat bahwa kekuasaan harus dikontrol, harus diberi batas yang jelas dan tegas, harus dibuat mekanisme yang jelas dan tegas. Kemauan para penguasa yang menyala-nyala harus dibuat agar tunduk atau ditundukkan ke dalam mimpi-mimpi indah kemanusiaan yang prinsip-prinsipnya digariskan dalam konstitusi. Hukum harus dikonsolidasikan untuk mempromosikan mimpi-mimpi ini. Penguasa tidak boleh dibiarkan membuat keputusan tanpa alasan yang dapat diuji rasionalitasnya dan motivasi yang tak dapat diraba. Alam, sebagai diakui oleh tatanan 42

hukum Inggris maupun Amerika, memiliki keadilan yang khas. Inggris menyebutnya dengan natural justices, keadilan alamiah keadilan yang tak pernah lapuk dimakan zaman, dan selalu bisa dikenali oleh siapapun. Seperti diketahui, Inggris mengharuskan bukan hanya pengadilan mendemonstrasikannya dalam setiap keputusan mereka, melainkan mewajibkan setiap pembuat kebijakan umum untuk tidak saja memperhatikan melainkan lebih dari itu. Tata hukum mereka mengharuskan para pembuat keputusan untuk mendengar kedua belah pihak sebelum keputusan dibuat. Itu sebabnya prinsip audi et alteram partem hear the other side betapapun tumbuh dalam alam hukum Yunani kuno karena keagungan esensinya, dianut pula dalam alam hukum administrasi dan tata negara Inggris. Prinsip Ultra Vires, sebuah prinsip yang oleh berbagai penulis hukum tata negara dan administrasi Inggris mengenalinya sebagai keagungan prinsip hukum alam, juga diadopsi dalam hukum positif mereka dan diberlakukan hukum tata negara dan administrasi mereka. Bukan hanya hakim, para pejabat pun diharuskan untuk tunduk dan taat terhadap prinsip itu. Prinsip itu, begitulah para ahli konstitusi dan hukum administrasi Inggris memberikannya, adalah sebuah prinsip yang menggariskan bahwa seseorang hanya dapat bertindak kalau ia memiliki hak. Sekali lagi dalam konteks kekuasaan, prinsip itu berwujud pejabat hanya dapat bertindak berdasarkan kewenangan yang dimilikinya. Tidak boleh seorang pejabat bertindak kalau ia tidak memiliki kewenangan untuk itu. Prinsip itu juga menjadi pondasi untuk mengecek penggunaan kewenangan itu. Apa yang mesti dicek? Yang dicek adalah apakah tindakan tersebut segaris atau senafas dengan due procedure atau due process of law atau tidak. Hal-hal yang dapat dicek juga dapat diperluas. Misalnya, apakah tindakan tersebut memiliki strong ground, baik legalnya maupun alasan sosial politiknya atau tidak? Soal alasan sosial politiknya, justru bisa dicek lebih jauh lagi. Misalnya, dapat dicek apakah tindakan hukum tersebut memberikan kemanfaatan bagi kemaslahatan umum 43

atau tidak? Pada titik ini akan terlihat motif penggunaan kewenangan itu. Hukum administrasi negara Inggris, begitu juga Amerika dan kita, mengharuskan setiap pejabat yang hendak membuat sebuah perbuatan tata usaha negara membentangkan secara terang-benderang motif di balik perbuatan tersebut. Ini adalah cara mengekang pejabat tersebut agar tidak menggunakan jabatan tersebut untuk kepentingan pribadi atau kelompok sekaligus menghindarkan rakyat dari perbuatan sewenang-wenang. Motif yang keliru buruk bad motive sama halnya dengan pejabat tersebut menempatkan dirinya di bibir detournamen de povoir dan atau deteournamen deprocedure. Semua tata hukum mengisolasi penggunaan retroactive, dan ini juga diberlakukan dalam hukum administrasi negara. Mengapa? Prinsip retroactive adalah sebuah prinsip yang menggambarkan tindakan sewenang-wenang. Hukum yang berlaku surut adalah hukumnya raja-raja absolut yang memerintah sesuka hati mereka, hukum yang sewenang-wenang. Kecurigaan dan ketakutan terhadap kemungkinan terlembagakannya kembali kesewenang-wenangan itulah, maka semua tata hukum menolak melembagakan prinsip retroactive. Bahkan karena kecurigaan yang sama pula, semua tata hukum membentengi rakyatnya dengan melembagakan prinsip legalitas. Hukum karena sifatnya sebagainya perwujudan mimpimimpi manusia maka dinamis menjadi sifat dasarnya. Setiap saat bisa berubah atau berkembang. Patah tumbuh hilang berganti mungkin dapat juga disifatkan padanya. Semakin luas mimpi rakyat, semakin luas jangkauan hukum. Semakin terspesialisasi suatu masyarakat, semakin sering hukum dibutuhkan untuk mewadahinya. Tujuannya agar tercita ketertiban dan atau lalu lintas kehidupan dapat berlangsung dengan baik. Tetapi dalam banyak kasus, sekurang-kurangnya yang diidentifikasi oleh sebagian kalangan kritis dalam yang tergabung dalam group Frankfurt, ambil misalnya Habermas, tidak percaya pada tesis di atas. Tesis mereka, tentu setelah 44

mengamati perkembangan pembentukan hukum di berbagai negara, hukum modern justru tidak semodern seperti dibayangkan orang. Hukum modern tidak pernah memberi keuntungan yang setara bagi semua orang. Hukum modern tak selalu responsif. Tak sedikit hukum di dunia modern berwatak konservatif, bahkan ortodoks. Kekonservatifannya ditandai dengan keberpihakannya pada kalangan kapitalis dan kompradorkompradornya. Koneksi kaum kapitalis dengan politikus di dalam maupun di luar Dewan Perwakilan Rakyat, tidak pernah bisa dicek oleh rakyat secara serta-merta. Penentuan distribusi kue ekonomi dalam langgam hukum dan politik modern, menurut mereka, tidak pernah proporsional. Penguasa, sekali lagi, dalam langgam ini, justru bertindak sebagai fasilitator kaum kapitalis. Tetapi demokrasi konstitusional memiliki cara untuk mencegahnya. Demokrasi konstitusional memperkenalkan berbagai cara untuk menangkal undang-undang yang tidak masuk akal. Sebagian negara menggunakan Mahkamah Konstitusi kita masuk dalam kelompok ini, dan sebagian lagi menggunakan Mahkamah Agungnya Amerika dan sebagian lagi Perancis memilih pengujian sejak awal sebelum RUU berubah menjadi undang-undang. Lembaga mereka disebut Constitutional Council dan merupakan lembaga politik. Memandang Ke Depan Sulit untuk tidak mengatakan betapa hukum dan kekuasaan modern yang dipraktikkan pada saat ini merupakan hasil dari kemampuan orang-orang hebat, ambil misalnya John Locke, melihat jauh ke belakang. Keberhasilannya melihat jauh ke belakang itulah yang memungkinkan dirinya melihat jauh depan. Ia seolah mengajarkan kepada kita betapa melihat dan mengenal apa yang telah terjadi jauh sebelumnya, merupakan pijakan terbaik untuk melihat jauh ke depan. 45

Entah karena telah terlatih dengan feodalisme di belahan Eropa, para penjajah di negeri kita juga mempraktikkan hal yang sama di Hindia Belanda. Mereka mengangkangi hak pemilikan tanah. Apalagi kala itu hukum adat memang tidak mengenal lembaga pemilikan pribadi. Dalam kerangka mengooptasi pemilikan sumber-sumber daya ekonomi inilah, harus dimengerti mengapa hukum di masa penjajahan menempatkan orang Indonesia pribumi pada strata terbawah di bawah golongan timur asing. Berciri khas sebagai hukum ortodoks pada masanya karena mengonsolidasi kepentingan penguasa, ekonomi dan politik, dan tak memberi, dalam arti mengakui hak-hak politik orang pribumi, pemerintah jajahan memang sempat gemilang. Tetapi seperti biasanya, kegemilangan itu berujung juga. Tahun 1945, kegemilangan mereka berhenti. Memang masih dicoba untuk kembali tetapi pengalaman orang-orang pribumi terlalu berharga untuk dilupakan. Belanda pun tak dapat kembali lagi. Moralitas hukum dan kekuasaan berkarakter ortodoks seperti itu tidak dapat digunakan untuk membuat suatu masyarakat politik menjadi gemilang. Sekuat apapun energi politik sebuah bangsa digerakkan untuk memastikan eksistensi hukum ortodoks, tidak mungkin berhasil. Tatanan seperti itu akan gulung tikar pada saatnya juga. Imperium Romawi dan Britania Raya semuanya runtuh. Praktis, kekuasaan ortodoks dengan hukum yang ortodoks hukum yang tak berpihak dan mempromosikan kemanusiaan semuanya gulung tikar. Pesan dari semua sejarah itu satu; hukum yang dihasilkan oleh kekuasaan korup, feodal atau sebangsanya tidak memiliki daya tahan. Hukum yang tak manusiawi adalah pangkal kebangkrutan suatu bangsa. Semakin jelas dan terbukanya hukum ortodoks, bukan hanya semakin menunjukkan bahwa hukum tak lagi akrab dengan kemanusiaan, tetapi lebih dari itu. Hukum seperti itu menandai betapa bangsa tersebut sedang berlayar menuju ke titik karam. Semakin sering pengadilan mendemonstrasikan hukum yang di luar nalar keadilan umum, semakin cepat bangsa 46

itu mencapai titik karam. Semakin sering polisi dan jaksa, bahkan aparatur birokrasi sombong dalam berhukum, semakin terbuka jalan bagi bangsa tersebut menuju ke titik karam. Semakin terbuka masyarakat menontong ketidakadilan dalam berpolitik, ekonomi, dan berhukum, maka undangan untuk menata kembali tatanan itu semakin dekat ke jantung bangsa itu. Apa yang terjadi di tahun 1997 di negeri tercinta ini adalah sekelumit bukti itu. Seperti sejak tahun 1959 hingga 1966, kekuasaan yang berproses sejak tahun 1967 menjelma menjadi sesuatu yang begitu mewah dan personal. Malah kekuasaan menjadi begitu sakral, bukan saja karena tak bisa dipertanyakan, melainkan bermimpi untuk mempertanyakan pun tak boleh. Betul bangsa ini tidak bubar, tetapi faktanya hukum dan kekuasaan yang berlanggam ortodoks kala itu telah menggerogoti dirinya sendiri. Bangsa ini, ternyata tidak sekuat yang dibayangkan. Hukum, politik dan ekonomi, semuanya keropos. Hukum bisa dibeli dan tentu aparatur hukum bisa dibeli. Birokrasi yang sesuai sifatnya harus muncul sebagai pelayan suci justru menakutkan, sekurangkurangnya muncul menjadi sesosok mahluk politik yang menjengkelkan. Negara hukum seolah tak memiliki arti apapun bagi kemanusiaan pada masa itu. Negara hukum hanya sekedar penanda politik, betapa negara ini dibangun dan diselenggarakan menurut aturan hukum. Seperti apakah substansinya menjadi urusan nomor sekian. Hukum di bidang politik diorientasikan untuk mengonsolidasikan kekuasaan. Di bidang ekonomi dikonsolidasi dan diorientasikan hukum memperlebar jarak antara orang miskin dan orang kaya. Negara hukum, bukan hanya berubah menjadi negara undangundang, melainkan digerakkan dengan sejumlah decree, persis seperti cara bernegara di Eropa abad sampai abad ke 17. Indonesia memang bukan satu-satunya negara berlanggam itu. Ada Pilipina, Polandia, Spanyol, Yunani, Yugoslavia dan sejumlah negara lainnya di belahan Eropa. Faktanya, 47

negara-negara berlanggam ini semuanya hampir gulung tikar. Rakyat memilih untuk tak lagi berkompromi dengan semua bualan politikus kerdil. Ferdinan Marcos di Pilipina, Chuechesco di Polandia, Juan Peron di Argentina, semuanya harus minggir. Negara-negara ini pun bergerak maju. Tatanan masa lampau yang melahirkan absolutisme yang mengakibatkan negara tersebut menjadi lembek diubah. Perubahan Konstitusi menjadi awalnya. Di dalamnya dilembagakan ara pengisian jabatan politik dan penyelenggara hukum. Termasuk di dalamnya perubahan hubungan antarorgan kekuasaan negara. Hak-hak indvidu pun dikonsolidasi kembali. Di dalamnya termasuk perluasan jangkauannya. Indonesia pun menempuh jalan dan melakukan hal yang relatif sama sebagai salah satu cara mengamankan masa depannya. Itulah yang dilakukan oleh MPR dengan mengubah UUD 1945. Penutup: Menggapai Kesejahteraan Moralitas hukum dan kekuasaan modern lahir untuk mengonsolidasi masa depan kita. Sejarah bangsa-bangsa Eropa bahkan bangsa kita sendiri menyimpan elan itu. Tetapi hukum macam apa? Dibutuhkan hukum yang responsif dengan penegak hukum yang responsif, jujur, dan punya hati. Hukum yang responsif tidak lain dari hukum yang menempatkan hak setiap individu di jantungnya. Hukum responsif tak memberikan kesempatan sedikitpun kepada para pembentuknya untuk berkomplot dengan sekelompok manusia yang mementingkan dirinya sendiri atau kelompoknya. Hukum responsif menciptakan ruang bagi setiap individu untuk mengejar kebaikan-kebaikan hidupnya. Semangat kompetisi yang dilembagakan dalam hukum model ini adalah semangat saling hormat-menghormati, semangat saling mendukung. Hukum harus tegak, setegak-tegaknya, dalam keadaan apapun, ke bawah dan ke atas. Sedetik saja hukum bengkok maka merajalelalah ketidakadilan. Sedetik saja orang berduit atau orang yang memiliki kuasa tak tersentuh hukum maka 48

akan datanglah segerombolan orang yang sama meminta agar mereka tak disentuh hukum. Sekali mereka berhasil maka akan ada hasil berikut. Jika terus terjadi maka bangsa ini menjadi bangsa kerdil, kembali lagi ke masa Yunani kuno. Moralitas hukum dan kekuasaan kita di masa depan harus dibangun di atas landasan moralitas kemanusiaan sebagaimana telah ditasbihkan dalam Pancasila. Hukum dan kekuasaan di masa depan harus dikerangkakan, sekali lagi, pada mimpi untuk memanusiakan manusia. Hukum dan kekuasaan niscaya akan memiliki ketahanan, bila sekali lagi, diabdikan sepenuhnya pada kemanusiaan. Berhukum dan berkekuasaan dalam model ini tidak lain adalah berhukum dan berkekuasaan menurut nilai-nilai kemanusiaan. Tugas setiap politikus adalah membuat hukum yang memungkinkan rakyatnya mengenali secara cermat semua kisi-kisi teknis penyelenggaraan birokrasi, terutama dalam memberi pelayanan kepada mereka. Pelayanan harus dibuat terbuka, cepat, dan tak berbiaya. Kong-kalikong tumbuh dalam dunia serba gelap, begitulah hikmah dari sejarah hukum dan kekuasaan klasik. Sebaliknya, hanya transparansi, begitu kata orang-orang hebat, yang dapat diandalkan sebagai benteng terkuat bagi siapa saja yang merindukan kekuasaan berwajah manusiawi. Transparansi, akuntabilitas, dan keagungan hukum yang pasti merupakan moralitas sejati demokrasi konstitusional. Moralitas ini memungkinkan setiap orang memiliki mimpi untuk memperoleh penyelenggaraan negara yang bernafaskan kemanusiaan. Inilah senjata utama bangsa-bangsa yang mempraktikkan demokrasi konstitusional mengusahakan kesejahteraan bagi rakyatnya. Negara kuat adalah negara yang rakyatnya sejahtera yang diusahakan secara demokratis. Keterbukaan yang mulai tumbuh pada saat ini harus dipastikan agar tetap menemukan dunianya. Sedetik saja keterbukaan terhenti, maka semua mimpi kita untuk duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi dalam segala aspek kehidupan bernegara akan sirna. Gagal dalam memastikan kelangsungan transpransi akan mengakibatkan negara ini kerdil. Tidak mudah memang mengusahakannya. Tetapi 49

bangsa ini tidak memiliki pilihan lain, kecuali harus bergerak terus mengongkritkannya. Politikus besar memikul tanggung jawab ini. Sebagaimana ditunjukkan oleh, misalnya Woodrow Wilson, Franklin Delano Roosevelt, dan Winston Churchill, demokrasi konstitusional membutuhkan politikus besar. Politikus besar membesarkan dirinya dengan memanggungkan hukum yang adil dalam mewujudkan kesejahteraan rakyatnya. Pemimpin besar tahu bahwa tak ada kesejateraan tanpa birokrasi yang kuat yang berlandaskan pada hukum yang lurus dan berkeadilan. Kesejahteraan yang berkeadilan dan bermartabat adalah kesejahteraan rakyat yang diusahakan secara demokratis dengan moralitas hukum dan kekuasaan yang berlandaskan pada nilai-nilai kemanusiaan. Pemimpin besar tahu bahwa jangkar moralitas hukum dan kekuasaan adalah kearifan dan kejujuran dirinya. Politikus besar tahu bahwa kebesaran kearifan dan kejujurannya adalah jangkar dan kompas bagi semua usaha untuk berkehidupan yang adil dan beradab di atas panggung negara demokrasi konstitusional. Kesejahteraan rakyat yang merupakan pondasi politik konstitusional semua bangsa hanya bisa dijamin sejauh moralitas hukum dan kekuasaan tunduk pada nilai kemanuisaan. Apalagi kalau para pemimpi politik dan hukum menjadikan kearifan dan kejujurannya untuk tujuan itu.[] 50