PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PERUSAHAAN PERS TERHADAP PERBUATAN TRIAL BY THE PRESS. Oleh: Ismaya Dwi Agustina. IKIP Widya Darma

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia sebagai negara hukum berdasarkan Pancasila dan UUD

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, baik tingkat kemajuan dan taraf berpikirnya dapat dicermati.

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1999 TENTANG PERS

Etika Jurnalistik dan UU Pers

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1999 TENTANG PERS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

BAB I PENDAHULUAN. oleh berbagai pihak. Penyebabnya beragam, mulai dari menulis di mailing list

BAB I KETENTUAN UMUM

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1999 TENTANG P E R S DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 32/PUU-VI/2008 Tentang Iklan Kampanye Dalam Pemilu

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017

BAB III PENUTUP. pertanggungjawaban pidana pengganti (vicarious liablity) sebagaimana dimaksud

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

BAB I PENDAHULUAN. fase dimana mengalami pasang surut tentang kebebasan pers. Kehidupan pers

Hukum dan Pers. Oleh Ade Armando. Seminar Nasional Mengurai Delik Pers Dalam RUU KUHP Hotel Sofyan Betawi, Kamis, 24 Agustus 2006

MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu

KETENTUAN-KETENTUAN HUKUM PIDANA YANG ADA KAITANNYA DENGAN MEDIA MASSA. I. Pembocoran Rahasia Negara. Pasal 112. II. Pembocoran Rahasia Hankam Negara

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DAN PENADAHAN. dasar dari dapat dipidananya seseorang adalah kesalahan, yang berarti seseorang

BAB III PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PENCEMARAN NAMA BAIK AKIBAT TRIAL BY THE PRESS. 3.1 Pertanggungjawaban Dalam Hukum Pidana

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkembangan jaman mengakibatkan semakin banyaknya kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. manusia untuk mengeluarkan pendapatnya secara bebas. Hal ini tertuang dalam

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II LANDASAN TEORI. Adapun yang menjadi tujuan upaya diversi adalah : 6. a. untuk menghindari anak dari penahanan;


BAB I PENDAHULUAN. dapat di pandang sama dihadapan hukum (equality before the law). Beberapa

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat meliputi aspek sosial, politik, agama, budaya, dan moralitas

Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis)

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1999 TENTANG PERS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Toddy Anggasakti dan Amanda Pati Kawa. Abstrak

BAB II PERATURAN YANG BERKAITAN DENGAN PORNOGRAFI DALAM HUKUM POSITIF DI INDONESIA SEBELUM LAHIRNYA UU NO. 44 TAHUN 2008 TENTANG PORNOGRAFI

BAB III SANKSI PIDANA ATAS PENGEDARAN MAKANAN TIDAK LAYAK KONSUMSI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

BAB I PENDAHULUAN. penetapan status tersangka, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam

MATRIKS PERBANDINGAN PERUBAHAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI TRANSAKSI ELEKTRONIK DENGAN

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

II. TINJAUAN PUSTAKA. wajib untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pertanggungjawaban

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I

2008, No d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c perlu membentuk Undang-Undang tentang Porno

BAB I PENDAHULUAN. melalui media massa maupun media elektronik seperti televisi dan radio.

Ancaman UU ITE terhadap Pengguna Media Sosial

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008

BAB I PENDAHULUAN. Kebebasan Pers. Seperti yang sering dikemukakan, bahwa kebebasan bukanlah semata-mata

BAB I PENDAHULUAN. Undang Dasar 1945, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi

BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1999 TENTANG PERS

PERTANGGUNG JAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENCEMARAN NAMA BAIK (SUATU KAJIAN TERDAPAT PASAL 310 KUHP)

tulisan, gambaran atau benda yang telah diketahui isinya melanggar kesusilaan muatan yang melanggar kesusilaan

BAB I PENDAHULUAN. itu terjadi pada skala lokal, regional maupun nasional.

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tata Cara Pelaksanaan Putusan Pengadilan Terhadap Barang Bukti

BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. suatu perkara disandarkan pada intelektual, moral dan integritas hakim terhadap

BAB V PENUTUP. unsur-unsurnya adalah sebagai berikut : dapat diminta pertanggung jawaban atas perbuatannya.

a. PENDAHULUAN Oleh R. Hari Purwanto ABSTRAK

I. PENDAHULUAN. kaya, tua, muda, dan bahkan anak-anak. Saat ini penyalahgunaan narkotika tidak

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi

BAB II NAMA BAIK. Asas hukum praduga tak bersalah, dikenal sejak abad ke-16 di dalam

TINDAK PIDANA DI BIDANG MEDIA SOSIAL Oleh : Prof. Dr. H. Didik Endro Purwoleksono, S.H., M.H.

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pasal 1 angka 11 Bab 1 tentang Ketentuan Umum Kitab Undang-Undang Hukum

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. peraturan perundangan undangan yang berlaku dan pelakunya dapat dikenai

S I L A B I A. IDENTITAS MATA KULIAH NAMA MATA KULIAH : HUKUM PIDANA PERS STATUS MATA KULIAH : WAJIB KONSENTRASI KODE MATA KULIAH : JUMLAH SKS : 2

Perbuatan yang Dilarang dan Ketentuan Pidana UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK (ITE)

Media Siber. Imam Wahyudi Anggota Dewan Pers

BAB I PENDAHULUAN. baik. Perilaku warga negara yang menyimpang dari tata hukum yang harus

peradilan dengan tugas pokok untuk menerima, memeriksa, mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Dalam hal ini, untuk

Kode Etik Jurnalistik

BAB I PENDAHULUAN. pemberantasan atau penindakan terjadinya pelanggaran hukum. pada hakekatnya telah diletakkan dalam Undang-Undang Nomor 48 tahun

Dr. Mudzakkir, S.H., M.H Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. hukum dan pemerintahan. Hal ini ditegaskan dalam Undang-Undang Dasar

Lex et Societatis, Vol. II/No. 8/Sep-Nov/2014. PENCEMARAN NAMA BAIK YANG DILAKUKAN OLEH PERS 1 Oleh: Eunike Korua 2

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

DAFTAR PUSTAKA. Remaja Rosdakarya, Bandung, Adji, Oemar Seno, Perkembangan Delik Pers di Indonesia, Erlangga,

PENTINGNYA DEKRIMINALISASI PERS DALAM RUU KUHP

BAB I PENDAHULUAN. melalui media cetak tetapi juga media kominikasi elektronik. oleh masyarakat untuk mencari dan mengetahui informasi

BAB I PENDAHULUAN. macam informasi melalui dunia cyber sehingga terjadinya fenomena kejahatan di

I. PENDAHULUAN. dengan alat kelamin atau bagian tubuh lainnya yang dapat merangsang nafsu

I. PENDAHULUAN. Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 Perubahan ke-4 Undang-Undang Dasar Hal ini. tindakan yang dilakukan oleh warga negara Indonesia.

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi dan Subjek Hukum Tindak Pidana

BAB II TINJAUAN UMUM PENGATURAN, PERTANGGUNG JAWABAN PERS, PENCEMARAN NAMA BAIK

PERKEMBANGAN RUMUSAN TINDAK PIDANA YANG TERKAIT DENGAN KARYA JURNALISTIK DALAM RUU KUHP. Dr. Mudzakkir, S.H., M.H

PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI DALAM TINDAK PIDANA KEHUTANAN. Oleh: Esti Aryani 1 Tri Wahyu Widiastuti 2. Abstrak

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang Undang Perlindungan Anak

I. PENDAHULUAN. didasarkan atas surat putusan hakim, atau kutipan putusan hakim, atau surat

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 76/PUU-XV/2017

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

Lex Crimen Vol. V/No. 1/Jan/2016. Pangemanan, SH, MH; M.G. Nainggolan, SH, MH, DEA. 2. Mahasiswa pada Fakultas Hukum Unsrat, NIM,

SURAT TUNTUTAN (REQUISITOIR) DALAM PROSES PERKARA PIDANA

I. PENDAHULUAN. nyata. Seiring dengan itu pula bentuk-bentuk kejahatan juga senantiasa mengikuti perkembangan

RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 016/PUU-IV/2006 Perbaikan 11 September 2006

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam konstitusi Indonesia, yaitu Pasal 28 D Ayat (1)

BAB I PENDAHULUAN. bidang teknologi informasi dan komunikasi, pers telah memberikan andil yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Penuntutan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hlm ), hlm.94.

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN

Transkripsi:

28 PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PERUSAHAAN PERS TERHADAP PERBUATAN TRIAL BY THE PRESS Oleh: Ismaya Dwi Agustina IKIP Widya Darma Abstrak: Pers selain bertugas memantau penegakan hukum, ternyata juga memiliki kemampuan untuk menggiring massa menciptakan vonis hukum melalui opiniataukomentar.trial by the press atau pengadilan oleh pers merupakan praktek jurnalistik yang menyimpang. Pers dapat membentuk opini umum, tidak terkecuali terhadap seseorang yang sedang diadili. Pemberitaan yang sugestif akan merugikan si terdakwa, karena masyarakat sudah mempunyai asumsi tersendiri mengenai dirinya sebelum putusan dijatuhkan oleh hakim.mengenyampingkan ketentuan bahwa seorang harus dianggap tidak bersalah sepanjang belum adaputusan hakim yang pasti dan tetap merupakan perbuatan trial by the press. Perusahaan pers dapat dimintai pertanggungjawabkan atas perbuatan trial by the press oleh karyawan dari perusahaan pers yang bersangkutan. Ketika seorang wartawan dari suatu perusahaan pers menulis berita yang ternyata menyebabkan trial by the press, maka berdasarkan pasal 18 ayat (2) UU Pers, yang dapat dimintai pertanggungjawaban adalah perusahaan pers. Kata Kunci: Trial By The Press, Asas Praduga Tak Bersalah, Pertanggungjawaban Pidana, Perusahaan Pers. PENDAHULUAN Kebebasan pers secara tersirat tercantum dalam Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi sebagai berikut: Kemerdekaan berserikat danberkumpul mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dalam Undang- Undang. Pasca reformasi, masalah trial by the press di Indonesia sering ditemui. Trial by the press merupakan peradilan oleh pers, dimana pers berperan sebagai Polisi, Jaksa, Hakim dan aparat hukum lainnya. Trial by the press sebagaimana dikutip dari Laporan Penelitian Hukum BPHN Tahun 2013, merupakan kegiatan dimana pers bertindak sebagai peradilan

29 mencari bukti-bukti, menganalisa, dan mengkaji sendiri untuk kemudian berakhir dengan memberi putusan.ditengah masyarakat yang telah mengalami krisis kepercayaan terhadap hukum, khususnya terhadap sistem peradilan termasuk juga hakim. Realitas menunjukkan bahwa peradilan oleh pers lebih diminati dan mendapat perhatian publik dibandingkan dengan peradilan dalam arti yang sesungguhnya. 1 Pemberitaan pers atas suatu kasus pidana atau perdata yang tengah berjalan merupakan hak pers untuk menyampaikan informasi terkait jalannya proses penegakan hukum kepada masyarakat. Pers yang seharusnya berfungsi untuk menyalurkan informasi, justru beralih menjadi wadah untuk memberikan efek penghakiman melalui pemberitaanpemberitaannya. Penghakiman oleh pers ini biasanya terkait dengan seseorang yang diduga terlibat dalam sebuah kasus. Padahal, status orang itu belum diputus oleh pengadilan, bersalah atau tidak. Termasuk dalam kategori trial by the press ialah kasus PT. Asian Agri bersama dengan 11 perusahaan lainnya (kelompok bisnis Asian Agri) menggugat Majalah Tempo di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. PT. Asian Agri merasa dirugikan terhadap pemberitaan Tempo dalam majalah edisi 15 sampai 21 Januari 2007 dengan cover berjudul Akrobat Pajak. PT. Asian Agri menilai pemberitaan Tempo bersifat menghakimi atau trial by the press karena menyatakan PT. Asian Agribersalah melakukan tindak pidana penggelapan pajak. 2 Kasus tersebut berakhir dengan kekalahan Majalah Tempo. Dalam amar putusan, Ketua Majelis Hakim Panusunan Harahap menyatakan bahwa pemberitaan Tempo mengenai penggelapan Pajak kelompok usaha Asian Agri masuk dalam kategori penghinaan. Pengadilan memerintahkan Tempo membayar uang ganti rugi sebesar 50 juta rupiah. Selain membayar ganti rugi, majalah Tempo juga diperintahkan majelis hakim untuk menyampaikan permohonan maaf disejumlah media cetak nasional. Dalam pertimbangannya majelis hakim menyatakan, pemberitaan majalah tempo mengenai penggelapan pajak Asian Agri dengan ilustrasi akrobatik Sukanto Tanoto dianggap sebagai bentuk penghinaan. Selain itu Majelis hakim juga menilai, laporan investigasi Tempo 1 Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM RI Tahun 2013, http://www.bphn.go.id/data/documents/laphir_integrasi_cetak.pdf, diakses pada tanggal 20 Juli 2016, h. 30. 2 Pemberitaan Dinilai Tendesius, Asian Agri Gugat Tempo, http://www.hukumonline.com/ berita/baca/hol18645/pemberitaan-dinilai-tendesius-asian-agri-gugat-tempo, diakses pada tanggal 20 Juli 2016.

30 dengan pengakuan seorang saksi tentang manipulasi pajak yang dilengkapi sejumlah dokumen tersebut tidak menggunakan asas praduga tak bersalah dan tidak seimbang. 3 Dalam Pasal 5 ayat (1) UU Pers menyatakan: Pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama, dan rasa kesusilaan masyarakat, serta asas praduga tak bersalah. Serta penjelasan Pasal 5 ayat (1) UU Pers menegaskan bahwa pers nasional dalam menyiarkan informasi, tidak menghakimi atau membuat kesimpulan kesalahan seseorang, terlebih lagi untuk kasuskasus yang masih dalam proses peradilan, serta dapat mengakomodasikan kepentingan semua pihak yang terkait dalam pemberitaan tersebut. Dalam praktek bagi wartawan hal tersebut menjadi penting untuk diperhatikan karena penanggung jawab perusahaan pers yang tidak menghormati norma-norma agama, kesusilaan dan asas praduga tak bersalah merupakan suatu pelanggaran terhadap asas profesional dan supremasi hukum yang diatur dalam etik profesi. Selain itu pengabaian terhadap asas praduga tak bersalah juga dapat dituntut sebagai perbuatan melanggar hukum yang dapat diancam dengan sanksi pidana denda berdasarkan ketentuan pidana pasal 18 ayat (2) UU Pers. 4 Sejauh ini asas praduga tak bersalah dianggap hanya berlaku bagi kegiatan di dalam masalah yang berkaitan dengan proses peradilan pidana. Sehingga terjadi ketidakpedulian masyarakat terhadap asas tersebut, kecuali apabila terjadi hal-hal yang tidak menyenangkan yang menimpa dirinya. 5 Menurut Penjelasan Pasal 12 UU Pers, penanggungjawab adalah perusahaan pers bidang usaha dan bidang redaksi. Penanggungjawab bidang usaha adalah pemimpin perusahaan yang bertugas mengembangkan pemasaran surat kabar, sedangkan penanggungjawab bidang redaksi adalah pemimpin redaksi yang bertugas mengembangkan produk surat kabar. Sama seperti komunikasi massa lainnya, selain sebagai penyedia informasi perusahaan pers adalah perusahaan bisnis yang mencetak laba. Pada prinsipnya, badan hukum yang didirikan untuk mencari keuntungan adalah badan hukum yang berbentuk Perseroan Terbatas (PT). Beberapa contoh perusahaan pers yang berbentuk badan hukum Perseroan Terbatas diantaranya adalah PT. Jawa Pos, PT. Kompas Media 3 Tempo Kalah Soal Asian Agri, http://www.bbc.co.uk/indonesian/news/story/2008/09/ printable/080909_tempoagri.shtml, diakses pada tanggal 20 Juli 2016. 2010, h. 53. 4 Jurnal Dewan Pers, Asas Praduga Tidak Bersalah dalam Praktek Pers, Edisi No.2, November 5 Ibid., h. 1.

31 Nusantara, PT. Radio Elshinta dan PT. Tempo Inti Media Harian. Pasal 1 angka 2 UU Pers menyatakan bahwa perusahaan pers adalah badan hukum Indonesia yang menyelenggarakan usaha pers meliputi perusahaan media cetak, media elektronik, dan kantor berita, serta perusahaan media lainnya yang secara khusus menyelenggarakan, menyiarkan, atau menyalurkan informasi. Sedangkan Pasal 9 ayat (2) UU Pers menyatakan bahwa setiap perusahaan pers harus berbentuk badan hukum Indonesia. UU Pers memuat ketentuan-ketentuan mengenai perusahaan pers disamping mengenai pers itu sendiri. Dewan Pers telah pula menetapkan peraturan-peraturan tentang Standar Perusahaan Pers dan Standar Organisasi Perusahaan Pers. UU Pers hanya mengatur siapa yang dapat dipertanggungjawabkan, namun kapan perusahaan pers dikatakan melakukan tindak pidana tidak disebutkan dengan jelas. Selain itu, sanksi denda bagi perusahaan pers tidak disertai dengan pedoman pemidanaan, seperti jika tidak terbayarnya denda tersebut.selain itu untuk jenis sanksi pidana bagi perusahaan pers hanya pidana denda, sedangkan untuk sanksi administrasi atau tindakan tidak diatur. Padahal dalam UU Pers ini, subjek tindak pidana berupa perusahaan lebih banyak diatur, sementara sanksinya hanya denda tanpa ada pidana tambahan maupun sanksi administrasi. Mencermati uraian di atas, maka diperlukan kajian hukum sebagai upaya mendapatkan jawaban yang komprehensif atas konsep Pertanggungjawaban Pidana Perusahaan Pers Terhadap Perbuatan Trial By The Press. Rumusan Masalah 1. Apakah perbuatan trial by the press oleh perusahaan pers dapat dikategorikan sebagai delik pers? 2. Apakah perusahaan pers dapat dimintai pertanggungjawaban terhadap perbuatan trial by the press? PEMBAHASAN a. Trial By The Press Oleh Perusahaan Pers 1). Peraturan Perundang-undangan Terkait Trial By The Press Dalam sejarah pembahasan UU Pers sebelum disahkan, Istilah trial by the press atau vonis berita pers sebelum putusan hakim menjadi salah satu butir perdebatan dalam kaitannya dengan asas praduga tidak bersalah (presumption of innocent). Akhirnya istilah trial by press dihilangkan dan rumusannya disepakati menjadi: Pers nasional

32 berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama, dan rasa kesusilaan masyarakat, serta asas praduga tidak bersalah. (Pasal 5 ayat 1 UU Pers). 6 Peraturan perundang-undangan terkait trial by the press, antara lain: 1. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pelanggaran terhadap asas praduga tak bersalah bisa dikategorikan sebagai pelanggaran hak asasi manusia, seperti tercantum pada Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang menyatakan bahwa Setiap orang yang disangka, ditahan, dituntut, karena disangka melakukan suatu tindak pidana berhak dianggap tidak bersalah, sampai dibuktikan kesalahannya secara sah dalam suatu sidang pengadilan dan diberikan segala jaminan hukum yang diperlukan untuk pembelaannya, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dengan pelanggaran tersebut bisa menimbulkan kesewenang-wenangan baik oleh aparat penegak hukum, masyarakat, bahkan dari pers. Pemberitaan oleh media yang memberi komentar dalam proses peradilan dapat menimbulkan opini bagi publik agar tersangka atau terdakwa dipidana bersalah, dan segera diadili (trial by the press). 2. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, menyatakan: Setiap orang yang disangka, ditahan, dituntut, atau dihadapkan didepan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap. 3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana Penjelasan umum butir 3 huruf c Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana menyatakan: Setiap orang yang disangka, ditahan, dituntut, atau dihadapkan dimuka pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap. 4. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers Penjelasan pada Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 menyatakan bahwa: Pers nasional dalam menyiarkan informasi, dilarang menghakimi 6 Ibid.,h. 53.

33 atau membuat kesimpulan kesalahan seseorang, terlebih lagi untuk kasus-kasus yang masih dalam proses peradilan, serta dapat mengakomodasikan kepentingan semua pihak yang terkait dalam pemberitaan tersebut. 5. Undang-undang No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran Pasal 36 ayat (5) Undang-undang No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran menyatakan bahwa isi siaran dilarang: a. bersifat fitnah, menghasut, menyesatkan dan/atau bohong; b. menonjolkan unsur kekerasan, cabul, perjudian, penyalahgunaan narkotika dan obat terlarang, atau c. mempertentangkan suku, agama, ras, dan antar golongan. 2). Trial By The Press yang BerimplikasiDelikPers Trial By The Press yang dapat berujung menjadi delik pers antara lain adalah: 1. Delik Penghinaan Terdapat dua bentuk penghinaan yang berkaitan dengan pers yakni pencemaran tertulis dan fitnah. 7 a. Pencemaran Tertulis Dari pasal 310 ayat (1) KUHP, jika diuraikan lebih lanjut, maka orang yang terkena delik pencemaran harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut: 8 1. Perbuatannya dilakukan dengan sengaja. 2. Objek atau sasarannya adalah pribadi perorangan. 3. Perbuatan yang dilakukan itu jelas menyerang atau merusak kehormatan dan nama baik seseorang. 4. Perbuatan tersebut dilakukan dengan maksud supaya tersiar dan diketahui umum. 5. Harus ada atau mengandung tunduhan tertentu. Sampai pada batas itu pers belum terkena, karena baru sampai pada pencemaran saja, sedangkan pers termasuk dalam pencemaran tertulis. Maka khusus untuk pers, selain seluruh unsur-unsur itu harus pula ditambah dengan unsur tertulis yang tercantum dalam Pasal 310 ayat (2) KUHP. 9 Rumusan Pasal 310 ayat (2), jika dirinci terdapat unsur-unsur berikut: 10 7 Wina Armada, Wajah Hukum Pidana Pers, Pustaka Kartini, Jakarta, 1989, h. 53. 8 Ibid., h. 54. 9 Ibid. 10 Adami Chazawi, Hukum Pidana Positif Penghinaaan, PMN, Surabaya, 2009., h. 100.

34 1. Semua unsur dalam ayat (1). 2. Menuduh melakukan perbuatan dengan cara/melalui: tulisan atau gambar yang disiarkan, yang dipertunjukkan dan atau yang ditempelkan. 3. Secara terbuka. Pencemaran menurut pasal 310 ayat (1) atau pencemaran lisan, adalah berupa perbuatan menyerang kehormatan dengan cara menuduhkan perbuatan tidak perlu dilakukan secara terbuka atau dimuka umum, boleh dihadapan orang yang dituju saja, tetapi terkandung maksud yang terang agar diketahui umum. Sementara itu, pada pencemaran tertulis, dalam melakukan perbuatan menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan melakukan perbuatan tertentu, menggunakan sarana tulisan atau gambar dengan cara dipertunjukkan dan ditempelkan disyaratkan harus secara terbuka. 11 Dalam prakteknya pers seringkali berhadapan dengan delik pencemaran. Hal tersebut kadang bukan kesengajaan yang direncanakan, melainkan karena kesalahan teknis jurnalistik. Misalnya pers menduga-duga seseorang melakukan sesuatu, yang berarti mengandung sesuatu tuduhan, bisa terkena ancaman delik pencemaran. 12 Misalnya, kalimat yang ditulis wartawan seperti, Kapolsek Gubeng Surabaya, AKBP Mujito kini tidak bisa menghirup udara segar lagi, karena bersalah menjadi kurir narkoba. Padahal belum terdapat vonis Pengadilan yang menyatakan bahwa Kapolsek Gubeng Surabaya benar-benar bersalah. Trial by the press yang dapat dikategorikan sebagai delik pencemaran tertulis ialah berita yang dimuat dimedia cetak adalah tulisan yang bersifat melawan hukum yang memiliki keterkaitan yang utuh antara pikiran dan perasaan yang menghina seseorang yang dilakukan dengan media massa seperti koran dan majalah, kemudian dicetak dan dipublikasikan ke masyarakat sehingga menimbulkan kerugian terhadap orang yang diberitakan. Misalnya, ketika nama lengkap atau foto terdakwa dipasang di pers, ada terdakwa yang merasa dirugikan karena dengan pemasangan itu karena ia beranggapan nama baiknya sudah dicemarkan. Hal tersebut berawal dari kenyataan bahwa sebelum keputusan hakim dijatuhkan, masyarakat sudah diberi kesan bahwa terdakwa bersalah. 11 Ibid., h. 101. 12 Wina Armada, Op. Cit., h. 58.

35 Perkembangan teknologi yang maju memudahkan masyarakat menerima informasi baik melalui media cetak maupun media elektronik. Masyarakat aktif mengikuti perkembangan berita menarik yang disiarkan oleh pers karena kemudahan akses tersebut. Sehingga pencemaran nama baik juga diatur dalam Undang-undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Pasal 27 ayat (3) Undang-undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik menyatakan : Setiap Orang dengan sengaja, dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. Untuk ancaman pidana tercantum dalam Pasal 45 ayat (3) Undang-undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik: Setiap Orang yang dengan sengaja, dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah). Salah satu contoh kasus yang terjadi di Indonesia menyangkut kasus delik pencemaran tertulis yakni perselisihan Nuansa Pos dan keluarga Rully Lamadjido berawal dari tujuh berita yang dimuat dari Juni hingga Agustus 2001. Harian kriminal tersebut menulis, Tirtha Lamadjido, istri mantan Wakil Gubernur Sulawesi Tengah Rully Lamadjido merupakan dalang pembunuhan Imelda Plangiten. Imelda diduga istri simpanan Rully yang saat itu masih menjabat Walikota Palu. Karena menilai berita tersebut mencemarkan nama baik, keluarga besar Lamadjido menggugat Nuansa Pos ke Pengadilan Negeri Palu. Di tingkat kasasi, Mahkamah Agung menyatakan Nuansa Pos kalah dan harus membayar ganti rugi Rp. 250 juta. 13 b. Fitnah 13 JurnalAliansi Jurnalis Independen, Membangun Benteng Kebebasan, Seri Reformasi Kebijakan Media, 2009, h. 52.

36 Kejahatan fitnah (laster) dirumuskan dalam Pasal 311 KUHP, jika rumusan pasal 311 ayat (1) KUHP dirinci, maka dapat dilihat unsur-unsur pencemaran atau pencemaran tertulis ada di dalamnya. Unsur-unsur selengkapnya sebagai berikut: 14 1. Semua unsur (objektif dan subjektif) dari: a. Pencemaran Pasal 310 ayat (1); atau b. PencemarantertulisPasal 310 ayat (2) 2. Si pembuatdibolehkanuntukmembuktikanapa yang dituduhkannyaitubenar. 3. Tetapi si pembuattidakdapatmembuktikankebenarantuduhannya. 4. Apa yang menjadiisituduhannyaadalahbertentangandengan yang diketahuinya. Unsur nomor 2, 3 dan 4 adalah berupaunsur kumulatif yang berupatambahan agar pencemaran atau pencemaran tertulis dapat menjadi fitnah. Dengan melihat unsur nomor 2 dan 3 nampaknya bahwa dakwaan fitnah baru boleh dilakukan, dalam hal ini apabila dalam perbuatan terdakwa terdapat pencemaran atau pencemaran tertulis. Siapa yang membolehkan untuk membuktikan dakwaan itu benar, adalah majelis hakim. Oleh karena itu dapat dilihat bahwa fitnah baru ada, jika terbukti dalam perbuatan terdakwa terhadap pencemaran atau pencemaran tertulis. Kemudian dalam persidangans etelah hakim memperkenankan untuk membuktikan kebenaran tuduhannya, tidak berhasil atau perbuatan yang dituduhkannya ternyata tidak benar, barulah si pembuat yang demikian ini dapat dikatakan melakukan fitnah. 15 Trial by the press yang dapat dikategorikan sebagai fitnah ialah jika pers menuduh melalui pemberitaan di media cetak bahwa seseorang bersalah dan pers tersebut tidak dapat membuktikan tuduhannya, atau pers tetap melakukan tuduhan tersebut meskipun tahu jika tuduhannya tidak benar. Salah satu contoh kasus yang terjadi di Indonesia menyangkut kasus delik fitnah yakni, pemimpin redaksi Koridor, salah satu tabloid harian di Lampung yakni Darwin Ruslinur, dan reporternya, Budiono Syahputra harus berhadapan dengan meja hijau karena memberitakan penggelapan uang partai. Tabloid Koridor menurunkan berita dengan judul Alzier dan Indra Karyadi, S.H, Diindikasikan Kuat Tilap Dana Saksi Partai GolkarRp 1,25 miliar. Alzier dan Indra menyatakan berita itu tidakbenar. Mereka menyatakan bahwa tabloid Koridor tidak pernah melakukan konfirmasi atas berita itu. Keduanya 14 Adami Chazawi, Op. Cit., h. 111. 15 Ibid.,h. 112.

37 melaporkan permasalahan tersebut kepada polisi. Jaksa menjerat kedua wartawan dengan dakwaan berlapis, masing-masing Pasal 311 jo Pasal 310 jo Pasal 315 KUHP jop asal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. 16 2. Delik Kabar Bohong Penyiaran kabar bohong sebelumnya diatur dalam pasal 171 KUHP, tetapi kemudian pasal ini dicabut oleh UU No. 1 Tahun 1946, dan menggantikan pasal itu dengan pasal 14 dan 15 UU No. 1 Tahun 1946. Melalui UU No. 1 Tahun 1946 inilah KUHP yang sekarang dipakai. Trial by the press yang dapat dikategorikan sebagai kabar bohong adalah ialah jika pers menuduh seseorang melalui pemberitaan di media cetak namun berita yang ditulis bersumber dari gosip kanan kiri belaka, dan tidak mencoba melakukan check dan recheck. Kalau kebetulan spekulasi itu benar, tidak ada masalah. Sebaliknya kalau spekulasi tersebut keliru, maka berita tersebut termasuk kabar bohong. 17 Contoh kasus yang terjadi di Indonesia menyangkut kasus delik kabar bohong yakni, Pemimpin redaksi Tempo, Bambang Harymurti dituntut dua tahun penjara. Bambang dianggap telah menyiarkan berita bohong dalam artikel di Majalah Tempo yang berjudul Ada Tomy di Tenabang? edisi Senin, 3 Maret 2003. Dalam tuntutannya Penuntut Umum menggunakan pasal 14 ayat 1 Undang-undang No.1 Tahun 1946 jo pasal 55 ayat 1 KUHP tentang menyiarkan berita bohong, dan pasal 311 KUHP tentang fitnah. Penuntut Umum menyatakan, berita bohong oleh Tempo tersebut didasarkan pada beberapa hal. Diantaranya tentang kesaksian Tomy Winata yang membantah dirinya telah mengajukan proposal renovasi Tanah Abang, sebagaimana ditulis Tempo dalam artikelnya. Untuk itu, Bambang sebagai pemimpin redaksi dinilai bertanggung jawab karena telah membiarkan beredarnya berita bohong tersebut. 18 16 Jurnal Aliansi Jurnalis Independen, Op. Cit., h. 64. 17 Wina Armada, Op. Cit., h. 71. 18 Dinilai Menyiarkan Berita Bohong, Pemred Tempo Dituntut Dua Tahun, http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol10764/dinilai-menyiarkan-berita-bohong-pemreditempoi-dituntut-dua-tahun, diakses pada tanggal 5 November 2016.

38 b. PertanggungjawabanPidana Perusahaan PersTerhadapPerbuatanTrial By The Press UU Pers Nomor 40 Tahun 1999 menganut sistem pertanggungjawaban korporasi, dimana jika terjadi konflik hukum maka perusahaan pers yang harus bertanggungjawab sebagaimana diatur oleh pasal 18 ayat (2) dan (3). Meskipun konflik tersebut terjadi akibat pemberitaan yang ditulis oleh wartawannya, maka tetap perusahaan pers tersebut yang harus menanggung akibatnya. Pasal 5 ayat (1) UU Pers menjelaskan bahwa Pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah atau dengan kata lain Pers nasional tidak boleh melakukan perbuatan trial by the pers. Sesuai dengan Pasal 18 ayat (2) tersebut Perusahaan pers yang terbukti melakukan perbuatan trial by the press dapat dikenakan pidana dengan pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (Lima ratus juta rupiah). Penjelasan pasal 18 ayat (2) UU Pers menyatakan bahwa dalam hal pelanggaran pidana yang dilakukan oleh perusahaan pers, maka perusahaan tersebut diwakili oleh penanggung jawab yang meliputi bidang usaha dan bidang redaksi. Dalam UU Pers, pertanggungjawaban tindak pidana akibat pemberitaan pers diberikan kepada perusahaan pers, dan yang bertanggungjawab ialah pengurusnya. Penjelasan dari pasal 12 dan pasal 18 ayat (2) UU Pers jelas menunjukkan bahwa subjek hukum dari UU Pers adalah perusahaan pers yang diwakili oleh bidang usaha dan bidang redaksi. UU Pers yang telah mengatur terkait pertanggungjawaban pidana perusahaan pers merupakan refleksi dari teori vicarious liability. Dimana teori vicarious liability memungkinkan seseorang bertanggung jawab atas tindak pidana yang dilakukan oleh orang lain. Teori vicarious liability mensyaratkan adanya pembuktian yang jelas terkait hubungan antara pemberi kerja dan orang yang melakukan tindak pidana. Teori vicarious liability merupakan penyimpangan dari asas universitas delinquere non potest dan penyimpangan atas asas geen straft zonder schuld. Perusahaan pers tidak dapat memenuhi unsur kesalahan karena kesalahan hanya dapat diterapkan kepada manusia untuk memenuhi unsur kemampuan bertanggungjawab. Perusahaan pers bukan manusia sehingga tidak memiliki mens rea dan sulit untuk mengetahui niatnya.

39 Dalam praktek teori vicarious liability hanya dapat dilakukan setelah dapat dibuktikan bahwa memang terdapat hubungan subordinasi antara pemberi kerja (employer) dan orang yang melakukan tindak pidana. Seseorang dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan-perbuatan yang dilakukan orang lain, apabila orang itu telah mendelegasikan kewenangan menurut Undang-undang kepada orang lain. 19 Berkenaan dengan konsep vicarious liability, maka orang yang bertanggungjawab atas perbuatan orang lain dalam hal ini aturan Undang-undanglah yang menetapkan siapasiapakah yang dipandang bertanggungjawab sebagai pembuat. 20 Undang-undang dapat menentukan vicarious liability, jika terjadi hal-hal sebagai berikut: 21 1. Seseorang dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan-perbuatan yang dilakukan orang lain, apabila seseorang itu telah mendelegasikan kewenangannya menurut undang-undang kepada orang lain. Dalam hal ini diperlukan suatu syarat atau prinsip tanggung jawab yang bersifat dilimpahkan (the delegation principle). 2. Seorang majikan dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang secara fisik atau jasmaniah dilakukan oleh buruhnya atau pekerjanya, jika menurut hukum perbuatan buruhnya itu dipandang sebagai perbuatan majikan (the servants act is the maters act in law). Vicarious liability dapat dihubungkan dengan pertanggungjawaban korporasi dalam hukum pidana. Sebab, korporasi berbuat melalui perantaraan manusia, yang dalam hal ini korporasi berkedudukan sebagai majikan. Pertanggungjawaban korporasi sebagai pembuat tindak pidana dapat menggunakan konsep vicarious liability. Artinya, korporasi bertanggungjawab atas perbuatan yang dilakukan oleh para pengurus yang menjalankan aktivitas-aktivitas korporasi, yang dalam kaitan ini korporasi sudah dapat dipertanggungjawabkan jika orang yang menjalankan aktivitas korporasi melakukan tindak pidana, tanpa memperhatikan lebih jauh kesalahan pembuat (strict liability). Sehingga 19 Mahrus Ali, Asas-asas Hukum Pidana Korporasi, Raja Grafindo Persada, Depok, 2013, h. 124. 20 Hamzah Hatrik, Asas Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum Pidana Indonesia (Strict Liability dan Vicarious Liability), Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996, h. 193. 21 Ibid.

40 dapat dikatakan bahwa Perusahaan pers dapat dinyatakan bertanggungjawab atas perbuatan trial by the pers. 22 Perusahaan pers dapat dimintai pertanggungjawabkan atas perbuatan trial by the press oleh karyawan dari perusahaan pers yang bersangkutan. Ketika seorang wartawan dari suatu perusahaan pers menulis berita yang ternyata menyebabkan trial by the press, maka berdasarkan pasal 18 ayat (2) dan ayat (3) UU Pers, yang dapat dimintai pertanggungjawaban adalah perusahaan pers. Dengan demikian pertanggungjawaban dari karyawan atau wartawan tersebut telah digantikan dengan/menjadi pertanggungjawaban perusahaan pers. Penanggungjawab perusahaan pers meliputi bidang redaksi. Bidang redaksi diwakili oleh pemimpin redaksi yang mempunyai tugas mengendalikan kegiatan keredaksian di perusahaannya yang meliputi penyajian berita, penentuan liputan, pencarian fokus pemberitaan, penentuan topik, pemilihan berita utama (head line), berita pembuka halaman (opening news), menugaskan atau membuat sendiri tajuk dan sebagainya. Sehingga, baik dan buruk isi pemberitaan pada penerbitannya, tergantung dari ketajaman pemimpin redaksi dalam mencari dan memilih materi pemberitaannya. Pemimpin redaksi harus memiliki wawasan yang luas terhadap perkembangan situasi, seperti politik, sosial dan budaya. 23 KESIMPULAN 1). Pasal 5 ayat (1) UU Pers menyatakan bahwa Pers nasional berkewajibanmemberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah. Ketentuan tersebut sebagai pedoman agar wartawan tidak menulis pemberitaan yang mengarah pada trial by the press. Kalangan pers melihat trial by the presssebagai pelanggaran terhadap UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik, sehingga penyelesaiannya cukup dilakukan dengan mekanisme jurnalistik pula, yaitu melalui hak jawab dan hak koreksi, serta mediasi melalui Dewan Pers. Sedangkan dikalangan praktisi hukum dan para pencari keadilan yang merasa haknya atas asas praduga tidak bersalah dilanggar oleh pers melalui pemberitaannya, melihatnya sebagai delik yang dapat dituntut secara pidana. Trial By The Press yang 22 Ibid., h. 121. 23 Ibid.,h. 19.

41 dapat berujung menjadi delik pers antara lain adalah delik penghinaan dan delik kabar bohong. 2). Perusahaan pers dapat dimintai pertanggungjawabkan atas perbuatan trial by the press oleh karyawan dari perusahaan pers yang bersangkutan. Ketika seorang wartawan dari suatu perusahaan pers menulis berita yang ternyata menyebabkan trial by the press, maka berdasarkan pasal 18 ayat (2), yang dapat dimintai pertanggungjawaban adalah perusahaan pers. Penjelasan pasal 18 ayat (2) UU Pers menyatakan bahwa dalam hal pelanggaran pidana yang dilakukan oleh perusahaan pers, maka perusahaan tersebut diwakili oleh penanggung jawab yang meliputi bidang redaksi. SARAN 1). Ketika terjadi pelanggaran terhadap asas praduga tak bersalah maka harus diselesaikan melalui mekanisme penyelesaian sengketa pers yang diatur oleh UU Pers, sebagaimana tercantum dalam Penjelasan Umum aline ke-6 UU Pers yakni dengan hak jawab dan hak koreksi. Sehingga, penegak hukum harus menggunakan UU Pers sebelum menggunakan KUHP untuk kasus pidana yang melibatkan wartawan dan media.jika terjadi dugaan pelanggaran yang dilakukan dalam tugas jurnalistik, maka yang dirujuk adalah Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. KUHP tetap dapat diberlakukan kepada wartawan yang mengalami kasus hukum di luar tugas jurnalistik. 2). Berdasarkan Pasal 5 ayat (1) UU Pers dapat diartikan bahwa wartawan dikategorikan melakukan kesalahan apabila, melanggar norma-norma agama, norma susila, dan asas praduga tak bersalah. Jika ada penyebarluasan berita bohong, fitnah atau pencemaran nama baik hingga menyebabkan adanya pihak-pihak yang merasa dirugikan, maka penegak hukum kerap mempergunakan pasal-pasal KUHP. Karena UU Pers tidak mengatur terkait delik pers maka dalam penegakan hukum tindak pidana pers lebih mengedepankan KUHP. Diperlukan adanya revisi terhadap Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dengan memasukkan delik pers terhadap undang-undang tersebut sehingga UU Pers dapat menjadi lex specialis dari KUHP. DAFTAR PUSTAKA Abidin, Wikrama Iryans. Politik Hukum Pers Indonesia, Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, 2005.

42 Adji, Oemar Seno. Perkembangan Delik Pers di Indonesia, Erlangga, Jakarta, 1990. Ali, Mahrus. Asas-asas Hukum Pidana Korporasi, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2013. Armada, Wina. Wajah Hukum Pidana Pers, Pustaka Kartini, Jakarta, 1989. Arrasjid, Chainur. Dasar-dasar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta. 2008. Chazawi, Adami. Hukum Pidana Positif Penghinaaan, PMN, Surabaya, 2009. Djuroto, Totok. Manajemen Penerbitan Pers, Remaja Rosdakarya, Bandung, September, 2000. Hamzah, Andi. Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2005. Harahap, Krisna. Kebebasan Pers di Indonesia Dari Masa Ke Masa, Grafitri Budi Utami, Bandung, 2000. Harahap, M. Yahya. Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP Penyidikan Dan Penuntutan, Sinar Grafika, Jakarta, 2010. Hatrik, Hamzah. Asas Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum Pidana Indonesia (Strict Liability dan Vicarious Liability), Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996. Huda, Chairul. Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Tinjauan Kritis Terhadap Teori Pemisahan Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2006. Kusumaningrat, Hikmat dan Purnama Kusumaningrat, Jurnalistik Teori dan Praktek, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2005. Manan, Bagir. Pers, Hukum dan Hak Asasi Manusia, Dewan Pers, Jakarta, 2016. Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group,Jakarta, 2005. Moeljatno. Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2008. Mondry, Pemahaman Teori dan Praktik Jurnalistik, Ghalia Indonesia, Bogor Selatan, 2008. Muladi dan Dwidja Priyatno. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2010.

43 Prodjodikoro, Wirjono. Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, Rafika Aditama, Bandung, 2003. Sadono, Bambang. Penyelesaian Delik Pers Secara Politis, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1993. Setiati, Eni, Ragam Jurnalistik Baru dalam Pemberitaan (Strategi Wartawan Menghadapi Tugas Jurnalistik), Andi Offset, Yogyakarta, 2005. Setiyono. Kejahatan Korporasi Analisis Viktimologi dan Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum Pidana Indonesia, Bayumedia Publishing, Malang, 2005. Shaffat, Idri, Kebebasan, Tanggung Jawab dan Penyimpangan Pers, Prestasi Pustaka, Jakarta, 2005. Simorangkir, J.C.T. Hukum dan Kebebasan Pers, Angkasa, Bandung, 1980. Sjahdeni, Sutan Remy, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Grafitti Pers, Jakarta, 2007. Tebba, Sudirman. Jurnalistik Baru, Kalam Indonesia, Ciputat, 2005. Wahyudi, J.B. Komunikasi Jurnalistik Pengetahuan Praktis Kewartawanan, Surat Kabar- Majalah, Radio & Televisi, Alumni, Bandung, 1991. Yunus, Syarifudin. Jurnalistik Terapan, Ghalia Indonesia, Bogor, 2010.