BAB I PENDAHULUAN. sebenarnya bukan merupakan persoalan baru, karena aktivitas perekonomian sangat



dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Indonesia dalam upayanya memperbaiki nasib atau membangun segala

Kebijakan Kriminal, Penyalahgunaan BBM Bersubsidi 36

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Negara Indonesia sebagai negara yang berdasarkan Pancasila dan

I. PENDAHULUAN. kemajuan dalam kehidupan masyarakat, selain itu dapat mengakibatkan perubahan kondisi sosial

BAB I PENDAHULUAN. Adanya perlindungan terhadap karya cipta manusia. menjadi semakin penting dengan terjadinya revolusi

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGGULANGAN VCD (VIDEO COMPACT DISK) ILEGAL ABSTRAKSI

POLITIK HUKUM PIDANA DALAM PERSPEKTIF PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA

I.PENDAHULUAN. Pembaharuan dan pembangunan sistem hukum nasional, termasuk dibidang hukum pidana,

I. PENDAHULUAN. dari masyarakat yang masih berbudaya primitif sampai dengan masyarakat yang

BAB I PENDAHULUAN. Bangsa Indonesia yang pada tahun 2020 memasuki era pasar bebas. Salah satu

I. PENDAHULUAN. Fenomena penyalahgunaan dan peredaran narkotika merupakan persoalan

I. PENDAHULUAN. Penyalahgunaan izin tinggal merupakan suatu peristiwa hukum yang sudah sering

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP DESAIN DAN HAK CIPTA PADA KAIN PRODUKSI PT ISKANDARTEX SURAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. di bidang sosial, ekonomi, budaya maupun bidang-bidang lainnya yang

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, sehingga harus diberantas 1. hidup masyarakat Indonesia sejak dulu hingga saat ini.

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan

TINJAUAN PUSTAKA. Upaya penanggulangan tindak pidana dikenal dengan istilah kebijakan kriminal

BAB I PENDAHULUAN. yang telah tercakup dalam undang-undang maupun yang belum tercantum dalam

I.PENDAHULUAN. Pembaharuan dan pembangunan sistem hukum nasional, termasuk dibidang hukum pidana,

BAB I PENDAHULUAN. kekerasan. Tindak kekerasan merupakan suatu tindakan kejahatan yang. yang berlaku terutama norma hukum pidana.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI PENGADAAN BARANG DAN JASA. Nisa Yulianingsih 1, R.B. Sularto 2. Abstrak

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai Negara hukum, Pasal 28 Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara

BAB I PENDAHULUAN. satu kondisi yang tidak mengenal lagi batas-batas wilayah. Aspek ekonomi

BAB III METODE PENELITIAN. Cabang USU. Waktu penelitian dilaksanakan mulai bulan September 2015 sampai

I. PENDAHULUAN. seluruh masyarakat untuk meningkatkan mutu kehidupannya, sebagaimana yang

BAB II PERBUATAN-PERBUATAN YANG TERMASUK DALAM RUANG LINGKUP TINDAK PIDANA DI BIDANG MEREK

BAB I PENDAHULUAN. Pertama, hal Soerjono Soekanto, 2007, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cetakan

BAB I PENDAHULUAN. kekuasaan tertinggi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Konsep Negara

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. sebagaimana diuraikan dalam bab sebelumnya dapat dikemukakan kesimpulan

BAB I PENDAHULUAN. besar guna melaksanakan pembangunan nasional. Kebutuhan dana yang besar

BAB I PENDAHULUAN. Bank menurut pengertian umum dapat diartikan sebagai tempat untuk

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan hukum hak cipta terhadap produk digital. Hak cipta terhadap

BAB I PENDAHULUAN. sekali terjadi, bahkan berjumlah terbesar diantara jenis-jenis kejahatan terhadap

I. PENDAHULUAN. kesehatan penting untuk menunjang program kesehatan lainnya. Pada saat ini

BAB I PENDAHULUAN. Pidana bersyarat merupakan suatu sistem pidana di dalam hukum pidana yang

BAB I PENDAHULUAN. Hak Kekayaan Intelektual, selanjutnya disingkat sebagai HKI timbul

I. PENDAHULUAN. Hukum merupakan seperangkat aturan yang diterapkan dalam rangka menjamin

BAB I PENDAHULUAN. sesuai dengan norma hukum tentunya tidaklah menjadi masalah. Namun. terhadap perilaku yang tidak sesuai dengan norma biasanya dapat

BAB I PENDAHULUAN. sosial, sebagai makhluk individual manusia memiliki kepentingan masing-masing

BAB I PENDAHULUAN. bertumbukan, serang-menyerang, dan bertentangan. Pelanggaran artinya

hukum terhadap tindak pidana pencurian, khususnya pencurian dalam keluarga diatur

I. PENDAHULUAN. Secara etimologis kata hakim berasal dari arab hakam; hakiem yang berarti

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS WIRARAJA SUMENEP - MADURA

I. PENDAHULUAN. seseorang (pihak lain) kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagai

BAB I PENDAHULUAN. Penerapan pasal..., Ita Zaleha Saptaria, FH UI, ), hlm. 13.

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 sehingga perlu diatur ketentuan mengenai Rahasia Dagang;

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum, maka

BAB I PENDAHULUAN. Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang berbunyi Negara Indonesia adalah negara hukum.

I. PENDAHULUAN. Perubahan kehidupan manusia pada era globalisasi sekarang ini terjadi dengan

SKRIPSI PERANAN PENYIDIK POLRI DALAM MENCARI BARANG BUKTI HASIL TINDAK PIDANA PENCURIAN KENDARAAN BERMOTOR RODA DUA DI WILAYAH HUKUM POLRESTA PADANG

BAB I PENDAHULUAN. dalam negeri serta turut aktif dalam membina kemitraan dengan Usaha Kecil dan

I. PENDAHULUAN. Akhir-akhir ini banyak sekali beredar makanan yang berbahaya bagi kesehatan para

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI

BAB I PENDAHULUAN. resmi yang berwajib, pelanggaran mana terhadap peraturan-peraturan

I. PENDAHULUAN. merupakan peraturan-peraturan yang harus ditaati oleh setiap masyarakat agar

DAFTAR PUSTAKA. Arief, Barda Nawawi, Kebijakan Kriminal, op.cit, hal.2

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai isu internasional, HKI (Hak Kekayaan Intelektual) berkembang

I. PENDAHULUAN. terhadap tindak pidana pencurian, khususnya pencurian dalam keluarga diatur didalam

PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PELAKU USAHA YANG MENJUAL MAKANAN MENGANDUNG BAHAN BERBAHAYA. (Skripsi) Oleh BEKI ANTIKA

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang kaya akan kebudaayaan-kebudayaan

PELAKSANAAN PUTUSAN PIDANA PEMBAYARAN UANG PENGGANTI DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI DI SURAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. berkembang adanya karena dilengkapi oleh ketentuan-ketentuan perdagangan

SKRIPSI UPAYA POLRI DALAM MENJAMIN KESELAMATAN SAKSI MENURUT UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

I. PENDAHULUAN. Pemberantasan penyalahgunaan narkotika merupakan masalah yang sangat penting,

I. PENDAHULUAN. Tindak pidana korupsi merupakan kejahatan yang merugikan keuangan negara

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM UNDANG- UNDANG TENTANG PERKAWINAN 1

BAB I PENDAHULUAN. dalam hal dan menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang untuk

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

I. PENDAHULUAN. Perdagangan orang (human traficking) terutama terhadap perempuan dan anak

BAB I PENDAHULUAN. pembentukan World Trade Organization (selanjutnya disebut WTO) melalui

DAFTAR PUSTAKA. Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, Raja Grafindo Persada,

BAB I PENDAHULUAN. informasi keunggulan produk dari merek tertentu sehingga mereka dapat

I. PENDAHULUAN. mengisi kemerdekaan dengan berpedoman pada tujuan bangsa yakni menciptakan

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Cita-cita untuk melaksanakan amanat para pejuang kemerdekaan bangsa dan

I. PENDAHULUAN. peraturan-peraturan yang harus ditaati oleh setiap masyarakat agar keseimbangan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. pada Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang berbunyi Negara Indonesia adalah Negara Hukum.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. produk barang maupun jasa yang ditemukan di pasaran. Barang dan jasa yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penegak hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau

II. TINJAUAN PUSTAKA

TINJAUAN PUSTAKA. kehidupan masyarakat. Peranan yang seharusnya dilakukan Kepolisian Resort

I. PENDAHULUAN. kemakmuran bagi rakyatnya. Namun apabila pengetahuan tidak diimbangi dengan rasa

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian Penahanan dapat dilihat dalam Pasal 1 butir 21 KUHAP yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana. Bagaimanapun baiknya segala peraturan perundang-undangan yang siciptakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Hak dan kewajiban merupakan sesuatu yang melekat dan menyatu pada

BAB I PENDAHULUAN. mendorong terjadinya krisis moral. Krisis moral ini dipicu oleh ketidakmampuan

BAB I PENDAHULUAN. secara signifikan meningkat dengan pesat, khususnya ketika ekonomi

BAB I PENDAHULUAN. yang ditimbulkan dapat menyentuh berbagai bidang kehidupan. Korupsi

DAFTAR PUSTAKA. Arief, Barda Nawawi Berbagi Aspek Kebijakan Penegakan Pembangunan Hukum Pidana. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Menurut Barda Nawawi Arief, pembaharuan hukum pidana tidak

I. PENDAHULUAN. juga dapat menyengsarakan dan menghancurkan suatu negara. Dampak korupsi bagi negara-negara dengan kasus korupsi berbeda-beda bentuk,

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kebijaksanaan ( policy) merupakan kata istilah yang digunakan sehari-hari, tetapi karena

BAB I PENDAHULUAN. dengan yang lain. Manusia selalu ingin bergaul bersama manusia lainnya dalam. tersebut manusia dikenal sebagai makhluk sosial.

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana atau delik berasal dari bahasa Latin delicta atau delictum yang di

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2000 TENTANG RAHASIA DAGANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. diperlukan suatu aturan hukum tertulis yang disebut pidana. Adapun dapat ditarik kesimpulan tujuan pidana adalah: 2

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN a. Latar Belakang Pembangunan di bidang hukum merupakan salah satu bidang yang sangat menentukan bagi terlaksananya pembangunan bidang lainnya. Salah satu bidang yang berdampak luas adalah tindak pidana ekonomi karena berdampak luas bagi upaya pembangunan ekonomi oleh pemerintah. Berbagai persoalan dalam tindak pidana sebenarnya bukan merupakan persoalan baru, karena aktivitas perekonomian sangat sarat dengan berbagai terjadinya pelanggaran. Oleh sebab itu negara sebenarnya telah berupaya untuk melakukan tindakan atau kebijakan dalam upaya penanggulangannya, khususnya melalui sarana hukum pidana. 1 Selanjutnya pembangunan di bidang hukum harus ditujukan kepada penegakan hukum atau rule of law dalam rangka penghormatan dan pelaksanaan hak asasi manusia serta peningkatan harkat dan martabat manusia. Salah satu bidang penegakan hukum adalah bidang penegakan hukum pidana untuk memberikan perlindungan dan penegakan hak asasi manusia yang sudah dilanggar dalam suatu tindak pidana, serta untuk menciptakan rasa ketertiban dan keamanan dalam masyarakat. 2 Penegakan hukum pidana seperti juga penegakan hukum pada umumnya harus mencakup tiga komponen seperti yang dikemukakan oleh W Friedmann yakni substansi hukum, struktur hukum 1 Kebijakan Hukum Pidana, http://yoserwanhamzah.blogspot.com/2010/06/kebijakan-hukumpidana-dalam upaya.html, diakses pada tanggal 3 Juni 2011, pada pukul 09.03 WIB. 2 Purnadi Purbacaraka dan Halim A. Ridwan, Filsafat Hukum Pidana, (Jakarta: Rajawali Pers, 1982), hal. 1.

dan budaya hukum. 3 Ketiga komponen itu merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Substansi hukum atau materi hukum merupakan cikal bakal dari negara hukum dan penegakan hukum itu sendiri. Oleh sebab itu, pembentukan substansi hukum sangat menentukan dalam pembentukan negara hukum dan pelaksanaan aturan hukum itu sendiri. Kebijakan hukum pidana di bidang ekonomi itu sebenarnya sudah dimulai dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 7/Drt/Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi. 4 Oleh sebab itu, berbagai peraturan pidana di bidang ekonomi kemudian dikeluarkan lagi dalam berbagai sektor perekonomian. Walaupun berbagai peraturan perundang-undangan di bidang ekonomi sudah dibuat, namun dalam banyak hal terdapat berbagai permasalahan dalam pembentukan dan dalam substansi peraturan tersebut yang selanjutnya berdampak kepada penegakan hukumnya. Permasalahan tersebut adalah 5 : 1. Terkait dengan fungsi hukum pidana ekonomi sebagai fungsi primer atau sekunder; 2. Kebijakan dalam pidana dan pemidanaan; 3. Kebijakan dalam penyidikan dan koordinasi penyidikan; dan 4. Kebijakan dalam upaya pengembalian kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana tersebut. Perkembangan aktivitas perekonomian telah pula melahirkan bentuk kejahatan yang merugikan dan membahayakan kehidupan. Kalau sebelumnya orang 3 Purnadi Purbacaraka dan Halim A. Ridwan, Filsafat Hukum Pidana, (Jakarta: Rajawali Pers, 1982), hal. 1. 4 Ibid. 5 Kebijakan Hukum Pidana, http://yoserwanhamzah.blogspot.com/2010/06/kebijakan-hukumpidana-dalamupaya.html, Op.Cit.

tidak mengenal cyber crime, sekarang orang sangat akrab dengan dengan istilah itu dan sudah banyak yang menjadi korban. Kalau dalam dekade delapan puluhan orang tidak begitu risau dengan kejahatan perbankan, pasar modal, lingkungan hidup, dan berbagai kejahatan di bidang perekonomian lainnya, sekarang kejahatan itu sudah sangat merisaukan, bahkan secara kuantitas ataupun kualitas jauh lebih tinggi dari pada kejahatan konvensional. 6 Walaupun berbagai peraturan perundang-undangan di bidang ekonomi sudah ditetapkan, namun diasumsikan dalam banyak hal terdapat berbagai permasalahan dalam pembentukan dan dalam substansi peraturan tersebut yang selanjutnya berdampak kepada penegakan hukumnya. Permasalahan pertama adalah kebijakan perundang-undangan dalam mengatur tindak pidana di bidang ekonomi. Lahirnya hukum pidana ekonomi diawali dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 7/Drt/Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi. Undang-Undang ini lahir untuk mengatasi masalah ekonomi setelah penyerahan kedaulatan kepada Indonesia. Undang-undang ini pada dasarnya hanya merupakan saduran dari Undang-Unang Pidana Ekonomi di Belanda yakni Wet op de Economische Delicten. 7 Undang-undang ini sebenarnya menjadi wadah hukum pidana di bidang ekonomi dengan mengakomodasi perkembangan yang terjadi. Di Belanda, semua 6 John E Conklin, Criminology, Fourth Edition, (New York: Macmillian Publishing Company, 1994), hal. 29. 7 Kebijakan Hukum Pidana, http://yoserwanhamzah.blogspot.com/2010/06/kebijakan-hukumpidana-dalamupaya.html, Op.Cit.

tindak pidana di bidang ekonomi diakomodasikan ke dalam Wet op de Economische Delicten. 8 Namun di Indonesia hal itu tidak ditempuh, karena tindak pidana ekonomi yang lahir berikutnya dimuat dalam berbagai undang-undang, sehingga pengaturan tersebar dan tidak tertata dengan cermat. Akibatnya berbagai kebijakan hukum pidana yang diambil tidak konsisten. 9 Permasalahan berikutnya berkaitan dengan kebijakan dalam peraturan di bidang pidana ekonomi dalam kaitannya dengan fungsi hukum pidana. Secara umum hukum pidana dalam sistem hukum mempunyai fungsi sekunder artinya hukum pidana merupakan upaya hukum terakhir dalam penanggulangan terhadap berbagai permasalahan dalam masyarakat, termasuk dalam kejahatan di bidang ekonomi. Dengan fungsi ini berarti bahwa sepanjang ada upaya lain atau mekanisme lain baik melalui mekanisme keperdataan, mekanisme administratif atau mekanisme lainnya, maka hukum pidana tidak perlu campur tangan. Fungsi ini disebut juga dengan Ultimum Remedium. 10 Namun dalam berbagai peraturan perundang-undangan di bidang ekonomi, khususnya yang memuat aturan kepidanaan, tidak begitu jelas dan konsisten apakah fungsi subsider dari hukum pidana ini menjadi kebijakan yang utama dalam pembentukan dan penegakan hukum pidana di bidang ekonomi. Hal ini dalam penegakan hukum juga menimbulkan konsekuensi yakni tidak begitu jelasnya apakah penerapan sanksi administratif dan sanksi perdata dalam pelanggaran hukum di bidang ekonomi 8 A.Z. Abidin Farid dan Andi Hamzah, Bentuk-Bentuk Khusus Perwujudan Delik, (Jakarta: Rajawali Pers, 2006), hal. 1. 9 Ibid. 10 Soedarto, Hukum dan Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1986), hal. 30.

akan menghapuskan hukum pidana. Sehubungan dengan permasalahan ini dalam penegakan hukum sering terjadi kontroversi bilamana aparat hukum terkait menggunakan pendekatan hukum pidana dalam fungsi primer akan menimbulkan kritikan dari sebagaian anggota masyarakat. Sedangkan di pihak lain khususnya pelaku ekonomi menghendaki penyelesaian keperdataan atau administratif lebih baik. 11 Kemudian kecenderungan globalisasi membawa dampak bagi kondisi Negara Republik Indonesia. Pembangunan yang dilaksanakan mau tidak mau harus memperhitungkan kecenderungan global tersebut. Dalam hal ini termasuk dalam pengembangan hukum, instrumen-instrumen hukum internasional dan pandanganpandangan yang bersifat mendunia perlu memperoleh tempat dalam khasanah pemikiran hukum nasional. Ekspansi perdagangan dunia dan juga dilakukannya rasionalisasi tarif tercakup dalam GATT (the General Agreement on Tarif and Trade). GATT sebenarnya merupakan kontrak antar partner dagang untuk tidak memperlakukan secara diskriminatif, dalam perdagangan dunia. Kesepakatan-kesepakatan dilaksanakan pada kegiatan putaran-putaran, sejak 1947 hingga putaran Uruguay (1986) yang menarik karena berhasilnya dibentuk WTO (World Trade Organization) yang mulai 1 Januari 1995. WTO mencakup pula Persetujuan TRIPs (Agreement on Trade Related Aspect of Intellectual Property Rights, including Trade in Counterfeit Goods) atau Persetujuan Perdagangan berkaitan dengan Aspek Hak Atas Kekayaan Intelektual termasuk Perdagangan Barang Palsu, dan Indonesia telah meratifikasinya dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994), yang sudah berlaku sejak 1 Januari 2000. 11 Romli Atmasasmita, Pengantar Hukum Kejahatan Bisnis, (Jakarta: Kencana, 2003), hal. 165.

TRIPs menentukan adanya asas kesesuaian penuh (full compliance) tersebut, yang berarti negara-negara anggota harus membuat hukum nasionalnya mengenai Hak Atas Kekayaan Intelektual sesuai dengan ketentuan persetujuan TRIPs. Indonesia telah membuat dan menyempurnakan ketentuan undang-undang mengenai Hak Atas Kekayaan Intelektual pada tahun 1997, yaitu 12 : 1. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1997 tentang Perubahan Undang- Undang Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1987; 2. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1997 tentang Perubahan Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Paten; 3. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1997 tentang Perubahan Undang- Undang Nomor 19 Tahun 1992 tentang Merek. Di samping itu, Indonesia juga telah meratifikasi 5 Konvensi Internasional tentang Hak Atas Kekayaan Intelektual, yaitu 13 : 1. Konvensi Paris ( Keputusan Presiden Nomor 15 Tahun 1997); 2. Traktat Kerjasama Paten (Keputusan Presiden Nomor 16 Tahun 1997); 3. Traktat Merek (Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 1997); 4. Konvensi Bern (Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 1997); dan 5. Traktat WIPO Mengenai Hak Cipta (Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 1997). Dalam memasuki pasar internasional, maka perlindungan di bidang Hak Atas Kekayaan Intelektual tidak bisa ditawar-tawar lagi, sebab perlindungan Hak Atas Kekayaan Intelektual ini sebenarnya bagaikan keping mata uang yang memiliki dua sisi. Sisi pertama sebagai penopang pertumbuhan ekonomi nasional, sedangkan 12 Kebijakan Hukum Pidana Dalam Rangka Penanggulangan Tindak Pidana Hak Kekayaan Intelektual, http://supanto.staff.hukum.uns.ac.id/2010/01/08/kebijakan-hukum-pidana-dalam-rangkapenanggulangan-tindak-pidana-hak-kekayaan-intelektual/, diakses pada tanggal 3 Juni 2011, pada pukul 10.30 WIB. 13 Ibid.

sisi yang lain akan memberikan kepercayaan internasional, khususnya kepercayaan para investor terhadap iklim di Indonesia yang mampu melindungi bidang Hak Atas Kekayaan Intelektual. Sebab jika law enforcement di bidang Hak Atas Kekayaan Intelektual tidak mendapat prioritas tentunya barang-barang berkualitas akan enggan masuk pasar dalam negeri, apabila United State Trade Representative menempatkan Indonesia pada posisi priority watch list. 14 Selanjutnya merek merupakan bagian cakupan dari Hak Atas Kekayaan Intelektual, oleh karena terhadap merek harus dilekatkan pada suatu perlindungan hukum sebagai objek yang terkait dengan hak-hak perorangan atau badan hukum. Diperolehnya perlindungan hukum atas merek yang telah terdaftar merupakan salah satu fungsi dari pendaftaran merek. Asumsi ini didasarkan pada pandangan bahwa merek merupakan salah satu hak intelektual memiliki peranan penting bagi kelancaran dan peningkatan perdagangan barang atau jasa dalam kegiatan perdagangan dan penanaman modal. Selain itu merek juga memiliki peranan yang sangat penting dalam menjaga persaingan usaha yang sehat. 15 Merek dikonstruksikan sebagai salah satu bagian Hak Milik Industri (Industrial Property Rights) merupakan bagian dari sekumpulan hak yang dinamakan Hak Atas Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Rights) yang pengaturannya terdapat dalam 14 Irwan Muslim Amin, Masalah Sekitar Klaim Dalam Perdagangan Internasional yang Berhubungan Dengan HAKI, Makalah Seminar Peranan HAKI Dalam Era Persaingan Bebas, (Semarang : Fakultas Hukum UNDIP dan KADINDA Jawa Tengah, 16 September 1999). 15 Lihat Konsideran Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek bagian Menimbang butir b yang berbunyi: bahwa di dalam era perdagangan global, sejalan dengan konvensi-konvensi internasional yang telah diratifikasi Indonesia, peranan merek menjadi sangat penting, terutama dalam menjaga persaingan usaha yang sehat.

ilmu hukum dan dinamakan hukum Hak Atas Kekayaan Intelektual. 16 World Intellectual Property (WIPO) sebagai organisasi internasional yang mengurus bidang Hak Atas Kekayaan Intelektual memakai istilah intellectual property yang mempunyai pengertian luas dan mencakup, antara lain karya kesusasteraan, artistik maupun ilmu pengetahuan (scientific), pertunjukan oleh para artis, kaset, dan penyiaran audio visual, penemuan dalam segala bidang usaha manusia, penemuan ilmiah, desain industri, merek dagang, nama usaha, dan penentuan komersial (commercial names and designation), dan perlindungan terhadap persaingan curang. 17 Merek merupakan alat untuk membedakan barang dan jasa yang diproduksi oleh suatu perusahaan dengan maksud untuk menunjukkan ciri dan asal usulnya (Indication of Origin) suatu barang atau jasa yang sekaligus juga menjadi pembeda dari barang-barang dan jasa-jasa yang lain. 18 Pemberian merek terhadap barang dan jasa akan mempengaruhi citra perusahaan di mata konsumen atau dapat dikatakan akan menaikkan citra perusahaan. Pemberian merek ini juga akan menunjukkan jaminan kualitas (quality quarantee) dari barang dan jasa tersebut dan juga berusaha 16 Rachmadi Usman, Hukum Hak Atas Kekayaan Intelektual: Perlindungan dan Dimensi Hukumnya di Indonesia, (Bandung: PT. Alumni, 2003), hal. 1. 17 M. Djumhana dan R. Djubaedillah, Hak Milik Intelektual, Sejarah, Teori dan Prakteknya di Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2003) hlm. 20. Dahulu secara resmi sebutan Intellectual Property Rights (IPR) diterjemahkan dengan Hak Milik Intelektual atau Hak atas Kekayaan Intelektual dan di negeri Belanda istilah tersebut diintrodusir dengan sebutan Intellectuele Eigendomsrecht. GBHN 1993 maupun GBHN 1998 menerjemahkan istilah Intellectual Property Rights tersebut dengan Hak Milik Intelektual. Namun, Undang-undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional Tahun 2000-2004 yang merupakan penjabaran lebih lanjut dari GBHN 1999-2004 menerjemahkan istilah Intellectual Property Rights ini dengan Hak atas Kekayaan Intelektual, yang disingkat HaKI. Istilah Intellectual Property Rights ini berasal dari kepustakaan sistem hukum Anglo Saxon. 18 Budi Agus Riswandi dan Syamsudin M, Hak Kekayaan Intelektual dan Budaya Hukum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), hal. 84

mencegah terjadinya peniruan. Merek juga berfungsi sebagai sarana promosi (means of trade promotion) dan reklame bagi produsen atau pengusaha-pengusaha yang memperdagangkan barang atau jasa yang bersangkutan. 19 Pelanggaran di bidang hak merek dapat dijadikan sebagai perbuatan yang dilarang atau sebagai tindak pidana. Penentuan sebagai tindak pidana ini berarti merupakan kebijakan kriminal, yang menurut Sudarto adalah sebagai usaha yang rasional dari masyarakat untuk menanggulangi kajahatan. 20 Di dalam kebijakan kriminal ini mencakup kebijakan hukum pidana yang disebut juga sebagai kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana, karena di samping dengan hukum pidana untuk menanggulangi kejahatan dapat dengan sarana non-hukum pidana. Fungsi hukum pidana sebagai pengendalian sosial dimanfaatkan untuk menanggulangi kejahatan yang berupa pelanggaran Hak Atas Kekayaan Intelektual. Ini berarti norma-norma di bidang Hak Atas Kekayaan Intelektual ditegakkan dengan hukum pidana yang bersanksi negatif khususnya dalam menanggulangi pelanggaran hak merek sebagai kejahatan di bidang ekonomi. Undang-undang Merek di Indonesia dalam pelaksanaannya masih relatif baru dibandingkan dengan pelaksanaan Undang-undang Merek pada negara-negara maju. Undang-undang Merek mulai sejak tahun 1961 yakni Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1961 tentang Merek, kemudian pada tahun 1992 Undang-undang ini diganti dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1992 tentang Merek. Pada tahun 1997 19 Ibid. 20 Soedarto, Hukum dan Hukum Pidana.., hal. 158.

Undang-undang ini diganti lagi dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1997 tentang Merek. Kemudian pada tahun 2001 Undang-undang Merek diganti menjadi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek. Selanjutnya, Merek sebelum Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 telah mengalami tiga (3) kali perubahan, yang pertama diatur di dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1961, yang kedua diatur di dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1992, dan yang ketiga diatur dalam Undang-Undang Merek Nomor 14 Tahun 1997. Oleh karena perkembangan zaman maka Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1961 dinyatakan dan dinilai sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan dan kebutuhan. Alasan lainnya juga dapat dilihat di dalam Penjelasan Undang- Undang Merek Nomor 19 Tahun 1992 yang antara lain mengatakan : 1. Materi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1961 bertolak dari konsepsi merek yang tumbuh pada masa sekitar Perang Dunia II. Sebagai akibat perkembangan keadaan dan kebutuhan serta semakin majunya norma dan tatanan niaga, menjadikan konsepsi merek yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1961 jauh tertinggal. Hal ini semakin terasa pada saat komunikasi semakin maju dan pola perdagangan antarbangsa sudah tidak lagi terikat pada batas-batas Negara. Keadaan ini menimbulkan saling ketergantungan antar bangsa baik dalam kebutuhan, kemampuan maupun kemajuan teknologi dan lain-lainnya yang mendorong pertumbuhan dunia sebagai pasar bagi produk-produk merdeka. 2. Perkembangan norma dan tatanan niaga itu sendiri telah menimbulkan persoalan baru yang memerlukan antisipasi yang harus diatur dalam ini.

Di dalam Undang-Undang Merek Nomor 14 Tahun 1997 perbuatanperbuatan yang dilarang dalam ruang lingkup merek itu ada diatur di dalam Pasal 81- Pasal 84. Dalam hal ini perbuatan-perbuatan yang dilarang dalam ruang lingkup tindak pidana merek yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1997 itu sama dengan yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1992, hanya saja perbedaannya terdapat di dalam Pasal 82 dimana di dalam undang-undang Nomor 14 Tahun 1997 pada Pasal 82 telah disisipkan Pasal 82A dan Pasal 82B. Adapun perbuatan-perbuatan yang dilarang yang termasuk dalam ruang lingkup tindak pidana merek, antara lain : 1. Tiap perbuatan yang dilakukan oleh siapa pun juga dalam hal ini dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan tanda yang sama pada keseluruhannya dengan indikasi geografis milik pihak lain untuk barang yang sama atau sejenis dengan barang yang terdaftar. 2. Tiap perbuatan yang dilakukan oleh siapa pun juga dalam hal ini dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan tanda yang sama pada pokoknya dengan indikasi geografis milik pihak lain untuk barang yang sama atau sejenis dengan barang yang terdaftar. 3. Tiap perbuatan yang dilakukan oleh siapa pun juga dalam hal ini dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan tanda yang dilindungi berdasarkan indikasi asal pada barang atau jasa sehingga dapat memperdaya atau menyesatkan masyarakat mengenai asal barang atau jasa tersebut.

Sedangkan di dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 mengenai perbuatan-perbuatan yang dilarang di dalam ruang lingkup merek terdapat perbedaan pengaturannya dimana di dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1997 perbuatanperbuatan yang dilarang di dalam ruang lingkup merek ada di atur di dalam Pasal 81- Pasal 84 maka di dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 mengenai perbuatan-perbuatan yang dilarang dalam ruang lingkup merek ada diatur didalam Pasal 90-Pasal 94. Adapun perbuatan-perbuatan yang dilarang yang termasuk dalam ruang lingkup tindak pidana merek, antara lain: 1. Tiap perbuatan yang dilakukan oleh siapa pun juga dalam hal ini dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan merek yang sama pada keseluruhannya dengan merek terdaftar milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis yang diproduksi dan/atau diperdagangkan. 2. Tiap perbuatan yang dilakukan oleh siapa pun juga dalam hal ini dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan merek yang sama pada pokoknya dengan merek terdaftar milik pihak lain untuk barang dan/atau sejenis yang diproduksi dan/atau diperdagangkan. 3. Di dalam Pasal 92 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek ada terdapat 3 (tiga) ayat. Dimana pada ayat (1) perbuatan yang dilarang yang termasuk dalam ruang lingkup tindak pidana merek yaitu: Tiap perbuatan yang dilakukan oleh siapa pun juga dalam hal ini dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan tanda yang sama pada keseluruhan dengan indikasi-geografis milik pihak lain untuk barang sama atau sejenis dengan barang yang terdaftar. Pada ayat

(2) perbuatan yang dilarang yang termasuk dalam ruang lingkup tindak pidana merek yaitu: Tiap perbuatan yang dilakukan oleh siapa pun juga dalam hal ini dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan tanda yang sama pada pokoknya dengan indikasi-geografis milik pihak lain untuk barang yang sama atau sejenis dengan barang yang terdaftar. Dan pada ayat (3) perbuatan yang dilarang yang termasuk dalam ruang lingkup tindak pidana merek yaitu: Terhadap pencantuman asal sebenarnya pada barang yang merupakan hasil pelanggaran ataupun pencantuman kata yang menunjukkan bahwa barang tersebut merupakan barang tiruan dari barang yang terdaftar dan dilindungi berdasarkan indikasi-geografis. 4. Tiap perbuatan yang dilakukan oleh siapa pun juga dalam hal ini dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan tanda yang dilindungi berdasarkan indikasi-asal pada barang atau jasa sehingga dapat memperdaya atau menyesatkan masyarakat mengenai asal barang atau jasa tersebut. 5. Pada Pasal 94 ada terdapat 2 (dua) ayat, dimana pada ayat (1) mengenai perbuatan yang dilarang yang termasuk dalam ruang lingkup tindak pidana merek yaitu: Tiap perbuatan yang dilakukan oleh siapa pun juga dalam hal ini memperdagangkan barang dan/atau jasa yang diketahui atau patut diketahui bahwa barang dan/atau jasa tersebut merupakan hasil pelanggaran sebagaimana yang dimaksud pada pasal sebelumnya yaitu Pasal 90, Pasal 91, Pasal 92, dan Pasal 93. Dan pada ayat (2) mengenai perbuatan yang dilarang yang termasuk dalam tindak pidana merek disebutkan bahwa tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelanggaran.

Kemudian, dalam Acara Peringatan Hak Atas Kekayaan Intelektual sedunia di Istana Negara, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pidatonya menyampaikan bahwa istilah Hak Atas Kekayaan Intelektual yang selama ini dikenal sebaiknya dirubah dari Hak Atas Kekayaan Intelektual menjadi Hak Atas Kepemilikan Intelektual. 21 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan bahwa jika namanya hak kekayaan tidak begitu tepat dari konsep hukumnya, tetapi kalau hak kepemilikan intelektual, mempertegas hak milik seseorang sehingga jangan dicuri, dibajak dan disalahgunakan. 22 Selanjutnya Presiden juga menghimbau agar bagi pelanggar Hak Atas Kekayaan Intelektual memberikan hukuman yang berkepastian dan menimbulkan efek jera sehingga iklim usaha dan investasi tumbuh dengan baik di negara kita. 23 Dalam prakteknya, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 belum memberikan efek jera terhadap para pelanggar merek. Ini terbukti dari semakin meningkatnya kasus-kasus yang timbul akibat pelanggaran merek di Indonesia. Kerugian yang ditimbulkannya bukan hanya pada perorangan saja tetapi masyarakat atau konsumen juga turut dirugikan. Salah satu perubahan penting yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 yang menggantikan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1997 yang menimbulkan banyaknya pelanggaran merek sekarang ini adalah berubahnya delik biasa menjadi delik aduan. Sehingga untuk menindak terjadinya pelanggaran merek pihak Kepolisian maupun Penyidik Pegawai Negeri 21 SBY Tidak Sepakat Dengan Istilah Kekayaan Intelektual, http://www.detiknews.com/read/2011/04/26/134737/1625819/10/sby-tak-sepakat-dengan-istilahkekayaan-intelektual, diakses Pada Tanggal 9 Juli 2011 Pada Pukul 09.34 WIB. 22 Ibid. 23 Ibid.

Sipil (PPNS) Hak Atas Kekayaan Intelektual harus menunggu adanya pengaduan dari pihak yang memiliki merek walaupun sudah mengetahui bahwa merek tersebut telah memenuhi unsur pelanggaran merek. Berdasarkan uraian-uraian di atas, penulis tertarik untuk membahas formula kebijakan hukum pidana terhadap pelanggaran hak merek sebagai kejahatan ekonomi sebagai suatu karya ilmiah dalam bentuk tesis dengan judul Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Pelanggaran Hak Merek Sebagai Kejahatan Di Bidang Ekonomi. b. Permasalahan Berdasarkan uraian latar belakang, maka permasalahan yang akan diteliti dan dianalisis dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut : 1. Bagaimanakah kebijakan pidana (penal policy) di Indonesia mengenai tindak pidana dalam bidang merek? 2. Bagaimanakah pengaturan perundang-undangan yang berhubungan dengan pelanggaran pidana hak merek di Indonesia? 3. Bagaimanakah perkembangan penerapan kebijakan penanganan kejahatan merek? c. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui kebijakan pidana (penal policy) di Indonesia mengenai tindak pidana dalam bidang merek.

2. Untuk mengetahui pengaturan perundang-undangan yang berhubungan dengan pelanggaran pidana hak merek di Indonesia. 3. Untuk mengetahui perkembangan penerapan kebijakan penanganan kejahatan merek. d. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoritis dan praktis, yaitu: 1. Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat melalui sumbangsih pemikiran di bidang hukum Hak Kekayaan Intelektual (HKI) khususnya mengenai hukum merek di Indonesia. 2. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan acuan dalam pemahaman dan penyelesaian pelanggaran hak merek sebagai kejahatan ekonomi dalam perkembangan era globalisasi. e. Keaslian Penelitian Berdasarkan informasi dan penelusuran yang dilakukan oleh peneliti terhadap hasil-hasil penelitian yang pernah dilakukan di lingkungan Universitas Sumatera Utara, penelitian mengenai kebijakan hukum pidana dalam menanggulangi pelanggaran hak merek sebagai kejahatan di bidang ekonomi, belum pernah dilakukan penelitian pada topik dan permasalahan yang sama.

Dengan demikian penelitian ini dapat dikatakan penelitian yang pertama kali dilakukan, sehingga keaslian penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan secara akademis. f. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori Didalam melakukan suatu penelitian diperlukan adanya kerangka teoritis sebagaimana yang dikemukakan oleh Ronny H. Soemitro bahwa untuk memberikan landasan yang mantap pada umumnya setiap penelitian harus selalu disertai dengan pemikiran teoritis. 24 Selanjutnya tugas terpokok hukum adalah menciptakan ketertiban, sebab ketertiban merupakan suatu syarat dari adanya masyarakat yang teratur. Hal ini berlaku bagi masyarakat manusia dalam segala bentuknya. Oleh karena itu pengertian manusia, masyarakat dan hukum tak akan mungkin dipisah-pisahkan. 25 Agar tercapai ketertiban dalam masyarakat, diusahakanlah untuk mengadakan kepastian. Kepastian disini diartikan sebagai kepastian dalam hukum dan kepastian oleh karena hukum. Hal ini disebabkan karena pengertian hukum mempunyai dua segi. Segi pertama adalah bahwa ada hukum yang pasti bagi peristiwa yang kongkret, segi kedua adalah adanya suatu perlindungan hukum terhadap kesewenang-wenangan. 26 24 Ronny H. Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Ghali, 1982), hal. 37. 25 Soerjono Soekanto, Penegakan Hukum, (Jakarta: Binacipta, 1983), hal. 42. 26 Ibid.

Dengan demikian, inti kepastian hukum bukanlah terletak pada batas daya berlakunya menurut wilayah atau golongan masyarakat tertentu. Hakekatnya adalah suatu kepastian, tentang bagaimana para warga masyarakat menyelesaikan masalah hukum, bagaimana peranan dan kegunaan lembaga hukum bagi masyarakat, apakah hak dan kewajiban para warga masyarakat, dan seterusnya. 27 Menurut teori konvensional, tujuan hukum adalah mewujudkan keadilan (rechtsgerechtigheid), kemanfaatan (rechtsutiliteit) dan kepastian hukum (rechtszekerheid). 28 Dalam hal mewujudkan keadilan, Adam Smith (1723-1790), Guru Besar dalam bidang filosofi moral dan sebagai ahli teori hukum dari Glasgow University pada tahun 1750, 29 telah melahirkan ajaran mengenai keadilan (justice). Smith mengatakan bahwa : Tujuan keadilan adalah untuk melindungi diri dari kerugian (the end of justice is to secure from injury). 30 Menurut Satjipto Rahardjo : Hukum melindungi kepentingan seseorang dengan cara mengalokasikan suatu kekuasaan kepadanya untuk bertindak dalam rangka kepentingan tersebut. Pengalokasian kekuasaan ini dilakukan secara terukur, dalam arti, ditentukan keluasaan dan kedalamanya. Kekuasaan yang demikian itulah yang disebut hak. Tetapi tidak setiap kekuasaan dalam masyarakat bisa disebut sebagai hak, melainkan hanya kekuasaan tertentu yang menjadi alasan melekatnya hak itu pada seseorang. 31 27 Ibid. 28 Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), (Jakarta: PT. Gunung Agung Tbk, 2002), hal. 85. 29 Bismar Nasution, Mengkaji Ulang sebagai Landasan Pembangunan Ekonomi, Pidato pada Pengukuhan sebagai Guru Besar, USU Medan, 17 April 2004, hal. 4-5. Sebagaimana dikutip dari Neil Mac Cormick, Adam Smith on Law, Valvaraiso University Law Review, Vol. 15, 1981 hal. 244. 30 Ibid, sebagaimana dikutip dari R.L. Meek, D.D. Raphael dan P.G. Stein, e.d, Lecture of jurisprudence, Indianapolis, Liberty Fund, 1982, hal. 9. 31 Satjipto Rajardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, Cetakan ke V, 2000), hal. 53.

Kemudian Van Apeldoorn dalam bukunya Inleding tot de Studies van het Nederlands Recht, mengatakan: Tujuan hukum adalah untuk mengatur pergaulan hidup secara damai. Hukum menghendaki kedamaian. Kedamaian diantara manusia dipertahankan oleh hukum dengan melindungi kepentingan-kepentingan manusia yang tertentu, yaitu kehormatan, kemerdekaan, jiwa, harta benda, dan sebagainya terhadap yang merugikannya. Kepentingan individu dan kepentingan golongangolongan manusia selalu bertentangan satu sama lain. Pertentangan kepentingan-kepentingan ini selalu akan menyebabkan pertikaian dan kekacauan satu sama lain. Kalau tidak diatur oleh hukum untuk menciptakan kedamaian. Dan hukum pertahankan kedamaian dengan mengadakan keseimbangan antara kepentingan yang dilindungi, dimana setiap orang harus memperoleh sedapat mungkin yang menjadi haknya. 32 Sejalan dengan itu, Satjipto Rahardjo dalam bukunya Masalah Penegakan Hukum, menyatakan bahwa penegakkan hukum merupakan suatu usaha untuk mewujudkan ide-ide tentang keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan sosial menjadi kenyataan. Proses perwujudan ide-ide itulah yang merupakan hakikat dari penegakan hukum. 33 Hukum harus dilaksanakan dan ditegakkan. Setiap orang menginginkan dapat ditegakkannya hukum terhadap peristiwa kongkret yang terjadi. Dengan adanya kepastian hukum, ketertiban dalam masyarakat tercapai. 34 Tesis ini didasarkan pada teori tujuan hukum yakni mewujudkan keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum, dalam penanggulangan pelanggaran hak merek sebagai kejahatan di bidang ekonomi. 32 Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum (terjemahan Inleding tot de Studies van het Nederlands Recht, cetakan IV oleh M. Oetarid Sadino), (Jakarta: Noordhoff-Kolff NV, 1958), hal. 20. 33 Riduan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2004), hal. 181-182. 34 Ibid.

Selanjutnya kebijakan hukum pidana (penal policy) merupakan suatu upaya untuk mewujudkan peraturan hukum pidana dirumuskan lebih baik untuk memberi pedoman tidak hanya bagi masyarakat/warga negara melainkan juga penegak hukum untuk menerapkan aturan hukum pidana. 35 Menurut Soedarto, 36 politik hukum pidana mencakup: a. Kebijakan negara melalui badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam mencapai apa yang dicita-citakan. b. Usaha untuk mewujudkan peraturan yang baik sesaui dengan keadaan dan situasi pada waktu tertentu. menentukan 37 : Kemudian kebijakan hukum pidana merupakan garis kebijakan untuk a. Sejauh mana ketentuan hukum pidana yang berlaku perlu diubah dan diperbarui. b. Apa yang diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana. c. Cara bagaimana penyidikan, penuntutan peradilan dan pelaksanaan pidana harus dilaksanakan. Dari pengertian di atas dapat dikemukakan bahwa kebijakan hukum pidana merupakan upaya untuk memilih norma (law choosing) hukum/substansi hukum pidana, menetapkan (law-making) dan melaksanakan norma (law enforcing) hukum pidana. Semua upaya tersebut tentu saja dilaksanakan oleh aparat dan institusi yang berwenang untuk mencapai tujuan yang ditetapkan. Kebijakan hukum pidana yang dilakukan dalam suatu negara tentu saja harus sesuai dengan dasar filosifi, sosial dan 35 M. Hamdan, Politik Hukum Pidana, (Jakarta: Rajawali, 1997), hal. 19. 36 Soedarto, Hukum dan Hukum Pidana.., Op.Cit., hal. 151. 37 M. Hamdan, Politik Hukum Pidana...., Op.Cit., hal. 20.