BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemajuan teknologi komunikasi salah satu pembahasan yang menarik di kalangan masyarakat saat ini. Internet telah menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sehari-hari anak-anak dan remaja di Indonesia. Sumber: https://apjii.or.id/survei2017 Gambar 1. Jumlah Pengguna Internet Di Indonesia Pada gambar 1 menunjukkan bahwa di tahun 2017 penggunaan internet semakin meningkat dengan melihat perkembangan pengguna internet pada tahun 2016 sebesar 132,7 juta jiwa yang menggunakan internet, sedangkan pada tahun 2017 sebesar 143,26 juta jiwa dari populasi 262 juta jiwa. Penggunaan internet juga dapat dilihat berdasarkan usia. Survei yang di lakukan oleh APJII bahwa 75,50% pengguna internet berada pada usia 13-18 tahun. Dunia anak-anak dan remaja teknologi internet menjadikan yang salah satu fungsi yang dapat digunakan sebagai sarana hiburan yaitu bermain yang sering disebut game 1
2 online. Survei yang dilakukan oleh newzoo diketahui jumlah pemain game online pada tahun 2017 terdapat 43,7 juta pemain di Indonesia, sehingga menjadikan Indonesia mendapati urutan ke 16 di dunia dalam pendapatan permainan. Pengguna game online terbanyak adalah pria berusia 10-20 tahun dengan presentase 21% (newzoo, 2017). Pengguna internet pada wilayah Jawa Timur sebanyak 12.1 jiwa (https://apjii.or.id/survei2017). Berkembangnya pengguna internet pada wilayah Jawa Timur dari tahun-ketahun menyebabkan banyaknya permasalahan yang terjadi pada diri remaja. Seperti pada berita yang datang dari Gresik, puluhan pelajar dari beberapa sekolah yang sedang bolos terkena razia anggota satuan polisi pamong praja gresik, senin 26 November 2016, mereka terjaring saat main game online ketika jam pelajaran sekolah, beberapa pelajar yang berseragam SLTA lari tunggang-langgang, mereka sempat berkejaran dengan petugas, namun masih ada beberapa siswa yang berhasil diamankan, sebanyak 11 siswa yang masih duduk dibangku SMP swasta, dan satu seorang pelajar SMA. Razia ini paling tidak untuk untuk meminimalisir kenakalan remaja khususnya pelajar di kabupaten Gresik, sehingga siswa tidak terjerumus dalam tindakan kriminal, kata Kasatpol PP. Arif Wicaksono (http://gresik-satu.blogspot.co.id/). Diakses pada 15-01-17 pukul 19.00. Fenomena tersebut bukan hanya terjadi pada siswa-siswi SLTA Gresik, fenomena tersebut didapati pada SMK Sunan Ampel Menganti. Menurut hasil wawancara dengan kesiswaan SMK Sunan Ampel Menganti bahwa telah terjaring siswa-siswi kelas X dan XI sebanyak 5 orang berada di warung dengan bermain
3 game online pada jam pembelajaran. Game online menjadi faktor utama dalam permasalahan yang mempengaruhi perilaku pada remaja saat ini. Game online adalah jenis permainan komputer yang memanfaatkan jaringan komputer (LAN atau internet) sebagai medianya. Game adalah aktivitas yang dilakukan untuk fun atau menyenangkan yang memiliki aturan sehingga ada yang menang dan ada yang kalah. Selain itu, game membawa arti sebuah kontes, fisik atau mental, menurut aturan tertentu, untuk hiburan, rekreasi, atau untuk menang taruhan. Game merupakan bagian dari bermain dan bermain juga bagian dari permainan, keduanya saling berhubungan. Game online adalah permainan dimana banyak orang yang dapat bermain pada waktu yang sama dengan melalui jaringan komunikasi online (internet). Game online dapat juga menghasilkan uang tambahan yaitu dengan menukarkan mata uang di game online dengan bentuk rupiah atau bisa juga dengan menjual karakter game online kepada orang lain (Misnawati, 2016:322). Game online sangat digemari oleh masyarakat khususnya remaja, biasanya para remaja memainkan game online ini di warung internet (warnet), remaja yang sudah terlalu asik bermain biasanya akan lupa akan waktu dan tugas-tugas penting. Masalah ini juga menimpa sebagian besar remaja dikota Palembang, banyak sekali remaja yang rela menghabiskan waktunya ber jam-jam dan meningalkan kewajiban sekolah untuk bermain game online (Wulandari, 2015:2). Game online sendiri mempunyai dampak positif dan negatif bagi siswa yang memainkannya. Game online sendiri memiliki model, serta bentuk menarik
4 yang berisi gambar-gambar animasi, tampilan, gaya bermain, permainan peran, pertualangan, balapan, sepak bola, pertarungan, tembak menembak dan masih banyak lagi yang mendorong siswa bahkan orang dewasa tertarik bermain game online. Permainan game online yang semakin menyenangkan, sehingga tidak heran jika orang yang bermain game online akan menjadi candu. Alasan siswa suka bermain game online karena permainannya sangat menyenangkan, game itu menantang, suka dengan jalan ceritanya,dan dapat menghibur. Game online tentu saja memberikan dampak candu pada siswa, sehingga mereka melupakan tugas mereka yang utama yaitu belajar. Akibatnya dari segi akademik mereka akan mengalami penurunan prestasi belajar (Nuhan, 2016:7). Berdasarkan hasil penelitian dari Amanda (2016) yaitu pengaruh game online terhadap perubahan perilaku agresif remaja di Samarinda. Melalui kolerasi product moment, diketahui bahwa r hitung = 0,55 berarti kolerasinya adalah sedang. Dengan tingkat kepercayaan 95% dan alpha 5% (0,05) diketahui r tabel diperoleh sebesar 0,195. Hal ini berarti bahwa r hitung < r tabel, maka kolerasi product moment tersebut signifikan. Hal ini membuktikan bahwa adanya pengaruh dari game online terhadap perubahan perilaku agresif remaja di Samarinda, dari seberapa sering mereka bermain game online dan berapa lama mereka sudah mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari yang kemudian timbul sikap agresif dari kebiasaan mereka bermain game online. Berdasarkan hasil penelitian oleh Griffiths (2004:483) menunjukan hasil permain game online remaja laki-laki 93,2%, dewasa laki-laki 79,6%, remaja perempuan 6,8%, dan dewasa perempuan 20,4%. Berdasarkan hasil penelitian
5 tersebut, remaja laki-laki lebih banyak yang bermain game online jika dibandingkan dengan laki-laki dewasa. Hal tersebut berbanding terbalik dengan hasil penelitian tersebut bahwa perempuan dewasa lebih banyak yang bermain game online jika dibandingkan dengan perempuan remaja. Berdasarkan hasil penelitian tersebut menunjukan bahwa tidak hanya remaja saja yang bisa mengalami kecanduan game online, tetapi orang dewasa juga memiliki kemungkinan untuk mengalaminya. Menurut Badudu, J.S (2005 dalam Ayu dan Saragih, 2016:167) kecanduan merupakan perasaan yang sangat kuat terhadap sesuatu yang diinginkannya sehingga ia akan berusaha untuk mencari sesuatu yang sangat diinginkan itu, misalnya kecanduan internet, kecanduan menonton televisi, kecanduan belanja, kecanduan makanan, kecanduan seks, kecanduan narkoba, kecanduan olah raga atau kecanduan bekerja. Seseorang dapat dikatakan mengalami kecanduan jika tidak mampu mengontrol keinginan untuk melakukan sesuatu, sehingga menyebabkan dampak negatif bagi individu, baik secara fisik maupun psikis. Faktor utama yang dapat menyebabkan seseorang menjadi pecandu adalah karena pada game online terdapat banyak pemain lain yang bisa bermain bersama. Para pemain di seluruh dunia bisa saling berinteraksi satu sama lain melalui game tersebut, sehingga terbentuk apa yang disebut virtual world (dunia maya). Penelitian yang lain menyatakan bahwa orang yang terisolasi dari lingkungannya, cenderung cepat bosan, suka menyendiri, sexual anorexic serta kurang percaya diri adalah orang yang mungkin beresiko menjadi pecandu game (Puspitosari, 2009:51).
6 Kecanduan game online dapat mempengaruhi aspek sosial dalam menjalani kehidupan sehari-hari mulai dari kualitas berinteraksi dengan orangorang terdekat, pencitraan diri hingga perubahan perilaku individunya. Menurut Susanto (2010 dalam Misnawati, 2016:322) banyaknya waktu yang dihabiskan di dunia maya menyebabkan siswa-siswi kurang berinteraksi dengan orang lain dalam dunia nyata. Hal ini terjadi dikarenakan siswa-siswi hanya terbiasa berinteraksi satu arah dengan komputer/gadget membuat perilaku siswa-siswi jadi tertutup, sulit mengekspresikan diri ketika berada di lingkungan nyata. Kecanduan game online juga terjadi di SMK Sunan Ampel Menganti. Berdasarkan hasil wawancara dengan guru kesiswaan pada tanggal 14 Mei 2018 bahwa siswa-siswi yang kurang disiplin dengan peraturan yang ditetapkan oleh sekolah, seperti tidak boleh membawa telepon genggam ke sekolah. Pada kenyataanya, dari 90% siswa-siswi SMK Sunan Ampel membawa telepon genggam dan menggunakannya di jam-jam istirahat. Mayoritas yang dilakukan oleh siswa laki-laki yaitu bermain game online, sedangkan siswi perempuan ada beberapa yang mamainkan game online dan ada pula beberapa yang memanfaatkan untuk sosial media. Problem yang terjadi pada siswa-siswi SMK Sunan Ampel Menganti yaitu terletak pada seringnya siswa-siswi bolos sekolah dengan alasan tidak dapat bangun pagi karena bermain game online hingga dini hari.
7 Tabel 1. Data Presensi Siswa-siswi Kelas XI SMK Sunan Ampel Menganti Presensi No. Jurusan Ganjil Genap Periode 01/08/2017 s.d Periode 01/01/2018 s.d 31/12/2017 31/05/2018 1. TKJ A 4,54% - 2. TKJ B 8,82% 8,82% 3. TKR 46,15% 11,53% 4. MM 6,6% 6,6% Sumber : Kesiswaan SMK Sunan Ampel Menganti, 2018 Berdasarkan data di atas dapat dilihat bahwa 50% siswa-siswi SMK Sunan Ampel memiliki presensi bolos yang cukup besar pernyataan tersebut diperkuat dengan hasil wawancara dengan beberapa siswa-siswi yang mengalami problem tersebut menyebutkan bahwa durasi bermain game online mereka 6 hingga 7 jam dalam sehari, oleh sebab itu sebagian besar dari siswa-siswi SMK Sunan Ampel tidak dapat masuk sekolah dikarenakan bangun kesiangan sehingga tidak dapat mengikuti kegiatan pembelajaran di Sekolah. Dari hasil wawancara di atas kecanduan game online dapat menyebabkan perubahan pola pikir dan perilaku pada individu tersebut. Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Santrock (2003:27), yang mengatakan bahwa dalam perkembangannya siswa-siswi khususnya remaja antara usia 17 hingga 21 tahun dalam perkembangannya mengalami perubahan mengenai pola pemikirannya. Pada usia remaja, dapat melakukan pemikiran operasional formal yang lebih abstrak, idealis, dan logis daripada pemikiran operasional konkret. Remaja terdorong untuk memahami dunianya karena tindakan yang dilakukannya dan penyesuaian diri biologis.
8 Tugas-tugas perkembangan masa remaja, menurut Hurlock (2002:206) adalah (1) mampu menerima keadaan fisik, (2) Mampu menerima dan memahami peran seks usia dewasa, (3) Mampu membina hubungan baik dengan angota kelompok yang berlainan jenis, (4) Mencapai kemandirian emosional, (5) Mencapai kemandirian ekonomi, (6) Mengembangkan konsep dan keterampilan intelektual yang sangat diperlukan untuk melakukan peran sebagai anggota masyarakat, (7) Memahami dan meninterilisasikan nilai-nilai orang dewasa dan orang tua, (8) Mengembangkan perilaku tanggung jawab sosial yang diperlukan untuk memasuki dunia dewasa, (9) Mempersiapkan diri untuk memasuki perkawinan, (10) Memahami dan mempersiapkan berbagai tanggung jawab kehidupan keluarga. Pada transisi sosial ini remaja mengalami perubahan dalam hubungan individu dengan manusia lain yaitu dalam emosi, dalam kepribadian, dan dalam peran dari konteks sosial dalam perkembangan, seperti membantah orang tua, serangan agresif terhadap teman sebaya, perkembangan sikap asertif, kebahagiaan remaja dalam peristiwa tertentu serta peran gender dalam masyarakat merefleksikan peran proses sosial emosional dalam perkembangannya yang mempengaruhi kecerdasan emosi pada remaja tersebut (Misnawati, 2016:3). Pernyataan ini didukung oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Setyowati, (2005:75) mengungkapkan bahwa pemahaman dan kesadaran keluarga mengenai pentingnya komunikasi keluarga dan pengaruhnya terhadap perkembangan emosi anak masih tergolong rendah. Hal ini terlihat dari masih banyaknya keluarga yang tidak menganggap penting, bahkan tidak
9 memiliki pemahaman yang benar tentang hubungan antara kedua hal tersebut. Pada kenyataannya, banyak keluarga yang lebih mengutamakan kemampuan kognitif anak daripada kemampuan emosionalnya, dan banyak keluarga tidak memiliki batasan serta komitmen yang jelas mengenai komunikasi keluarga dan perkembangan emosi anak, sehingga komunikasi keluarga sering hanya dipahami sebagai rutinitas, bukan sebagai sesuatu yang memiliki arti bagi perkembangan anak. Kecerdasan emosional merujuk kepada kemampuan mengenali perasaan kita sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri, dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri, dan dalam hubungan dengan orang lain. Kecerdasan emosi mencakup kemampuan-kemampuan yang berbeda, tetapi saling melengkapi, dengan kecerdasan akademik (academic intelligence), yaitu kemampuan-kemampuan kognitif murni yang diukur dengan IQ. Banyak orang yang cerdas, dalam arti terpelajar, tetapi tidak mempunyai kecerdasan emosi, ternyata bekerja menjadi bawahan orang ber-iq lebih rendah tetapi unggul dalam keterampilan kecerdasan emosi (Goleman, 2001:50). Goleman (2015:50) mengatakan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan lebih yang dimiliki seseorang dalam memotivasi diri, ketahanan dalam menghadapi kegagalan, mengendalikan emosi dan menunda kepuasan, serta mengatur keadaan jiwa. Dengan kecerdasan emosional tersebut seseorang dapat menempatkan emosinya pada porsi yang tepat, memilah kepuasan dan mengatur suasana hati. Goleman, (2015:58) mengatakan bahwa koordinasi suasana hati adalah inti dari hubungan sosial yang baik. Apabila seseorang
10 pandai menyesuaikan diri dengan suasana hati individu yang lain atau dapat berempati, orang tersebut akan memiliki tingkat emosionalitas yang baik dan akan lebih mudah menyesuaikan diri dalam pergaulan sosial serta lingkungannya. Kecerdasan emosional biasa disebut street smart (pintar), atau kemampuan khusus yang disebut akal sehat. Kecerdasan emosional terkait dengan kemampuan membaca lingkungan sosial dan menatanya kembali, juga terkait dengan kemampuan memahami secara spontan apa yang diinginkan dan dibutuhkan orang lain, demikian juga kelebihan dan kekurangan kemampuan membaca mereka, kemampuan untuk menjadi orang yang menyenangkan sehingga kehadirannya didambakan orang lain. Oleh karena itu, semakin tinggi EQ seseorang, semakin besar kemungkinan untuk sukses sebagai pekerja, orang tua, manager, pelajar, dan sebagainya (Daud, 2012 :247). Hasil penelitian yang serupa didapatkan menunjukkan adanya hubungan intensitas bermain game online yang signifikan dengan kecerdasan emosi, dengan hasil analisis korelasi (r xy ) sebesar -0,190 dengan signifikansi (p)= 0,024 ; (p) 0,05. Hal ini berarti intensitas bermain game online pada remaja dapat mempengaruhi kecerdasan emosi mereka. Kategorisasi remaja mengenai intensitas bermain game online tergolong sedang RE = 24,19 (63,89%) sedangkan kecerdasan emosi remaja tergolong tinggi RE =113,83 (73,14%). Intensitas bermain game online mempengaruhi kecerdasan emosi sebesar 3,6%. Maka dapat disimpulkan bahwa game online juga mempengaruhi kecerdasan emosi pada remaja (Kholidiyah, 2013:9).
11 Berdasarkan uraian di atas tentang tugas-tugas remaja dengan fenomena yang berkembang saat ini adalah remaja lebih senang bermain game online, remaja fokus kepada layar komputer permainan dan gadget yang ada di hadapannya dari pada berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya. Ketergantungan game online yang dialami pada masa remaja, dapat mempengaruhi kecerdasan emosi remaja dalam menjalani kehidupan sehari-hari, karena banyaknya waktu yang dihabiskan di dunia maya mengakibatkan remaja kurang berinteraksi dengan orang lain dan tidak dapat mengendalikan emosinya. Adapun judul penelitian ini adalah Hubungan Antara Kecerdasan Emosi dengan Kecanduan Game Online Pada Siswa-siswi Kelas XI SMK Sunan Ampel Menganti 2.1 Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan di atas, dapat diidentifikasikan perbedaan penelitian yang akan dilakukan dengan penelitian terdahulu yaitu, penelitian terdahulu hanya menunjukkan tingkat intensitas bermain game online dengan kecerdasan emosi. Sedangkan penelitian ini lebih memfokuskan bagi siswa-siswi dengan rentan usia 17-21 tahun yang mengalami permasalah kecanduan game online, jadi bukan hanya intensitas yang akan terlihat dalam penelitian ini namun seberapa tinggi kecanduan game online yang mereka alami. Berdasarkan penjelasan di atas terdapat dua variabel yang akan menjadi focus penelitian yaitu variabel bebas kecanduan game online dan variabel terikat
12 kecerdasan emosional. Kecerdasan emosional menurut (Goleman, 2015:58) adalah kemampuan yang dimiliki seseorang dalam memotivasi diri, ketahanan dalam menghadapi kegagalan, mengendalikan emosi dan menunda kepuasan, serta mengatur keadaan jiwa. Dengan kecerdasan emosional tersebut seseorang dapat menempatkan emosinya pada porsi yang tepat, memilah kepuasan dan mengatur suasana hati. Kecanduan merupakan perasaan yang sangat kuat terhadap sesuatu yang diinginkan sehingga ia akan berusaha untuk mencari sesuatu yang sangat diinginkannya itu. Seperti pada kecanduan game online, siswa-siswi dikatakan menggalami kecanduan apabila penggunakan game online lebih dari 3 jam perhari. Tugas-tugas perkembangan masa remaja menurut (Hurlock, 2002:206) adalah (1) mampu menerima keadaan fisik, (2) Mampu menerima dan memahami peran seks usia dewasa, (3) Mampu membina hubungan baik dengan angota kelompok yang berlainan jenis, (4) Mencapai kemandirian emosional, (5) Mencapai kemandirian ekonomi, (6) Mengembangkan konsep dan keterampilan intelektual yang sangat diperlukan untuk melakukan peran sebagai anggota masyarakat, (7) Memahami dan meninterilisasikan nilai-nilai orang dewasa dan orang tua, (8) Mengembangkan perilaku tanggung jawab sosial yang diperlukan untuk memasuki dunia dewasa, (9) Mempersiapkan diri untuk memasuki perkawinan, (10) Memahami dan mempersiapkan berbagai tanggung jawab kehidupan keluarga.
13 Berdasarkan uraian yang ada di atas kecerdasan emosi yang tinggi adalah seseorang yang dapat menempatkan emosinya pada porsi yang tepat, memilah kepuasan dan mengatur suasana hati. Sedangkan pada fenomenanya remaja dengan rentan usia 17 hingga 21 tahun dengan kategori remaja akhir mengalami kecanduan game online dengan tingkat kecerdasan yang rendah. 3.1 Batasan Masalah Agar penelitian menjadi lebih terfokus, maka batasan masalah dalam penelitian ini adalah : 1. Kecerdasan emosi adalah kemampuan yang dimiliki seseorang dalam memotivasi diri, ketahanan dalam menghadapi kegagalan, mengendalikan emosi dan menunda kepuasan, serta mengatur keadaan jiwa. 2. Kecanduan game online adalah perasaan yang sangat kuat terhadap permainan game online untuk mencapai kepuasan yang diinginkan. 3. Subjek penelitian adalah remaja laki-laki dan perempuan usia 17-21 tahun, dengan pertimbangan usia 17-21 tahun ke atas adalah usia remaja akhir dimana anak sudah mencapai kemandirian emosional. Selain itu karena pada umumnya yang memiliki permasalahan keretgantungan dengan game online banyak dari kalangan remaja laki-laki dan perempuan. 4.1 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas, rumusan masalah yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah Apakah terdapat hubungan antara
14 kecerdasan emosi dengan kecanduan game online pada siswa siswi kelas XI SMK Sunan Ampel Menganti? 5.1 Tujuan Penelitian Untuk mengetahui adakah hubungan antara kecerdasan emosi dengan kecanduan game online pada siswa siswi kelas XI SMK Sunan Ampel Menganti. 6.1 Manfaat Penelitian Penelitian ini secara teoretis dan praktis, diharapkan dapat bermanfaat bagi berbagai pihak. Manfaat dari penelitian dijelaskan sebagai berikut : 1. Manfaat Teoretis Memberikan sumbangan serta menambahkan literatur pada ilmu psikologi dalam memahami fenomena yang terjadi terutama yang berkaitan dengan kecerdasan emosional dan kecanduan game online. 2. Manfaat Praktis a. Bagi siswa-siswi SMA sederajat, penelitian ini memberikan masukan dan informasi mengenai kecanduan game online b. Bermanfaat bagi penelitian selanjutnya sebagai referensi c. Berguna bagi pihak sekolah sebagai masukan dan informasi bahwa adanya tingkat kecanduan game online pada siswa-siswi.