BAB I PENDAHULUAN. hukum dalam negara hukum fungsi sebagai Social Control (Pengendalian. menciptakan suasana yang tertib, teratur dan tenteram.

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan

BAB I PENDAHULUAN. semua warga negara bersama kedudukannya di dalam hukum dan. peradilan pidana di Indonesia. Sebelum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981

BAB I PENDAHULUAN. yang bertujuan mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

dengan aparatnya demi tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan harkat dan martabat manusia. Sejak berlakunya Undang-undang nomor 8 tahun 1981

BAB I PENDAHULUAN. mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil,

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum (rechtstaat) seperti

BAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3)

BAB I PENDAHULUAN. penetapan status tersangka, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam

BAB I PENDAHULUAN. hukum, tidak ada suatu tindak pidana tanpa sifat melanggar hukum. 1

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. lazim disebut norma. Norma adalah istilah yang sering digunakan untuk

BAB I PENDAHULUAN. diwajibkan kepada setiap anggota masyarakat yang terkait dengan. penipuan, dan lain sebagainya yang ditengah masyarakat dipandang

BAB 1 PENDAHULUAN. boleh ditinggalkan oleh warga negara, penyelenggara negara, lembaga

BAB I PENDAHULUAN. Pertama, hal Soerjono Soekanto, 2007, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cetakan

BAB I PENDAHULUAN. kepada pemeriksaan keterangan saksi sekurang-kurangnya disamping. pembuktian dengan alat bukti keterangan saksi.

BAB I PENDAHULUAN. melalui media massa maupun media elektronik seperti televisi dan radio.

BAB I PENDAHULUAN. landasan konstitusional bahwa Indonesia adalah negara yang berdasarkan

BAB I PENDAHULUAN. Oleh : Baskoro Adi Nugroho NIM. E

BAB I PENDAHULUAN. terdapat dalam Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang. menegaskan tentang adanya persamaan hak di muka hukum dan

BAB I PENDAHULUAN. Kejahatan adalah suatu permasalahan yang terjadi tidak hanya di dalam suatu

BAB I PENDAHULUAN. dapat di pandang sama dihadapan hukum (equality before the law). Beberapa

BAB I PENDAHULUAN. adanya jaminan kesederajatan bagi setiap orang di hadapan hukum (equality

BAB I PENDAHULUAN. yang dikemukakan oleh D.Simons Delik adalah suatu tindakan melanggar

BAB I PENDAHULUAN. merupakan wujud penegakan hak asasi manusia yang melekat pada diri. agar mendapatkan hukuman yang setimpal.

PERAN DAN KEDUDUKAN AHLI PSIKIATRI FORENSIK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA

BAB I PENDAHULUAN. pribadi maupun makhluk sosial. Dalam kaitannya dengan Sistem Peradilan Pidana

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. positif Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa/

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara republik Indonesia adalah negara hukum, berdasarkan pancasila

BAB I PENDAHULUAN. sekali terjadi, bahkan berjumlah terbesar diantara jenis-jenis kejahatan terhadap

BAB I PENDAHULUAN. berlakunya Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

PROSES PENYELESAIAN PERKARA PIDANA DENGAN PELAKU ANGGOTA TNI (Studi di Wilayah KODAM IV DIPONEGORO)

BAB I PENDAHULUAN. baik. Perilaku warga negara yang menyimpang dari tata hukum yang harus

BAB I PENDAHULUAN. menyatakan Negara Indonesia adalah Negara hukum. 1 Adapun tujuan

BAB I PENDAHULUAN. Pidana (KUHAP) adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya,

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2008

BAB I PENDAHULUAN. terdakwa melakukan perbuatan pidana sebagaimana yang didakwakan Penuntut. tahun 1981 tentang Kitab Hukum Acara Pidana.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum, maka

PELAKSANAAN PENANGGUHAN PENAHANAN DENGAN JAMINAN. (Studi Kasus Tindak Pidana Penipuan di Pengadilan Negeri Klaten dan. Pengadilan Negeri Surakarta)

BAB I PENDAHULUAN. eksistensi negara modern, dan oleh karena itu masing-masing negara berusaha

BAB I PENDAHULUAN. Undang Dasar 1945, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, yang

KEKUATAN VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM MENGUNGKAP TERJADINYA TINDAK PIDANA

BAB I PENDAHULUAN. (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. tegas bahwa Negara Indonesia berdasarkan atas hukum (Rechtstaat); tidak. berdasarkan atas kekuasaan belaka (Machstaat).

BAB I PENDAHULUAN. Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang berbunyi Negara Indonesia adalah negara hukum.

BAB I PENDAHULUAN. penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi. pidana atau tidak yang dilakukan terdakwa.

BAB I PENDAHULUAN. dalam Undang Undang Dasar Repubik Indonesia (UUD 1945) Pasal 1 ayat (3).

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan yang pengaruhnya sangat luas. Perubahan-perubahan yang

BAB I LATAR BELAKANG. yang diajukan oleh warga masyarakat. Penyelesaian perkara melalui

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

Toddy Anggasakti dan Amanda Pati Kawa. Abstrak

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 1 ayat (3)

PERANAN SIDIK JARI DALAM PROSES PENYIDIKAN SEBAGAI SALAH SATU ALAT BUKTI UNTUK MENGUNGKAP SUATU TINDAK PIDANA. (Studi Kasus di Polres Sukoharjo)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam Penjelasan Undang Undang Dasar 1945, telah dijelaskan

BAB I PENDAHULUAN. Berbicara mengenai anak, adalah merupakan hal yang sangat penting

BAB I PENDAHULUAN. mengenai kenakalan anak atau (juvenile deliuencya) adalah setiap

BAB I PENDAHULUAN. mengatur suatu usaha untuk mewujudkan ide-ide dan konsep-konsep menjadi

BAB I PENDAHULUAN. peradilan adalah untuk mencari kebenaran materiil (materiile waarheid)

BAB I PENDAHULUAN. tersebut dapat dilihat dari adanya indikasi angka kecelakaan yang terus

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan dan teknologi, mengakibatkan kejahatan pada saat ini cenderung

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Negara Indonesia merupakan negara hukum, hal ini tertuang pada

BAB I PENDAHULUAN. pada Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang berbunyi Negara Indonesia adalah Negara Hukum.

BAB I PENDAHULUAN. yang telah tercakup dalam undang-undang maupun yang belum tercantum dalam

BAB I PENDAHULUAN. melindungi individu terhadap pemerintah yang sewenang-wenang dan

BAB I PENDAHULUAN. pengadilan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. pemeriksaan di sidang pengadilan ada pada hakim. Kewenangan-kewenangan

I. PENDAHULUAN. sebutan Hindia Belanda (Tri Andrisman, 2009: 18). Sejarah masa lalu Indonesia

PRAPERADILAN SEBAGAI UPAYA KONTROL BAGI PENYIDIK DALAM PERKARA PIDANA

BAB I PENDAHULUAN. Negara Hukum. Secara substansial, sebutan Negara Hukum lebih tepat

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

FUNGSI DAN KEDUDUKAN SAKSI A DE CHARGE DALAM PERADILAN PIDANA

BAB I PENDAHULUAN. hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. 1. perundang-undangan lain yang mengatur ketentuan pidana di luar KUHP

BAB I PENDAHULUAN. Dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, telah ditegaskan bahwa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. pada tahap interogasi / penyidikan sering terjadi tindakan sewenang-wenang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perlindungan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia

BAB I PENDAHULUAN. dapat lagi diserahkan kepada peraturan kekuatan-kekuatan bebas dalam

I. PENDAHULUAN. hukum sebagai sarana dalam mencari kebenaran, keadilan dan kepastian hukum. Kesalahan,

BAB 1 PENDAHULUAN. secara konstitusional terdapat dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan tanpa kecuali. Hukum merupakan kaidah yang berupa perintah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Didalam proses perkara pidana terdakwa atau terpidana

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Setiap bangsa mempunyai kebutuhan yang berbeda dalam hal

BAB I PENDAHULUAN. karena kehidupan manusia akan seimbang dan selaras dengan diterapkannya

III. METODE PENELITIAN. penulis akan melakukan pendekatan secara yuridis normatif dan yuridis empiris.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan

BAB I PENDAHULUAN. kongkrit. Adanya peradilan tersebut akan terjadi proses-proses hukum

KEDUDUKAN SAKSI MAHKOTA (KROONGETUIGE) DALAM PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN DI PERSIDANGAN NASKAH PUBLIKASI SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. pidana, oleh karena itu, hukum acara pidana merupakan suatu rangkaian

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkembangan tindak pidana dalam kehidupan masyarakat di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Praperadilan merupakan lembaga baru dalam dunia peradilan di

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia merupakan negara hukum, sedangkan fungsi hukum dalam negara hukum fungsi sebagai Social Control (Pengendalian tingkah laku masyarakat) yang maksudnya hukum berfungsi untuk mengatur tingkah laku manusia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, guna menciptakan suasana yang tertib, teratur dan tenteram. 1 Sebagai negara hukum, negara Indonesia memiliki beberapa macam hukum untuk mengatur tindakan warga negaranya, antara lain adalah hukum pidana dan hukum acara pidana, hukum perdata, hukum bisnis, hukum lingkungan dan seterusnya. Hukum pidana ini mempunyai hubungan yang sangat erat dengan hukum acara pidana yang mengatur cara-cara bagaimana negara menggunakan haknya untuk melakukan penghukuman dalam perkara perkara pidana yang terjadi (hukum pidana formal). Tujuan dari hukum pidana adalah pada umumnya adalah untuk melindungi kepentingan orang atau perseorangan (hak asasi manusia) melindungi kepentingan masyarakat dan negara dengan perimbangan yang serasi dari suatu tindakan tercela/kejahatan di satu pihak dari tindak penguasa sewenang-wenang dilain pihak. 2 Dalam Buku Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) disebutkan bahwa tujuan hukum acara pidana adalah: 1 Sudaryono dan Natangsa Surbakti, 2005, Hukum Pidana, Surakarta, MUP, hal. 26. 2 Pupuh Sahidu, Fungsi Dan Tujuan Hukum Pidana, 24 Mei 2013 dalam http://fhunram.blogspot.com/2013/05/fungsi-dan-tujuan-hukum-pidana.html diunduh Senin, 27 Oktober 2014 pukul 21:00 1

2 untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil, yaitu kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa dapat dipersalahkan. Dalam hal pembuktian menurut Hari Sasangka dan Lily Rosita berpendapat bahwa Hakim dalam menjatuhkan putusan tidak terikat dengan alat bukti yang ada, Darimana hakim meyimpulkan putusannya tidak menjadi masalah, Hakim hanya boleh menyimpulkan dari alat bukti yang ada dalam persidangan atau boleh mengabaikan alat bukti tersebut. 3 Terdapat fenomena bahwa di beberapa daerah provinsi di Indonesia apalagi akhir-akhir ini terdapat beberapa kasus pembunuhan di mana 12 tersangka ditangkap pihak kepolisian Polda Metro Jaya. Sedangkan 69 kasus pembunuhan terjadi pada tahun 2012 hal ini meningkat 2,98 % dari 67 kasus yang terjadi selama tahun 2011. Salah satu kasus pembunuhan yang menonjol yakni kasus pembunuhan bos PT. Sanex Steel Indonesia Tan Hari Tamtomo yang ditemukan tewas dengan kondisi leher hampir putus dan beberapa tusukan di tubuhnya. Lima tersangka diamankan dan para pelaku divonis 3 Hari Sasangka dan Lily Rosita, 2003, Hukum Pembuktian dalam Perkara Pidana, Bandung, Mandar Maju, hal. 14.

3 masing-masing 8 tahun penjara sedang terdakwa John Refra saat itu masih menjalani sidang. 4 Salah satu bentuk pembunuhan yang sering ditayangkan dalam media elektronik dan media cetak adalah pembunuhan yang dilakukan dengan direncanakan terlebih dahulu. Menurut Pasal 340 KUHP pembunuhan berencana adalah barang siapa dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan rencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun. 5 Cara penegakan hukum atas perbuatan kejahatan pembunuhan itu, harus tetap berdasarkan hukum yang berlaku, karena hukum acara pidana memberikan perlindungan kepada tersangka dan terdakwa sampai diperoleh kekuatan hukum tetap. Salah satu perlindungan kepada tersangka atau terdakwa adalah dalam menjalani pemeriksaan baik ditingkat penyidikan sampai di persidangan, tersangka atau terdakwa harus dianggap tidak bersalah sesuai dengan prinsip hukum praduga tak bersalah sampai ditetapkan kesalahannya dengan kekuatan hukum yang tetap, sebagaimana yang tercantum dalam Undang-undang No. 14 Tahun 1970 dan Undang-Undang No. 8 Tahun 1981. Sebagai seorang yang belum dinyatakan bersalah maka orang itu mendapat hak-hak seperti hak segera mendapat pemeriksaan oleh pengadilan dan mendapat putusan seadil-adilnya, hak untuk diberitahu tentang apa yang 4 Merdeka.com, Kamis, 27 Desember 2012 14:23 WIB: Kasus Pembunuhan Meningkat, dalam http://www.merdeka.com/peristiwa/kasus-pembunuhan-meningkat-di-tahun-2012.html diunduh Rabu, 22 Oktober 2014 pukul 06:34 5 Soenarto R, Kitab Undang-Undang Hukum Piadana (KUHP) dan KUHAP, Jakarta, Raja Grafindo Persada, hal. 210.

4 disangkakan/didakwakan kepadanya dan hak untuk dianggap tidak bersalah sebelum mendapat putusan yang sah dari pengadilan atas kejahatannya. 6 Pembuktian mengandung maksud dan usaha untuk menyatakan kebenaran atas sesuatu peristiwa, sehingga dapat diterima akal terhadap kebenaran peristiwa tersebut. 7 Salah satu cara untuk membuktikan bahwa tersangka/terdakwa bersalah atau tidak bersalah adalah dengan menggunakan saksi. Saksi merupakan salah satu alat bukti sebagaimana terdapat dalam Pasal 184 KUHAP. Salah satu saksi yang digunakan dalam pembuktian adalah saksi mahkota. Saksi mahkota adalah saksi yang juga seorang terdakwa dengan terdakwa lain yang bersama-sama melakukan tindak pidana. Saksi mahkota tidak diperlukan jika penyelidikan mendapatkan saksi yang cukup. Putusan Mahakamah Agung RI No. 1174/K/Pid/1994, Putusan Mahkamah Agung RI No. 1590/K/Pid/1995 dan Putusan Mahkamah Agung RI No. 1592/K/Pid/1995 tidak membenarkan adanya saksi mahkota. Menurut putusan ini saksi mahkota juga pelaku yang diajukan sebagai terdakwa dalam dakwaan yang sama oleh terdakwa yang diberikan kesaksian. Sebagaimana ketentuan untuk menjadi saksi ia harus melihat, mendengar ataupun mengalami sendiri karena apabila diketahui keterangannya palsu maka dia dapat dikenai sangsi atas kesaksiannya tersebut. Tapi pada kenyataannya pada saat ini masih banyak bahkan sering dalam proses acara peradilan menggunakan saksi mahkota. Hal 6 Faisal Salam, 2001, Hukum Acara Pidana dalam Teori Dan Praktek, Bandung, Penerbit Mandar Maju, hal. 11. 7 Hari Sasangko dkk, 2003, Hukum Pembuktian dalam Perkara Pidana, Bandung, Penerbit Mandar Maju, hal. 11.

5 itu dilakukan karena saksi mahkota bisa digunakan untuk melengkapi alat bukti yang kurang dan lebih bisa untuk membuka sebuah tindak pidana yang sulit untuk diungkap. Berdasarkan pada pemikiran di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian penggunanan saksi mahkota dalam sebuh proses acara peradilan pidana di Pengadilan Negeri Surakarta dan Sragen dengan judul penelitian KEDUDUKAN SAKSI MAHKOTA (KROONGETUIGE) DALAM PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN DI PERSIDANGAN B. Rumusan masalah Berdasarkan uraian di atas, permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini sebagai berikut: 1. Bagaimana pemanfaatan saksi mahkota dalam perspektif hak asasi manusia (HAM)? 2. Bagaimana kedudukan saksi mahkota dalam proses pembuktian tindak pidana pembunuhan di persidangan Pengadilan? 3. Apakah kendala penggunaan saksi mahkota dalam pembuktian perkara pembunuhan di persidangan? C. Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah di atas maka yang menjadi tujuan penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui pemanfaatan saksi mahkota dalam perspektif hak asasi manusia (HAM).

6 2. Untuk mengetahui kedudukan saksi mahkota dalam proses pembuktian tindak pidana pembunuhan di persidangan Pengadilan. 3. Untuk mengetahui kendala penggunaan saksi mahkota dalam pembuktian perkara pembunuhan di persidangan. D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat: 1. Untuk menambah wawasan pengetrahuan dan pemahaman penulis guna pengembangan ilmu pengetahuan pada umumnya dan ilmu hukum pada khususnya. 2. Mengembangkan penalaran, membentuk pola pikir sistematis dan dinamis, sekaligus untuk mengetahui sejauh mana kemampuan penulis dalam menerapkan ilmu yang diperoleh selama menimba ilmu di Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta. 3. Hasil penilitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan informasi kepada masyarakat dan bisa menjadi bahan referensi bagi penelitianpenelitian selanjutnya yang tentu lebih mendalam. 4. Untuk memenuhi tugas akhir sebagai syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum universitas Muhammadiyah Surakarta. E. Kerangka Pikiran Berdasar Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 dikemukakan bahwa setiap orang mempunyai hak yang sama dihadapan hukum. Dengan demikian pelaku kejahatan pembunuhan secara hukum mempunyai hak untuk

7 diperlakukan sebagai manusia di depan hukum, dimana semua warga negara sama kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan serta wajib menjunjung hukum dengan baik tidak ada kecualinya termasuk hak yang diberlakukan atas terdakwa yakni praduga tak bersalah. Demikian juga kedudukan saksi perkara pidana, yang dewasa ini dikenal dengan saksi mahkota, yakni saksi yang sangat jelas memahami terjadinya suatu peristiwa pidana (pembunuhan). Pasal 184 KUHAP menyebutkan bahwa alat bukti yakni semua unsur yang dapat menjelaskan suatu perkara pidana. Berdasar alat bukti tersebut, hakim memperoleh keyakinan bahwa tersangka bersalah melakukan tindak pidana. Jadi, meskipun dalam persidangan telah diajukan dua atau lebih alat bukti, namun bila hakim tidak yakin tersangka bersalah, maka tersangka akan dibebaskan. Macam-macam alat bukti dalam KUHAP diatur dalam Pasal 184 KUHAP, yaitu: (1) Keterangan saksi; (2) Keterangan ahli; (3) Surat; (4) Petunjuk; (5) Keterangan tersangka. Dari urut-urutan penyebutan alat bukti, disimpulkan bahwa pembuktian perkara pidana lebih dititikberatkan pada keterangan saksi. Dalam putusan tindak pidana pembunuhan yang di teliti oleh penulis disitu ada pemisahan dalam penuntutan (splitsing) oleh penuntut umum sesuai dengan Pasal 142 KUHAP. Dalam putusan tersebut terdakwa dijadikan saksi untuk terdakwa lainnya yang tuntutannya dibuat secara terpisah yang dalam prakteknya sering disebut dengan saksi mahkota. Saksi mahkota adalah seorang yang melihat, mendengar ataupun mengalami sendiri

8 peristiwa pidana tersebut. Saksi mahkota bisa saja seorang terdakwa dalam kaitannya dengan perkara pidana dengan orang lain dan ia ikut serta melakukan tindak pidana dan bisa dijadikan saksi antara terdakwa satu dengan terdakwa lainnya. Saksi mahkota bisa juga seorang terdakwa dengan terdakwa lain yang bersama-sama melakukan tindak pidana, bisa dijadikan saksi antara yag satu dengan yang lain. Dalam penggunaan sarana saksi mahkota secara HAM bahwa doktrin hukum yang menyatakan prinsip saksi mahkota itu tidak boleh digunakan, karena melanggar hak asasi manusia. Dalam hal ini terdakwa tidak bisa menggunakan hak mungkir. Adapun dasar hukum penggunaan saksi mahkota adalah Putusan Mahkamah Agung No. 66K/Kr/1967 tanggal 25 Oktober 1967. Skema kerangka pemikirannya dapat digambarkan sebagai berikut : Tindak Pidana Pembunuhan Penyelidikan Penyidikan Penuntutan Persidangan Pembuktian Ket Saksi Ket Ahli Ket. Surat Ket.Petunjuk Ket. Terdakwa Saksi Mahkota

9 F. Metode Penelitian Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu yang bertujuaan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan menganalisanya. 8 Dalam melakukan penelitian hukum seyogyanya selalu mengikatkan dengan makna yang mungkin dapat diberikan kepada hukum. Dalam melakukan penelitian agar terlaksana dengan maksimal maka peneliti menggunakan metode sebagai berikut: 1. Metode Pendekatan Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode pendekatan yuridis empiris. Pendekatan ini menunjukan bahwa hukum telah dipersepsi dari berbagai perspektif yang kemudian daripada itu dihasilkan pemahaman, pemaknaan dan konsep yang beragam. 9 Pendekatan yuridis yaitu mengacu terhadap penerapan norma hukum dalam Undang-undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, dalam prespektif empiris yaitu mengacu pada terhadap pelaksanaannya tentang kedudukan saksi mahkota dalam pembuktian tindak pidana pembunuhan di persidangan di Pengadilan Negeri Surakarta dan Pengadilan Negeri Sragen. 2. Penelitian Dalam penelitian hukum ini, sifat penelitian yang digunakan adalah deskriptif. Suatu penelitian deskriptif dimaksudkan untuk memberikan 8 9 Khuzalifah Dimyati dan Kelik Wardiono, 2004, Metode Penelitian Hukum, Surakarta, Universitas Muhammadiyah Surakarta, hal. 4. Burhan Ashofa, 2004, Metode Penalitian Hukum, Jakarat, Rieneke cipta, hal. 32.

10 data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala lainnya. 10 Dari pengertian tersebut dapat diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah yang diteliti dengan menggambarkan atau melukiskan keadaan objek atau subyek yang diteliti pada saat sekarang berdasarkan fakta yang tampak atau sebagaimana adanya. Jadi dari pengertian tersebut penulis berusaha untuk melukiskan keadaan dari suatu objek yang dijadikan permasalahan kedudukan saksi mahkota dalam pembuktian tindak pidana pembunuhan di persidangan 3. Lokasi Penelitian Untuk memperoleh data-data yang diperlukan maka penulis melakukan penelitian di Pengadilan Negeri Surakarta dan Sragen, dengan pertimbangan lokasi tersebut berada diwilayah tempat tinggal penulis. 4. Jenis Data dan Sumber data Jenis data yang digunakan terdiri dari dua jenis, Sumber data yang dimaksud: a. Data primer yakni data yang diperoleh secara langsung dari sumber pertama dan sebelum diperoleh. b. Data sekunder merupakan data yang mencakup tentang dokumendokumen resmi, buku-buku, hasil-hasil penilitian yang berwujud laporan, buku harian, dan literatur lainnya yang mendukung penelitian. Data Sekunder terdiri atas: 10 Soerjono Soekamto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, Universitas Indonesia (UI- Press), hal. 10.

11 1) Bahan Hukum Primer Dalam penelitian ini bahan primer yang penulis gunakan adalah bahan hukum yang mengikat dan berkaitan langsung dengan objek penelitian yang meliputi: a) Undang-undang Dasar 1945 b) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) c) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) d) Undang-Undang HAM e) Putusan Pengadilan f) Yurisprudensi 2) Bahan hukum Sekunder Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang memberi penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti buku, majalah, hasil penelitian dan hasil wawancara yang sesuai penelitian tentang kedudukan saksi mahkota dalam persidangan 3) Bahan hukum tersier yaitu bahan hukum yang memberi penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, yang meliputi: a) Kamus Besar Bahasa Indonesia, b) Kamus Hukum, c) Bahan-bahan tertulis lain yang relevan, berupa kamus dan ensiklopedia.

12 5. Metode Pengumpulan data Teknik yang dipakai dalam pengumpulan data ini yang diambil oleh penulis dalam penulisan hukum ini adalah studi kepustakaan atau studi dokumen (Library Research). Teknik pengumpulan data ini dengan cara membaca, mengkaji, dan membuat catatan dari buku-buku, peraturan perundang-undangan, dokumen serta tulisan-tulisan yang berhubungan dengan masalah yang menjadi obyek penelitian. 6. Metode Analisis data Penulis menggunakan metode analisis kualitatif yang dilakukan dengan cara mengumpulkan data yang diperoleh kemudian dihubungkan dengan literatur yang ada atau teori-teori tentang penggunaan saksi mahkota dalam pembuktian persidangan dan juga memperhatikan penerapannya yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan masalah yang diteliti. G. Sistematika Skripsi Untuk memberi gambaran secara menyeluruh mengenai sistematika penulisan hukum yang sesuai dengan aturan baru dalam penulisan hukum maka penulis menggunakan sistematika penulisan hukum. Adapun sistematika penulisan hukum ini terdiri dari empat bab yang tiap-tiap bab terbagi dalam sub-sub bagian yang dimaksudkan untuk memudahkan pemahaman terhadap keseluruhan hasil penelitian ini.

13 Dalam Bab I Pendahuluan ini mencantumkan tentang Latar belakang masalah, Perumusan masalah, Tujuan penelitian, Manfaat hasil penelitian, Metodologi penelitian, dan Sistematika penulisan hukum. Tinjauan pustaka menjadi judul dalam bab II yang di dalamnya mencantumkan tentang tinjauan umum tentang pembuktian yang mencakup pengertian pembuktian, dan macam-macam sistem pembuktian. Tinjauan umum tentang saksi mahkota yang mencakup pengertian saksi, macammacam saksi, dan pengertian tentang saksi mahkota. Tinjauan umum tentang tindak pidana pembunuhan yang mencakup pengertian tindak pidana, dan pengertian tindak pidana pembunuhan. Dalam Bab III ini penulis memaparkan hasil penelitian dan membahas kedudukan saksi mahkota dalm sebuah persidangan dan juga melihat posisi saksi mahkota dalam perpektif HAM dan juga mengkaji kendala-kendala yang dialami oleh aparat penegak hukum untuk memunculkan saksi mahkota dan juga kendala bagi orang yang akan dijadikan saksi mahkota. Dalam Bab IV sebagai penutup diisi dengan kesimpulan dan sara