DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA,



dokumen-dokumen yang mirip
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2007 TENTANG KOORDINASI, PENGAWASAN DAN PEMBINAAN PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG MANAJEMEN PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG MANAJEMEN PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2007 TENTANG KOORDINASI, PENGAWASAN DAN PEMBINAAN PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL

PERATURAN WALIKOTA MALANG NOMOR 53 TAHUN 2014 TENTANG MANAJEMEN PELAKSANAAN TUGAS PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

2017, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Ta

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2009 TENTANG PEDOMAN PEMBINAAN PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL

BUPATI BUTON PROVINSI SULAWESI TENGGARA

- 1 - GUBERNUR JAWA TIMUR

PEMERINTAH PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR 2 TAHUN 2013

MENTER! HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PENYADAPAN PADA PUSAT PEMANTAUAN

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN BARAT NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DI LINGKUNGAN PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN BARAT

PEMERINTAH KABUPATEN KULON PROGO

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2008 TENTANG

PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP REPUBLIK INDONESIA,

2012, No.74 2 MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN KOORDINASI, PENGAWASAN, DAN PEMBINAAN TEKNIS TERHADAP KEPOLI

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN DAERAH KOTA SAMARINDA

PEMERINTAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

LEMBARAN DAERAH KOTA BEKASI

PERATURAN DAERAH KOTA MALANG NOMOR 5 TAHUN 2009 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL (PPNS) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MALANG,

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG SISTEM OPERASIONAL KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN DAERAH KOTA TANGERANG NOMOR 5 TAHUN 2009 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA TANGERANG,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

LEMBARAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR : 42 TAHUN : 2004 SERI : E PERATURAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR : 5 TAHUN 2004 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA,

GUBERNUR BANTEN PERATURAN GUBERNUR BANTEN

PEMERINTAH KABUPATEN BARRU PERATURAN DAERAH KABUPATEN BARRU NOMOR 6 TAHUN 2012 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

NOMOR 14 TAHUN 2016 NOMOR 01 TAHUN 2016 NOMOR 013/JA/11/2016 TENTANG

- 1 - PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL

PROVINSI PAPUA BUPATI MERAUKE PERATURAN DAERAH KABUPATEN MERAUKE NOMOR 4 TAHUN 2015 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN NOMOR 1 TAHUN 2005 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL PEMERINTAH KABUPATEN SLEMAN

PEMERINTAH KABUPATEN BANGKA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA BARAT

PEMERINTAH KOTA SURABAYA

PEMERINTAH KABUPATEN MELAWI

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BUPATI BARITO UTARA PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN BARITO UTARA NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DAERAH

STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR (SOP)

BUPATI CILACAP PERATURAN BUPATI CILACAP NOMOR 38 TAHUN 2014 TENTANG SEKRETARIAT PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA,

LEMBARAN DAERAH KOTA BOGOR

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BANDUNG,

- 2 - BAB I KETENTUAN UMUM

KOP SURAT KEMENTERIAN ATR/BPN/PEMERINTAH PROVINSI/ PEMERINTAH KABUPATEN/KOTA *) SURAT PERINTAH TUGAS Nomor: SP-../Gas-W/PPNS PENATAAN RUANG/ /20..

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA NOMOR : KP 662 TAHUN 2015 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL BIDANG PENERBANGAN SIPIL

PEMERINTAH KABUPATEN SAMBAS PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DI LINGKUNGAN PEMERINTAH KABUPATEN SAMBAS

NOMOR 4 TAHUN 2012 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DAERAH KABUPATEN BANYUWANGI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANYUWANGI,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMPUNG BARAT NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DALAM LINGKUNGAN KABUPATEN LAMPUNG BARAT

PERATURAN DAERAH KOTA BONTANG NOMOR 3 TAHUN 2004 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DI LINGKUNGAN PEMERINTAH KOTA BONTANG

2011, No Menetapkan : Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4168); 2. Undang-Undang No

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2012 TENTANG

PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DILINGKUNGAN PEMERINTAH KOTA PAREPARE

- 1 - PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL

2017, No ); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republ

KEPUTUSAN BERSAMA KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA DAN KETUA KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI

NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JEPARA,

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL ( Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul ) Nomor : 3 Tahun : 2013

WALIKOTA SURAKARTA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KOTA SURAKARTA NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERDANG BEDAGAI NOMOR 25 TAHUN 2008

BUPATI BATANG HARI PROVINSI JAMBI

QANUN KABUPATEN ACEH TIMUR NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DAERAH BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG TAHUN 2010 S A L I N A N

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 4 TAHUN 2008 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DI LINGKUNGAN PEMERINTAH KABUPATEN PASURUAN

BUPATI LUWU TIMUR PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DAERAH

BUPATI SUKOHARJO PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MADIUN,

PROVINSI JAWA BARAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KARAWANG,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 1 TAHUN 2004 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA SURABAYA,

PEMERINTAH PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG

BUPATI TASIKMALAYA PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN TASIKMALAYA NOMOR 10 TAHUN 2016 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL

PEMERINTAH PROVINSI RIAU PERATURAN DAERAH PROVINSI RIAU NOMOR : 5 TAHUN 2009 TENTANG

PERATURAN DAERAH KOTA BAU-BAU NOMOR 5 TAHUN 2009 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL LINGKUP DALAM LINGKUNGAN PEMERINTAH KOTA BAU-BAU

PROVINSI LAMPUNG PERATURAN DAERAH KOTA METRO NOMOR 05 TAHUN 2015 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA

PEMERINTAH KOTA TANJUNGPINANG

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18/PMK.03/2013 TENTANG TATA CARA PEMERIKSAAN BUKTI PERMULAAN TINDAK PIDANA DI BIDANG PERPAJAKAN

SALINAN PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAJALENGKA NOMOR : 4 TAHUN 2004 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MAJALENGKA,

W A L I K O T A B A N J A R M A S I N

BUPATI BANDUNG BARAT PROVINSI JAWA BARAT

DRAFT 16 SEPT 2009 PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR TAHUN 2009 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI GROBOGAN PROVINSI JAWA TENGAH RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN GROBOGAN NOMOR TAHUN 2015 TENTANG

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN SELAYAR. dan BUPATI SELAYAR

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2010 TENTANG

2011, No b. bahwa Tindak Pidana Korupsi adalah suatu tindak pidana yang pemberantasannya perlu dilakukan secara luar biasa, namun dalam pelaksan

STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR (SOP)

PEMERINTAH KABUPATEN LAMONGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMONGAN NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DI KABUPATEN LAMONGAN

SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA,

BUPATI TUBAN PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN TUBAN NOMOR 18 TAHUN 2016 TENTANG

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36/PERMEN-KP/2017 TENTANG KODE ETIK PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL PERIKANAN

PEMERINTAH KOTA MAGELANG PERATURAN DAERAH KOTA MAGELANG NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18/PMK.03/2013 TENTANG TATA C ARA PEMERIKSAAN BUKTI PERMULAAN TINDAK PIDANA DI BIDANG PERPAJAKAN

LEMBARAN DAERAH PROPINSI SULAWESI TENGAH NOMOR : 6 TAHUN 2005 SERI E NOMOR 3

Transkripsi:

PERBAIKAN DR SETUM 13 AGUSTUS 2010 PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2010 TENTANG KOORDINASI, PENGAWASAN DAN PEMBINAAN PENYIDIKAN BAGI PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk melaksanakan penegakan hukum sesuai sistem peradilan pidana terpadu, Kepolisian Negara Republik Indonesia selaku penegak hukum bertugas melakukan penyidikan tindak pidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar kewenangannya; b. bahwa secara fungsional tugas penyidikan tindak pidana dilaksanakan oleh pengemban fungsi Reserse Kriminal Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang dalam pelaksanaannya dapat dibantu oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil; c. bahwa Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil diberikan wewenang khusus oleh undang-undang untuk melaksanakan penyidikan tindak pidana yang termasuk dalam lingkup kewenangannya, berada di bawah koordinasi, pengawasan dan pembinaan Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia tentang Koordinasi, Pengawasan dan Pembinaan Penyidikan Bagi Penyidik Pegawai Negeri Sipil; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209); 2. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4168); MEMUTUSKAN..

2 MEMUTUSKAN: Menetapkan: PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TENTANG KOORDINASI, PENGAWASAN DAN PEMBINAAN PENYIDIKAN BAGI PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam peraturan ini yang dimaksud dengan: 1. Kepolisian Negara Republik Indonesia yang selanjutnya disingkat Polri adalah alat Negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri; 2. Penyidik adalah pejabat Polri yang diangkat dan diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan peyidikan; 3. Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang selanjutnya disingkat PPNS adalah Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang berdasarkan peraturan perundang-undangan ditunjuk selaku Penyidik dan mempunyai wewenang untuk melakukan penyidikan tindak pidana dalam lingkup undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing; 4. Penyidikan adalah serangkaian tindakan Penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya; 5. Koordinasi adalah suatu bentuk hubungan kerja antara Penyidik Polri dengan PPNS dalam melakukan penyidikan tindak pidana tertentu yang menjadi dasar hukumnya, sesuai sendi-sendi hubungan fungsional; 6. Pengawasan adalah proses penilikan dan pengarahan terhadap pelaksanaan penyidikan oleh PPNS untuk menjamin agar seluruh kegiatan penyidikan yang dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan; 7. Pembinaan teknis yang selanjutnya disebut pembinaan adalah proses kegiatan yang dilakukan secara berhasil guna dan berdaya guna untuk meningkatkan kemampuan PPNS di bidang teknis dan taktis penyidikan; 8. Bantuan Penyidikan adalah bantuan yang diberikan oleh Penyidik Polri kepada PPNS berupa bantuan teknis, taktis dan upaya paksa serta konsultasi penyidikan; 9. Bantuan Teknis adalah bantuan pemeriksaan ahli dalam rangka pembuktian secara ilmiah (Scientific Crime Investigation); 10. Bantuan Taktis adalah bantuan personel Polri dan peralatan Polri dalam rangka mendukung pelaksanaan penyidikan tindak pidana oleh PPNS; 11. Bantuan...

3 11. Bantuan upaya paksa adalah bantuan yang diberikan oleh penyidik Polri kepada PPNS berupa kegiatan penindakan secara hukum dalam rangka penyidikan baik kepada PPNS yang memiliki kewenangan maupun yang tidak memiliki kewenangan penindakan; 12. Laporan kejadian adalah laporan tertulis yang dibuat oleh PPNS tentang adanya suatu peristiwa pidana yang sedang dan telah terjadi, baik yang ditemukan sendiri maupun melalui pemberitahuan yang disampaikan oleh seseorang karena hak dan kewajiban berdasarkan undang-undang; 13. Gelar Perkara adalah kegiatan penyidik dan PPNS untuk memaparkan perkara dan tindakan yang akan, sedang dan telah dilakukan penyidikan, guna memperoleh kesimpulan; 14. Keadaan tertentu adalah keadaan luar biasa yang memerlukan penanganan secara khusus. Pasal 2 Pelaksanaan koordinasi, pengawasan dan pembinaan penyidikan bagi PPNS oleh Penyidik, dilakukan berdasarkan prinsip: a. kemandirian, yaitu koordinasi, pengawasan dan pembinaan dilaksanakan dengan tidak mengurangi eksistensi/keberadaan instansi PPNS dan dijalankan secara profesional; b. legalitas, yakni koordinasi, pengawasan dan pembinaan diselenggarakan berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku; c. kebersamaan, yaitu koordinasi, pengawasan dan pembinaan tidak mengurangi integritas pimpinan dan kewenangan masing-masing instansi PPNS yang dilandasi sikap saling menghormati tugas dan wewenang serta hierarki masing-masing; d. akuntabilitas, yaitu koordinasi, pengawasan dan pembinaan yang dilakukan oleh Penyidik terhadap PPNS dalam proses pelaksanaan penyidikan yang dilakukan oleh PPNS dapat dipertanggungjawabkan; e. transparansi, yaitu koordinasi, pengawasan dan pembinaan memperhatikan asas keterbukaan dan bersifat informatif bagi pihak-pihak terkait; f. efektif dan efisien, yaitu koordinasi, pengawasan dan pembinaan yang dilakukan oleh Penyidik terhadap PPNS dalam proses penyidikan tepat waktu dengan biaya ringan serta berpedoman pada keseimbangan yang wajar antara sumber daya yang dipergunakan; dan g. kewajiban, yaitu pelaksanaan koordinasi, pengawasan dan pembinaan terhadap penyidikan yang dilakukan oleh PPNS, Penyidik secara aktif diminta ataupun tidak diminta wajib memberikan petunjuk dan bantuan penyidikan yang diperlukan. Pasal 3 Tujuan peraturan ini sebagai pedoman bagi penyidik dalam melaksanakan koordinasi, pengawasan dan pembinaan penyidikan terhadap PPNS dalam menjalankan fungsi, peran, tugas dan tanggung jawab penyidikan. BAB II

4 BAB II TUGAS DAN WEWENANG Bagian Kesatu Penyidik Pasal 4 (1) Penyidik karena kewajibannya mempunyai wewenang sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. (2) Dalam hal melaksanakan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) penyidik bertugas melakukan koordinasi, pengawasan dan pembinaan penyidikan yang dilakukan oleh PPNS. (3) Koordinasi, pengawasan dan pembinaan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan oleh: a. pengemban fungsi Korwas PPNS Bareskrim Polri pada tingkat Mabes Polri; b. pengemban fungsi Korwas PPNS Dit Reskrim pada tingkat Polda; dan c. pengemban fungsi Korwas PPNS Satreskrim pada tingkat Polrestabes/Polresmetro/Polres/Polresta. Bagian Kedua PPNS Pasal 5 PPNS mempunyai wewenang sebagaimana diatur dalam peraturan perundangundangan yang menjadi dasar hukumnya masing-masing dan dalam pelaksanaan tugasnya berada di bawah koordinasi, pengawasan dan pembinaan Penyidik. BAB III KOORDINASI Pasal 6 (1) Penyidik melakukan koordinasi terhadap pelaksanaan tugas penyidikan yang dilakukan oleh PPNS. (2) Koordinasi dilakukan sejak PPNS memberitahukan dimulainya penyidikan kepada Penuntut Umum melalui penyidik. (3) Koordinasi...

5 (3) Koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan dalam bentuk kegiatan: a. menerima surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP) oleh PPNS; b. memberi bantuan teknis, taktis, upaya paksa dan konsultasi penyidikan kepada PPNS untuk penyempurnaan dan mempercepat penyelesaian berkas perkara; c. menerima berkas perkara dari PPNS dan meneruskan kepada Penuntut Umum; d. penghentian penyidikan oleh PPNS; e. tukar menukar informasi tentang dugaan adanya tindak pidana yang penyidikannya dilakukan oleh PPNS; f. rapat secara berkala; dan g. penyidikan bersama. Pasal 7 (1) Koordinasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) huruf a dilaksanakan dengan cara: a. lisan sebelum dibuatnya SPDP; b. menerima SPDP dan lampirannya dari PPNS; c. meneliti SPDP dan lampirannya bersama PPNS; dan d. menyusun rencana penyidikan bersama PPNS. (2) Lampiran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, berupa: a. laporan kejadian; b. surat perintah penyidikan; dan c. berita acara yang telah dibuat. Pasal 8 (1) Bantuan teknis dalam rangka penyidikan yang dilakukan oleh PPNS, meliputi pemeriksaan: a. laboratorium forensik (labfor); b. identifikasi; dan c. psikologi. (2) Bantuan taktis dalam rangka penyidikan yang dilakukan oleh PPNS, meliputi bantuan: a. penyidik; b. peralatan..

6 b. peralatan yang diperlukan; dan c. pengerahan kekuatan. (3) Bantuan upaya paksa dalam rangka penyidikan yang dilakukan oleh PPNS, meliputi: a. pemanggilan saksi/tersangka di luar wilayah hukum kewenangan PPNS dan di luar negeri; b. perintah membawa saksi/tersangka; c. penangkapan; d. penahanan; e. penggeledahan; dan f. penyitaan. (4) Bantuan konsultasi dalam rangka penyidikan yang dilakukan oleh PPNS, meliputi: a. teknis dan taktis penyelidikan, untuk mencari dan mengumpulkan bahan keterangan; b. teknis dan taktis penindakan sesuai dengan kewenangan PPNS; c. teknis pemeriksaan; d. petunjuk administrasi penyidikan; e. petunjuk aspek yuridis; f. teknis penyelesaian dan penyerahan berkas perkara kepada Penuntut Umum; g. teknis penyerahan tersangka dan barang bukti; dan h. teknis pembuatan statistik kriminal. Pasal 9 (1) Penyidik wajib memberikan bantuan penyidikan kepada PPNS. (2) Dalam hal memerlukan bantuan penyidikan, PPNS mengajukan permintaan secara tertulis kepada: a. Kabareskrim Polri melalui pejabat pengemban fungsi Korwas PPNS; b. Dir Reskrim Polda melalui pejabat pengemban fungsi Korwas PPNS; dan c. Kapolrestabes/Kapolresmetro/Kapolres/Kapolresta melalui Kasat Reskrim. (3) Bantuan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan sejak pemberitahuan dimulainya penyidikan sampai dengan penyelesaian dan penyerahan berkas perkara, tersangka dan barang bukti ke Penuntut Umum. Pasal 10

7 Pasal 10 (1) Bantuan pemeriksaan labfor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf a, meliputi: a. pemeriksaan bidang fisika forensik; b. pemeriksaan bidang kimia dan biologi forensik; c. pemeriksaan bidang dokumen dan uang palsu forensik; dan d. pemeriksaan bidang balistik dan metalurgi forensik. (2) Permohonan pemeriksaan labfor diajukan secara tertulis oleh pimpinan instansi PPNS kepada Kepala Laboratorium Forensik (Ka Labfor) melalui pengemban fungsi Korwas setempat dengan menjelaskan maksud dan tujuan pemeriksaan, dengan dilampiri: a. laporan kejadian; b. laporan kemajuan; dan c. berita acara penemuan, penyitaan, penyisihan, pembungkusan, dan penyegelan barang bukti. (3) Dalam hal pemeriksaan labfor memerlukan bahan pembanding, PPNS mengirimkan bahan pembanding dimaksud dengan melampirkan berita acara atau surat keterangan otentikasi atau keaslian dari produsen resmi. Pasal 11 (1) Pemeriksaan identifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf b, meliputi: a. pemeriksaan perbandingan sidik jari laten dengan sidik jari pembanding; b. pembuatan sinyalemen file foto daftar pencarian orang; c. pembuatan foto tempat kejadian perkara, barang bukti dan tersangka; d. pembuatan lukisan sketsa raut wajah pelaku kejahatan berdasarkan keterangan saksi; dan e. pembuatan foto rekonstruksi. (2) Pemeriksaan identifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh petugas identifikasi Polri. (3) Dalam hal memerlukan bantuan pemeriksaan identifikasi, PPNS mengajukan surat permintaan kepada pejabat pengemban fungsi identifikasi Polri melalui pejabat pengemban fungsi Korwas PPNS setempat, dengan melampirkan: a. laporan kejadian; b. laporan kemajuan; c. berita...

8 c. berita acara pemeriksaan saksi/tersangka; dan d. dalam pemeriksaan sidik jari disertai dengan barang bukti sidik jari laten dan sidik jari pembanding. (4) Dalam keadaan tertentu permintaan pemeriksaan identifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat didahului secara lisan dan segera mengirimkan surat permintaan. Pasal 12 (1) Pemeriksaan psikologi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf c, meliputi: a. motivasi melakukan tindak pidana; dan b. profil psikologi saksi dan/atau tersangka; (2) Pemeriksaan psikologi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh petugas psikologi Polri. (3) Permintaan pemeriksaan psikologi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), PPNS mengajukan secara tertulis kepada fungsi Psikologi Polri melalui pejabat pengemban fungsi Korwas PPNS setempat. Pasal 13 (1) Bantuan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) huruf a berdasarkan permintaan PPNS. (2) Permintaan PPNS sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diajukan secara tertulis kepada pejabat pengemban fungsi Korwas PPNS setempat dengan menjelaskan: a. alasan permintaan bantuan; b. perkara yang ditangani; c. waktu penugasan; dan d. jumlah penyidik. (3) Dalam keadaan tertentu permintaan bantuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat didahului secara lisan dan segera mengirimkan surat permintaan. (4) Penyidik yang diperbantukan kepada PPNS, wajib dilengkapi dengan surat perintah tugas. Pasal 14 (1) Bantuan peralatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) huruf b berdasarkan permintaan PPNS. (2) Permintaan

9 (2) Permintaan PPNS sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diajukan secara tertulis kepada pejabat pengemban fungsi Korwas PPNS setempat dengan menjelaskan: a. alasan permintaan bantuan. b. tujuan penggunaan peralatan; c. waktu penggunaan; dan d. jenis dan jumlah peralatan yang diperlukan. (3) Dalam keadaan tertentu permintaan bantuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat didahului secara lisan, kemudian segera mengirimkan surat permintaan. (4) Bantuan peralatan kepada PPNS diberikan beserta personel yang mengawaki, dan wajib dilengkapi dengan surat perintah tugas. Pasal 15 (1) Pengerahan kekuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) huruf c berdasarkan permintaan PPNS. (2) Permintaan PPNS sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diajukan secara tertulis kepada pejabat pengemban fungsi Korwas PPNS setempat dengan menjelaskan: a. alasan permintaan bantuan. b. tujuan pengerahan kekuatan; c. waktu penugasan; dan d. jumlah kekuatan dan kompetensinya. (3) Bantuan pengerahan kekuatan kepada PPNS berupa personel dan peralatannya, serta wajib dilengkapi dengan surat perintah tugas. Pasal 16 Bantuan pemanggilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) huruf a dilakukan terhadap saksi/tersangka yang berada: a. di luar wilayah hukum kewenangan PPNS, oleh penyidik berdasarkan permintaan PPNS; b. di luar negeri, oleh penyidik berdasarkan permintaan PPNS, dan pelaksanaannya dikoordinasikan dengan Set NCB-Interpol serta Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia. Pasal 17 (1) Bantuan perintah membawa saksi/tersangka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) huruf b dilakukan atas surat permintaan PPNS, yang dilampiri: a. laporan

10 a. laporan kejadian; b. laporan kemajuan; c. kopi surat panggilan pertama; dan d. alasan/pertimbangan perlunya dilakukan perintah membawa. (2) Bantuan perintah membawa saksi/tersangka dilakukan setelah PPNS memanggil 1 (satu) kali tidak datang tanpa memberi alasan yang sah, dipanggil sekali lagi dan meminta bantuan penyidik untuk membawa kepadanya. (3) Penyidik yang melaksanakan tugas wajib dilengkapi surat perintah tugas dan surat perintah membawa, serta melibatkan PPNS. Pasal 18 (1) Bantuan penangkapan sebagaimana dimaksud pada Pasal 8 ayat (3) huruf c dilakukan atas surat permintaan PPNS, memuat uraian singkat perkara, identitas tersangka dan pertimbangan perlunya dilakukan penangkapan. (2) Surat permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilampiri: a. laporan kejadian; dan b. laporan kemajuan. (3) Penyidik setelah menerima surat permintaan bantuan penangkapan dari PPNS, wajib segera mempelajari dan mempertimbangkan perlu tidaknya diberikan bantuan penangkapan. (4) Dalam hal penyidik menyetujui permintaan, wajib segera mempersiapkan personel, peralatan dan administrasi penangkapan, serta mengkoordinasikan pelaksanaannya dengan PPNS. (5) Setelah berhasil melakukan penangkapan, penyidik segera menyerahkan tersangka beserta administrasi penangkapan kepada PPNS, dan dituangkan dalam berita acara penyerahan tersangka. (6) Penyidik memberitahukan penangkapan tersangka kepada keluarga atau kuasa hukumnya. Pasal 19 (1) Bantuan penahanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) huruf d dilakukan atas surat permintaan PPNS yang memuat uraian singkat perkara, identitas tersangka, pasal yang dilanggar dan pertimbangan perlunya dilakukan penahanan. (2) Surat permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilampiri: a. laporan kejadian; dan b. laporan kemajuan; (3) Penyidik

11 (3) Penyidik setelah menerima surat permintaan bantuan penahanan dari PPNS, wajib segera mempelajari dan mempertimbangkan perlu tidaknya dilakukan penahanan. (4) Penyidik menyerahkan administrasi penahanan kepada PPNS, untuk kelengkapan berkas perkara. (5) Penyidik memberitahukan penahanan tersangka kepada keluarga atau kuasa hukumnya. (6) Tenggang waktu pengajuan surat permintaan PPNS kepada penyidik dalam hal akan melakukan: a. perpanjangan masa penahanan, paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum batas waktu penahanan habis; b. pembantaran penahanan, paling lambat 2 (dua) hari sebelum dibantarkan; c. penangguhan penahanan, paling lambat 3 (tiga) hari sebelum ditangguhkan; d. pengalihan jenis penahanan, paling lambat 3 (tiga) hari sebelum dialihkan; dan e. pengeluaran penahanan, paling lambat 3 (tiga) hari sebelum dikeluarkan. Pasal 20 (1) Bantuan penggeledahan sebagaimana dimaksud pada Pasal 8 ayat (3) huruf e dilakukan atas surat permintaan PPNS, memuat uraian singkat perkara, sasaran penggeledahan, dan pertimbangan perlunya dilakukan penggeledahan. (2) Surat permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilampiri: a. laporan kejadian; dan b. laporan kemajuan; (3) Penyidik setelah menerima surat permintaan bantuan penggeledahan dari PPNS, wajib segera mempelajari dan mempertimbangkan dapat tidaknya diberikan bantuan penggeledahan. (4) Dalam hal penyidik menyetujui permintaan, wajib segera mempersiapkan personel, peralatan dan administrasi penggeledahan, serta mengkoordinasikan pelaksanaannya dengan PPNS. Pasal 21 (1) Bantuan penyitaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) huruf f dilakukan atas surat permintaan PPNS, memuat uraian singkat perkara, sasaran penyitaan, dan pertimbangan perlunya dilakukan penyitaan. (2) Surat..

12 (2) Surat permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilampiri: a. laporan kejadian; dan b. laporan kemajuan; (3) Penyidik setelah menerima surat permintaan bantuan penyitaan dari PPNS, wajib segera mempelajari dan mempertimbangkan perlu tidaknya diberikan bantuan penyitaan. (4) Dalam hal penyidik menyetujui permintaan, wajib segera mempersiapkan personel, peralatan dan administrasi penyitaan, serta mengkoordinasikan pelaksanaannya dengan PPNS. Pasal 22 Penghentian penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) huruf d, dilakukan sebagai berikut: a. sebelum PPNS menghentikan penyidikan, dilaksanakan gelar perkara bersama penyidik; b. dalam hal hasil gelar perkara menyimpulkan bahwa syarat penghentian penyidikan telah terpenuhi, maka diterbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) dan surat ketetapan penghentian penyidikan; c. PPNS mengirimkan surat pemberitahuan penghentian penyidikan kepada: 1. penuntut umum melalui penyidik; dan 2. tersangka atau keluarga dan/atau penasehat hukumnya. Pasal 23 Tukar menukar informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) huruf e, dilakukan dalam hal: a. PPNS menemukan dan/atau menerima informasi, laporan atau pengaduan masyarakat tentang adanya peristiwa yang diduga tindak pidana di luar kewenangan PPNS, maka diteruskan kepada penyidik; b. penyidik menemukan dan/atau menerima informasi, laporan atau pengaduan masyarakat tentang adanya peristiwa yang diduga tindak pidana yang juga menjadi wewenang PPNS, maka penyidik dapat melakukan proses penyidikan atau meneruskan kepada PPNS. Pasal 24 Penyidikan bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) huruf g, dilaksanakan melalui rapat koordinasi untuk: a. membentuk Tim Penyidik; b. menyusun rencana penyidikan: 1. menentukan pasal yang dipersangkakan; 2. menentukan...

13 2. menentukan cara bertindak; 3. menentukan waktu kegiatan; 4. menentukan pelibatan personel; dan 5. menentukan sarana, prasarana dan anggaran; c. menganalisis dan mengevaluasi kegiatan dan hasil; d. pengendalian. BAB IV PENGAWASAN Pasal 25 (1) Penyidik melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan penyidikan yang dilakukan oleh PPNS. (2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh pengemban fungsi Korwas PPNS melalui kegiatan: a. menghadiri dan memberikan petunjuk dalam gelar perkara yang dilaksanakan PPNS; b. meminta dan meneliti laporan kemajuan penyidikan dari PPNS; c. bersama PPNS meneliti berkas perkara hasil penyidikan yang dilaksanakan oleh PPNS dan meneruskan kepada Penuntut Umum; d atas dasar permintaan pimpinan instansi PPNS melaksanakan supervisi bersama ke jajaran PPNS yang bersangkutan; e. melakukan pendataan jumlah, instansi dan wilayah penugasan PPNS, penanganan perkara oleh PPNS serta bantuan penyidikan dari penyidik; dan f. analisis dan evaluasi pelaksanaan tugas penyidikan yang dilakukan oleh PPNS. Pasal 26 (1) PPNS menyelenggarakan gelar perkara terhadap setiap perkara yang ditangani, dan dapat dihadiri oleh penyidik dan pihak terkait. (2) Gelar perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan pada: a. awal penyidikan; b. pertengahan penyidikan; dan c. akhir penyidikan. (3) Gelar...

14 (3) Gelar perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dilaksanakan untuk: a. menentukan peristiwa yang akan ditangani merupakan tindak pidana atau bukan; b. menentukan pasal yang disangkakan; c. menyusun rencana penyidikan (4) Gelar perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dilaksanakan guna: a. menyempurnakan ketepatan penerapan pasal; b. mengetahui perkembangan penyidikan; c. mengetahui dan mengatasi kendala atau kekurangan penyidikan; d. melengkapi alat bukti; dan e. menyempurnakan proses penyidikan. (5) Gelar perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dilaksanakan guna: a. menganalisis secara yuridis terhadap keterkaitan saksi, tersangka dan barang bukti untuk memenuhi unsur-unsur pasal yang disangkakan; b. menganalisis perbuatan pelaku untuk menentukan peran; c. mengetahui kelengkapan administrasi penyidikan; dan d. mengetahui kelengkapan berkas perkara. Pasal 27 Laporan kemajuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) huruf b sekurang-kurangnya meliputi: a. jenis tindak pidana; b. uraian singkat keterangan tersangka, saksi dan ahli; c. barang bukti; d. pasal yang disangkakan; dan e. uraian singkat tindakan yang telah dilaksanakan oleh PPNS. Pasal 28 Penelitian berkas perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2) huruf c meliputi: a. persyaratan formal; dan b. persyaratan materiil, dalam hal penyidik berwenang melakukan penyidikan terhadap perkara yang ditangani oleh PPNS. Pasal 29..

15 Pasal 29 (1) Pendataan PPNS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2) huruf e, dilaksanakan oleh: a. pengemban fungsi Korwas PPNS di tingkat Polrestabes/Polresmetro/ Polres/Polresta, untuk instansi PPNS di tingkat Kabupaten/Kota; b. pengemban fungsi Korwas PPNS di tingkat Polda, untuk instansi PPNS di tingkat Provinsi; dan c. pengemban fungsi Korwas PPNS Bareskrim Polri, untuk instansi PPNS di tingkat Pusat. (2) Pengemban fungsi Korwas di tingkat Polrestabes/Polresmetro/Polres/Polresta melaporkan data kepada pengemban fungsi Korwas tingkat Polda. (3) Pengemban fungsi Korwas ditingkat Polda melaporkan data kepada pengemban fungsi Korwas PPNS Bareskrim Polri. (4) Pengemban fungsi Korwas PPNS Bareskrim Polri menghimpun data dimaksud secara nasional. (5) Pelaporan data dilaksanakan setiap bulan dan setiap tahun. Pasal 30 (1) Analisis dan evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2) huruf f meliputi: a. penanganan perkara oleh PPNS; b. hambatan penanganan perkara oleh PPNS; dan c. hambatan Polri dalam melaksanakan koordinasi, pengawasan dan pembinaan teknis terhadap PPNS. (2) Penyidik melaksanakan analisis dan evaluasi terhadap pelaksanaan tugas penyidikan yang dilakukan oleh PPNS setiap 6 (enam) bulan sekali. BAB V PEMBINAAN Pasal 31 (1) Penyidik wajib melaksanakan pembinaan penyidikan kepada PPNS. (2) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui: a. Pendidikan dan Latihan (Diklat) fungsi teknis penyidikan; dan b. peningkatan kemampuan. Pasal 32..

16 Pasal 32 (1) Pelaksanaan Diklat calon PPNS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (2) huruf a oleh Bareskrim Polri setelah dikoordinasikan dengan: a. Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia; b. instansi PPNS yang mengirimkan peserta Diklat; c. Lemdiklat Polri; dan d. instansi terkait. (2) Koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terkait dengan persyaratan, jumlah calon peserta, rekomendasi pengangkatan sebagai PPNS dan pendataan. (3) Koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terkait jumlah calon peserta, waktu, tempat dan jenis Diklat. (4) Koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c terkait dengan tempat pelaksanaan dan penyelenggaraan Diklat. (5) Koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d terkait dengan narasumber/tenaga pengajar, tes kesehatan dan psykologi. Pasal 33 (1) Peningkatan kemampuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (2) huruf b meliputi: a pelatihan/pencerahan fungsi teknis penyidikan; dan b. seminar; (2) Pelaksanaan pembinaan penyidikan dilakukan di tingkat Mabes Polri dan di tingkat Polda. Pasal 34 (1) Rekomendasi calon PPNS diterbitkan oleh Kapolri yang dapat didelegasikan kepada Kabareskrim Polri, setelah dinyatakan lulus mengikuti Diklat. (2) Rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Menteri Hukum dan HAM, untuk diterbitkan keputusan pengangkatan PPNS. BAB VI

17 BAB VI KETENTUAN PENUTUP Pasal 35 Pada saat peraturan ini mulai berlaku, maka: a. Peraturan Kapolri Nomor 25 Tahun 2007 tentang Koordinasi, Pengawasan dan Pembinaan Penyidik Pegawai Negeri Sipil; b. Peraturan Kapolri Nomor 15 Tahun 2009 tentang Pedoman Penerbitan Kartu Tanda Penyidik, Tanda Kewenangan dan Lencana Penyidik Pegawai Negeri Sipil; c. Peraturan Kapolri Nomor 16 Tahun 2009 tentang Pedoman Pembinaan Penyidik Pegawai Negeri Sipil; dan d. Peraturan Kapolri Nomor 18 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Pendidikan dan Latihan Bagi Kepolisian Khusus dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia; dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 36 Peraturan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, Peraturan Kapolri ini diundangkan dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 31 Agustus 2010 KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA, Diundangkan di Jakarta pada tanggal 2010 MENTERI HUKUM DAN HAM REPUBLIK INDONESIA, Drs. H. BAMBANG HENDARSO DANURI, M.M. JENDERAL POLISI PATRIALIS AKBAR BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN NOMOR