I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Untuk menstabilkan emisi gas rumah kaca ke atmosfer pada tingkat tertentu sehingga tidak membahayakan sistem iklim bumi/perubahan iklim disahkan dengan Protokol Kyoto. Dalam konteks perubahan iklim, khususnya dalam implementasi Protokol Kyoto melalui CDM (Clean Development Mechanism). Pengembangan proyek CDM dapat dilakukan oleh berbagai pihak, misalnya lembaga pemerintah, lembaga nonpemerintah atau sektor swasta. Untuk melaksanakan hal tersebut perlu meningkatkan kesadaran masyarakat dalam arti luas, termasuk kalangan pemerintah di berbagai sektor, masyarakat madani, masyarakat ilmiah, dan pelaku bisnis. Masalah mendesak yang harus ditangani dalam rangka meningkatkan kesadaran pemerintah adalah pentingnya melakukan pengurastamaan (main streaming) pembangunan berkelanjutan ke dalam sektorsektor pembangunan salah satunya adalah masalah sampah. Masyarakat madani memiliki persoalan sendiri dalam rangka memberikan kontrol terhadap program pemerintah tentang penanganan program sampah yang berhubungan dengan kepentingan publik. Oleh karena itu, dalam rangka peningkatan kesadaran kelompok ini dan peningkatan peran mereka, penekanan perlu diberikan kepada pentingnya proses yang partisipatif. Permasalahan dalam penanganan sampah terjadi karena ketidakseimbangan antara produksi dengan kemampuan dalam pengelolaannya, volume sampah terus meningkat sejalan dengan pertumbuhan penduduk, perubahan kualitas hidup dan dinamika kegiatan masyarakat. Sampah yang tidak dikelola menyebabkan gangguan kesehatan karena sarang penyakit, menjijikkan dan menimbulkan bau yang tidak sedap, pencemaran tanah, air, dan berkurangnya nilai kebersihan dan keindahan lingkungan.
Sistem pengelolaan sampah perkotaan yang sudah ada selama ini adalah pengumpulan/pewadahan, pemindahan/pengangkutan, pemusnahan/penggurugan melalui Dinas Pekerjaan Umum Cipta Karya atau Perusahaan Daerah Kebersihan yang mengangkut sampah dari Tempat Penampungan Sementara - Tempat Penampungan Sementara (TPS-TPS) menuju Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Sistem ini dianggap belum optimal, karena kelemahan dalam manajemen operasional dan keterbatasan biaya operasional ditambah dengan langkanya tenaga profesional dalam penanganan sampah merupakan faktor utama permasalahan tersebut. Selain itu permasalahan yang dihadapi dalam teknis operasional persampahan kota diantaranya: kapasitas peralatan yang belum memadai, pemeliharaan alat yang kurang, sulitnya pembinaan tenaga pelaksana khususnya tenaga harian lepas, sulit memilih metode operasional yang sesuai dengan kondisi daerah, siklus operasi persampahan tidak lengkap/terputus karena berbedanya penanggungjawab, koordinasi sektoral antar birokrasi pemerintah seringkali lemah, manajemen operasional lebih dititikberatkan pada aspek pelaksanaan, pengendalian lemah, dan perencanaan operasional seringkali hanya untuk jangka pendek (Damanhuri dan Padmi, 2005). Oleh karena itu, sistem ini akan diintegrasikan ke dalam sistem baru yaitu pengelolaan sampah berbasis masyarakat, agar menutupi beberapa kelemahan dari sistem ini. Untuk mengatasi permasalahan ini dilakukan dengan sistem pengelolaan sampah berbasis masyarakat, karena masyarakat sebagai produsen sampah dan masyarakat pula yang akan menikmati lingkungan bersih dan higienis bila persoalan sampah bisa ditangani secara baik. Kelebihan pengelolaan sampah berbasis masyarakat sebagai berikut: 1. Masyarakat ikut berpartisipasi dalam pengelolaan sampah. 2. Pengelolaan sampah dilakukan pada tingkat rumah tangga. 3. Pelaksanaan, perencanaan dan pengawasaan pengelolaan sampah dilakukan oleh masyarakat. Sistem ini akan mengadopsi sistem pengelolaan persampahan yang sudah ada dengan menambahkan potensi kelembagaan RT dipacu untuk aktif berperan dan
juga sekaligus mengawasi. Pengelolaan sampah yang diterapkan di Kota Pontianak selama ini adalah dikumpulkan, ditampung di TPS dan akhirnya dibuang ke TPA. Pengelolaan sampah ini menyebabkan penumpukan sampah di setiap lini rumah tangga, TPS dan TPA. Secara internal keadaan ini disebabkan kurang tersedianya sarana dan prasarana pengumpulan, keterbatasan armada personil kebersihan dan sulitnya mencari lembaga swadaya yang dapat bermitra dengan pemerintah dalam pengelolaan sampah secara baik. Selain itu keterbatasan lahan yang digunakan sebagai TPA karena semakin sulitnya memperoleh ruang yang pantas dan jaraknya semakin jauh dari pusat kota, serta diperlukannya dana yang besar untuk pembebasan lahan TPA, merupakan faktor eksternal yang turut mempengaruhi permasalahan persampahan tersebut. Kondisi diatas mendorong upaya pengelolaan sampah kota yang lebih baik berdasarkan pada usaha pengelolaan sampah sedini mungkin, sedekat mungkin dari sumbernya dan sebanyak mungkin mendayagunakan kembali sampah. Perubahan pola pembuangan sampah serta meningkatnya pemanfaatan dan pengolahan sampah yang lebih baik melalui proses Reduce, Reuse, dan Recycle, dan Composting (3RC). Ditinjau dari segi ekonomi usaha daur ulang dan pengkomposan sampah kota memiliki nilai ekonomis karena sampah diperoleh menjadi barang yang berguna. Oleh karena itu apabila usaha pemanfaatan sampah dapat terlaksana dengan baik, dapat mengatasi masalah ekologi yaitu keterbatasan lahan untuk TPA pada Kota Pontianak yang sudah padat dan pencemaran lingkungan akibat sampah yang tidak terangkut. Selain itu usaha ini juga dapat memberikan manfaat ekonomi yaitu sampah bisa menghasilkan uang bagi masyarakat dengan komposting dan mengatasi permasalahan keterbatasan sumber dana pengelolaan sampah yang selama ini menjadi kendala pemerintah. Di samping itu dari sisi sosial dapat meningkatkan pendapatan penduduk merupakan salah satu penanggulangan kemiskinan dengan membuka lapangan pekerjaan. Pengelolaan sampah pada skala komunal memerlukan peran institusi lokal pada komunitas. Berdasarkan uraian di atas maka perlu dilakukan pengkajian pengelolaan sampah berbasis masyarakat pada tingkat mikro yaitu RT dengan menggunakan peran institusi lokal yang ada
di komunitas dengan konsep modal sosial, pengelolaan lingkungan sosial dan kolaborasi antar stakeholder. Setiap masyarakat memiliki kapasitas untuk mengatasi masalah mereka sendiri, dalam hal ini masalah pengelolaan sampah. Kapasitas masyarakat dapat dikaji dengan menggunakan konsep modal sosial untuk pengorganisasian komunitas dalam pembentukan kelompok pengelolaan sampah untuk merubah paradigma perilaku masyarakat mulai dari tingkat keluarga untuk memilah dan memilih sampah. Dalam hal pengukuran keberlanjutan pengelolaan sampah berbasis masyarakat tersebut dikaji dari konsep pengelolaan lingkungan sosial. Pengelolaan sampah berbasis masyarakat tidak lepas dari peran pemerintah sebagai institusi yang memberikan pelayanan penanganan sampah di masyarakat sehingga perlu dilakukan kolaborasi antar stakeholder. Dengan adanya pengkajian ini akan memperoleh strategi pengembangan masyarakat dengan program pada ruang pemerintah, masyarakat dan campuran pemerintah dan masyarakat. Diharapkan ini dapat menjadi pedoman dalam rangka merealisasikan Undang- Undang Nomor 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah khususnya di Kota Pontianak terutama daerah di pinggiran Sungai Kapuas yang belum mendapatkan pelayanan pengangkutan sampah. 1.2 Permasalahan Salah satu komunitas di Kota Pontianak yaitu di Kompleks Perumahan Dwi Ratna telah menerapkan pengelolaan sampah yang dilakukan secara swadaya oleh masyarakat dalam menerapkan pola 3RC dengan cara membuat kompos dan hasil kerajinan tangan dari sampah. Pembuatan kompos dilakukan pada tingkat rumah tangga secara individu dan pembuatan kerajinan tangan secara komunal pada tingkat RT. Hasil pengelolaan sampah ini tidak membuat sampah bersisa di lingkungan RT karena sampah yang tidak dapat di daur ulang diberikan kepada pemulung. Di lain pihak ada komunitas di Kota Pontianak yang belum mengetahui pengelolaan sampah berbasis masyarakat. Salah satunya adalah masyarakat di pinggiran Sungai Kapuas. Pengelolaan sampah yang dilakukan oleh
masyarakat masih dengan cara membuang sampah ke sungai dan pembakaran sampah sehingga mengakibatkan pencemaran lingkungan. Setiap masyarakat dapat memiliki kapasitas untuk mengatasi masalah sampah yang terjadi dilingkungan mereka. Hal ini dapat dilakukan dengan transplantasi pembelajaran dari komunitas Kompleks Perumahan Dwi Ratna kepada komunitas yang belum melakukan pengelolaan sampah yaitu masyarakat di pinggir sungai. Proses transplantasi pembelajaran pengelolaan sampah ini memerlukan dukungan dari pemerintah. Pada saat ini pemerintah melakukan pelayanan pengangkutan sampah kepada masyarakat baru dapat mencapai 60 persen di Kota Pontianak sedangkan sisanya oleh masyarakat ada yang dibakar, ditimbun, dibuang ke sungai, dan tempat lainnya. Adapun permasalahan yang belum dapat diselesaikan adalah sebagai berikut: a. Masyarakat akan selalu memerlukan TPS karena pertumbuhan penduduk diiringi dengan bertambah banyaknya sampah. b. Masyarakat mencari TPS di dekat wilayah mereka sehingga masyarakat membuang sampah di lahan yang kosong, parit atau sungai jika tidak tersedia TPS. c. Pemerintah memiliki keterbatasan dana dan prasarana untuk menangani masalah sampah. d. Tidak ada partisipasi masyarakat dalam pengolahan sampah di tingkat rumah tangga. Permasalahan sampah yang dihadapi di atas menunjukkan bahwa pemerintah Kota Pontianak belum mampu mengatasi masalah sampah pada daerah yang tidak terjangkau pengangkutan sampah. Salah satu daerah yang tidak terjangkau pengangkutan sampah adalah daerah pinggiran Sungai Kapuas karena transportasi pengangkutan sampah tidak dapat dilakukan pada daerah pinggiran sungai. Mengingat masalah sampah memerlukan dukungan dari berbagai pihak baik pemerintah, masyarakat dan perpaduan antara pemerintah dan masyarakat, maka perlu memperhatikan isu kritikal dalam pengelolaan sampah tersebut yaitu:
1. Pada ruang masyarakat yaitu masyarakat yang kurang menguasai teknologi, keterampilan dan pengetahuan. 2. Pada ruang pemerintah yaitu pemerintah kekurangan anggaran, peraturan yang mengatur pengelolaan sampah berbasis masyarakat, dan manajemen pengelolaan sampah. 3. Pada ruang pemerintah dan masyar akat yaitu kurangnya pelatihan dan teknologi. Untuk mengatasi berbagai kendala pada setiap ruang tersebut dengan penciptaan prakondisi pada tingkat pemerintah, masyarakat dan pada tingkat kedua-duanya. Maka pertanyaan penelitian dirumuskan sebagai berikut: 1. Bagaimanakah pola pengelolaan sampah berbasis masyarakat di komunitas Kompleks Perumahan Dwi Ratna, Kota Pontianak? 2. Bagaimanakah mengembangkan pengelolaan sampah berbasis masyarakat bagi komunitas pinggir Sungai Kapuas? 3. Apakah masalah pengelolaan sampah yang dihadapi oleh masyarakat yang tinggal di pinggir Sungai Kapuas? 4. Apakah bentuk program pengembangan pengelolaan sampah berbasis masyarakat yang dapat dibangun bagi komunitas di pinggiran Sungai Kapuas di Kota Pontianak? 1.3 Tujuan Kajian Dengan mengacu pada pertanyaan penelitian di atas, maka disusun tujuan studi ini, sebagai berikut: 1. Mengetahui pola pengelolaan sampah berbasis masyarakat di komunitas Kompleks Perumahan Dwi Ratna di Kota Pontianak. 2. Memahami pengembangan pengelolaan sampah berbasis masyarakat bagi komunitas pinggir Sungai Kapuas di Kota Pontianak. 3. Mengidentifikasi masalah pengelolaan sampah yang dihadapi oleh masyarakat yang tinggal di pinggir Sungai Kapuas di Kota Pontianak.
4. Mengembangkan bentuk program pengelolaan sampah berbasis masyarakat yang dapat dibangun bagi komunitas pinggir Sungai Kapuas di Kota Pontianak. 1.4 Kegunaan Kajian Hasil dari kajian ini diharapkan dapat dipergunakan untuk : 1. Masyarakat sebagai cara untuk meningkatkan kesejahteraan melalui kegiatan ekonomi produktif dan menciptakan lingkungan yang bersih. 2. Pemerintah daerah sebagai bahan pembuatan kebijakan atau keputusan dalam pengelolaan sampah berbasis masyarakat untuk daerah pinggiran Sungai Kapuas. 3. Pengembangan masyarakat sebagai penambah wawasan dan memperkaya pengetahuan akademik tentang pengembangan masyarakat.