JURNAL ILMIAH PENEGAKAN HUKUM ISSN: X HALAL DAN HARAM DALAM ISLAM. Oleh. GEMA RAHMADANI Fakultas Hukum Universitas Islam Sumatera Utara

dokumen-dokumen yang mirip
FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA Nomor: 52 Tahun 2012 Tentang HUKUM HEWAN TERNAK YANG DIBERI PAKAN DARI BARANG NAJIS

PENGGUNAAN BULU, RAMBUT DAN TANDUK DARI HEWAN HALAL YANG TIDAK DISEMBELIH SECARA SYAR I UNTUK BAHAN PANGAN, OBAT-OBATAN DAN KOSMETIKA

HALAL, HARAM & SYUBHAT

Jangan Taati Ulama Dalam Hal Dosa dan Maksiat

PENETAPAN PRODUK HALAL

FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA Nomor : 33 Tahun 2011 Tentang HUKUM PEWARNA MAKANAN DAN MINUMAN DARI SERANGGA COCHINEAL

FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA Nomor: 43 Tahun 2012 Tentang PENYALAHGUNAAN FORMALIN DAN BAHAN BERBAHAYA LAINNYA DALAM PENANGANAN DAN PENGOLAHAN IKAN

FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA Nomor : 24 Tahun 2012 Tentang PEMANFAATAN BEKICOT UNTUK KEPENTINGAN NON-PANGAN

karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) adalah orang yang kuat lagi dapat dipercaya. 3. Firman Allah SWT

Berhati-Hati Dalam Menjawab Permasalahan Agama

4. Firman Allah SWT QS. al-baqarah (2): dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba Firman Allah SWT QS. al-baqarah (2):27

BAB I PENDAHULUAN. Islam agama yang sempurna, yang diturunkan oleh Allah SWT kepada. Nabi Muhammad SAW yang memiliki sekumpulan aturan.

4. Firman Allah SWT QS. al-baqarah (2):278 45)& %*('! Hai orang yang beriman! Bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba jika kamu orang yang b

Sekretariat : Jl. Dempo No. 19 Pegangsaan - Jakarta Pusat Telp. (021) Fax: (021)

SUNNAH SEBAGAI SUMBER AJARAN ISLAM

Dialah yang telah menciptakan semua apa-apa yang ada dibumi untuk kalian.

dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus be

Kewajiban berdakwah. Dalil Kewajiban Dakwah

FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA Nomor: 02 Tahun 2012 Tentang SARANG BURUNG WALET

FATWA DEWAN SYARI'AH NASIONAL NO: 81/DSN-MUI/III/2011 Tentang

Ust. H. Ahmad Yani, Lc. MA. Urgensi Menjaga Lisan

Carilah Rezeki Yang Halal dan Jauhi Yang Haram

FATWA DEWAN SYARIAH NASIONAL Nomor: 55/DSN-MUI/V/2007 Tentang PEMBIAYAAN REKENING KORAN SYARIAH MUSYARAKAH

Tiga Yang Diridhai Allah dan Tiga Yang Dia Benci

FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA Nomor: 02 Tahun 2010 Tentang AIR DAUR ULANG

Dan Janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih baik (bermanfa at) sampai ia dewasa penuhilah janji; sesungguhnya janji

Jika Beragama Mengikuti Kebanyakan Orang

PENGGUNAAN PLASENTA HEWAN HALAL UNTUK BAHAN OBAT

Kaidah-Kaidah Tibbun Nabawi

dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus be

TAWASSUL. Penulis: Al-Ustadz Muhammad As-Sewed

Pedoman Umum Asuransi Syariah

Dan tolong-menolonglah dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertaqwalah kamu kep

FATWA DEWAN SYARI AH NASIONAL

BAB IV DASAR PERTIMBANGAN MAHKAMAH AGUNG TERHADAP PUTUSAN WARIS BEDA AGAMA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan hidup lainnya, seperti kebutuhan sandang dan papan. Secara etimologi

Al-Hadits Tuntunan Nabi Mengenai Islam. Presented By : Saepul Anwar, M.Ag.

DAFTAR TERJEMAH. Alquran No Halaman Bab Terjemah 1

{mosimage} Oleh: Rokhmat S. Labib, M.E.I.

BAB I PENDAHULUAN. energi. Makanan dan minuman yang dikonsumsi manusia haruslah makanan. dalam Al-Qur an surat Al-Baqarah ayat 172:

Macam-Macam Dosa dan Maksiat

BAB I PENDAHULUAN. manusia, karena dengan makanan itulah manusia akan dapat melakukan

Pendidikan Agama Islam

BAB VII PENUTUP. A.1. Bentuk-bentuk perlindungan konsumen produk halal dan tayib dalam. hukum Islam dan sertifikasi halal MUI diwujudkan melalui:

FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA Nomor : 25 Tahun 2012 Tentang HUKUM MENGONSUMSI BEKICOT

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

4. Firman Allah SWT QS. al-baqarah [2]: 275: &$!%#*#$ 234 +#,-.,(/01 '() )5'(2%6.789:;<= & #AB7CDE3" Orang yang makan (mengambil) riba ti

4. Firman Allah SWT tentang perintah untuk saling tolong menolong dalam perbuatan positif, antara lain QS. al- Ma idah [5]: 2:./0*+(,-./ #%/.12,- 34 D

Jika kamu mengikuti kebanyakan manusia di bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. [Q.S. 6 : 116]

Umrah dan Haji Sebagai Penebus Dosa

Bab 4 Belajar Mendirikan Shalat Berlatih Akhlak Mulia Membangun Kesejahteraan Umat

Berpegang kepada Al-Qur'an dan As-Sunnah, dan tidak bertaqlid kepada seseorang

(dari mengambil riba), maka bagiannya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang me

Konversi Akad Murabahah

) **+*&,'**- *** *.'/ %$!. 01&2*3+*&41&**5$ (+2 Hai orang-orang yang beriman tunaikanlah akad-akad itu. Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yan

FATWA MAJLIS ULAMA INDONESIA Tentang Perayaan Natal Bersama

Etimologis: berasal dari jahada mengerahkan segenap kemampuan (satu akar kata dgn jihad)

Menjadi Hakim Zhalim ????????????:

Gambaran Wanita Menggunakan Jilbab PUNUK ONTA

E٤٢ J٣٣ W F : :

Halal Guide.INFO - Guide to Halal and Islamic Lifestyle

A. Pengertian Fiqih. A.1. Pengertian Fiqih Menurut Bahasa:

$!%#&#$ /0.#'()'*+, *4% :;< 63*?%: #E Orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya

BAB IV. Setelah dipaparkan pada bab II tentang fatwa Dewan Syariah Nasional dan

BAB II GAMBARAN UMUM GADAI EMAS (AR-RAHN) DALAM FATWA DEWAN SYARIAH NASIONAL-MAJLIS UALAMA INDONESI (DSN-MUI) TENTANG RAHN DAN RAHN EMAS

Pendidikan Agama Islam. Bab 10 Makanan dan Minuman dalam Islam

KONSEP RIBA SESI III ACHMAD ZAKY

BAB IV ANALISIS DATA

SUMBER HUKUM ISLAM 1

Riba, Dosa Besar Yang Menghancurkan

MAKANAN DAN MINUMAN DALAM ISLAM OLEH : SAEPUL ANWAR

FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA Nomor: 13 Tahun 2011 Tentang HUKUM ZAKAT ATAS HARTA HARAM

BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP TRANSAKSI PEMBAYARAN DENGAN CEK LEBIH PADA TOKO SEPATU UD RIZKI JAYA

FATWA FIQIH JINAYAH : BOM BUNUH DIRI Oleh: Nasruddin Yusuf ABSTRAK

DOA WIRID YANG TERMUAT DALAM AL QUR AN

Barang Haram Halangi Terkabulnya Do'a

Perintah Pertama di Dalam Alquran

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM Sumber Ajaran Islam

MATAN. Karya Syaikh Al Imam Muhammad bin Abdul Wahhab

Bab 2 Iman Kepada Kitab-kitab Allah

5 Oktober 2011 AAEI ITB K-07

" Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu,...

BAB III PROSES IJMA MENURUT ABDUL WAHAB KHALLAF DAN PROSES PENETAPAN HUKUM DALAM KOMISI FATWA MUI

INTENSIFIKASI PELAKSANAAN ZAKAT FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA TENTANG

Kultum Ramadhan: Menjalin Cinta Abadi Dalam Rumah Tangga

BAB IV. A. Analisis Terhadap Bentuk-Bentuk Perlindungan Konsumen Dalam Mas}lahah

c. QS. al-ma idah [5]: 6: 78.9&:;8&<,-.,, &DEF2 4A0.0BC 78#1 #F7"; 1, 4&G5)42 # % J5#,#;52 #HI Hai orang yang beriman, janganlah ke

Tabarru' pada Asuransi Syari'ah

DAFTAR TERJEMAH No Halaman BAB Terjemah

Menjual Rokok HUKUM SEORANG PEDAGANG YANG TIDAK MENGHISAP ROKOK NAMUN MENJUAL ROKOK DAN CERUTU DALAM DAGANGANNYA.

LALUAN KEHIDUPAN

Doakan Orang Lain, Malaikat Mendoakanmu

LAMPIRAN TERJEMAHAN AYAT AL-QUR AN

BAB IV. A. Mekanisme Penundaan Waktu Penyerahan Barang Dengan Akad Jual Beli. beli pesanan di beberapa toko di DTC Wonokromo Surabaya dikarenakan

PEDOMAN DAN PROSEDUR PENETAPAN FATWA

PENGGUNAAN PLASENTA HEWAN HALAL UNTUK BAHAN KOSMETIKA DAN OBAT LUAR

BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP SISTIM JUAL BELI HASIL PERKEBUNAN TEMBAKAU DI DESA RAJUN KECAMATAN PASONGSONGAN KABUPATEN SUMENEP

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Proses pemenuhan kebutuhan manusia tidak terlepas dari adanya

Halal Guide.INFO - Guide to Halal and Islamic Lifestyle

Pendidikan Agama Islam

Transkripsi:

HALAL DAN HARAM DALAM ISLAM Oleh GEMA RAHMADANI Fakultas Hukum Universitas Islam Sumatera Utara Abstrak Halal adalah sesuatu yang jika digunakan tidak mengakibatkan mendapat siksa (dosa). Sedangkan haram adalah sesuatu yang oleh Allah dilarang dilakukan dengan larangan tegas dimana orang yang melanggarnya diancam siksa oleh Allah di akhirat. Sedangkan yang halal adalah apa saja yang dihalalkan (dibolehkan) oleh Allah, dan yang haram adalah apa saja yang dilarangnya. Sedangkan yang tidak disebutkan (halal atau haramnya) hukumnya diampuni. Kata kunci : Halal, Haram dan Islam PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam ajaran (hukum) Islam, halal dan haram merupakan persoalan sangat penting dan dipandang sebagai inti beragama, karena setiap muslim yang akan melakukan atau menggunakan, dan mengkonsumsi sesuatu sangat dituntut untuk memastikan terlebih dahulu kehalalan dan keharamannya. Jika halal, ia boleh (halal) melakukan, menggunakan atau mengkonsumsinya; namun jika jelas keharamannya, harus dijauhkan dari diri seorang muslim. Sedemikian urgen kedudukan halal dan haram hingga sebagian ulama menyatakan, Hukum Islam (fiqh) adalah pengetahuan tentang halal dan haram. Halal adalah sesuatu yang jika digunakan tidak mengakibatkan mendapat siksa (dosa). Sedangkan haram adalah sesuatu yang oleh Allah dilarang dilakukan dengan larangan tegas dimana orang yang melanggarnya diancam siksa oleh Allah di akhirat. Selain itu, menurut Nabi Muhammad Saw, mengkonsumsi haram menyebabkan doa yang dipanjatkan tidak akan dikabulkan dan segala amal ibadah yang dilakukan tidak akan diterima oleh Allah. Atas dasar ini, umat Islam menghendaki agar setiap yang akan dikonsumsi dan digunakan selalu memperhatikan halal dan kesucian dari apa yang diperolehnya. Menurut ajaran Islam, mengkonsumsi yang halal, suci, dan baik merupakan perintah agama dan hukumnya adalah wajib. Cukup banyak ayat dan hadis yang menjelaskan hal tersebut. Diantaranya sebagai berikut : Hai sekalian manusia! Makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu (Q.S. al-baqarah:168) Hai orang yang beriman! Makanlah diantara rezki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar hanya kepadanya kamu menyembah (Q.S. al-baqarah:172) Ayat-ayat diatas tidak hanya menyatakan bahwa mengkonsumsi yang halal dan suci hukumnya wajib, tetapi juga merupakan perwujudan dari rasa syukur, ketakwaan dan keimanan kepada Allah. Sebaliknya, mengkonsumsi yang tidak halal dipandang sebagai mengikuti ajaran syaitan. Akan tetapi, perkembangan yang pesat dalam bidang teknologi pangan, menjadikan tidak mudah untuk menentukan kehalalan suatu produk pangan. Terlebih jika pangan itu berasal dari negara yang mayoritas nonmuslim. Namun demikian, umat Islam tetap wajib memperhatikan kehalalan produk tersebut. VOLUME 2/ NOMOR 1/ JUNI 2015 20

Karena itu, umat Islam harus memahami betul makna halal dan haram apa jenis-jenis yang dihalalkan dan diharamkan. Dengan mengetahui hal ini, umat Islam akan mudah memilih dan memilah yang halal dari yang haram. Dengan memahami bahan-bahan yang haram, baik lama maupun yang modern, akan mudah untuk mengidentifikasi produk yang haram. B. Urgensi Halal dan Haram dalam Islam Dalam ajaran (hukum) Islam, halal dan haram merupakan persolan yang sangat penting dan dipandang sebagai inti keberagaman, karena setiap muslim yang akan melakukan atau menggunakan, terlebih lagi mengkonsumsi sesuatu sangat dituntut oleh agama untuk memastikan terlebih dahulu kehalalan dan keharamannya. Jika halal, ia boleh (halal) melakukan, menggunakan atau mengkonsumsinya; namun jika jelas keharamannya, harus dijauhkan dari diri seorang muslim. Sedemikian urgen kedudukan halal dan haram sehingga sebagian ulama menyatakan, Hukum Islam (fiqh) adalah pengetahuan tentang halal dan haram. Halal adalah sesuatu yang jika digunakan tidak mengakibatkan mendapat siksa (dosa). Sedangkan haram adalah sesuatu yang dilarang Allah. Jika seseorang melakukan larangan tersebut akan diancam/siksa oleh Allah diakhirat. Pangan halal adalah pangan yang jika dikonsumsi tidak mengakibatkan mendapat siksa (dosa), dan pangan haram adalah pangan yang jika dikonsumsi akan berakibat mendapat dosa dan siksa (azab) dari Allah Swt. Selain itu, menurut Nabi Muhammad Saw, mengkonsumsi yang haram menyebabkan doa yang dipanjatkan tidak akan dikabulkan dan segala amal ibadah yang dilakukan tidak akan diterima oleh Allah Swt. Atas dasar tersebut diatas, umat Islam, mengkonsumsi barang yang dijamin kehalalan dan kesuciannya. Menurut ajaran Islam, mengkonsumsi yang halal, suci, dan baik merupakan perintah agama dan hukumnya adalah wajib. Cukup banyak ayat dan hadis menjelaskan hal tersebut. Diantaranya sebagai berikut : Hai sekalian manusia! Makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu (Q.S. al-baqarah:168) Hai orang yang beriman! Makanlah diantara rezki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar hanya kepadanya kamu menyembah (Q.S. al-baqarah:172) Dan makanlah makanan yang halal lagi baik daari yang Allah telah rezkikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepadanya (Q.S. al- Maidah:88) Maka makanlah yang halal lagi baik dari rezki yang telah diberikan Allah kepadamu; dan syukurilah nikmat Allah, jika kamu hanya kepadanya menyembah (Q.S. an- Nahl:114) Ayat-ayat itu tidak saja menyatakan bahwa mengkonsumsi yang halal dan suci hukumnya wajib, tetapi juga menunjukkan bahwa hal tersebut merupakan perwujudan dari rasa syukur, ketakwaan dan keimanan kepada Allah Swt. Sebaliknya, mengkonsumsi yang tidak halal dipandang sebagai mengikuti ajaran syaitan. C. Penentuan Halal dan Haram Menurut ajaran Islam, penentuan kehalalan atau keharaman sesuatu tidak dapat didasarkan hanya pada asumsi atau rasa suka dan tidak suka. Sebab, tindakan demikian dipandang sebagai membuat-buat hukum atau tahakkum dan perbuatan dusta atas nama Allah yang sangat dilarang agama. Firman Allah sebagai berikut : Katakanlah, Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak VOLUME 2/ NOMOR 1/ JUNI 2015 21

manusia tanpa alasan yang benar (mengharamkan) mempersekutukan dengan Allah sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu, dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui (Q.S. al-a raf:33) Dalam firman-nya yang lain Allah secara tegas melarang tahakkum (penetapan hukum tanpa didasari argumen, dalil. Ini dapat dipahami dari ayat berikut : Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta, Ini halal dan ini haram, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung (Q.S. an-nahl:116) Atas dasar itu, penentuan halalharam hanyalah hak prerogatif Allah. Dengan kata lain, penentuan kehalalan atau keharaman sesuatu, termasuk bidang pangan, harus didasarkan pada al-quran, Sunnah, dan kaidah-kaidah hukum, yakni pedoman yang dapat dipertanggungjawabkan secara syari ah. Dari sini timbul pertanyaan, dapatkah setiap orang mengetahui mana pangan yang halal dan mana pula pangan yang haram dengan hanya mencukupkan diri merujuk pada al-quran dan Sunnah? Jika pada zaman dulu, jawabannya cukup mudah, dan kehalalan pangan bukan merupakan suatu persoalan rumit, karena jenis dan bahan pangan yang halal mudah dikenali, serta cara pemrosesannya pun tidak bermacam-macam. Akan tetapi, kini tentu persoalannya tidak sesederhana itu. Kemajuan iptek dan kemampuan rekayasa dibidang pangan dewasa ini, kiranya cukup memberikan alasan untuk mengatakan bahwa mengetahui kehalalan pangan bukanlah persoalan mudah. Produkproduk pangan olahan, dengan menggunakan bahan dan peralatan canggih, kiranya dapat dikategorikan ke dalam kelompok pangan yang tidak mudah diyakini kehalalannya, apalagi jika produk tersebut berasal dari negeri yang penduduknya mayoritas nonmuslim, sekalipun bahan bakunya berupa barang suci dan halal. Sebab, tidak tertutup kemungkinan dalam proses pembuatannya tercampur, menggunakan, atau bersentuhan dengan bahan-bahan yang tidak suci atau tercampur dengan bahan yang haram. Dari paparan di atas kiranya tidak berlebihan jika dikatakan bahwa tidak setiap orang (muslim) akan dengan mudah dapat mengetahuinya secara pasti halal tidaknya suatu produk pangan, obat-obatan maupun kosmetika. Karena untuk mengetahui hal tersebut diperlukan pengetahuan yang cukup memadai tentang pedoman atau kaidah-kaidah syari ah Islam. Itulah kiranya apa yang jauh-jauh hari telah disinyalir oleh Nabi Saw. Dalam sebuah hadis yang cukup populer : Yang halal itu sudah jelas dan yang haram pun sudah jelas; dan diantara keduanya ada hal-hal yang musytabihat (subhat, samar-samar, tidak jelas halal haramnya), kebanyakan manusia tidak mengetahui hukumnya. Barang siapa hati-hati dari perkara syubhat, sungguh ia telah berupaya menyelamatkan agama dan harga dirinya; dan barang siapa terjerumus ke dalam syubhat, ia terjerumus ke dalam yang haram, laksana penggembala yang mengembalakan (ternaknya) di sekitar kawasan terlarang, nyaris ia menggebala di kawasan terlarang tersebut. Ketahuilah bahwa setiap raja mempunyai kawasan terlarang; ketahuilah bahwa kawasan terlarang (milik) Allah adalah laranganlarangan (hal-hal yang diharamkannya) (H.R. Muslim dari Nu man bin Basyir). Hadis ini menunjukkan bahwa segala sesuatu itu ada yang sudah jelas kehalalannya dan ada pula yang sudah jelas keharamannya. Disamping itu, dalam hadis tersebut disebutkan juga cukup banyak hal yang samar-samar (syubhat), yang status hukumnya, apakah ia halal ataukah haram, tidak diketahui oleh banyak orang. Bagi umat Islam, pangan kategori syubhat, tidak dipandang sebagai persoalan sederhana, tetapi merupakan persoalan yang mendapat perhatian besar dan serius. Terlebih lagi jika mengingat lanjutan hadis di atas yang VOLUME 2/ NOMOR 1/ JUNI 2015 22

menyatakan bahwa Barang siapa terjerumus ke dalam syubhat, ia terjerumus ke dalam yang haram ; serta H.R. Tirmizi yang menegaskan : Setiap daging yang tumbuh dari sesuatu yang haram, api neraka lebih berhak terhadapnya. Oleh karena itu setiap orang dapat dengan mudah mengetahui kehalalan atau keharaman suatu pangan sebagaimana dikemukakan di atas, maka peranan ulama sebagai kelompok orang yang dipandang memiliki pengetahuan tentang hal tersebut sangat diperlukan untuk memberikan penjelasan (bayan, fatwa) kepada masyarakat luas mengenai status hukum pangan tersebut. D. Pengertian Halal dan Haram Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, penentuan halal dan haram merupakan hak prerogatif Tuhan. Dalam firmannya, Allah telah menjelaskan mengenai halal dan haram. Begitu juga hadis Nabi telah mengurai makna halal dan haram baik dalam bentuk prinsip umum, terang-terangan, bertahap, atau dengan cara yang tegas. Allah dan RasulNya memiliki maksud tersendiri kenapa menjelaskan masalah halal dan haram ini dengan berbagai metode dan pendekatan. Semua ini ada hikmahnya. Menurut hadis yang diriwayatkan Imam Muslim dari Nu man bin Basyir, yang disebutkan di atas, tergambar bahwa ada tiga kategori hukum; halal, haram, dan subhat. Sesuatu yang halal sudah jelas kehalalannya, begitu juga yang haram sudah jelas keharamannya. Sedangkan yang tidak jelas halal dan haramnya adalah subhat. Dalam hadis lain yang diriwayatkan dari Salman al-farisi disebutkan bahwa sesuatu yang halal adalah apa saja yang dihalalkan (dibolehkan) oleh Allah, dan yang haram adalah apa saja yang dilarangnya. Sedangkan yang tidak disebutkan (halal atau haramnya) hukumnya diampuni. Dari dua hadis di atas diketahui bahwa halal adalah sesuatu yang jika digunakan tidak mengakibatkan mendapat siksa (dosa). Halal adalah segala sesuatu yang dihalalkan oleh Allah dan RasulNya dalam al-quran maupun hadis baik dengan pernyataan tegas maupun dalam bentuk prinsip, yang diperintahkan Allah atau RasulNya, tidak dilarang, tidak membahayakan, atau sesuatu yang didiamkan Allah dan RasulNya. Sedangkan haram adalah sesuatu yang dilarang oleh Allah. Haram adalah segala sesuatu yang diharamkan Allah dan RasulNya dalam al-quran maupun hadis baik dengan pernyataan tegas maupun dalam bentuk prinsip, yang dilarang Allah atau RasulNya, tidak dianjurkan, membahayakan, atau yang tidak pernah didiamkan Allah dan RasulNya. Sementara subhat adalah segala sesuatu yang hukumnya tidak jelas, kabur, dekat dengan haram, atau mempunyai dua kemungkinan sehingga patut ditinggalkan atau dicegah. Dari pengertian ini kita dapat menarik kesimpulan terkait dengan produk halal dan produk haram. Produk halal adalah produk pangan, obat-obatan, kosmetika dan hal lain yang jika dikonsumsi atau digunakan tidak berakibat mendapat siksa (dosa), dan produk haram adalah produk pangan, obat-oabatan, kosmetika, dan hal yang jika dikonsumsi atau digunakan akan berakibat mendapat dosa dan siksa (azab) dari Allah Swt. Untuk menetapkan apakah sesuatu produk itu halal atau haram perlu diperhatikan sekurang-kurangnya unsur bahan, baik bahan baku, bahan tambahan, maupun bahan penolong, dan proses produksinya. Jika semua unsurnya halal dan dalam proses produksinya tidak menggunakan media yang haram, najis atau terkena najis yang tidak disucikan, maka produk tersebut dapat ditetapkan kehalalannya. Sebaliknya, jika suatu produk mengandung unsur bahan haram atau bahannya halal namun dalam proses produksinya menggunakan benda haram, najis atau terkena najis yang tidak disucikan, maka produk tersebut adalah produk yang haram. VOLUME 2/ NOMOR 1/ JUNI 2015 23

Dalam masalah produk ini, umat Islam memiliki kesempatan untuk melakukan kajian lebih mendalam tentang status halal atau haramnya. Seperti diungkapkan hadis sebelumnya, Allah dan rasulnya membuka peluang adanya peran umat Islam untuk menggali dan menentukan status halal atau haram, karena ada sesuatu yang tidak dinyatakan (maskut anhu) halal atau haram. Kesempatan dan peluang ini menunjukkan fleksibilitas hukum Islam. Terlebih, persoalan pangan akan selalu berkembang seiring dengan perkembangan manusia dan teknologinya. Karenanya, untuk menentukan status halal atau haram dalam produk modern tidak semudah menentukan halal atau haram dalam produk yang sederhana. Dengan pendekatan al-quran, hadis, ijma, maupun qiyas, umat Islam dapat menentukan status hukum produk yang sebelumnya tidak dijelaskan. Melalui ijtihad dan penelitian yang seksama hukum produk dapat ditetapkan halal atau haram. E. Kategori Haram Menurut hukum Islam, ada bahanbahan yang sudah jelas kehalalannya dan ada pula yang sudah jelas keharamannya. Dan diantara yang halal dan haram itu, terdapat cukup banyak pangan yang masih samar-samar (syubhat) status hukumnya. Terhadap yang disebut terakhir ini ulama menentukan status hukumnya dengan melakukan ijtihad dengan langkah-langkah dan pendekatan sebagaimana telah dikemukakan. Kelompok pertama dalah jenis pangan atau bahan pangan yang telah ditegaskan kehalalannya oleh dalil yang qath iy altsubut (ayat al-quran atau hadis mutawatir) dan qath iy al-dalalah (bermakna tunggal, tidak interpretible). Masuk ke dalam kelompok pertama adalah jenis-jenis pangan yang dibolehkan untuk dikonsumsi oleh dalil yang bersifat umum sepanjang tidak ada dalil yang mengharamkannya. Kelompok kedua adalah jenis pangan atau bahan yang telah ditegaskan keharamannya oleh dalil yang qath iy al-tsubut dan qath iy al-dalalah (bermakana tunggal). Sedangkan semua jenis pangan atau bahan yang tidak masuk ke dalam kelompok pertama maupun kelompok kedua digolongkan ke dalam kelompok ketiga, yaitu mukhtalaf fih. Kelompok ketiga ini ditentukan status hukumnya melalui ijtihad ulama. Secara garis besar, jenis pangan, atau bahan pangan, obat-obatan dan kosmetika terdiri atas hewani dan nonhewani. Semua kelompok nonhewani, seperti nabati dan benda cair, menurut syari ah Islam, halal dimakan kecuali yang najis (atau yang terkena najis), yang berbahaya, dan yang memabukkan (muskir). Demikian juga jenis lain, pada dasarnya hukumnya adalah halal kecuali ada dalil yang mengharamkannya. Hal ini didasrkan pada sejumlah dalil dan kaidah fiqh, antara lain: Dialah Allah yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu... (Q.S. al- Baqarah:29) Katakanlah: Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkannya untuk hambahambanya dan (siapakah yang mengharamkan) rezki yang baik? Katakanlah: Semuanya itu (disediakan) bagi orang-oarang yang beriman dalam kehidupan, khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat. Demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi orang-orang yang mengetahui (Q.S. al-a raf:32) Dan Dia (Allah) telah menundukkan untuk kamu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya (sebagai rahmat) darinya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tandatanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berpikir (Q.S. al-jasiyah:13) Hukum asal sesuatu yang bermanfaat adalah boleh dan hukum asal sesuatu yang berbahaya adalah haram. Mengenai keharaman memakan benda najis atau yang terkena najis, Allah berfirman: VOLUME 2/ NOMOR 1/ JUNI 2015 24

... dan ia (Nabi) mengharamkan bagi mereka segala yang buruk... (Q.S. al- A raf:157) Maksud buruk (khaba its) disini menurut ulama adalah najis. Nabi Saw bersabda berkenaan dengan tikus yang jatuh dan mati dalam keju (samin) : Jika keju itu keras (padat), buanglah tikus itu dan keju sekitarnya, dan makanlah (sisa) keju tersebut; namun jika keju itu cair, tumpahkanlah (H.R. Bukhari, Ahmad, dan Nasa i dari Maimunah isteri Nabi Saw). Mengenai keharaman makanan yang dapat membahayakan, Allah Swt antara lain berfirman:... Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu ke dalam kebinasaan... (Q.S. al- Baqarah:195) Nabi Saw bersabda: Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh (pula) membahayakan orang lain (H.R. Ahmad dan Ibn Majah dari Ibn Abbas dan Ubadah bin Shamit). Mengenai muskir (yang memabukkan) MUI memiliki pandangan khusus sebagaimana akan dikemukakan dibagian selanjutnya. Demikianlah garis besar hukum Islam tentang pangan, kosmetika, dan obatobatan yang termasuk kelompok jenis nonhewani. Selanjutnya tentang jenis hewani. Jenis ini terbagi menjadi dua, hewan laut atau air (bahriy, ma iy) dan hewan darat (barriy). Mengenai yang pertama, ulama sepakat bahwa semua binatang laut hukumnya dalah halal, kecuali yang dapat menimbulkan bahaya seperti mengandung racun berbahaya. Hal ini berdasarkan firman allah dalam Q.S. al-ma idah [5]:96 dan hadis Nabi Saw: Laut itu suci lagi mensucikan airnya dan halal bangkai (ikan) nya (H.R. Lima Imam hadis) Mengenai yang kedua, hewan darat, ada hewan yang sudah ditegaskan kehalalannya dalam nash al-quran dan hadis dan ada yang sudah ditegaskan keharamannya dalam nash al-quran dan hadis, disamping banyak pula yang tidak ditegaskan dalam keduanya. Bentuk ketiga ini masuk dalam kategori al-maskut anhu. Sebagaimana penjelasan di atas, terhadap kelompok ketiga ini ditentukan melalui ijtihad ulama. Umumnya, kelompok ketiga ini ditetapkan hukumnya halal sepanjang tidak menimbulkan bahaya. Hal ini didasarkan pada beberapa alasan, yaitu: Sabda Nabi sebagai jawaban terhadap pertanyaan tentang sebagian makanan: Yang halal adalah sesuatu yang dihalalkan oleh Allah dalam KitabNya, dan yang haram adalah apa yang diharamkan oleh Allah dalam KitabNya; sedang yang tidak dijelaskannya adalah yang dimaafkan (Nail al-authar, 106). Sabda Nabi : Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban; janganlah kamu abaikan, telah menetapkan beberapa batasan, janganlah kamu langgar, telah mengharamkan beberapa hal, janganlah kamu rusak, dan tidak menjelaskan beberapa hal sebagai kasih sayang kepadamu, bukan karena lupa, maka janganlah kamu tanya-tanya hukumnya (H.R. Darulquthni dan dinilai sahih oleh Imam Nawawi). Kaidah fiqh: Hukum asal mengenai sesuatu yang bermanfaat adalah boleh dan mengenai sesuatu yang berbahaya adalah haram atau Hukum asal mengenai sesuatu adalah boleh selama tidak ada dalil muktabar yang mengahramkannya. Dengan demikian, jelaslah bahwa al-maskut anhu adalah mubah, halal, sepanjang tidak menimbulkan bahaya. Haram li Dzatihi dan Haram Li Ghairihi Haram li dzatihi, sering disebut dengan haram zatiy adalah jenis-jenis benda, pangan, bahan pangan, atau bahan produk yang substansi benda itu sendiri memang diharamkan oleh hukum Islam, seperti benda-benda yang telah jelas keharamannya. Benda yang termasuk kelompok ini tidak boleh dikonsumsi atau digunakan. Oleh karena itu, produk yang VOLUME 2/ NOMOR 1/ JUNI 2015 25

mengandung bahan haram zatiy dinyatakan haram. Haram li ghairihi adalah benda atau bahan yang substansi benda itu sendiri pada dasarnya adalah halal (tidak haram), hanya saja, cara penanganannya atau cara memperolehnya tidak dibenarkan oleh ajaran islam. Dengan demikian, benda yang haram dikonsumsi jenis kedua ini terbagi menjadi dua. Pertama, bendanya halal tetapi cara penanganannya atau pengolahannya tidak dibenarkan oleh syari ah Islam; misalnya kambing yang tidak dipotong secara syar iy dan benda halal yang dalam proses produksi atau pengolahannya tercampur dengan benda yang diharamkan atau benda najis. Kedua, bendanya halal, suci, akan tetapi diperboleh dengan jalan atau cara yang dilarang oleh agama; misalnya, hasil korupsi, menipu, dan sebagainya. Mengenai benda haram ini (haram li ghairihi) yang karena cara memperolehnya, dijelaskan, antara lain dalam firman Allah: Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain diantara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui (Q.S. al- Baqarah:188) Ditjen Bimas Islam dan Urusan Haji Departemen Agama RI, (2003), Petunjuk Teknis Pedoman Sistem Produksi Halal. Imam al-ghazali, (2002), Benang Tipis Antara Halal dan Haram, Surabaya. Majelis Tertinggi Urusan keislaman Mesir, (t.th), Sunnah-sunnah Pilihan, Angkasa, Bandung. Wahbah Az-Zuhaily, Dar al-fikral- Mu ashir, (1997), Al-Fiqh al-islami wa Adillatahu, Damaskus, Siria. Daftar Bacaan Departemen Agama RI, (1971), Al-Quran dan Terjemahannya. Balitbang Departemen Agama RI, (2007), Halal dan Haram dalam Islam. Kantor Menteri Negara Urusan Pangan RI, (1995), Makanan Indonesia Dalam Pandangan Islam. Halal Haram Dalam Islam, (2003), Intermedia, Jakarta. VOLUME 2/ NOMOR 1/ JUNI 2015 26