BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pariwisata pada abad ke-21, menjadi salah satu kegiatan yang membentuk percepatan globalisasi dimana terjadi pertukaran pengalaman dan usaha untuk memahami kebudayaan yang berbeda. Pariwisata menciptakan sebuah gejala baharu yang mencari nuansa baharu kembali pada nilai-nilai tradisi. Fenomena ini mempertunjukkan keingintahuan terhadap identiti atau jati diri, Konsep pariwisata, pada sisi lain merupakan kesadaran moden dan dinamik. Kedinamikan berlaku kerana interaksi dengan warisan budaya seringkali menghasilkan tafsiran ulang terhadap apa yang terjadi sebelumnya. Situasi demikian, menciptakan suatu pemikiran bahawa hubungan antara warisan budaya dengan pariwisata terjadi pertentangan masyarakat tradisi dengan masyarakat moden (Trijono Dalam Analisis CSIS, 1996:136). Untuk itu, diperlukan suatu konsep yang boleh menyelesaikan pertentangan tersebut. Salah satu daripada konsep tersebut adalah dengan cara mengemas warisan budaya yang dijadikan sebagai daya tarik, disajikan kepada para pariwisata. Pariwisata mengalami perubahan besar dengan beberapa indikator penilaian, antara lain: Pertama, organisasi industri pariwisata tumbuh secara cepat ke seluruh penjuru dunia dan bekerjasama secara multinasional secara vertikal dan horizontal. Terutama pada penjualan paket liburan terjadi kerjasama
yang melibatkan semua jasa dalam penjualan paket pariwisata, mulai daripada penjual eceran, toko, transportasi, hotel, dan tempat hiburan malam. Kedua, teknologi pariwisata yang moden yang direkayasa dengan inovasi dan kreativiti bersifat future. Teknologi transportasi menembus seluruh penjuru dunia, tidak ada satu kawasan yang tidak boleh ditembus teknologi tersebut. Jenis transportasi pesawat jet dirancang dalam ukuran besar dan kecepatan yang tinggi memegang peranan penting dalam menciptakan perjalanan jauh sebagai paket liburan. Ketiga, perubahan alam lingkungan pada masa yang akan datang. Sebuah tulisan mengenai pariwisata budaya menyebutkan bahawa pada akhir tahun 1970-an. Semula, para pakar pemasaran dan peneliti kepariwisataan menjumpai adanya orang atau sekelompok orang yang melakukan perjalanan semata-mata hanya untuk memahami secara mendalam obyek atau peristiwa budaya di suatu tempat tertentu. Akhirnya, baharulah dikenali adanya pariwisata budaya yang secara jelas boleh dikelompokkan sebagai salah satu produk kepariwisataan (Tighe, 1986 dalam McKercher, 2002). Semula, produk tersebut dipandang sebagai suatu kegiatan khusus yang diminati oleh sedikit pariwisata, perjalanan berpengalaman untuk memperolehkan sesuatu yang berbeda daripada hanya pengalaman berlibur yang biasa mereka peroleh. Sekitar tahun 1990-an pariwisata budaya sudah dikenal sebagai aktivitas pasar masal dengan harga jual yang tinggi. Di Indonesia umumnya dan di Sumatera Utara pada khusunya di daerah pulau Samosir yang memiliki potensi pariwisata yang sangat penting untuk dikembangkan. Di antara sekian banyak daerah tujuan wisata yang terkenal di
Sumatera Utara adalah pulau Samosir yang terletak di tengah-tengah Danau Toba. Di samping memiliki alam yang mempesona di pulau ini juga terdapat nilai seni budaya yang mempesona dan sangat tinggi nilainya untuk dijadikan salah satu produk wisata. Kedua produk tersebut (alam dan budaya) belum memiliki keterpaduan yang serasi, dikatakan tidak terpadu dan serasi sebab kegiatan atraksi wisata tersebut selalu disuguhkan pada waktu-waktu tertentu dan event-event tertentu saja Kecamatan Simanindo bagai salah satu DTW terdapat di Pulau Samosir, letaknya terbentang sepanjang sisi tepi selatan danau Toba. Objek wisata di kecamatan Simanindo secara spesifik berdasarkan jenisnya dibagi tiga, yaitu: desa Tomok dijadikan tempat penjualan souvenir di sepanjang jalan masuk ke objek wisata kuburan tua marga Sidabutar; desa Tuktuk Siadong dijadikan lokasi penginapan dan akomodasi yang berjejer sepanjang danau Toba, sekaligus tempat permandian; dan desa Simanindo dijadikan sebagai daerah budaya, tempat berdirinya museum dan pertunjukan atraksi tari-tarian tradisional Batak Toba. Penggunaan tortor selalu diiringi gondang sabangunan, kedua kegiatan ini merupakan bagian dari adat hasipelebeguan menurut kepercayaan Batak Toba sebelum mengenal agama. Tortor adalah gerakan tubuh manusia mengandung nilai-nilai estetis sesuai aturan-aturan yang mengikat, sedangkan gondang sabangunan adalah seperangkat peralatan musik tradisional yang mengeluarkan suara harmonis. Keterpaduan antara gerakan dengan alunan suara gondang sabangunan diusahakan harmonis, jangan sampai gerak tersebut menimbulkan kesan tabu atau tidak sopan.
Gondang sabangunan dan tortor menjadi satu kesatuan, mengkondisikan upacara yang berlangsung memiliki nilai-nilai kesakralan. Pargonsi (pemain) gondang sabangunan ketika beratraksi memiliki status lebih tinggi dari kehidupan sehari-hari. Pargonsi dianggap sama statusnya dengan dewa, disaat bermain mewakili atau jelmaan dari Batara Guru, salah satu nama dewa dalam mitologi masyarakat Batak Toba. Pada saat sekarang, masyarakat Batak Toba memberikan makna tortor dan gondang sabangunan bukan lagi sebagai kegiatan yang berhubungan dengan kekuatan supranatural, pargonsi dianggap tidak lagi punya kemampuan untuk berhubungan dengan dewa-dewa. Perubahan pemahaman terhadap tortor dan gondang sabangunan dilakukan oleh kekuatan gereja dengan tidak mempercayai dewa-dewa mitologi Batak Toba dan tidak mengakui kekuatan supranatural. Selain itu, paham rasionalisasi yang dibawa oleh pendidikan begitu eksis pada sebagian besar anggota masyarakat. Pandangan terhadap tortor dan gondang sabangunan akhirnya berubah dari orientasi religious ke orientasi sosial-budaya. Tortor dan gondang sabangunan sudah dianggap sebagai alat hiburan, bahkan pada acara-acara tertentu dalam konteks pembangunan gereja sudah menggunakan tortor dan gondang sabangunan. Yayasan Huta Bolon di Simanindo memberdayakan sumber daya budaya dan mengikutsertakan potensi sumber daya masyarakat lokal, mempertunjukkan tortor dan gondang sabangunan sebagai atraksi budaya. Atraksi budaya diharapkan punya kontribusi dalam pelestarian budaya bagi masyarakat lokal. Kedatangan wisatawan tentu membawa keuntungan pada bidang ekonomi dengan
bertambahnya penghasilan masyarakat lokal dan keuntungan lainnya. Pertunjukan tortor dan gondang sabangunan dimainkan tidak lagi menurut pemahaman masyarakat Batak Toba sebelum mengenal agama. Tortor dan gondang sabangunan sudah dijadikan sebagai hiburan untuk menarik perhatian wisatawan. Walaupun demikian, perlu dipikirkan secara matang dampak positif dan negatif dari kegiatan ini. Dampak positif tidak hanya di bidang materi saja, perlu dijaga kesinambungan dari kegiatan tersebut agar dapat member keuntungan bagi semua unsure yang terlibat. Sebaliknya, diperlukan evaluasi untuk meminimalkan dampak negatif yang ditimbulkan jangan sampai merugikan sumber daya yang ada. Semua unsur yang terkait bias saja lepas kontrol secara tidak sengaja telah mengekploitasi sumber daya secara berlebihan. Dalam hal ini, tortor dan gondang sabangunan perlu dikemas atau dikomodifikasi sedemiian rupa agar sesuai dengan selera wisatawan, tetapi sebaliknya nilai- nilai yang dikandungnya janngan sampai terkikis habis tanpa identitas lagi. Pengemasan yang baik dengan mempertimbangkan segala aspek, akan menjadikan pertunjukan tortor dan gondang sabangunan sebagai atraksi budaya sekaligus salah satu cara pelestarian budaya itu sendiri. 1.2 Alasan Pemilihan Judul
Adapun alasan penulis memilih judul makalah ini adalah : 1. Untuk mengetahui bentuk seni pertunjukan tortor dan gondang sabangunan. 2. Sebagai mahasiswa Program Studi Pariwisata merasa berkewajiban untuk membicarakan masalah tersebut. 3. Masalah ini belum pernah digarap dan dibicarakan secara terperinci. 1.3 Pembatasan Masalah Pembatasan masalah ini sangat penting karena hal-hal yang menyangkut produk industri pariwisata sangat luas. Di sini penulis tidak mungkin membicarakannya secara menyeluruh. Karena itu penulis membuat batasanbatasan yang akan dibicarakan yaitu hanya mengenai Bagaimana bentuk seni pertunjukan tortor dan gondang sabangunan Huta Bolon di Simanindo sebagai atraksi wisata. 1.4 Tujuan Penelitian Setiap peneliyian akan mempunyai tujuan agar penelitian tersebut mempunyai arah dan sasaran yang akan dicapai. Tujuan dari penalitian ini adalah Menjelaskan bentuk seni pertunjukan tortor dan gondang sabangunan serta hubungannya dengan revitalisasi budaya Batak Toba yang dapat menunjang pengembangan pariwisata budaya di kabupaten Samosir 1.5 Metode Penelitian
Dalam menyelesaikan makalah ini penulis menggunakan 2 metode, yaitu : 1. Penelitian lapangan, pengumpulan data secara langsung ke daerah obyek wisata pulau Samosir dan sekitar Danau Toba. 2. Penelitian perpustakaan, Untuk menyelesaikan makalah ini penulis memanfaatkan buku-buku perpustakaan. 1. 6 Sistematika Penulisan Di dalam pembahasan kertas karya ini, penulis mengadakan pembabakan, adapun tujuan pembabakan ini untuk mempermudah hal-hal yang akan dibahas. Untuk itu penulis menguraikannya dalam V bab yaitu adalah : Bab I. Merupakan pendahuluan, latar belakang, alasan pemilihan judul, pembatasan masalah, metode penelitian dan sistematika penulisan. Bab II. Uraian Teoritis Mengenai beberapa pengertian kepariwisataan, industri pariwisata, motivasi perjalanan wisata, dan Kepariwisataan dan Kebudayaaan. Bab III. Gambaran Umum Kebudayaan Samosir. Meliputi sejarah kabupaten samosir, letak geografis, dan batas administratif, penduduk, mata pencaharian, potensi wisata dan kebudayaan di kabupaten Samosir.
Bab IV. Membicarakan tentang Tortor dan Gondang Sabangunan di Huta Bolon sebagai seni pertunjukan, pengemasan waktu dan durasi, tempat dan panggung, pemain, pakaian dan peralatan. Bab V. Akhirnya pada bab ini penulis dapat menarik kesimpulan dan saran yang mungkin akan bermanfaat untuk membina kegiatan tersebut dalam rangka peningkatan selanjutnya.