PPN TRANSAKSI LINTAS BATAS MENURUT UU PPN Oleh: Winarto Suhendro (Staf Pengadilan Pajak)



dokumen-dokumen yang mirip
70/PMK.03/2010 BATASAN KEGIATAN DAN JENIS JASA KENA PAJAK YANG ATAS EKSPORNYA DIKENAI PAJAK PERTAMBA

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 72/PMK.03/2010 TENTANG TATA CARA PENGEMBALIAN KELEBIHAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAU PAJAK

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEUANGAN. PPN. Ekspor. Kegiatan.

SE - 95/PJ/2010 PENEGASAN PERLAKUAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAS BARANG KENA PAJAK TERTENTU DAN/ATAU

BAB I PENDAHULUAN. menghasilkan pembangunan yang cukup pesat dalam kehidupan nasional yang

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 79/PMK.03/2010 TENTANG

2012, No.4 2 telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2002 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 143 Tahun 2000 tentang Pel

KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 568/KMK.04/2000 TENTANG

Buku Panduan Perpajakan Bendahara Pemerintah BAB VI PAJAK PERTAMBAHAN NILAI (PPN)

79/PMK.03/2010 PEDOMAN PENGHITUNGAN PENGKREDITAN PAJAK MASUKAN BAGI PENGUSAHA KENA PAJAK YANG MELAKU

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR SE - 62/PJ/2013 TENTANG

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, MEMUTUSKAN :

Penjelasan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 40/PMK.03/2010

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 70/PMK.03/2010 TENTANG

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. wujud pelayanan pemerintah kepada masyarakat. berasal dari iuran rakyat yang berdasarkan Undang Undang (dapat

Faktur pajak (tax invoice) merupakan sarana administrasi

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK SURAT EDARAN NOMOR SE-62/PJ/2013 TENTANG

BAB II TEORI PERPAJAKAN, PAJAK PERTAMBAHAN NILAI, PENGADILAN PAJAK DAN BANDING PAJAK

SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR SE - 24/PJ/2014 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. pembiayaan Negara dan pembangunan nasional. memenuhi kewajiban dalam bentuk fasilitas telah diberikan untuk mempermudah

BAB 4. Pembahasan Hasil Penelitian

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 143 TAHUN 2000 TENTANG

menjadi dokumen sumber dan sebagai dasar pencatatan pengakuan pendapatan atau pencatatan piutang. 3. Selaras dengan prinsip akuntansi yang berlaku

39/PMK.03/2010 BATASAN DAN TATA CARA PENGENAAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAS KEGIATAN MEMBANGUN SENDI

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK SURAT DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR S - 376/PJ.02/2017 TENTANG

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

TENTANG TATA CARA PENGEMBALIAN KELEBIHAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAU PAJAK PERTAMBAHAN NILAI DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PAJAK PERTAMBAHAN NILAI DAN PAJAK PENJUALAN BARANG MEWAH PPN dan PPnBM

BAB III PAKAIAN BEKAS MENURUT UU NO. 42 TAHUN 2009 TENTANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI Dasar Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2012 TENTANG

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 75/PMK.03/2010 TENTANG NILAI LAIN SEBAGAI DASAR PENGENAAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR SE - 43/PJ/2010 TENTANG

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 102/PMK. 011/2011 TENTANG

ASPEK PAJAK DALAM PENGADAAN TANAH UNTUK KEPENTINGAN UMUM OLEH INSTANSI PEMERINTAH

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemilihan Judul Kementrian Keuangan (2014)

BAB II LANDASAN TEORI

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 163/PMK.03/2012 TENTANG

BAB IV PEMBAHASAN. Analisis Mekanisme Pajak Pertambahan Nilai. Pengusaha Kena Pajak, maka PT. PP (Persero) Tbk mempunyai hak dan

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 80/PMK.03/2010 TENTANG

SE - 131/PJ/2010 PENEGASAN PERLAKUAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAU PAJAK PERTAMBAHAN NILAI DAN PAJAK

PERSANDINGAN UNDANG-UNDANG PPN DAN PPnBM UU NO 8 TAHUN 1983 stdtd UU NO 18 TAHUN 2000 & UU NO 42 TAHUN 2009

BAB I PENAHULUAN. Pajak merupakan kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK SURAT EDARAN. Nomor : SE-42/PJ/2013 TENTANG

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 5/PJ/2011 TENTANG

S-425/PJ.312/2006 PERLAKUAN PERPAJAKAN ATAS SPONSORSHIP

BAB II LANDASAN TEORI

MENTER! KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALIN AN PERA TURAN MENTER! KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 174/PMK.03/2015 TENT ANG

BAB II LANDASAN TEORI. tentang pajak yang dikemukakan oleh para ahli di bidang perpajakan menurut Prof. Dr.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI BARANG DAN JASA DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 615/PMK.04/2004 TENTANG TATALAKSANA IMPOR SEMENTARA MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

SANDINGAN UU PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TAHUN 2000 DAN TAHUN 2009

FORMAT SURAT KEPUTUSAN PENGEMBALIAN PENDAHULUAN KELEBIHAN PAJAK: KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN KEUANGAN. Pajak. Penjualan. Barang Mewah. PPn. Rehabilitasi. NAD. NIAS Hibah. Pemberlakuan.

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. commission pada PT X yang telah dipaparkan dalam bab-bab sebelumnya,

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 65/PMK.03/2010 TENTANG

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 65/PMK.03/2010 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2009 TENTANG

PAJAK PERTAMBAHAN NILAI DAN PAJAK PENJUALAN BARANG MEWAH UNDANG-UNDANG NO. 42 TAHUN 2009

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Menurut Mardiasmo (2001:118), Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara

BAB I PENDAHULUAN. (Yusdianto 2004). Pajak secara bebas dapat dikatakan sebagai suatu kewajiban

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10/PMK.03/2013 TENTANG

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK LAMPIRAN SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR SE- 62/PJ/2013 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 30/PMK.03/2014 TENTANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAS PENYERAHAN EMAS PERHIASAN

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II KAJIAN PUSTAKA

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK. 11 April 2005 SURAT DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR S - 246/PJ.

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2002 TENTANG

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2007 TENTANG

BAB II LANDASAN TEORI. Menurut Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata CaraPerpajakan

SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR SE - 42/PJ/2013 TENTANG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Bhayangkara Jaya. Analisis Perhitungan..., Nurhasanah, Fakultas Ekonomi 2016

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

SKEMA KEMUNGKINAN PENGEMBALIAN PAJAK

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Menurut Prof. Dr. P.J.A. Adriani, Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara

BAB II LANDASAN TEORI. rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat

Surat Edaran SE-13/PJ.52/2006

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 1) Menurut Rochmat Soemitro pajak adalah iuran rakyat kepada kas

KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN (UU KUP)

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 187/PMK.03/2015 TENTANG

FORMAT SURAT KEPUTUSAN PENGEMBALIAN PENDAHULUAN KELEBIHAN PAJAK : KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

2015, No Mengingat Pengenaan Pajak dan saat lain pembuatan faktur pajak atas penyerahan pupuk tertentu untuk sektor pertanian dalam Peraturan Me

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Pengertian pajak berdasarkan Undang-undang Nomor 16 Tahun. atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-undang

BAB I PENDAHULUAN. khususnya sektor ekonomi. Naiknya harga minyak dunia, tingginya tingkat inflasi,

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR KEP-...(1) TENTANG PENGEMBALIAN PENDAHULUAN KELEBIHAN PAJAK

Transkripsi:

PPN TRANSAKSI LINTAS BATAS MENURUT UU PPN Oleh: Winarto Suhendro (Staf Pengadilan Pajak) PENDAHULUAN Sebagaimana diketahui terdapat 2 (dua) prinsip dasar pemungutan PPN atas transaksi lintas batas (cross border transactions) yaitu : 1. Prinsip Tempat Tujuan (Destination Principles) PPN dipungut ditempat barang atau jasa tersebut dikonsumsi, dalam hal ini tidak memandang asal barang atau jasa tersebut. Dalam hal ini atas ekspor dibebaskan dari PPN, sedangkan atas impor dikenai PPN. Pada umumnya barang yang diekspor dikenai PPN dengan tarif 0% (nol persen) sehingga bebas dari beban PPN, sedangkan atas jasa tidak ada keseragaman. 2. Prinsip Tempat Asal (Origin Principles) PPN dipungut di tempat asal barang atau jasa tanpa memperhatikan apakah akan dijual di dalam negeri atau diekspor. Dalam hal ini atas ekspor akan dikenai PPN sedangkan atas impor tidak dikenai PPN, karena adanya perbedaan tempat asal. Prinsip Tempat Tujuan telah diterapkan dibanyak negara di dunia dan menjadi dasar pemajakan transaksi lintas batas yang direkomendasikan oleh OECD. Adalah tidak lazim, merancang peraturan perundang-undangan PPN menggunakan 2 (dua) prinsip yaitu Tempat Tujuan dan Tempat Asal secara bersama. Pilihan yang konsisten tentunya akan menghindari permasalahan perpajakan yang mungkin timbul. DASAR PEMUNGUTAN PPN TRANSAKSI LINTAS BATAS MENURUT UU PPN Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 (UU PPN) mengatur hal-hal sebagai berikut: 1. Prinsip Dasar a. Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 Dengan mengingat pada sistemnya undang-undang ini dapat disebut Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah untuk memperlihatkan bahwa dua macam pajak yang diatur disini merupakan satu kesatuan sebagai pajak atas konsumsi di dalam negeri. Selanjutnya atas ekspor barang dikenakan pajak dengan pajak dengan tarif 0% (nol persen) atau dengan kata lain, dibebaskan dari pajak, bahkan Pajak Pertambahan Nilai yang telah termasuk dalam harga barang yang diekspor dapat dikembalikan. Sebaliknya atas impor barang dikenakan pajak yang sama dengan produksi dalam negeri. b. Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1994 1

Sesuai dengan ketentuan Pasal 13 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945, ketentuanketentuan perpajakan yang merupakan landasan pemungutan ditetapkan dengan Undang- Undang. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang berlaku sejak tahun 1984, sebagai pengganti Undang-Undang Pajak Penjualan Tahun 1951, merupakan landasan hukum dalam pengenaan pajak atas konsumsi di dalam negeri. c. Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009. Pajak Pertambahan Nilai adalah pajak atas konsumsi barang dan jasa di Daerah Pabean yang dikenakan secara bertingkat disetiap jalur produksi dan distribusi. Dari Penjelasan Umum diatas jelas diketahui bahwa prinsip dasar pemungutan PPN yang dianut UU PPN adalah prinsip Tempat Tujuan, karena PPN dipungut di tempat barang atau jasa tersebut dikonsumsi. 2. Objek Pajak - Sesuai Pasal 4 ayat (1) huruf b, d, e, f, g, dan h UU PPN, Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas: Ayat (1) huruf : (b) impor Barang Kena Pajak (d) pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean. (e) pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean. (f) ekspor Barang Kena Pajak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak. (g) ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak, dan (h) ekspor Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak. - Sesuai Pasal 4 ayat (2) UU PPN bahwa Ketentuan mengenai batasan kegiatan dan jenis Jasa Kena Pajak yang atas ekspornya dikenai Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan. Kebijakan pengenaan PPN atas ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan ekspor Jasa Kena Pajak, seharusnya dijelaskan dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009, sebagai landasan filosofi berlakunya kebijakan dimaksud. Demikian pula dengan kebijakan pengenaan PPN atas Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean, dan pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean, seharusnya dijelaskan juga dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1994. 3. Tarif Pajak Sesuai Pasal 7 ayat (2) UU PPN beserta penjelasannya adalah sebagai berikut: Ayat (2) 2

Tarif Pajak Pertambahan Nilai sebesar 0% (nol persen) diterapkan atas (UU Nomor 42 Tahun 2009): a. ekspor Barang Kena Pajak Berwujud; b. ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud; dan c. ekspor Jasa Kena Pajak Penjelasan ayat (2): Pajak Pertambahan Nilai adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean. Oleh karena itu, a. Barang Kena Pajak Berwujud yang diekspor; b. Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari dalam Daerah Pabean yang dimanfaatkan di luar Daerah Pabean; atau c. Jasa Kena Pajak yang diekspor termasuk Jasa Kena Pajak yang diserahkan oleh Pengusaha Kena Pajak yang menghasilkan dan melakukan ekspor Barang Kena Pajak atas dasar pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan di luar Daerah Pabean, dikenai Pajak Pertambahan Nilai dengan tarif 0% (nol persen). Pengenaan tarif 0% (nol persen) tidak berarti pembebasan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai. Dengan demikian, Pajak Masukan yang telah dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang berkaitan dengan kegiatan tersebut dapat dikreditkan. Dengan diterapkannya tarif 0% atas ekspor Barang Kena Pajak Berwujud dan Tidak Berwujud, dan Jasa Kena Pajak, serta pengenaan PPN atas impor Barang Kena Pajak, pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean, maka dapat disimpulkan bahwa prinsip pemungutan PPN menurut UU PPN menganut prinsip Tempat Tujuan. PERATURAN PELAKSANAN PEMUNGUTAN PPN JASA ATAS TRANSAKSI LINTAS BATAS 1. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 40/PMK.03/2010 tentang Tata Cara Penghitungan, Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai atas Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari Luar Daerah Pabean mengatur antara lain: Pasal 2: Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean. Pasal 3: ayat (1) Pajak Pertambahan Nilai yang terutang atas pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah dihitung dengan cara sebagai berikut: a. 10% (sepuluh persen) dikalikan dengan jumlah yang dibayarkan atau seharusnya dibayarkan kepada pihak yang menyerahkan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak, jika dalam jumlah yang 3

dibayarkan atau seharusnya dibayarkan tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai; atau b. 10/100 (sepuluh per seratus sepuluh) dikalikan dengan jumlah yang dibayarkan atau seharusnya dibayarkan kepada pihak yang menyerahkan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak, jika dalam jumlah yang dibayarkan atau seharusnya dibayarkan sudah termasuk Pajak Pertambahan Nilai. Dengan dikenakannya PPN atas pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean maka dapat disimpulkan bahwa prinsip pemungutan PPN dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 40/PMK.03/2010 adalah prinsip Tempat Tujuan. 2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 70/PMK.03/2010 tentang Batasan Kegiatan dan Jenis Jasa Kena Pajak yang Atas Ekspornya Dikenai Pajak Pertambahan Nilai, mengatur antara lain bahwa jenis Jasa Kena Pajak yang atas ekspornya dikenai Pajak Pertambahan Nilai dengan tarif 0% (nol persen) sebagaimana diatur dalam Pasal 4 adalah: - Jasa Maklon yang batasan kegiatannya memenuhi ketentuan sebagaimana Pasal 3 huruf a; - Jasa Perbaikan dan perawatan yang batasan kegiatannya memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b angka 1; - Jasa konstruksi, yaitu layanan jasa konsultasi perencanaan pekerjaan konstruksi, layanan jasa pelaksanaan pekerjaan konstruksi, dan layanan jasa konsultasi pengawasan pekerjaan konstruksi yang batasan kegiatannya menenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b angka 2. Dari ketentuan di atas dapat disimpulkan bahwa Jasa Kena Pajak yang atas ekspornya dikenai Pajak Pertambahan Nilai dengan tarif 0% (nol persen) terbatas pada 3 (tiga) jenis Jasa Kena Pajak. Bagaimana perlakuan terhadap ekspor jenis Jasa Kena Pajak lainnya, seperti jasa perdagangan, apakah dikenai PPN dengan tarif 10% atau tidak dikenai PPN?. Pengenaan PPN dengan tarif sebesar 0% berarti Jasa Kena Pajak yang diekspor dibebaskan dari pajak karena akan dikonsumsi / dimanfaatkan di luar Daerah Pabean, maka dapat disimpulkan bahwa Peraturan Menteri Keuangan Nomor 70/PMK.03/2010 menganut prinsip Tempat Tujuan. 3. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-145/PJ/2010 tentang Perlakuan Pajak Pertambahan Nilai atas Jasa Perdagangan, mengatur antara lain: 1. Pada prinsipnya penyerahan jasa perdagangan yang dilakukan di dalam Daerah Pabean dikenai Pajak Pertambahan Nilai dalam hal Pengusaha jasa perdagangan berada di dalam Daerah Pabean, sedangkan penjual atau pembeli barang selaku penerima jasa perdagangan berada di luar Daerah Pabean atau berada di dalam Daerah Pabean. 4

2. Pemanfaatan Jasa Perdagangan dari luar Daerah Pabean dikenai PPN sepanjang penerima jasa perdagangan baik pembeli atau penjual berada di dalam Daerah Pabean atau pemanfaatan jasa perdagangan tersebut dilakukan di dalam Daerah Pabean. 3. Jasa perdagangan tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai dalam hal penyerahan jasa perdagangan dilakukan di luar Daerah Pabean yaitu pengusaha jasa perdagangan dan penjual atau pembeli barang selaku penerima jasa perdagangan berada di luar Daerah Pabean. Dari penegasan tersebut di atas diketahui bahwa Direktur Jenderal Pajak telah menerapkan dua prinsip dasar pemungutan PPN transaksi lintas batas yaitu prinsip Tempat Tujuan dan prinsip Tempat Asal. Terhadap jasa perdagangan yang diserahkan oleh pengusaha jasa perdagangan yang berada di dalam Daerah Pabean kepada penerima jasa perdagangan baik yang berada di dalam atau di luar Daerah Pabean diterapkan prinsip Tempat Asal. Sedangkan atas jasa perdagangan yang berasal dari luar Daerah Pabean dan dimanfaatkan di dalam Daerah Pabean diterapkan prinsip Tempat Tujuan. Penerapan prinsip Tempat Asal atas jasa perdagangan yang diserahkan oleh pengusaha jasa perdagangan yang berada di dalam Daerah Pabean tidak sesuai dengan prinsip dasar pemungutan PPN sebagaimana diatur dalam Penjelasan Umum UU PPN. Mengacu pada prinsip pengenaan pajak atas konsumsi jasa di dalam Daerah Pabean maka seharusnya jasa perdagangan yang diserahkan oleh pengusaha jasa perdagangan yang berada di dalam Daerah Pabean, sepanjang penerima jasa perdagangan baik itu pembeli atau penjual barang sebagai pihak yang memanfaatkan berada di luar Daerah Pabean, tidak dikenai PPN. 4. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-3/PJ/2011 tanggal 10 Januari 2011 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan Berupa Royalti dan Perlakuan Pajak Pertambahan Nilai atas Pemasukan Film Impor, mengatur antara lain: a. Pemasukan film impor pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, berupa hasil karya sinematografi yang merupakan hak kekayaan intelektual yang disimpan dalam media baik berupa roll film ataupun media penyimpanan yang lain, dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean yang dikenai Pajak Pertambahan Nilai. b. Adapun atas pembayaran royalti film impor sebagai hasil peredaran film di dalam Daerah Pabean terutang Pajak Pertambahan Nilai dengan Dasar Pengenaan Pajak sebesar nilai berupa uang yang dibayar atau seharusnya dibayar. Dari penegasan tersebut diatas diketahui bahwa Direktur Jenderal Pajak telah menerapkan prinsip Tempat Tujuan. 5

KESIMPULAN 1. Pemungutan PPN menurut UU PPN menggunakan prinsip Tempat Tujuan. 2. Pemungutan PPN atas ekspor Jasa Kena Pajak tertentu yaitu jasa maklon, jasa perbaikan dan perawatan, dan jasa konstruksi sesuai prinsip Tempat Tujuan. 3. Atas jasa perdagangan yang diserahkan oleh pengusaha jasa perdagangan yang berada di dalam Daerah Pabean menggunakan prinsip Tempat Asal, tidak sesuai dengan prinsip dasar pemungutan PPN yang dianut UU PPN. 6