I1 tercermin pada tujuan pembangunan peternakan pada Repelita

dokumen-dokumen yang mirip
I. PENDAHULUAN. Pertanian merupakan sektor potensial yang memegang peranan penting

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Sumber : BPS (2009)

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

I. PENDAHULUAN. Untuk tingkat produktivitas rata-rata kopi Indonesia saat ini sebesar 792 kg/ha

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sektor peternakan merupakan bagian integral dari. pembangunan pertanian dan pembangunan nasional. Sektor peternakan di

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sub sektor peternakan merupakan bagian dari pembangunan

I. PENDAHULUAN. kontribusi positif terhadap pertumbuhan Produk Domestik Bruto Indonesia.

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

Sensus Pertanian 2013 (ST2013) merupakan sensus pertanian keenam yang diselenggarakan Badan Pusat Statistik

PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati yang sangat besar (mega biodiversity) berupa sumber

RILIS HASIL AWAL PSPK2011

I. PENDAHULUAN. bagian integral dari pembangunan nasional mempunyai peranan strategis dalam

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN Produksi, Produktivitas, dan Luas Areal Ubi Kayu di Indonesia Serta

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN TERNAK SAPI DI LAHAN PERKEBUNAN SUMATERA SELATAN

Analisis efisiensi ekonomi usaha peternakan ayam pedaging di Kecamatan Sambi Kabupaten Boyolali. Oleh : Muhammad Muhaimin F BAB I PENDAHULUAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan pasal 1 ayat (6) menyatakan bahwa buah lokal adalah semua jenis buahbuahan

PENDAHULUAN Latar Belakang

perluasan kesempatan kerja di pedesaan, meningkatkan devisa melalui ekspor dan menekan impor, serta menunjang pembangunan wilayah.

DEPARTEMEN PETERNAKAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 1. SEJARAH PETERNAKAN SAPI PERAH DAN PERSUSUAN

Krisis ekonomi yang melanda lndonesia sejak pertengahan bulan. Sektor pertanian di lndonesia dalam masa krisis ekonomi tumbuh positif,

Ternak Sapi Potong, Untungnya Penuhi Kantong

PROGRAM AKSI PERBIBITAN DAN TRADISI LOKAL DALAM PENGELOLAAN TERNAK KERBAU DI KABUPATEN SUMBAWA, NUSA TENGGARA BARAT

TINJAUAN PUSTAKA Peternakan Sapi Potong di Indonesia

OPERASIONAL PROGRAM TEROBOSAN MENUJU KECUKUPAN DAGING SAPI TAHUN 2005

I. PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

Tabel 1.1. Konsumsi Beras di Tingkat Rumah Tangga Tahun Tahun Konsumsi Beras*) (Kg/kap/thn)

I. PENDAHULUAN. pasokan sumber protein hewani terutama daging masih belum dapat mengimbangi

PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

PENGEMBANGAN SISTEM INTEGRASI SAPI PERKEBUNAN SEBAGAI UPAYA PEMBANGUNAN PETERNAKAN SAPI MENUJU SWASEMBADA DAGING 2010

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. sapi yang meningkat ini tidak diimbangi oleh peningkatan produksi daging sapi

I. PENDAHULUAN. oleh kelompok menengah yang mulai tumbuh, daya beli masyarakat yang

IV. POTENSI PASOKAN DAGING SAPI DAN KERBAU

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara berkembang yang memiliki sumber daya alam

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Usaha sektor peternakan merupakan bidang usaha yang memberikan

PERANAN SEKTOR PERTANIAN KHUSUSNYA JAGUNG TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN JENEPONTO Oleh : Muhammad Anshar

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kondisi Peternakan Sapi Perah di Indonesia

I. PENDAHULUAN. merupakan salah satu usaha peternakan yang banyak dilakukan oleh masyarakat

PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian adalah suatu proses perubahan sosial. Hal tersebut tidak

FOKUS PROGRAM DAN KEGIATAN PEMBANGUNAN PETERNAKAN DAN KESWAN TAHUN 2016

BAB I PENDAHULUAN. peningkatan tersebut belum diimbangi dengan penambahan produksi yang memadai.

I PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian memiliki peran yang strategis dalam perekonomian

BAB I PENDAHULUAN. Potensi usaha peternakan di Indonesia sangat besar. Dengan kondisi geografis

I. PENDAHULUAN. kualitas produk melalui usaha diversifikasi, intensifikasi, ekstensifikasi dan

PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan daerah pada hakekatnya merupakan bagian integral dan

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki sumber daya melimpah

I. PENDAHULUAN. dalam pembangunan ekonomi nasional di Indonesia. Hal ini disebabkan Indonesia

PEMETAAN DAYA SAING PERTANIAN INDONESIA. Saktyanu K. Dermoredjo

PENDAHULUAN. pangan hewani. Sapi perah merupakan salah satu penghasil pangan hewani, yang

PENGANTAR. guna memenuhi kebutuhan masyarakat yang cenderung bertambah dari tahun

Bab 4 P E T E R N A K A N

I. PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian, pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan

I. PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian di Indonesia merupakan sektor yang terus. dikembangkan dan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari

LAPORAN AKHIR PEMANTAPAN PROGRAM DAN STRATEGI KEBIJAKAN PENINGKATAN PRODUKSI DAGING SAPI

1. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki sektor pertanian yang terus dituntut berperan dalam

I. PENDAHULUAN. khususnya bagi sektor pertanian dan perekonomian nasional pada umumnya. Pada

Populasi Ternak Menurut Provinsi dan Jenis Ternak (Ribu Ekor),

I. PENDAHULUAN. Perekonomian merupakan salah satu indikator kestabilan suatu negara. Indonesia

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara pertanian, artinya bahwa sektor pertanian masih

BAB I PENDAHULUAN. Jagung merupakan komoditi yang penting bagi perekonomian Indonesia,

BAB I PENDAHULUAN. Beras merupakan bahan pangan pokok bagi sebagian besar penduduk

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber daya alam dengan

I. PENDAHULUAN. Kebutuhan daging sapi setiap tahun selalu meningkat, sementara itu pemenuhan

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

DAFTAR ALAMAT MADRASAH TSANAWIYAH NEGERI TAHUN 2008/2009

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Data Perkembangan Koperasi tahun Jumlah

I PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. untuk tanaman pangan salah satunya yaitu ubi kayu (Manihot utilissima). Ubi

1. PENDAHULUAN. perekonomian Indonesia. Hal ini terlihat dari beberapa peranan sektor pertanian

I. PENDAHULUAN. Permintaan dunia terhadap pangan hewani (daging, telur dan susu serta produk

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

POLA KONSUMSI PANGAN POKOK DI BEBERAPA PROPINSI DI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Kopi merupakan salah satu komoditas perkebunan yang mempunyai peranan

Peran dan fungsi pemerintah pada era otonomi daerah adalah. berupa pelayanan dan pengaturan (fasilitator, regulator dan dinamisator)

BAB I PENDAHULUAN. Isu strategis yang kini sedang dihadapi dunia adalah perubahan iklim

ANALISA EKONOMI USAHA TERNAK KERBAU DI INDONESIA')

PRODUKSI PANGAN INDONESIA

HASIL DAN PEWBAHASAN

I. PENDAHULUAN. usaha perkebunan mendukung kelestarian sumber daya alam dan lingkungan

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN SISTEM INTEGRASI SAWIT-SAPI DI KABUPATEN ROKAN HULU PROVINSI RIAU

POTENSI LAHAN PERTANIAN BAGI PENGEMBANGAN PALAWIJA DI LAMPUNG

PENDAHULUAN. begitu ekonomi riil Indonesia belum benar-benar pulih, kemudian terjadi lagi

I. PENDAHULUAN. sangat diperlukan untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara agraris yang sebagian besar penduduknya hidup dari

Hermanto (1993 ; 4), menyebutkan bahwa pembangunan pertanian termasuk didalamnya tanaman pangan dan hortikultura, perkebunan, perikanan, peternakan,

KINERJA USAHA PETERNAKAN AYAM RAS PETELUR DAN PROSPEK PENGEMBANGANNYA DI SULAWESI SELATAN. Armiati dan Yusmasari

POLITIK KETAHANAN PANGAN MENUJU KEMANDIRIAN PERTANIAN

TINGKAT PENERAPAN DIVERSIFIKASI USAHATANI DAN PENGARUHNYA TERHADAP PENDAPATAN DAN PENYERAPAN TENAGA KERJA

KEBIJAKAN DAN STRATEGI OPERASIONAL PENGEMBANGAN BIOINDUSTRI KELAPA NASIONAL

I. PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. peranan yang sangat penting dalam ketahanan nasional, mewujudkan ketahanan

CATATAN ATAS PRIORITAS PENANGGULANGAN KEMISKINAN DALAM RKP Grafik 1. Tingkat Kemiskinan,

I PENDAHULUAN Latar Belakang

Transkripsi:

1.1. Latar Belakanq Arah pembangunan sektor pertanian adalah berkembangnya pertanian yang maju, efisien dan tangguh, yang bertujuan untuk (1) meningkatkan hasil dan produksi pangan, (2) meningkatkan pendapatan petani, (3) memperluas lapangan kerja dan ( 4) menunjang pembangunan industri serta meningkatkan ekspor. Dalam pembangunan peternakan ada beberapa unsur yang saling terkait sebagai suatu sistem, sehingga dapat disebut industri pertanian (agro-industri). Unsur manusia petani ternak dipandang sebagai subyek harus ditingkatkan kesejahteraannya, ternak dipandang sebagai obyek yang harus ditingkatkan produksi dan produktivitasnya, lahan dipandang sebagai basis ekologi budidaya dan pendukung pakan dan teknologi sebagai alat untuk meningkatkan efisiensi produktivitas usahatani. Sebagai gambaran pengembangan peternakan pada PJPT I1 tercermin pada tujuan pembangunan peternakan pada Repelita VI dapat dirumuskan sebagai berikut: (1) Meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani melalui pendekatan skala usahatani yang lebih ekonomis dengan keunggulan kompetitif dan komperatif baik wilayah maupun komoditi, (2) Meningkatkan gizi masyarakat melalui gerakan nasional yang didukung peningkatan produksi dan produktivitas ternak dan hasil ternak, (3) Meningkatkan perolehan

2 devisa dengan mendorong ekspor melalui diversifikasi komoditas dan produk unggulan serta substitusi impor "produk-produk peternakan, (4) Menciptakan lapangan kerja dan kesempatan berusaha terutama pada kegiatan agribisnis dan agroindustri dan (5) Memanfaatkan serta melestarikan sumberdaya alam dan lingkungan hidup dengan pemanfaatan bioindustri dan bioproses (Ditjennak, 19921. Dalam melaksanakan pembangunan peternakan, perhatian khusus perlu diberikan kepada pengembangan peternakan rakyat yang merupakan bagian terbesar dari peternak Indonesia, meningkatkan peran serta koperasi dan keikut sertaan swasta (Dirjen Peternakan, 1990). Sektor peternakan sapi potong merupakan salah satu bagian penting dalam perekonomian masyarakat desa, mengingat 99.6 persen sapi potong merupakan peternakan rakyat. Sektor peternakan memberikan lapangan kerja kepada lebih sembilan juta rumah tangga pada tahun 1985. Sapi merupakan salah satu sapi asli Indonesia dan terdapat dalam jumlah yang cukup besar, yang telah tersebar luas hampir di seluruh wilayah Republik Indonesia. Hal ini sejalan dengan kebijaksanaan pemerintah dalam Repelita IV yang menggalakkan penyebaran sapi melalui program intensifikasi dan ekstensifikasi peternakan, yang antaranya dilaksanakan sebagai bagian dari program transmigrasi. Hal ini merupakan tindak lanjut usaha pemerintah yang telah menetapkan sapi sebagai sapi

yang diprioritaskan untuk memperbaiki mutu sapi lokal yang ada, maupun disebarkan ke wilayah-wilayah yang sebelumnya tidak terdapat sapi. Sapi mempunyai tingkat kesuburan yang tinggi kini telah terbukti di beberapa daerah menjadi semakin terkenal dengan sifat-sifatnya yang unik, mempunyai masa depan yang cerah, dapat beradaptasi dengan baik terhadap kondisi tropik basah maupun kering. Usaha untuk mempertahankan dan melestarikan sapi murni telah lama dilakukan oleh pemerintah dengan menetapkan larangan memasukkan bangsa sapi lain di pulau. Selain daripada itu beberapa wilayah ditetapkan sebagai kantong pusat peternakan sapi murni, antara lain di Sulawesi Selatan (Kabupaten Bone dan Barru), di Nusa Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat. Sapi saat ini telah menyebar ke seluruh propinsi kecuali DKI Jakarta yang tidak diprogramkan lagi untuk pengembangan sapi potong. Penyebaran dan perkembangan sapi dan total populasi sapi potong di Indonesia disajikan pada Tabel 1. Pulau sudah lama dikenal sebagai penghasil sapi baik sebagai sapi bibit, maupun sebagai sapi potong dan kerja. Pada tahun 1988 Propinsi menampung sapi potong sebanyak 432 927 ekor sekaligus menempatkan Propinsi diurutan kelima terbanyak di antara 27 propinsi di Indonesia.

Tabel 1. Penyebaran dan Perkembangan Sapi Tahun 1984, 1988 dan Jumlah Sapi Potong Menurut Propinsi Tahun 1988 Jumlah sapi ~alil) Jumlah sapi No. Propinsi ------------------- potong 1984 1988 1988 DI. Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat R i a u J a m b i Bengkulu Sumatera Selatan Lampung DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi.Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara B a l i Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Maluku Irian Jaya Timor Timur... ekor... 74 84 419 930 1 963 2 455 193 339 129 6 867 353 696 7 090 26 489 80 245 3 140 20 047 79 090 5 240 14 939 89 106 3 466 21 228 315 500 10 347-83 730-163 024-601 620 144 270 13 030 14 236 1 138 863 180 185 185 217 39 359 42 234 2 912 677 5 934 46 236 91 657 335 11 244 38 940 6 403 60 093 99 847 100 9 923 34 806 1 484 1 833 247 639 62 411 69 848 329 007 951 386 987 463 1 198 234 1 850 14 367 175 200 413 830 432 927 432 927 260 877 305 388 330 793 407 210 438 138 596 431 1 029 9 326 71 428 1 260 4 571 27 064 400 7 664 53 593 Indonesia 2 199 128 2 632 125 9 802 521 Persentase (23.81) (26.92) (100.00) Sumber: 1) Statistik Peternakan dan data pendukung, 1992

Berbagai pihak menaruh perhatian terhadap sapi, baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri. Perhatian pemerintah baik masa lampau maupun masa kini dengan kebijakannya telah mempertahankan kemurnian sapi di dan beberapa tempat di luar Jawa. Kebijakan ini sesuai dengan anjuran FA0 untuk mempertahankan kemurnian bangsa-bangsa sapi asli. Perhatian yang cukup besar terlihat dari Kelompok Pemerhati Internasional yang melihat sapi sebagai salah satu ternak Asia yang kurang dikenal dengan masa depan ekonomik yang cerah (National Research Council, 1984). Sebagaimana tujuan pembangunan peternakan, jika Indonesia akan mempertahankan swasembada (daging sapi) jangka panjang, program untuk melestarikan sumber-sumber genetik ternak sapi dan Banteng, harus diteruskan (Martojo, 1988). Untuk itu di daerah-daerah sumber bibit, perlu selalu diadakan kajian dan pemantauan secara berkesinambungan dalam upaya menjaga kualitas bibit yang dihasilkan. Diduga selama enam puluh tahun yang lalu terjadi penurunan mutu sapi yang dimanifestasikan turunnya bobot badan dan ukuran-ukuran tubuh lainnya pada usia jual yang sama. Dugaan ini tercermin dari hasil beberapa penelitian yang memperlihatkan bobot badan yang semakin

rendah mulai tahun 1922 sampai tahun 1985, sebagaimana disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Bobot Badan Sapi Jantan dan Betina dari Berbagai Sumber Penel iti Bobot badan (kg)... Tempat Jantan Betina Angelino, 1922 Merkens, 1926 Aalfs, 1934 IPB, 1970 Sutedja dkk., 1976 Darmadja, 1980 Ditjennak dan Unibraw, 1983 Martojo, 1984 Ditjennak-BPT, 1985 Sul-Sel NTT Sumber: BPT, 1985 dalam Martojo, 1988 Terdapat berbagai komentar dan silang pendapat ten- tang terjadinya penurunan mutu sapi. Darmadja (1980) menyatakan penyebab mundurnya mutu sapi karena fak- tor makanan (overstocking). Pendapat ini mempunyai ke- lemahan karena penurunan mutu mulai terjadi pada tahun 1926, padahal pada waktu itu ternak tidak sepadat saat sekarang. Begitu juga penduduk tidak sebanyak sekarang

sehingga otomatis persediaan makanan lebih banyak dibanding sekarang, maka tentu penyebab turunnya mutu sapi bukan disebabkan karena kekurangan makanan (Pane, 1982). Hasil survei kebutuhan dan persediaan hijauan di mendapatkan bahwa masih cukup tersedia hijauan di dan populasi ternak pada saat itu masih dapat ditingkatkan 25 persen dari populasi yang ada (Ditjennak- UNUD, 1980). Peneliti lain (Martojo, 1988) menyatakan penurunan mutu sapi disebabkan karena terjadi dege- nerasi genetik, yang mungkin disebabkan karena terjadi biak dalam pada desa-desa yang menerapkan pola perkawinan tertutup. Ini terlihat adanya keseragaman sifat-sifat luar kinerja pada sapi tiap kelompok (dalam desa) dan terdapat keragaman sapi antar desa berbeda. Penurunan mutu sapi mungkin juga disebabkan oleh adanya seleksi negatif, karena terkurasnya sapi yang bemutu tinggi dari populasi di daerah, terutama selama dekade ekspor ternak ke Hongkong pada tahun 1960- an sampai 1970-an. Ternak sapi yang tersisa tidak sebaik kualitasnya dengan yang sudah terjual (Trikesowo, 1988). Modal petani ternak yang terbatas, kebutuhan pokok yang membengkak dan adanya permintaan sapi potong yang semakin tinggi, mengakibatkan banyak sapi yang potensial sebagai bibit terjual atau dipotong. Menurut Mahjuddin (1973) dalam Huitema (1982) jumlah ternak sapi yang di-

sehingga otomatis persediaan makanan lebih banyak dibanding sekarang, maka tentu penyebab turunnya mutu sapi bukan disebabkan karena kekurangan makanan (Pane, 1982). Hasil survei kebutuhan dan persediaan hijauan di mendapatkan bahwa masih cukup tersedia hijauan di dan populasi ternak pada saat itu masih dapat ditingkatkan 25 persen dari populasi yang ada (Ditjennak- UNUD, 1980). Peneliti lain (Martojo, 1988) menyatakan penurunan mutu sapi disebabkan karena terjadi dege- nerasi genetik, yang mungkin disebabkan karena terjadi biak dalam pada desa-desa yang menerapkan pola perkawinan tertutup. Ini terlihat adanya keseragaman sifat-sifat luar kinerja pada sapi tiap kelompok (dalam desa) dan terdapat keragaman sapi antar desa berbeda. Penurunan mutu sapi mungkin juga disebabkan oleh adanya seleksi negatif, karena terkurasnya sapi yang bermutu tinggi dari populasi di daerah, terutama selama dekade ekspor ternak ke Hongkong pada tahun 1960- an sampai 1970-an. Ternak sapi yang tersisa tidak sebaik kualitasnya dengan yang sudah terjual (Trikesowo, 1988). Modal petani ternak yang terbatas, kebutuhan pokok yang membengkak dan adanya permintaan sapi potong yang semakin tinggi, mengakibatkan banyak sapi yang potensial sebagai bibit terjual atau dipotong. Menurut Mahjuddin (1973) dalam Huitema (1982) jumlah ternak sapi yang di-

ekspor dari pulau berkisar antara 20.000-25.000 ekor dengan bobot badan rata-rata 375 kg. Bobot badan ini berada dalam kisaran peraturan sejak zaman penjajahan Belanda hingga kini tentang bobot badan minimal sapi yang dapat diekspor ke luar negeri berkisar antara 375-450 kg ke atas (Pane, 1982). Persyaratan bobot badan minimal sapi yang dapat diantar pulaukan saat ini adalah 360 kg (Pane, 1982) lebih rendah dari persyaratan ekspor yang telah ada. Hal ini mungkin disebabkan karena ternak yang bobot badannya di atas 375 kg mulai langka, sebagai akibat terjadinya seleksi negatif yang tidak disadari (Trikesowo, 1988). Umumnya sapi yang memenuhi syarat untuk diantar pu- laukan terdiri dari pejantan-pejantan yang bobot badannya di atas rataan populasi, sehingga pejantan-pejantan yang tinggal bobot badannya rata-rata dan di bawah rataan po- pulasi. Jika pejantan yang tersisa ini mengawini betina- betina, maka mungkin ha1 ini akan menurunkan mutu sapi pada generasi berikutnya. Semakin meningkatnya perminta- an sapi potong baik untuk diantar pulaukan, maupun untuk pemotongan lokal dan pemotongan industri, jika tidak di- kendalikan maka dapat mengakibatkan pengurasan ternak- ternak yang bemutu baik. Setiap tahun permintaan sapi potong semakin meningkat, sedang persedian hanya dapat memenuhi sekitar 75 persen, sehingga membuka peluang un-

tuk semakin terjadinya seleksi negatif. Demikian pula makin berat ternak harga per kilogram makin tinggi se- 'hingga membuka peluang peternak menjual ternaknya yang paling berat. Adanya prospek pemasaran yang baik karena letak geografis Pulau dekat dengan konsumen di Pulau Jawa, begitu juga permintaan untuk konsumsi lokal yang semakin meningkat bahkan kini sudah mulai adanya permintaan dari hotel-hotel berbintang serta restoran internasional, menuntut diadakannya peningkatan jumlah populasi dan mutu ternak sapi. Peningkatan produktivitas ternak dapat dilakukan melalui perbaikan lingkungan (makanan dan manajemen) dan pemuliaan (persilangan dan seleksi). Perbaikan makanan dapat meningkatkan produktivitas, tapi tidak dapat meningkatkan mutu genetik. Persilangan dan seleksi dapat meningkatkan produktivitas dan mutu genetik, tetapi persilangan tidak dapat dilakukan di Pulau ~ali karena sapi dijaga kemurniannya sehingga seleksi merupakan satu-satunya alternatif dalam meningkatkan mutu genetik sapi. Penelitian di bidang pemuliaan sapi potong, memerlukan waktu yang lama dan biaya cukup besar, sehingga merupakan suatu kendala yang menghambat kemajuan peningkatan produktivitas dan mutu genetik sapi potong. Selain dari-

pada itu bentuk peternakan rakyat saat ini sebagai usaha sambilan dan rata-rata pemilikan kecil, sehingga pen- catatan produksi yang merupakan dasar seleksi sulit dilakukan. Untuk menanggulangi permasalahan tersebut di atas disusun suatu program simulasi. Program ini selanjutnya dapat dipergunakan untuk meniru proses seleksi dan perkembangan populasi sapi dalam berbagai macam kondisi umum dan lingkungannya. Dari uraian di atas merupakan suatu kegiatan untuk mencari jawaban terhadap permasalahan yang muncul yaitu: 1. Sejauh mana pengaruh berbagai metoda seleksi terhadap peningkatan mutu sapi rakyat yang dicobakan. 2. Sejauh mana pengaruh pemanenan sapi terhadap perkembangan populasi dan produktivitasnya. 1.2. Tuiuan dan Keaunaan 1. Mengetahui perubahan penampilan produksi sapi jika berbagai metode seleksi dicobakan pada peternakan rakyat. 2. Mengkaji akibat dari tingkat pemanenan pada keadaan peternakan rakyat yang berlaku saat ini. 3. Menentukan tingkat pemanenan dan pertumbuhan sapi sehingga mutu dan jumlahnya sesuai dengan daya dukung lingkungan.

1. Hasil penelitian diharapkan sebagai masukan di dalam mengembangkan dan melestarikan sapi serta peningkatan mutu genetiknya melalui seleksi dan pemanenan. 2. Model simulasi seleksi diharapkan dapat dimanfaatkan di daerah-daerah sumber bibit yang lain dengan tujuan yang sama. 3. Program simulasi seleksi dan perkembangan populasi diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai alat peraga dalam pemahaman bahan kuliah Ilmu Pemuliaan.