PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR : 7 TAHUN 2005 TENTANG PENYELENGGARAAN SARANA BANTU NAVIGASI PELAYARAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA



dokumen-dokumen yang mirip
MENTERIPERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 81 TAHUN 2000 TENTANG KENAVIGASIAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

MENTERIPERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM. 52 TAHUN 2012 TENTANG ALUR-PELAYARAN SUNGAI DAN DANAU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG KENAVIGASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

2017, No Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2009 tentang Kepelabuhanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 151, Tambahan L

UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 1992 TENTANG PELAYARAN [LN 1992/98, TLN 3493]

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 81 TAHUN 2000 TENTANG KENAVIGASIAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG KENAVIGASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN PERATURAN MENTERI TENTANG PENYELENGGARAAN PELABUHAN PENYEBERANGAN MENTERI PERHUBUNGAN,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG KENAVIGASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN. NOMOR : 60 Tahun 2006 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG KENAVIGASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

P E N J E L A S A N A T A S PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG KENAVIGASIAN

*37645 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 81 TAHUN 2000 (81/2000) TENTANG KENAVIGASIAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 81 TAHUN 2000 TENTANG KENAVIGASIAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 81 TAHUN 2000 TENTANG KENAVIGASIAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN KESYAHBANDARAN DI PELABUHAN PERIKANAN

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA T E N T A N G PENYELENGGARAAN TELEKOMUNIKASI KHUSUS UNTUK KEPERLUAN INSTANSI PEMERINTAH DAN BADAN HUKUM

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 55 Tahun Tentang

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 81 TAHUN 2000 TENTANG KENAVIGASIAN M E M U T U S K A N : B A B

KEPUTUSAN MENTERI PERTAMBANGAN DAN ENERGI NOMOR 300.K/38/M.pe/1997 TENTANG KESELAMATAN KERJA PIPA PENYALUR MINYAK DAN GAS BUMI

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA TENTANG PENYELENGGARAAN TELEKOMUNIKASI KHUSUS UNTUK KEPERLUAN INSTANSI PEMERINTAH DAN BADAN HUKUM

KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN TENTANG PENYELENGGARAAN PELABUHAN PENYEBERANGAN MENTERI PERHUBUNGAN,

2016, No kepelabuhanan, perlu dilakukan penyempurnaan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 51 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Pelabuhan L

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR PER. 16/MEN/2006 TENTANG PELABUHAN PERIKANAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN,

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 70 TAHUN 1996 TENTANG KEPELABUHANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEMENTERIAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL PLANOLOGI KEHUTANAN J A K A R T A : PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PLANOLOGI KEHUTANAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 69 TAHUN 2001 TENTANG KEPELABUHANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

2016, No Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor: 166, Tambahan Le

2013, No Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negar

Peraturan Pemerintah No. 70 Tahun 1996 Tentang : Kepelabuhanan

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR KM.1 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PENERBITAN SURAT PERSETUJUAN BERLAYAR (PORT CLEARANCE)

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN DARAT NOMOR : SK. 4135/KP.108/DRJD/2013 T E N T A N G KOMPETENSI INSPEKTUR SUNGAI DAN DANAU

GUBERNUR JAWA TENGAH, PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 44 TAHUN 2013 TENTANG PINJAM PAKAI KAWASAN HUTAN DI WILAYAH PROVINSI JAWA TENGAH

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.08/MEN/2012 TENTANG KEPELABUHANAN PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PENGAWASAN PENGANGKUTAN BARANG TERTENTU DALAM DAERAH PABEAN

GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH

RANCANGAN PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2015

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1992 TENTANG PELAYARAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

2 2. Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 1998 tentang Pemeriksaan Kecelakaan Kapal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 1, Tambahan Lem

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2015 TENTANG KEMENTERIAN PERHUBUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BERITA NEGARA. KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL. Izin Khusus. Pertambangan. Mineral Batu Bara. Tata Cara.

KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR KP 996 TAHUN 2017 TENTANG SATUAN TUGAS PERCEPATAN PELAKSANAAN BERUSAHA KEMENTERIAN PERHUBUNGAN

BERITA NEGARA. KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL. Permohonan Izin. Pemanfaatan Tenaga Listrik. Telekomunikasi. Tata Cara. Pencabutan.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB II PEMUTAKHIRAN PETA LAUT

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26/PERMEN-KP/2014 TENTANG RUMPON DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI BANTUL PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR 14 TAHUN 2013 TENTANG

BUPATI MUSI BANYUASIN PROVINSI SUMATERA SELATAN PERATURAN BUPATI MUSI BANYUASIN NOMOR 28 TAHUN 2017 TENTANG

BERITA NEGARA. KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN. Kepelabuhan. Perikanan. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA

SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANYUWANGI NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG PENERBITAN PAS KECIL KAPAL KURANG DARI 7 GROSSE TONNAGE

BUPATI TAPIN PERATURAN BUPATI TAPIN NOMOR 32 TAHUN 2013 TENTANG

2018, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 136,

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 70/PMK.04/2007 TENTANG KAWASAN PABEAN DAN TEMPAT PENIMBUNAN SEMENTARA

TENTANG IZIN PEMBANGUNAN DAN PENGELOLAAN PELABUHAN KHUSUS

2016, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2015 TENTANG KEMENTERIAN PERHUBUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

WALIKOTA SURABAYA PERATURAN WALIKOTA SURABAYA NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG PEMBANGUNAN DAN PENATAAN MENARA TELEKOMUNIKASI BERSAMA DI KOTA SURABAYA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

SALINAN PERATURAN MENTERI PARIWISATA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2015 TENTANG STANDAR USAHA GEDUNG PERTUNJUKAN SENI

KEPUTUSAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL NOMOR : 815 K/30/MEM/2003 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 70 TAHUN 2001 TENTANG KEBANDARUDARAAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 70 TAHUN 2001 TENTANG

2017, No Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Kereta Api (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009

MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL,

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.29/Menhut-II/2014 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG KEGIATAN USAHA PENYEDIAAN TENAGA LISTRIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERIPERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANYUWANGI NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG PENERBITAN PAS KECIL KAPAL KURANG DARI 7 GROSSE TONNAGE

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TANAH LAUT TAHUN 2012 NOMOR 4

2016, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 64, Tambahan L

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2012 TENTANG JUAL BELI TENAGA LISTRIK LINTAS NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN 2016

2012, No.71 2 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Kebandarudaraan adalah segala sesuatu yang berkaita

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 75 TAHUN 2014 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2002 TENTANG

2017, No Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Kereta Api, sebagaimana telah diubah terakhir dengan Per

2014, No.1090 NOMOR PM 71 TAHUN 2013 Contoh 1

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 74 TAHUN 2015 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2012 TENTANG JUAL BELI TENAGA LISTRIK LINTAS NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN BUPATI BULUNGAN NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG RETRIBUSI PELAYANAN JASA KEPELABUHAN DAN BANDAR UDARA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 105 TAHUN 2015 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN PEMERINTAH

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA NOMOR : 17 /PER/M.KOMINFO/9/2005 TENTANG

BUPATI LAMPUNG TIMUR PROVINSI LAMPUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMPUNG TIMUR NOMOR 07 TAHUN 2014 TENTANG

2015, No Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 4,

2 Tahun 2009 Nomor 151, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5070); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2010 tentang Kenavigasian (Lemb

PERATURAN DAERAH KABUPATEN NUNUKAN NOMOR 04 TAHUN 2005

Transkripsi:

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR : 7 TAHUN 2005 TENTANG PENYELENGGARAAN SARANA BANTU NAVIGASI PELAYARAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERHUBUNGAN, Menimbang : a. bahwa dalam Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2000 tentang Kenavigasian telah diatur ketentuanketentuan mengenai penyelenggaraan sarana bantu navigasi pelayaran; b. bahwa berdasarkan pertimbangan hal tersebut huruf a, perlu mengatur penyelenggaraan sarana bantu navigasi pelayaran dengan Peraturan Menteri; Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3493); 2. Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2000 tentang Kenavigasian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 160, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4001); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 2001 tentang Kepelabuhanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 121, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4145); 1

4. Keputusan Presiden Nomor 65 Tahun 1980 tentang Pengesahan International Convention for The Safety of Life at Sea (SOLAS) 1974; 5. Keputusan Pesiden Nomor 102 Tahun 2001 tentang Kedudukan Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Departemen, sebagaimana telah diubah terakhir dengan Keputusan Presiden Nomor 35 Tahun 2004; 6. Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 173/AL.401/PHB-84 tentang Berlakunya The IALA Maritime Bouyage Sistem Untuk Region A Dalam Tatanan Sarana Bantu Navigasi Pelayaran di Indonesia; 7. Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 24 Tahun 2001 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Perhubungan Perhubungan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 42 Tahun 2004; MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN TENTANG PENYELENGGARAAN SARANA BANTU NAVIGASI PELAYARAN. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan : 1. Sarana bantu navigasi pelayaran adalah sarana yang dibangun atau terbentuk secara alami yang berada di luar kapal yang berfungsi membantu navigator dalam menentukan posisi dan/atau haluan kapal serta memberitahukan bahaya dan/atau rintangan pelayaran untuk kepentingan keselamatan berlayar. 2. Menara suar adalah sarana bantu navigasi pelayaran tetap yang bersuar dan mempunyai jarak tampak sama atau lebih 20 (dua puluh ) mil laut yang dapat membantu untuk menunjukan para navigator dalam menentukan posisi dan/atau haluan kapal, menunjukan arah daratan dan adanya pelabuhan serta dapat dipergunakan sebagai tanda batas wilayah negara. 2

3. Rambu suar adalah sarana bantu navigasi pelayaran tetap yang bersuar dan mempunyai jarak tampak sama atau lebih dari 10 (sepuluh) mil laut yang dapat membantu untuk menunjukan kepada para navigator adanya bahaya/rintangan navigasi antara lain karang, air dangkal, gosong, dan bahaya terpencil serta menentukan posisi dan/atau haluan kapal. 4. Pelampung suar adalah sarana bantu navigasi pelayaran apung dan mempunyai jarak tampak lebih kurang dari 6 (enam) mil laut yang dapat membantu untuk menunjukan kepada para navigator adanya bahaya/rintangan navigasi antara lain karang, air dangkal, gosong, kerangka kapal dan untuk menunjukan perairan aman serta pemisah alur. 5. Tanda siang (Day Mark) adalah sarana bantu navigasi pelayaran berupa anak pelampung dan/atau rambu siang untuk menunjukan kepada navigator adanya bahaya/rintangan navigasi antara lain karang, air dangkal, gosong, kerangka kapal dan menunjukan perairan yang aman serta pemisah alur yang hanya dapat dipergunakan pada siang hari. 6. Rambu radio (Radio Beacon) adalah sarana bantu navigasi pelayaran yang mengunakan gelombang radio untuk membantu para navigator dalam menentukan arah baringan dan/atau posisi kapal. 7. Rambu radar (Radar Beacon) adalah sarana bantu navigasi pelayaran yang dapat membantu para navigator untuk menentukan posisi kapal dengan menggunakan radar. 8. Kecukupan sarana bantu navigasi pelayaran adalah terpenuhinya sarana bantu navigasi pelayaran untuk mencakup perairan Indonesia sesuai dengan rasio yang ditetapkan. 9. Keandalan sarana bantu navigasi pelayaran adalah tingkat kemampuan sarana bantu navigasi pelayaran untuk menjalankan fungsinya sesuai ketentuan. 10. Kelainan sarana bantu navigasi pelayaran adalah kondisi berkurangnya optimalisasi fungsi sarana bantu navigasi pelayaran baik karena gangguan alam, gangguan teknis dan kesalahan manusia. 11. Pemilik kapal adalah orang atau badan hukum yang memiliki kapal. 12. Operator kapal adalah orang atau badan hukum yang mengoperasikan kapal. 13. Jarak aman adalah jarak tertentu kapal yang sedang berlayar, berolah gerak atau berlabuh jangkar terhadap sarana bantu navigasi pelayaran sehingga tidak menabrak dan/atau merusak sarana bantu navigasi pelayaran dalam 3

situasi dan kondisi yang bagaimanapun dengan melaksanakan kecakapan pelaut yang baik. 14. Zona keamanan dan keselamatan adalah ruang disekitar sarana bantu navigasi pelayaran yang dibatasi oleh radius, tinggi dan/atau kedalaman tertentu. 15. International Assosiation of Lighthouse Authorities (IALA) adalah suatu badan dunia non pemerintah yang bersama para wakil dari negara-negara penyelenggara sarana bantu navigasi pelayaran (SBNP) untuk saling tukar informasi dan merekomendasikan improvisasi-improvisasi untuk sarana bantu navigasi pelayaran berdasarkan teknologi muktahir. 16. Badan Hukum Indonesia adalah badan usaha yang dimiliki oleh negara, daerah, swasta dan/atau koperasi. 17. Menteri adalah Menteri Perhubungan. 18. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal Perhubungan Laut. BAB II JENIS DAN FUNGSI SARANA BANTU NAVIGASI PELAYARAN Pasal 2 (1) Jenis sarana bantu navigasi pelayaran terdiri dari : a. sarana bantu navigasi pelayaran visual; b. sarana bantu navigasi pelayaran elektronik; c. sarana bantu navigasi pelayaran audible. (2) Sarana bantu navigasi pelayaran berfungsi untuk : a. menentukan posisi dan/atau haluan kapal; b. memberitahukan adanya bahaya/rintangan pelayaran; c. menunjukkan batas-batas alur pelayaran yang aman; d. menandai garis-garis pemisah lalu lintas kapal; e. menunjukkan kawasan dan/atau kegiatan khusus di perairan; f. penunjukan batas negara. 4

Pasal 3 (1) Sarana bantu navigasi pelayaran visual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), huruf a meliputi : a. pada siang hari dikenal dari warna, tanda puncak, bentuk bangunan, kode huruf dan angka; b. pada malam hari dapat dikenal dari irama dan warna cahaya. (2) Sarana bantu navigasi pelayaran visual sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat ditempatkan di darat atau di perairan berupa : a. menara suar; b. rambu suar; c. pelampung suar; d. tanda siang. Pasal 4 (1) Sarana bantu navigasi pelayaran elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b, digunakan untuk menyampaikan informasi melalui gelombang radio atau sistem elektromagnetik lainnya untuk menentukan arah dan posisi kapal. (2) Sarana bantu navigasi pelayaran elektronik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi : a. global position system (GPS); b. differential global position system (DGPS); c. radar beacon; d. radio beacon; e. radar surveylance; f. medium wave radio beacon; g. loran; h. decca; i. differential omega; j. sarana bantu navigasi pelayaran elektronik lainnya sesuai dengan perkembangan teknologi yang akan datang. Pasal 5 (1) Sarana bantu navigasi pelayaran audible sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf c, digunakan untuk menyampaikan informasi mengenai posisi sarana bantu navigasi pelayaran melalui suara. 5

(2) Sarana bantu navigasi pelayaran audible sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditempatkan pada sarana bantu navigasi pelayaran visual di daerah berkabut atau pandangan terbatas. BAB III PENYELENGGARAAN SARANA BANTU NAVIGASI PELAYARAN Pasal 6 Untuk terselenggaranya sarana bantu navigasi pelayaran secara optimal, Direktur Jenderal menetapkan : a. perencanaan, pengadaan, pembangunan, pengawasan, pedoman dan standar pengoperasian dan pemeliharaan sarana bantu navigasi pelayaran serta penerbitan dan penghapusan nomor daftar suar Indonesia (DSI) termasuk penyiarannya; b kecukupan dan keandalan sarana bantu navigasi pelayaran termasuk sumber daya manusia yang mengoperasikannya. Pasal 7 (1) Penyelenggaraan sarana bantu navigasi pelayaran dilakukan oleh Direktur Jenderal. (2) Penyelenggaraan sarana bantu navigasi pelayaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi kegiatan : a. pengadaan; b. pengoperasian; dan c. pemeliharaan. (3) Dalam keadaan tertentu Direktur Jenderal dapat menyerahkan penyelenggaraan sarana bantu navigasi pelayaran kepada Pemerintah Daerah dan/atau Badan Hukum Indonesia setelah mendapat persetujuan dari Menteri. Pasal 8 Penyelenggaraan sarana bantu navigasi pelayaran harus memenuhi persyaratan sebagai berikut : 6

a. hasil survey lokasi untuk penempatan sarana bantu navigasi pelayaran sesuai dengan keselamatan pelayaran (kondisi geografis, alur pelayaran, perlintasan, pengembangan wilayah, keamanan dan keselamatan berlayar) serta arus lalu lintas kapal (panjang garis kapal, kepadatan lalu lintas pelayaran, ukuran dan syarat kapal yang melayari alur) yang dilaksanakan oleh Direktur Jenderal; b. persyaratan teknis : 1) sarana bantu navigasi pelayaran di darat : a) pondasi dan konstruksi bangunan memenuhi standar konstruksi; b) luas area menara suar sekurang-kurangnya 5000 M2, untuk rambu suar sekurang-kurangnya 400 M2; c) lampu suar serta perlengkapannya memenuhi standar internasional (IALA); d) fasilitas menara suar meliputi : (1) rumah penjaga menara suar tipe T.50; (2) rumah generator 60 M2, gudang peralatan 50 M2 dan gudang penampungan logistik di pantai 30 M2; (3) bak penampungan air tawar 1 buah kapasitas minimum 25 M3 untuk setiap rumah kapasitas 5 M3; (4) alat penolong dan keselamatan; (5) sumber tenaga listrik yang memadai; (6) jetty sesuai kebutuhan; (7) sarana komunikasi. 2) sarana bantu navigasi pelayaran tetap yang dibangun di perairan : a) pondasi dan konstruksi bangunan memenuhi standar konstruksi; b) ketinggian lantai rambu suar dipertimbangkan lebih tinggi dari tingginya ombak; 7

c) lampu suar serta perlengkapannya memenuhi standar Internasional (IALA). 3) sarana bantu navigasi pelayaran yang tidak tetap/terapung : a) bahan pelampung, penjangkaran dan perlengkapannya memenuhi standar konstruksi (IALA); b) lampu suar serta perlengkapannya memenuhi standar Internasional (IALA); c. tersedianya sumber pembiayaan penyelenggaraan sarana bantu navigasi pelayaran yang memadai; d. memiliki alat perlengkapan sarana bantu navigasi pelayaran. Pasal 9 (1) Untuk memperoleh persetujuan penyelenggaraan sarana bantu navigasi pelayaran, penyelenggara mengajukan permohonan kepada Menteri melalui Direktur Jenderal yang dilengkapi : a. peta lokasi; b. izin dari instansi yang berwenang sesuai dengan kegiatannya. (2) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Direktur Jenderal melaksanakan survei lokasi untuk penempatan dan pemasangan sarana bantu navigasi pelayaran. (3) Direktur Jenderal menyampaikan hasil penelitian terhadap permohonan penyelenggaraan sarana bantu navigasi pelayaran sebagaimana dimaksud ayat (1) kepada Menteri selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak selesainya survei. (4) Pemberian atau penolakan atas permohonan persetujuan penyelenggaraan sarana bantu navigasi pelayaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan oleh Menteri dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak hasil penelitian diterima secara lengkap dari Direktur Jenderal. (5) Penolakan permohonan persetujuan penyelenggaraan sarana bantu navigasi pelayaran disampaikan oleh Menteri secara tertulis dengan disertai alasan penolakan yang jelas. 8

Pasal 10 (1) Pengadaan sarana bantu navigasi pelayaran sebelum dioperasikan, dilakukan pemeriksaan fisik oleh petugas yang ditunjuk Direktur Jenderal. (2) Sarana bantu navigasi pelayaran yang akan dioperasikan, diberikan nomor tanda suar Indonesia oleh Direktur Jenderal. (3) Direktur Jenderal menyusun, menerbitkan dan memperbaruhi buku daftar suar Indonesia wilayah Republik Indoensia. Pasal 11 (1) Pengoperasian, pemeliharaan sarana bantu navigasi pelayaran dilakukan oleh petugas pelayanan sarana bantu navigasi pelayaran yang memenuhi persyaratan. (2) Persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi hal-hal sebagai berikut : a. sehat jasmani dan rohani; b. tidak buta warna; c. tidak cacad pendengaran; d. tidak gagap; e. tidak takut ketinggian; f. bebas narkotika dan obat terlarang; g. mempunyai kemampuan teknis dan/atau mempunyai pendidikan dan pelatihan di bidang Kenavigasian. yang dibuktikan dengan surat keterangan dari dokter penguji yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal. Pasal 12 Dalam penyelenggaraan sarana bantu navigasi pelayaran, penyelenggara diwajibkan : a. menyampaikan laporan bulanan keandalan sarana bantu navigasi pelayaran kepada Direktur Jenderal; b. melaporkan secepatnya apabila terjadi kerusakan, tidak berfungsi dan setelah berfungsi kembali sarana bantu navigasi pelayaran kepada Direktur Jenderal; 9

c. melaksanakan pemeliharaan dan perawatan dalam rangka menjaga keandalan sarana bantu navigasi pelayaran. Pasal 13 (1) Badan Hukum Indonesia dapat menyerahkan hasil pengadaan sarana bantu navigasi pelayaran kepada Direktur Jenderal apabila sarana bantu navigasi pelayaran telah digunakan untuk kepentingan umum. (2) Badan Hukum Indonesia dapat menyerahkan hasil pengadaan sarana bantu navigasi pelayaran kepada Direktur Jenderal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terlebih dahulu dilakukan survei terhadap sarana bantu navigasi pelayaran dan dinyatakan dalam kondisi laik operasi oleh Direktur Jenderal. (3) Biaya pemeliharaan sarana bantu navigasi pelayaran selama 2 (dua) tahun sejak diserahkan kepada Direktur Jenderal masih menjadi tanggung jawab Badan Hukum Indonesia. Pasal 14 (1) Sarana bantu navigasi pelayaran yang diselenggarakan oleh Badan Hukum Indonesa dapat dialihkan penyelenggaraannya kepada Badan Hukum Indonesia lainnya bersamaan dengan pengalihan fasilitas yang memerlukan sarana bantu navigasi pelayaran. (2) Pengalihan penyelenggaraan sarana bantu navigasi pelayaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilaporkan kepada Direktur Jenderal. Pasal 15 (1) Sarana bantu navigasi pelayaran milik Badan Hukum Indonesia yang tidak dioperasikan lagi harus segera dibongkar dan dilaporkan kepada Direktur Jenderal. (2) Apabila sarana bantu navigasi pelayaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dibongkar, Direktur Jenderal akan memerintahkan Badan Hukum Indonesia untuk melakukan pembongkaran. (3) Apabila dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal diterimanya perintah pembongkaran, Badan Hukum Indonesia tidak melakukan pembongkaran, Direktur Jenderal berwenang melakukan pembongkaran atas beban biaya Badan Hukum Indonesia. (4) Sarana bantu navigasi pelayaran yang telah dibongkar, dihapuskan dari daftar suar Indonesia dan disiarkan oleh Direktorat Jenderal. 10

BAB IV ZONA KEAMANAN DAN KESELAMATAN Pasal 16 (1) Untuk menjamin keamanan dan keselamatan sarana bantu navigasi pelayaran, ditetapkan zona-zona keamanan dan keselamatan di sekitar instalasi dan bangunan sarana bantu navigasi pelayaran. (2) Penetapan zona-zona keamanan dan keselamatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh Direktur Jenderal setelah memenuhi persyaratan. (3) Persyaratan penetapan zona-zona keamanan dan keselamatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi : a. wilayah yang akan ditetapkan sebagai zona keamanan dan keselamatan tidak terdapat bangunan atau tumbuhan yang dapat mengganggu fungsi sarana bantu navigasi pelayaran; b. wilayah daratan yang akan ditetapkan sebagai zona keamanan dan keselamatan harus dibebaskan dari kepemilikan pihak lain. Pasal 17 (1) Untuk memperoleh penetapan zona-zona keamanan dan keselamatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2), penyelenggara sarana bantu navigasi pelayaran mengajukan permohonan kepada Direktur Jenderal dilengkapi dengan bukti pemenuhan persyaratan. (2) Pemberian atau penolakan atas penetapan zona-zona keamanan dan keselamatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan selambatlambatnya 14 (empat belas) hari kerja setelah usulan diterima secara lengkap. (3) Penolakan permohonan disampaikan oleh Direktur Jenderal secara tertulis dengan disertai alasan penolakan yang jelas. Pasal 18 (1) Zona keamanan dan keselamatan digunakan untuk keperluan lain yang 11

mendukung sarana bantu navigasi pelayaran, harus mendapat izin Direktur Jenderal. (2) Izin penggunaan zona keamanan dan keselamatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diajukan kepada Direktur Jenderal disertai alasan penggunaan zona keamanan dan keselamatan untuk keperluan lain. (3) Pemberian atau penolakan izin penggunaan zona keamanan dan keselamatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diberikan selambatlambatnya 14 (empat belas) hari kerja setelah usulan diterima secara lengkap. Pasal 19 Zona keamanan dan keselamatan sarana bantu navigasi pelayaran diperuntukkan hanya bagi petugas kenavigasian dan sebagai batas pengamanan bagi konstruksi serta gangguan fungsi sarana bantu navigasi pelayaran. Pasal 20 (1) Kapal yang berlayar disekitar sarana bantu navigasi pelayaran harus memperhatikan zona keamanan dan keselamatan sarana bantu navigasi pelayaran dengan menjaga jarak aman sesuai dengan kecakapan pelaut yang baik. (2) Kapal yang memasuki alur pelayaran sempit, sungai dan danau pada waktu mendekati sarana bantu navigasi pelayaran apung wajib memperhatikan radius lingkaran putar dengan menjaga jarak aman sesuai kecakapan pelaut yang baik. (3) Kapal yang berlabuh jangkar disekitar sarana bantu navigasi pelayaran wajib menjaga jarak aman sesuai dengan kecakapan pelaut yang baik kecuali bagi kapal yang melaksanakan kegiatan pemeliharan dan/atau perawatan sarana bantu navigasi pelayaran. Pasal 21 (1) Dilarang mendirikan bangunan dan/atau menanam pohon yang dapat menghalangi pandangan para navigator dan menggangu fungsi sarana bantu navigasi pelayaran. (2) Dilarang merusak atau melakukan tindakan apapun yang mengakibatkan tidak berfungsinya sarana bantu navigasi pelayaran. (3) Dilarang menambatkan kapal pada instalasi sarana bantu navigasi pelayaran. 12

(4) Dilarang berlabuh jangkar pada zona keamanan dan keselamatan sekitar sarana bantu navigasi pelayaran dengan jarak kurang dari 500 meter, kecuali pada perairan yang sempit dengan menjaga jarak yang aman sesuai dengan kecakapan pelaut yang baik. BAB V KERUSAKAN DAN HAMBATAN Pasal 22 (1) Tindakan yang dapat mengakibatkan kerusakan dan/atau hambatan pada sarana bantu navigasi pelayaran dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (2) Tindakan yang dapat mengakibatkan kerusakan dan/atau hambatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat berupa : a. membangun di dalam zona keamanan dan keselamatan sarana bantu navigasi pelayaran; b. memasang, menempatkan sesuatu pada sarana bantu navigasi pelayaran; c. mengubah sarana bantu navigasi pelayaran; d. merusak atau menghancurkan atau menimbulkan cacat sarana bantu navigasi pelayaran; e. menambatkan kapal pada sarana bantu navigasi pelayaran. Pasal 23 (1) Pemilik dan/atau operator kapal yang karena pengoperasian kapalnya menyebabkan kerusakan dan/hambatan sarana bantu navigasi pelayaran, wajib melaporkan kepada Direktur Jenderal. (2) Atas laporan pemilik dan/atau operator kapal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Direktur Jenderal menyiarkan kelainan dan berfungsinya kembali sarana bantu navigasi pelayaran keseluruh kapal dan diteruskan kepada instansi terkait untuk dimasukkan dalam berita pelaut Indonesia. (3) Penyiaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), meliputi data sebagai 13

berikut : a. nama lokasi; b. jenis sarana bantu navigasi pelayaran; c. nomor daftar suar Indonesia; d. posisi; e. periode/irama (uraian periode) dan sumber tenaga; f. warna cahaya; g. jarak tampak; h. elevasi; i. kondisi sarana bantu navigasi pelayaran; j. kode dari racon (jika ada). Pasal 24 (1) Pemilik dan/atau operator kapal yang kapalnya terbukti menyebabkan kerusakan dan/atau hambatan sarana bantu navigasi pelayaran wajib mengganti atau memperbaiki sarana bantu navigasi pelayaran sehingga dapat berfungsi kembali. (2) Perbaikan dan penggantian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam batas waktu selambat-lambatnya 60 (enam puluh) hari kalender terhitung sejak mulainya kerusakan. Pasal 25 (1) Penyelenggara sarana bantu navigasi pelayaran dapat melakukan perbaikan dan/atau penggantian sarana bantu navigasi pelayaran yang rusak dan/atau hambatan yang disebabkan oleh pengoperasian kapal. (2) Dalam hal perbaikan dan/atau penggantian yang dilakukan oleh penyelenggara sarana bantu navigasi pelayaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), segala biaya yang diperlukan dibebankan kepada pemilik dan/atau operator kapal. Pasal 26 (1) Tanpa mengurangi tanggung jawabnya mengganti atau memperbaiki sarana bantu navigasi pelayaran yang karena pengoperasian kapalnya mengakibatkan kerusakan dan/atau hambatan terhadap sarana bantu navigasi pelayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22, pemilik dan/atau operator kapal dapat memberikan ganti rugi yang meliputi biaya penggantian atau perbaikan. (2) Pemilik dan/atau operator kapal yang akan memberikan ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), wajib meninggalkan jaminan untuk 14

pelaksanaan ganti rugi sebelum kapal berlayar. (3) Jaminan ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), diserahkan kepada Panitera Pengadilan Negeri tempat sarana bantu navigasi pelayaran yang mengalami kerusakan dan/atau hambatan. (4) Panitera Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), memberikan bukti penitipan jaminan ganti rugi kepada pemberi jaminan dengan tembusan kepada pemilik sarana bantu navigasi pelayaran. (4) Dalam hal pemberi jaminan telah melaksanakan seluruh kewajiban dalam kaitan tanggung jawabnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), jaminan ganti rugi dapat diambil kembali. BAB VI KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 27 Ketentuan penyelenggaraan sarana bantu navigasi pelayaran dalam Peraturan ini berlaku juga bagi penyelenggaraan sarana bantu navigasi pelayaran di lokasi bangunan lepas pantai. Pasal 28 Direktur Jenderal melakukan pembinaan dan pengawasan teknis terhadap pelaksanaan Peraturan ini. BAB VII KETENTUAN PENUTUP Pasal 29 Dengan berlakunya Ketentuan ini, maka Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 261/AL-001/PHB-87 tentang Penyelenggaraan Sarana Bantu Navigasi Pelayaran Pada Lokasi Bangunan Lepas Pantai dinyatakan tidak berlaku. Pasal 30 Peraturan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan di : J A K A R T A Pada tanggal : 15

MENTERI PERHUBUNGAN SALINAN Keputusan ini disampaikan kepada : M. HATTA RAJASA 1. Ketua Badan Pemeriksa Keuangan; 2. Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan; 3. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian; 4. Menteri Negara Perencanaan pembangunan Nasional/Ketua Bappenas; 5. Menteri Keuangan; 6. Menteri Dalam Negeri; 7. Menteri Perindustrian; 8. Menteri Perdagangan; 9. Menteri Kelautan dan Perikanan; 10. Menteri Pekerjaan Umum; 11. Menteri Sekretaris Negara; 12. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral; 13. KAPOLRI dan Kepala Staf TNI Angkatan Laut; 14. Inspektur Jenderal, para Direktur Jenderal, para Kepala Badan di lingkungan Departemen Perhubungan; 16. Para Gubernur seluruh Indonesia; 17. Para Bupati/Walikota seluruh Indonesia. 16