Bagaimana Sebaiknya Orang Kristen Memandang Ritual Adat Batak?



dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. suku bangsa. Unsur-unsur kebudayaan itu dirangkai dalam istilah-istilah budaya

BAB II GAMBARAN UMUM PERNIKAHAN DALAM ADAT BATAK TOBA 2.1 SISTEM SOSIAL MASYARAKAT BATAK TOBA

Pertanyaan Alkitab (24-26)

Gereja. Tubuh Kristus HIDUP BARU BERSAMA KRISTUS

Pertanyaan Alkitabiah Pertanyaan Bagaimanakah Orang Yang Percaya Akan Kristus Bisa Bersatu?

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia memiliki banyak suku, dimana setiap suku memiliki

Perjamuan Kudus. Memperingati Kematian Tuhan HIDUP BARU BERSAMA KRISTUS

LANGKAH-LANGKAH MENUJU PERTUMBUHAN ROHANI

Baptisan. Mencuci Bersih Dosa HIDUP BARU BERSAMA KRISTUS

KRISTUS TURUN DALAM KERAJAAN MAUT

UKDW BAB I. Pendahuluan. 1. Latar Belakang Permasalahan

Mempunyai Pendirian Dalam Masyarakat

Rencana Allah untuk Gereja Tuhan

P E N D A H U L U A N

2

Surat Yohanes yang pertama

Siapakah Yesus Kristus? (4/6)

BAB I PENDAHULUAN. budaya yang pada awalnya merupakan unsur pembentukan kepribadiannya.

INJIL YESUS KRISTUS BAGI DUNIA

KEPASTIAN KESELAMATAN DALAM YESUS KRISTUS KEMATIAN ORANG PERCAYA PERSEKUTUAN PENDALAMAN ALKITAB

Dalam pelajaran ini saudara akan mempelajari... Definisi Keselamatan Permulaan Memasuki Keselamatan Akibat-akibat Keselamatan

SIAPAKAH? ; BAGAIMANAKAH? DAN MENGAPAKAH? sehubungan dengan. baptisan. telah dibaptis dalam kematian-nya? Dengan demikian kita telah dikuburkan

Pelayanan Mengajar Bersifat Khusus

oleh Gereja Iuhan Apayang Dilakukan untuk Allah

BAB I PENDAHULUAN. [Type text]

Setiap Orang Membutuhkan Pengajaran

Pdt. Gerry CJ Takaria

Setiap Orang Bisa Menjadi Pengajar

GEREJA KRISTEN NAZARENE PASAL-PASAL TENTANG IMAN

BAB IV PEMBAHASAN DAN ANALISIS. persaudaraan antar keluarga/gandong sangat diprioritaskan. Bagaimana melalui meja

Matematika Pernikahan

Seri Kedewasaan Kristen (2/6)

INJIL YESUS KRISTUS BAGI DUNIA. melainkan beroleh hidup yang kekal Yohanes 3:16. (Bahasa Indonesian)

LANGKAH-LANGKAH MENUJU PERTUMBUHAN ROHANI

GPIB Immanuel Depok Minggu, 13 Nopember 2016

Dalam Hal-hal Apa Gereja Tuhan Itu Seperti Satu Tubuh

TEMA 1 IBADAH YANG SEJATI DAFTAR TEMA KOTBAH

Keselamatan. Kasih Karunia HIDUP BARU BERSAMA KRISTUS

1 Langkah Pertama: Mengakui bahwa Allah adalah Pencipta Langit dan Bumi beserta segala isinya. Alam semesta yang sangat kompleks dan serasi, terutama

DOA. Prinsip: Doa dimulai dengan hubungan kita dengan Tuhan.

INJIL YESUS KRISTUS. Bagi Dunia

TUBUH KRISTUS. 1. Gambarkan dengan singkat datangnya Roh Kudus pada orang-orang percaya.

GPIB Immanuel Depok Minggu, 15 Nopember 2015 TATA IBADAH HARI MINGGU XXV SESUDAH PENTAKOSTA

GPIB Immanuel Depok Minggu, 18 Oktober 2015 TATA IBADAH HARI MINGGU XXI SESUDAH PENTAKOSTA

Allah Adalah Pola Bagi Hidup Kita

Seri Iman Kristen (4/10)

Hukum Allah. Hormatilah ayahmu dan ibumu. Jangan membunuh. Jangan Berzinah. Jangan Mencuri.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Budaya merupakan bagian dari kehidupan masyarakat, yang lahir dari

Demikianlah sekarang tidak ada penghukuman BAGI MEREKA YANG ADA DI DALAM Kristus Yesus. Siapa yang merdeka?

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

FIRMAN ALLAH. Ujian. Nama Alamat Kota Bangsa Kode Pos. Nilai. Lipat pada garis-garis ini

FIRMAN ALLAH Ujian. Nama Alamat Kota Bangsa Kode Pos. Nilai. Lipat pada garis-garis ini

Surat 1 Yohanes 5 (Bagian 43) Sunday, July 19, 2015

Mengapa memberitakan Injil? Kis.14:15-18 Ev. Jimmy Pardede, M.A.

TATA IBADAH NUANSA PEMUDA TEMA TEOLOGI DAN TEKNOLOGI

Basuh Kaki. Mendapat Bagian dalam Tuhan HIDUP BARU BERSAMA KRISTUS

Penelaahan Tiap Kitab Secara Tersendiri

GPIB Immanuel Depok Minggu, 17 Juli 2016 TATA IBADAH HARI MINGGU IX SESUDAH PENTAKOSTA

Eksposisi 1 Ptr. 2:9-10 Ev. Calvin Renata

KERAMAHAN TANPA SEKAT YEREMIA 28 : 5-9; MAZMUR 89 : 1-4, 15-18; ROMA 6 : 12-23; MATIUS 10 : 40-42

Hubungan Kita Dengan Allah

Roh Kudus. Penolong dan Penghibur HIDUP BARU BERSAMA KRISTUS

Pdt Gerry CJ Takaria

Surat 1 Yohanes 5 (Bag. 2) Wednesday, April 1, 2015

Yohanes 4. Dalam pelajaran ini saudara akan mempelajari. Yesus dan Perempuan YESUS DAN PEREMPUAN SAMARIA. Bacalah Yohanes 4:1-42

MARILAH KITA PELAJARI RENCANA KESELAMATAN MENURUT ALKITAB. Kasih Allah Untuk Orang Berdosa

1 1-4 Kepada yang kekasih saudara saya seiman Titus yaitu anak rohani

Pdt. Gerry CJ Takaria

Yesus Kristus, Tuhan 170

GEREJA PROTESTAN di INDONESIA bagian BARAT (G P I B) TATA IBADAH HARI KENAIKAN YESUS KRISTUS

Tata Ibadah Adven III

LITURGI MINGGU GEREJA KRISTEN INDONESIA JATIMURNI MINGGU, 3 SEPTEMBER 2017 Tema: MENYELAMI PEMIKIRAN ALLAH JEMAAT BERHIMPUN

Kami datang kepada-mu, kami datang kepadamu Bersyukur sebulat hati, kar na kasihmu besar

Kalender Doa Oktober 2016

UKDW BAB I PENDAHULUAN

PARTISIPAN : (Yang menjual anak) Nama : Alamat : Umur : Pekerjaan : Pendidikan : Jabatan dalam gereja/masyarakat :

Apa yang Dilakukan oleh Gereja Iuhan untuk Dirinya Sendiri

Surat 2 Yohanes (Bagian 102) Wednesday, September 21, 2016

GPIB Immanuel Depok Minggu, 14 Agustus 2016

GPIB Immanuel Depok Minggu, 21 Mei 2017

.. prosesi Alkitab dibawa masuk ke dalam ruang Ibadah diiringi instrumen...

-AKTIVITAS-AKTIVITAS

SURAT PERTAMA Dari Rasul YOHANES

BAB 1 PENDAHULUAN. Sistem perkawinan exogami merupakan sistem yang dianut oleh

GPIB Immanuel Depok Minggu, 08 November 2015

Seri Iman Kristen (7/10)

Gereja Menyediakan Persekutuan

Yesus Adalah Juru Selamat Manusia. pertanyaan : Mengapa manusia perlu seorang juru selamat? Apa artinya

APAKAH SAUDARA INGIN BERTUMBUH?

Jawaban Soal-soal Untuk Menguji Diri

Bab Duapuluh-Tiga (Chapter Twenty-Three) Sakramen (The Sacraments)

Siapakah Yesus Kristus? (3/6)

Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB)

TINGKAH LAKU ORANG KRISTEN

1 Yohannes 1. 1 Yohannes 2

Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB) Tata Ibadah Hari Minggu V Sesudah Pentakosta

AJAKAN BERIBADAH P2 Marilah kita berdiri untuk menyambut Firman Tuhan hadir di tengahtengah persekutuan kita.

TATA IBADAH HARI MINGGU I SESUDAH EPIFANIA PERSIAPAN

BAB IV MAKNA ARUH MENURUT DAYAK PITAP. landasan untuk masuk dalam bagian pembahasan yang disajikan dalam Bab IV.

LITURGI MINGGU GEREJA KRISTEN INDONESIA JATIMURNI MINGGU, 25 JUNI 2017 Tema: PENGHARAPAN DI TENGAH RATAPAN JEMAAT BERHIMPUN

Transkripsi:

Bagaimana Sebaiknya Orang Kristen Memandang Ritual Adat Batak? Ketika menghadiri acara pernikahan, acara pekabungan dan acara-acara lainnya dalam lingkup budaya Batak, kerap kita temui adanya perbedaan pandangan di antara mereka yang hadir di acara tersebut. Ada perbedaan dalam memandang ritual adat Batak yang diselenggarakan pada acara tersebut. Perbedaan ini terjadi bukan di antara mereka yang berbeda keyakinan melainkan justru terjadi di antara sesama yang mengaku penganut Kristen pemercaya Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat. Jadi di antara sesama pemeluk Kristen memiliki pandangan yang berbeda atas nilai-nilai yang terkandung di dalam ritual adat Batak. Kita sederhanakan saja bahwa ada dua kelompok orang Kristen Batak, yang satu memandang adat sesuatu yang sangat penting dan sakral, pantang untuk diubahkan. Dalam prinsip mereka, mereka lebih terima jika disebut pemalas bahkan ateis asalkan tidak disebut tidak beradat. Ini adalah penghinaan kejam bagi mereka karena menganggap mereka tidak hormat kepada orangtua / leluhur serta pelaku amoral. Kelompok kedua adalah orang Kristen Batak masih suka memakai marganya namun menjauhi dan menghindar dari kewajiban melakukan adat disebabkan karena acara-acara ritual adat kerap bercampur dengan kepercayaan tertentu, dan ini dianggap praktik okultisme. Okultisme adalah aliran yang mempercayai dan melakukan kegiatan dengan memanfaatkan kuasa kegelapan (yang bukan berasal dari Tuhan). Oleh karena itu kelompok kedua ini tidak mau kompromi untuk melakukan ritual adat Batak dan menganggap semuanya jelek. 1

Sepintas memperhatikan argumentasi-argumentasi mereka, maka keduanya memiliki kebenaran-kebenaran. Namun kebenaran sejati pastilah tidak akan berbenturan dengan kebenaran-kebenaran lainnya. Kebenaran relatif pastilah akan kalah jika berhadapan dengan kebenaran sejati. Mana pandangan yang benar dan sejati pastilah kebenaran ini akan tahan uji. Kelompok kedua selalu menganggap bahwa ritual adat Batak adalah ajaran nenek moyang (turun temurun) yang bertentangan dengan Injil. Mereka menunjuk pada Surat Paulus yaitu Kol. 2 : 8 yang berbunyi : Hati-hatilah, supaya jangan ada yang menawan kamu dengan filsafatnya yang kosong dan palsu menurut ajaran turun-temurun dan roh-roh dunia, tetapi tidak menurut Kristus. Jadi menurut mereka adat Batak adalah filsafat yang kosong, ajaran turun temurun dan mengandung roh-roh dunia, sehingga jangan sekali-kali dituruti karena bertentangan dengan ajaran Kristus. Filsafat dan adat Batak berasal dari nenek moyang yang bukan pemercaya Kristus sehingga tidak layak dan jangan dituruti. Siapa yang melakukannya dengan sendirinya akan berhubungan dengan kuasa gaib yang dipercaya oleh nenek moyang yang terdahulu. Bahkan ulos saja sebagai kain hasil tenunan khas Batak dipercaya dahulunya dibuat dengan perpaduan keahlian penenun dan doa kepada kuasa gelap sehingga jadilah ulos dengan warna dan bentuk yang khas menurut keperluan pemakainya. Kelompok pertama adalah kelompok orang Batak yang kental Habatahon - nya (habatahon = adat-istiadat Batak). Mereka menjunjung tinggi adat Batak sebagai norma yang mengajarkan etika bahkan jauh sebelum kekristenan dikenal dan diterima oleh bangsa Batak (orang Batak lebih suka menyebut diri mereka secara jamak dengan bangso / bangsa Batak daripada suku Batak). Jika adat Batak itu sebelumnya tidak pernah ada, maka orang Batak mungkin saja mengawini saudaranya sendiri, tidak sopan kepada orangtua, merendahkan salah satu gender, memandang rendah mahligai pernikahan dan lain-lain. Tetapi lewat adat Batak, orang Batak menyeleksi siapa yang pantas ia nikahi sehingga hubungan sedarah dapat dihindari, lewat Dalihan Natolu orang Batak tahu menghormati orangtua, saling menghormati antar gender dan memandang tinggi mahligai pernikahan bahkan sebelum kekristenan masuk menggarami dan menerangi kehidupan bermasyarakat bangsa Batak. Apa itu Dalihan Natolu? Dalihan Natolu adalah nilai-nilai budaya Batak yang diwariskan nenek moyang bersama dengan bahasa dan tulisan Batak, pakaian (ulos), alat musik (gondang) dan tarian (tor-tor) serta nama keturunan (marga). Dalihan Natolu adalah tatanan yang mengatur peran orang Batak dalam suatu event penting kehidupan bersama dengan kaumnya untuk menjalankan segala bentuk adat mulai dari kelahiran hingga pada kematiannya. Peran ini akan berganti-ganti sesuai dengan kedudukan orang tersebut di dalam kaumnya (Hula-Hula, Dongan Tubu atau Boru). Oleh karena itu pantaslah orang Batak memandang tinggi adat Batak sebagai norma yang patut dipelihara dan dilestarikan. Nilai-nilai yang terkandung di dalamnya sangat tinggi dan merupakan kekayaan budaya yang unik dan khas tiada 2

duanya. Jadi sebelum agama Kristen masuk, adat Batak telah memiliki norma yang baik dalam kehidupan bermasyarakat. Namun sebaik-baiknya adat/budaya ciptaan manusia tentulah memiliki kekurangan dan ketidaksempurnaan disana-sini. Orang Batak yang sudah diterangi Injil tentulah keberatan dengan ritual-ritual yang ia tidak mengerti dan curigai sebagai praktik okultisme. Mereka menolak keras praktik itu dan enggan terlibat dalam ritual adat karena sulit untuk menolak prosesi yang satu dan melakukan prosesi yang lain. Akhirnya mereka lebih baik menolak sekaligus daripada menjadi batu sandungan bagi keluarga besar yang menerima adat secara utuh. Semakin lama semakin banyaklah jumlah orang Batak yang menolak menjadi pelaku adat karena berbagai keberatan-keberatan beralaskan masalah kepercayaan. Salah satu contohnya adalah perdebatan saya dan beberapa teman lainnya di media sosial perihal ritual adat Batak. Demikian setelah saya copy-paste dan edit : A : Saya mengamati aktivitas adat orang Batak Kristen. Di satu kesempatan saya melihat ketika manortor di depan "Hula-hula", sikap kepala menunduk dan tangan menyembah. Pada kesempatan lain, saya melihat di satu acara adat, ketika "Hulahula" menyampaikan sepatah dua kata, tangan orang-orang pemilik acara juga dalam sikap menyembah. Bagaimana sikap ini bila dipandang dari sudut kerohanian Kristen? Janfrido Siahaan : Menurut saya, hal itu tak perlu dirisaukan bahkan dibesarbesarkan. Sikap kepala menunduk dan tangan seperti menyembah adalah bagian dari tarian, artinya kita hormat kepada Hula-Hula. Namun hal ini khan sifatnya temporer (hanya pada saat event budaya berlangsung). Konteksnya hanya pada acara adat dan keluarga. Jangan dibandingkan dengan konteks rohani, dimana penundukan diri kita kepada Tuhan haruslah total, setiap saat dan sangat utama di atas segala-galanya. Dalam konteks adat, jika ada hal-hal yang bertentangan dengan etika kristiani, kita bisa menolak permintaan Hula-Hula ataupun keharusan adat jika bertentangan dengan firman Tuhan. B : Dalam adat Batak dikenal Dalihan Natolu (tungku berkaki tiga) yaitu Somba marhula-hula, Elek marboru, Manat mardongan tubu. Pada Somba Marhulahula ada yang menafsirkan pemahaman ini menjadi menyembah hula-hula, namun ini tidak tepat. Memang benar kata Somba, yang tekanannya pada som berarti menyembah, akan tetapi kata Somba di sini tekanannya ba yang adalah kata sifat dan berarti hormat. Sehingga Somba Marhula-hula berarti hormat kepada Hula-hula. Hukum Kasih menurut Injil, khususnya hubungan sesama manusia tidak akan tercapai bila tidak ada rasa saling menghormati, atau suatu pihak lebih meninggikan diri dibandingkan orang lain. Jadi perlu keseimbangan peran untuk para-pihak yang akan menciptakan hubungan yang harmonis. Horass.. A : Jika memang utk menghormati, kenapa hanya Hula-hula yang dapat perlakuan demikian. Ada yg tahu latar belakangnya? Barangkali dari studi sejarah atau antropologinya? Janfrido Siahaan : Tulang / Hula-hula dihormati atas dasar kita mengasihi istri / ibu kita. Kedudukan Tulang / Hula-hula memang dapat posisi yang tinggi, namun setiap orang juga punya giliran kapan dia jadi Tulang / Hula-Hula, kapan dia jadi Boru / 3

Bere dan kapan dia jadi Dongan Tubu. Peran ini bergantian kita lakukan tergantung pada posisi kita di tengah kaum yang memiliki pesta. C : Setiap pagi bila pergi sekolah anak saya menundukan kepala dan mencium tangan saya. Itu disebabkan karena posisi saya sebagai orangtua lebih tinggi dan anak-anak menghormati saya! Apakah anak saya menyembah saya? A : Pak Janfrido, bentuk penghormatan kepada hulahula ditampilkan dengan upacara pemberian persembahan berupa tudutudu sipanganon. Coba Bapak praktekkan dulu acara itu tanpa tudutudu, pasti akan ada keributan besar. Berarti ada semacam kewajiban tak tertulis yang mengikat seseorang dalam penghormatan itu. Menghormati seseorang di dalam Kristus bukanlah sesuatu ikatan tapi kebebasan di dalam kasih. A : Setelah dikasih tudutudu sipanganon (makanan terdiri dari seekor babi yang utuh tampak fisik luarnya, disusun sedemikian rupa atas petunjuk Hula-hula), barulah Hula-hula "memberkati" berupa pemberian ulos yang diawali doa dalam bentuk umpasa (pantun Batak). Saat marumpasa mereka berkata "songon hata ni natuatua ma dohonon..." (Seperti apa yang telah dikatakan para tetua kita). Siapa tetua yang dimaksud? Leluhur orang Batak kan? Dan leluhur itu non Kristen kan? Masakan saya orang Kristen berdoa dengan mengacu pada doanya nenek moyang yang non-kristen? C : Tudutudu sipanganon hanyalah media, seberapa besar Tudutudu sipanganon itu ya tergantung kemampuan dan keikhlasan kita dalam memberi. Maka ada semboyan yang mengatakan, adat do na balga adat do nang na metmet! (Adat itu bukan bergantung kepada materinya besar atau kecil, tetapi rasa kekeluargaan). Ada kebebasan memberi di dalam kasih. D : Bagi orang Batak jangan sampai disebut naso maradat... (tidak memiliki adat). A : Lalu, karena leluhur itu non-kristen, maka acara yang dibuat itu diarahkan pada Tuhan yang mereka percayai pada waktu itu, tentu itu tak sama dengan Tuhan yang saya sembah. Jadi, mengapa saya masih harus kerjakan acara begituan? Janfrido Siahaan : "Songon hata ni natua-tua ma dohonon" maksudnya jangan ditafsir letterleugh / hurufiah. Yang dimaksudkan dengan itu adalah lakukanlah apa yang sudah diajarkan oleh orangtua kita dalam bersilaturahmi antar kerabat ; jadi lakukanlah seperti bagian apa yang harus dilakukan oleh Tulang / Hula-Hula, apa yg diwajibkan bagi Boru / bere, dan mana yg menjadi bagian Dongantubu. Orang Batak dari dulunya mengajarkan apa yang disebut "jambar" artinya "bagian" yang wajib disediakan / dilakukan oleh masing-masing peran (Hula-hula - Boru - Dongantubu) kepada anak-anak mereka sebagai pola silaturahmi / kekerabatan yg unik dan kaya. Ini adalah kekayaan budaya Batak sesungguhnya. Masalah besar dan kecilnya tergantung kemampuan dari keluarga yang bersangkutan / mengadakan pesta. Jambar yang besar tanggungjawabnya juga besar, jambar yang kecil jangan pula dianggap tiada. Artinya semua harus turut ambil bagian, baik tanggung jawabnya maupun sukacitanya. 4

A : Pak Janfrido pernah tidak menelusuri makna tudutudu sipanganon, yang harus dipotong dan disusun dan diserahkan dengan cara sedemikian rupa, yang tidak boleh putus ekornya? Janfrido Siahaan : Hehehehe..., saya pernah dengar. Namun kalau pun itu tetap ditaati bukan karena kita takut unsur magisnya karena toh sudah kita tolak dalam nama Yesus, melainkan karena sisi estetis budayanya. Kalo toh terjadi tidak sesuai dengan model yang diinginkan, perasaan kita tak terganggu seolah-olah itu berdosa. Makanan itu disediakan agar menjadi media sukacita yang dapat dinikmati bersama. Makanan itu didoakan dalam nama Yesus agar menjadi berkat, bukan kutuk hanya karena susunannya tdk sesuai. A : Penjelasan Pak Janfrido amat tepat jika kita hanya memandang segi materialnya. Dapatkah Bapak menjangkau lebih dalam ke sisi rohaninya? Mengapa ada aturan demikian? Siapa yang memotivasi lahirnya aturan itu. Mengapa jika aturan itu dijalankan seolah menjadi pelanggaran besar yang patut dicerca orang dan menjadi seperti aib di tengah msyarakat? Pikirkanlah Pak. Janfrido Siahaan : Senang dengan dialog ini lae A. Supaya kita sama-sama belajar. Menurut saya, sejak dari awal budaya kita ini tidak sempurna karena manusia sudah jatuh ke dalam dosa, maka budaya ciptaan manusia pun cemar oleh dosa karena terkandung motivasi yang tidak luhur. Jadi bisa saja aturan adat itu dahulunya bermotivasi untuk kultus individu ataupun maksud lainnya, tetapi kita saat ini tidak mau ikut larut dalam motivasi itu. Motivasinya bisa kita ganti, sebagaimana dahulu orang menyembah dewa Baal dengan sujud, kita juga menyembah dengan sujud tetapi hati kita bukan diisi oleh Baal namun oleh Allah yang kita kenal dalam nama Yesus. Kini motivasi kita dalam budaya / adat adalah silaturahmi kekerabatan supaya ada media kita menyalurkan kasih Tuhan kepada saudara-saudara. Saat ini mungkin banyak saudara-saudara kita bersikap seperti orang fasik, tetapi kiranya setelah mengenal kita lebih jauh lewat budaya / adat, mereka jadinya benar-benar merasakan kasih Allah dan terpanggil bertindak sesuai firman Tuhan. A : Sippp!!! Pak Janfrido sdh mulai masuk ke ranah rohani. Tahukah Pak Janfrido bahwa apa yang sekarang ini disebut oleh orang Batak Kristen sebagai adat (acara adatnya), adalah ritual yang juga dikerjakan oleh nenek moyang sebagai aturan agama? Artinya, aturan acara itu adalah sebuah aturan (mirip liturgis gereja) yang harus ditaati bila ingin diberkati oleh sesembahan nenek moyang. Nah, Pak Janfrido sekarang adalah seorang Kristen, tentu mengikuti liturgis gereja, tapi sayang sekali di luar gereja Bapak justru mengerjakan "liturgis" agama lain. Janfrido Siahaan : Ada bedanya "liturgi gereja" dengan "gaya hidup". Liturgi adalah alat / tools bagi jemaat memasuki hadiratnya Tuhan. Jadi liturgi hanyalah tradisi gereja yang juga dapat berubah. Demikian pula, adat adalah bagian dari tradisi, dapat diubah, dimodernkan dan dialihkan tujuannya, bukan lagi seperti semula kita tujukan pada sesembahan nenek moyang yang belum percaya Kristus Yesus. A : Bagus! Pas apa yang Bapak katakan. Liturgis gereja dpt berubah tapi hakekatnya tetap menyembah kepada Kristus. Demikianlah juga "liturgis" (maksudnya ritual penulis) acara adat, seberapa modern pun Anda mengubahnya, hakekatnya tetaplah 5

sebagai bentuk ketaatan/penyembahan kepada apa yg diimani oleh nenek moyang di masa sebelum kekristenan masuk. Mengenai tujuan, jika seperti yang Bapak Janfrido bilang tujuannya bisa diubah, berarti orang Buddha bisa memasang dupa di gereja dengan dalih itu untuk Yesus, begitukah maksud Bapak? Janfrido Siahaan : Kita saat ini hidup dalam era Perjanjian Baru, zamannya kasih anugerah, dimana kita menyembah dalam roh dan kebenaran. Jadi ibadah kita tidak lagi terikat pada posisi dan sikap jasmani, mau sujud kah, mau jongkok kah atau tiarap sekalipun tidak menjadi masalah, asalkan jiwamu memuji Tuhan Allah yg benar. Kebenaran diukur dari parameter motivasimu memuji Tuhan dan gaya hidupmu yang menomorsatukan Tuhan. Di Kelenteng atau di Mesjid sekalipun seseorang berdoa jika ia memanggil Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat, doanya didengar Tuhan karena Bait Allah sesungguhnya adalah tubuh / diri kita sendiri. Janfrido Siahaan : Kembali ke adat Batak, kita mangulosi seseorang (boru kita), bertujuan supaya kain ulos itu menghangatkan tubuh (dlm pengertian jasmani) dan pengingat (tanda kasih) baginya bahwa kita selalu mendoakan yang terbaik dari Tuhan terjadi atas mereka yang kita ulosi (pengertian rohani). Bukan kita yang memberkati, tetapi pengingat bahwa kita mengasihi dan selalu mendoakan. A : Tentang Buddha, saya tidak bicara soal tempatnya, tetapi bentuk penyembahannya. Alangkah ganjil bila orang mengaku percaya Kristus tetapi ia beribadah dengan cara orang Buddha atau cara Islam. Iya kan? Demikian pula ganjilnya, jika pak Janfrido sudah jadi Kristen tapi bapak tetap melakukan cara "ibadah" nenek moyang yang nyata-nyata tidak menyembah Kristus. Bisa saja Anda memodifikasinya, memberinya embel-embel Kekristenan dlsb. Tetapi hakekat tak berubah sama sekali, Anda hanya akan ganti sampul saja. A : Menilai hal praktisnya, kalau mau memberi tanda kasih, mengapa harus ulos? Ini jaman sudah modern, jadi mengapa tidak memberi bakal kebaya atau jas aja atau kasih mentahnya biar mereka pakai untuk hal yang paling mereka butuh? Kalau mau jadi saluran berkat, mengapa tidak mendoakan mereka saja atau mengajak mereka Pendalaman Alkitab sekali seminggu? Mengapa harus dengan cara nenek moyang yang sangat jauh ketinggalan zaman? Janfrido Siahaan : Dari penyampaian bapak di atas, saya menilai bahwa penghargaan bapak atas nilai-nilai budaya Batak sangat rendah. Bapak menilai bahwa nilai-nilai adat / budaya Batak tidak ada gunanya dan tidak perlu dilestarikan, digantikan saja dengan nilai-nilai modernitas. Perlu kita sadari pak, Kekristenan tidak bertujuan untuk menghapus budaya namun justru masuk lewat budaya. Budaya bisa jadi intu masuk bagi kekristenan untuk mentransformasi jiwa (jiwa orang Batak khususnya) untuk lebih dalam mengenal Tuhan. Jika kita mau menginjili / memperkenalkan firman Tuhan kepada orang Batak, namun kita memasang jarak dengan adat budayanya, itu sama saja seperti upaya memanggang sesuatu tetapi jauh dari kompornya. Alias tidak akan berhasil. Menyembah dalam roh dan kebenaran bukanlah embel-embel kekristenan, namun ini adalah esensi dalam beribadah orang Kristen. Sering sekali kita ribut pada assessori (adat / budaya) kehidupan padahal yang penting itu adalah pakaiannya (nilai hidup kita). 6

Demikianlah diskusi bagaimana orang Kristen memandang ritual adat Batak ini berakhir dalam sebuah media sosial. Namun sebelum tulisan ini berakhir sangatlah baik apabila saya juga melampirkan tulisan seorang hamba Tuhan perihal konteks di atas untuk menambah khasanah berpikir kita mengkritisi pandangan tentang adat khususnya ritual pada waktu makan bersama. Tulisan berikut di bawah ini pernah dipublikasi lewat media sosial juga berjudul Marsipanganon (Makan Bersama) ditulis oleh Pdt. Daniel T.A. Harahap dalam serial tulisan Diskusi Injil dan Adat. MAKAN BERSAMA (rap marsipanganon) sangat penting dan bermakna khusus bagi komunitas Batak. Tidak ada suatu pembahasan atau kegiatan penting yang boleh dilakukan sebelum makan bersama. Ingkon di ginjang ni sipanganon do pangahataion na marsintuhu. (percakapan penting harus dilakukan sesudah makan). Seperjamuan atau sapanganon adalah tanda persekutuan, kebersamaan dan perdamaian, jadi bukan sekadar aktifitas mengenyangkan perut saja. Ada bermacam bentuk makan bersama dalam kultur Batak. Ada tradisi mamboan sipanganon (membawa makanan ke rumah seseorang) dan ada pula mamio (mengundang orang datang untuk makan), memberi makan pihak atas (manulangi) dan atau pihak bawah (mangupa), memberi makan dalam rangka meminta sesuatu dan ada juga hanya untuk mentraktir (manggalang), makan merayakan sukacita (mangan haroan, mamoholi, pesta unjuk) atau menghayati kedukaan (mangan indahan sipaet-paet/ togar-togar). Kultur Batak secara umum menyebutkan makan sebagai mangan indahan na las (makan nasi hangat) dan manginum aek sitio-tio (minum air bening). Indahan na las dohot aek sitio-tio adalah simbol kehidupan penuh sukacita dan kejujuran. Makan bersama sebab itu bertujuan merayakan kehidupan dan kebenaran. Menarik, bahwa bahasa Batak sama-sama menggunakan kata las untuk menyebutkan hangat maupun sukacita. Kata tio berarti bening, digunakan untuk air maupun pandangan juga niat hati. Air yang bening adalah simbol transparansi, kejujuran dan ketulusan yang sangat dijunjung tinggi dan dihargai oleh kultur Batak. 1. TUDU-TUDU SIPANGANON Tudu-tudu sipanganon yang arti harafiahnya penanda perjamuan (bila dalam keadaan lengkap disebut na margoar atau bagian-bagian hewan yang diberi nama sesuai dengan yang berhak menerimanya dalam parjambaran atau pembagian daging hewan) adalah bagian-bagian tertentu hewan sembelihan yang diletakkan di tengah-tengah sebagai simbol penghormatan hasuhutan kepada undangannya khususnya hula-hula. Maksudnya: untuk menjamu hula-hula pihak tuan rumah tidak membeli daging kiloan (rambingan) tetapi rela mengorbankan nyawa satu ekor hewan. Sebagai balasnya hula-hula akan memberikan ikan (dengke) dan beras. (Dahulu disebut boras sipir ni tondi atau beras penguat roh, sekarang bagi komunitas Batak-Kristen harusnya disebut boras parbue atau beras buah kehidupan). Sering kita saksikan pada jaman sekarang sewaktu menyerahkan tudu-tudu sipanganon atau penanda perjamuan pihak keluarga akan beramai-ramai memegang 7

piringnya dan kalau mereka terlalu banyak jumlahnya akan saling memegang bahu, seolah-olah ada sesuatu yang hendak dialirkan. Padahal kesaksian orang tua-tua pada jaman dahulu tidak begitu. Tudu-tudu sipanganon cukup diletakkan di tengahtengah ruangan di hadapan undangan terhormat! Bagi kita orang Kristen lebih baik tudu-tudu sipanganon diletakkan di tengah tengah ruang agar tidak menimbulkan salah tafsir seolah-olah makanan itu memiliki kekuatan magis atau menjadi medium penyaluran berkat. Sebab tudu-tudu sipanganon itu hanyalah simbol penghormatan kepada undangan bahwa jamuan dilakukan dengan khidmad dan sepenuh hati. Tidak ada kekuatan magis yang hendak dialirkan di sana. Sebagai simbol pengormatan, tudu-tudu sipanganon seharusnya pertama kali disampaikan kepada Allah dan kemudian kepada manusia. Sebab itu dalam even pertemuan Kristen-Batak sebaiknya kita lebih dulu berdoa makan sebelum menyerahkan tudu-tudu sipanganon kepada hula-hula. Itulah tanda bahwa kita lebih taat dan hormat kepada Allah daripada kepada manusia (Kis 5:29) 2. SAPA Sapa adalah piring kayu berdiameter lebih-kurang 40 cm. Pada jaman dahulu keluarga nenek moyang kita makan duduk lesehan di lantai menggunakan satu sapa. Lazimnya 1(satu) rumah memiliki 1(satu) sapa. Bapa, ibu dan anak-anak makan di satu sapa dengan tertib, sopan dan hormat. Peranan sapa sebab itu mirip dengan meja makan di rumah kita orang moderen. 1 satu) rumah 1(satu) meja makan. Yang terpenting bukanlah sapa atau meja makan itu an sich tetapi kesatuan keluarga yang menggunakan sapa atau meja makan itu. Tentu saja kita sekarang tidak mungkin lagi kembali ke tradisi sapa. Namun acara makan dan doa bersama satu keluarga inti harus tetap kita hidupkan dan laksanakan. Mungkin bagus jika kita komunitas Kristen-Batak dapat menjadikan sapa sebagai simbol kebersamaan keluarga inti: ayah, ibu dan anak-anak. Sebab ada kecenderungan kita hanyut dengan ritus-ritus keluarga besar (na saompu, parmargaan) dan mengabaikan peranan keluarga inti sebagai dasar atau tiang kehidupan. 3. MARMEME Pada jaman dahulu ibu-ibu marmeme, mengunyahkan makanan untuk anak-anaknya yang masih kecil. Makanan lebih dulu dikunyah si ibu kemudian secara cepat dan trampil langsung dimasukkan ke mulut si anak kecil. Persis seperti burung atau hewan lainnya. Bagi kita orang moderen mungkin ini dianggap menggelikan, kurang higienis atau jorok. Namun pada jaman dahulu marmeme adalah wajar dan merupakan tanggungjawab orangtua. Sebagaimana menyusui, marmeme sangat meneguhkan hubungan emosional antara orangtua. Ada satu umpama yang dalam tentang marmeme: dompak marmeme anak, dompak marmeme boru. Artinya tidak ada perbedaan antara anak laki-laki atau anak perempuan. 4. MANULANGI & MANGUPA-UPA Kultur Batak mengenal istilah manulangi, yaitu menyampaikan makanan yang lezat kepada orangtua atau hula-hula. Dahulu motivasi memberi makanan ini selain untuk menyenangkan hati orangtua atau hula-hula, juga untuk menyampaikan permohonan 8

kepada yang diberi makan. Apalagi ketika memberi sulang-sulang hariapan atau perjamuan purnabakti atau pensiun dari adat kepada seorang tua, sebetulnya lebih kental dengan kepentingan anak-anak daripada kepentingan orangtua yang sudah lanjut usia itu. Disinilah iman Kristen harus menerangi dan menggarami kultur manulangi. Acara manulangi haruslah berdasarkan kasih agape atau kasih tanpa pamrih (holong na so marpambuat) dan hormat tanpa syarat (hormat na so marsiala) kepada orangtua. Mangupa-upa adalah kebalikan dari manulangi. Yaitu dari orangtua kepada anak, dari hula-hulakepada boru. Tujuannya terutama untuk menguatkan, meneguhkan dan memberi semangat kepada anak atau boru yang sakit, terkejut atau baru lepas dari bahaya. Pada jaman pra-kristen orang yang sakit, lemah, terkejut, celaka dianggap ditinggalkan oleh roh-nya (tondi-nya) karena itu perlu diupa-upa agar rohnya kembali: mulak tondi tu ruma. Sebab itulah nenek moyang kita kadang memberikan beras ke atas kepala anak atau borunya. Istilah boras si pir ni tondi menunjuk kepada pemahaman bahwa tondi (roh) si sakit harus dikuatkan dan didinginkan. Istilah boras si pir ni tondi ini tidak cocok lagi dengan kekristenan kita yang menghayati kesatuan pribadi (tubuh-roh). Selain itu bagi kita yang beriman kepada Kristus makanan (sipanganon) tidak lagi dianggap memiliki kekuatan magis atau menjadi medium berkat. Sumber kesembuhan, kekuatan dan keselamatan kita adalah Tuhan Yesus Kristus yang telah mati dan bangkit. Boras hanyalah simbol hahorason! Sebab itu acara mangupa-upa bagi kita adalah kebaktian atau ibadah memohon kesembuhan atau kekuatan kepada Allah Bapa, AnakNya Tuhan Yesus Kristus dan Roh Kudus. Makanan upa-upa hanyalah simbol kasih dan perhatian kita kepada yang sakit dan bukan medium (parhitean) berkat. Dalam mangupa-upa perhatian kita harus tetap tertuju kepada Kristus yang tersalib dan bangkit. Jelas dan tegas bagi kita Kristus itulah satu-satunya sumber kehidupan. 5. MANGAN INDAHAN NA SINAOR atau PARPANGANAN NA BADIA Kultur Batak mengenal apa yang dinamakan mangan indahan na sinaor, atau perjamuan pendamaian (pemulihan hubungan). Jika ada dua orang atau kelompok yang terlibat konflik maka mereka akan menyelesaikan konflik melalui makan bersama yang biayanya dipikul oleh kedua belah pihak. Bagi kita komunitas Kristen- Batak tentu tidak ada larangan menyelenggarakan makan bersama sebagai tanda perdamaian ini. Namun, kita harus menyadari bahwa sesungguhnya Kristuslah yang mendamaikan kita (Efesus 2:13-18). Karena itu Perjamuan Kudus (ekaristi) itulah sesungguhnya perjamuan pendamaian yang sejati. Melalui Perjamuan Kudus pertama-tama dan terutama kita diperdamaikan dengan Allah dan sebagai dampaknya diperdamaikan dengan sesama, diri sendiri dan alam lingkungan kita. Dalam Perjamuan Kudus tubuh dan darah Tuhan hadir dalam dan bersama-sama roti dan anggur yang kita makan. (con-substansia). Roti dan anggur tidak berubah wujud namun tubuh dan darah Tuhan hadir bersama-sama roti dan anggur itu. Sebab itu pada saat Perjamuan kita memang benar-benar menerima tubuh dan darah Tuhan Yesus: sumber pengampuan dosa, pendamaian, kehidupan yang kekal, sukacita, dan damai sejahtera kita. Dalam gereja purba (I Kor 11:17-22) dikenal perjamuan kasih (agape). Sebelum Perjamuan Kudus, maka jemaat lebih dulu makan bersama, yang bahannya dikumpulkan dari yang dibawa oleh masing-masing anggota. Lambat-laun tradisi ini menghilang. Namun sebenarnya baik jika dihidupkan kembali oleh gereja- 9

gereja berlatar belakang budaya Batak dan modernitas yang sangat haus akan kebersamaan dan persekutuan (communion). Pertanyaan terakhir: siapa yang paling berat menanggung biaya tradisi makan (marsipanganon) Batak ini? Apakah jamuan-jamuan makan ini membebaskan (meringankan) atau malah memberatkan (menekan) komunitas Kristen-Batak itu sendiri terutama yang ekonominya lemah? 6. SEMUA BOLEH TETAPI TIDAK WAJIB Apa kata Alkitab tentang makanan? Yesus mengatakan bahwa segala sesuatu boleh dimakan, yang najis bukanlah apa yang masuk melalui mulut tetapi apa yang keluar dari mulut (perkataan). (Mat 15:11) Segala sesuatu dapat dimakan dan diminum, tidak ada yang haram. (Kol 2:16). Kerajaan Allah bukan soal makanan atau minuman. (Roma 14:17). Tidak ada jenis makanan yang mendekatkan atau menjauhkan diri kita dari Allah (I Kor 8:8-10). Kita boleh makan dan minum apa saja (termasuk daging bercampur darah, atau alkohol) dengan ucapan syukur. Dan kita tidak diijinkan menjadikan kebebasan itu sebagai batu sandungan bagi orang lain. Kita harus menguasai diri dan tidak boleh diperhamba oleh makanan atau minuman (termasuk bir atau anggur!). Karena itu kita juga tidak boleh menjadikan sangsang (daging babi yang dicincang dan dimasak memakai darah) sebagai tanda kekristenan kita. Ingat: tanda bukti kekristenan kita yang sesungguhnya adalah kebenaran, damai sejahtera dan sukacita abadi oleh Roh Kudus. (Roma 14:17). SEKIAN KIRANYA MEMBERKATI KITA SEMUA. Penulis : Pdt. Janfrido M. Siahaan, ST, M.Pd.K, dosen di STT, mengajar mata kuliah Antropologi dan Pengantar Teologi Sistematika, tinggal di Bekasi, Jabar. 10