Telah terbukti dan banyak kesaksian yang penulis dengar dari berbagai kalangan betapa mereka sangat tertolong dengan mendengarkan siaran-siaran acara rohani dari stasion radio tertentu. Ada yang hendak bunuh diri, akhirnya mengurungkan niatnya. Ada yang hendak pergi ke dukun akhirnya membelokkan arah kakinya justru pergi menjumpai pendeta. Ada yang tidak tahu harus berbuat apa dengan persoalan rumah tangga, persoalan di kantor, akhirnya mendapatkan jawaban dari suara seorang pendeta yang sedang bersiaran. Masih banyak lagi cerita dan kesaksian mereka. Oleh sebab itu keikutsertaan gereja bersiaran sungguh sangat memberi arti yang sangat dalam bagi kehidupan jemaatnya yang adalah juga pendengar setia radio siaran di daerahnya masing-masing. (Yesaya 52:7) Betapa indahnya kelihatan dari puncak bukit-bukit kedatangan pembawa berita, yang mengabarkan berita damai dan memberitakan kabar baik, yang mengabarkan berita selamat dan berkata kepada Sion: "Allahmu itu Raja!" Paragraf di atas adalah penggalan-akhir artikel yang saya tulis di tabloid rohani REFORMATA edisi Juni 2005, yang mengulas betapa pentingnya menggunakan media radio siaran untuk menyiarkan Kabar Baik pada masa sekarang. Dan kesadaran ini telah meluap-luap menghinggapi lembaga-lembaga pelayanan kristiani. Mereka berlomba untuk mendapat air time di stasion radio rohani tertentu. Dan yang tidak kalah hebatnya lagi adalah mereka berlomba untuk mendirikan stasion radio baru!! Waooooww hebat! Seorang Ibu yang berasal dari Manado beberapa waktu lalu meminta bicara dengan saya, usai dia saya wawancarai dalam sebuah program rohani di sebuah stasion radio. Ibu ini--mungkin sudah menyadari hebatnya pelayanan radio siaran terpanggil dalam pelayanan anak-anak jalanan di utaranya Jakarta. Apa yang kami bincangkan? Dia menanyakan, berapa sih biaya mendirikan sebuah stasion radio yang seperti ini (maksudnya radio tempat dia saya wawancarai)? Wahhhh kaget juga saya pada semangatnya itu untuk memiliki sebuah stasion radio (stara). Namun, saya ada rasa pesimis bila membongkar informasi yang sebenarnya. Karena saya khawatir dia akan terkaget-kaget bila mendengar biayanya. Tapi toh tetap saja saya beri jawaban. Ibu, kalau hendak mendirikan sebuah stara baru di Jakarta, sudah tidak bisa lagi. Karena sudah tidak dikeluarkan lagi izin oleh pemerintah, akibat di Jakarta sudah ada 50-an stara! Jadi yah kalau mau, Ibu harus membeli sebuah stara yang memang mau dijual oleh pemiliknya. --kata saya dengan pelan tapi mantap. Ya ya berapa, Pak harganya? Kemudian saya jawab lagi. Belum lama ini saya mendapat informasi, ada sebuah stara FM yang hendak dilepas oleh pemiliknya, tapi yah cuma peralatan dan surat izinnya saja, tanpa gedung, tanpa SDM, mereka minta 11 milliar rupiah, Bu. Dusssshhhh wajah Ibu muda yang tadinya berseri-seri itu langsung mengkerut! Dan ada beberapa waktu kami terdiam. Kemudian dia lanjutkan, Kalau di Manado, murah dan mudahkah untuk mendirikan stara? Nah, untuk jawaban pertanyaan tersebut tidak perlu saya uraikan di tulisan ini. Sebab, bagi saya semangat Ibu tersebut sungguh saya beri acungan jempol! Karena dia sudah menyadari stara adalah sarana 1 / 5
yang paling efektif untuk menyampaikan Kabar Baik, kabar kesaksian hidupnya, untuk menjadi berkat bagi para pendengar stara yang terdiri dari berbagai lapisan masyarakat. Itu tadi semangat seorang Ibu yang hendak memiliki sebuah stara! Namun bagaimanakah semangat para pemilik stara yang baru? Waowww tentu saja mereka semangatnya luar biasa ruaaarrrrr biasa (kata iklan!). Dari berbagai perbincangan saya yang sekaligus turut berpartisipasi mengembangkan stara baru itu, memang para pemiliknya memiliki motivasi awal untuk menyiarkan Kabar Baik. Dan biasanya bila performa stara itu lain dari yang lain, dalam arti memang sesuatu yang dikemas sedemikian rupa, maka para pendengar pun cepat bertambah banyak. Apalagi bila para pendengar itu sungguh haus akan makanan rohani. Maka kru stara tersebut bersemangat untuk membuat acara rohani bila perlu selama 24 jam sehari! Mereka juga bergairah untuk membuat acara-acara yang tanpa disadari telah berupa memindahkan mimbar pendeta ke udara! Wahhhh jadilah suasana di udara bak kita sedang duduk di dalam sebuah gedung gereja mendengarkan pendeta kotbah. Demikian pula para penyiarnya, juga terkena api semangat yang luar biasa, sehingga ketika menyapa para pendengar maupun menyampaikan materi siaran, prinsip-prinsip bersiaran secara komunikatif sudah terlanggar dengan sendirinya. Dan akibatnya apa, ya? Ada banyak akibat, tapi salah satunya yah nggak enak deh denger siaran itu! Capek kuping! He he he tapi tidak tertutup kemungkinan ada pendengar yang menikmati semua itu. Saya hanya hendak mengatakan bahwa ada banyak pemilik stara baru yang hanya bermodal semangat dan sedikit pengetahuan tentang broadcasting, armadanya langsunnnngggggg on air! Yang terpenting bagi mereka Kabar Baik harus secepatnya disiarkan, urusan masalah belakangan! Bravo?? Hm hm hm apakah begitu caranya? Bukankah siaran Kabar Baik itu juga didengar oleh saudara sepupu kita? Dalam beberapa kesempatan membenahi dan mengembangkan stara-stara yang sudah berusia di atas 5 tahun, saya menemukan beberapa hal. Rasa kemapanan telah menjadi tembok penghalang untuk menerima sesuatu yang baru yang sesuai dengan nafas zaman yang terus berkembang. Ahhh jangan diubahlah acara-acara itu, jangan direnovasilah gaya siaran kami nanti pendengar kami yang sudah bertahun-tahun itu akan melarikan diri ke stara lain! ungkap beberapa orang kru stara. Dan juga perasaan sudah terkenal menjadi pintu penghalang untuk menerima masukan-masukan yang datang dari orang independen yang memahami dunia broadcasting. Ya! Padahal para pendengar stara umumnya menikmati saja apa yang tersaji di udara, mereka enggan untuk 2 / 5
mengkritisi, bahkan kalau ada kesalahan di udara, terkadang pendengar berpikir, ahhh biar sajalah ini kan siaran radio, koq. Maka oleh sebab itu penyiar umumnya lebih banyak mendapat pujian ketimbang inputan sehingga membuat pasukan udara itu merasa selalu baik dan benar. Tapi, ketika ada pengamat yang mengkritisinya, terlebih si pengamat ini telah memiliki jam terbang tinggi di dunia broadcasting, maka dibongkarlah segala sesuatunya, yang dapat saja memunculkan perlawanan dari penyiar-penyiar yang sudah merasa terkenal itu. Ya! Ini bukan masalah terkenal tidak terkenal, namun masalah pertanggungjawaban! Apakah setiap kata yang diucapkan oleh penyiar di udara itu dapat dia pertanggungjawabkan? Apakah kata-kata itu membawa kebaikan dan damai sejahtera, serta menjadi kesaksian yang indah dan hidup? Awas lho ini siaran rohani, lho! Ini menyangkut jiwa-jiwa! Ada seorang penyiar muda yang enerjik, suatu ketika diberi masukan untuk menahan diri di udara jangan terlalu mempopulerkan dirinya sendiri, yang wajar-wajar sajalah. Apa lacur, dia tersinggung. Sempat juga diingatkan untuk jangan terlalu membuka di udara rahasia kegiatan konselor yang dilakukannya terhadap seorang istri orang lain. Dia pun memberikan pembelaan dan berbagai pemakluman. Ketika juga diberi pemahaman bahwa pendengar tidak layak mendapat sajian tertentu darinya, dia pun menampik: pendengar yang mana? Wooohh wohhh hebat nian penyiar muda enerjik ini. Dan tahukah Anda bagaimana karier selanjutnya dari si penyiar yang hebat ini? Setelah diingatkan beberapa kali, tapi dia ulang lagi dia ulang lagi kesalahan yang sama, pada akhirnya manajemen dengan tegas berkata padanya : Selamat tinggal! Terimakasih atas pelayanan Anda selama ini di stara rohani ini! Lain lagi kisah manajer program di stara yang banyak penyiar mudanya. Wanita lajang ini, pada suatu ketika terbongkar sepak terjangnya yang menggunakan fasilitas kantor untuk sesekali mencari keuntungan materi untuk dirinya sendiri dan klik-nya. Lebih lanjut lagi terbongkar pula bagaimana dia sering kali tidak melaporkan hal-hal teknis dan konsep-konsep dan kebijakan barunya ke manajemen. Sehingga setelah sekian lama diudarakan barulah manajemen mengetahuinya. Bahkan salah seorang anggota klik-nya pernah dengan semangat 45 membuat acara dadakan dari jam 12 malam sampai jam 1 malam, tanpa seizin pimpinan stara itu. Karena pimpinan stara itu sedang berlibur ke luar kota dengan keluarganya. Pada akhirnya ketahuan juga ulah memperpanjang siaran selama 1 jam itu. Tentulah marah besar si pimpinan terhadapnya. Dan tahukah Anda bagaimana nasib mereka sekarang? Si wanita manajer program itu akhirnya mengundurkan diri. 3 / 5
Dan si anak muda penyiar yang nekad membablaskan siaran sampai 1 jam itu, kini sudah tidak mengudara lagi. Dia difokuskan hanya untuk tugas administrasi dan ke lapangan mencari order iklan. Ini semua terjadi di sebuah stara rohani, di sebuah ibukota propinsi. Saya tidak mau berpanjang lebar lagi. Karena kalau mau mengungkapkan contoh-contoh kasus, maka diperlukan beberapa hari untuk membacanya di sini, sesuai dengan perjalanan hidup saya yang telah berenang di dunia broadcasting ini selama 21 tahun. Ya! Sekalipun hanya sedikit, saya ingin membagikan fakta-fakta di atas. Sebenarnya inti dari tulisan ini hanyalah, marilah kita r e n u n g k a n ju dul tulisan ini. Di ladang On Air di ladang siaran radio khususnya siaran rohani ada jiwa-jiwa yang siap dituai. Siap dituai tidak berarti datang begitu saja. Ada sekian waktu yang diperlukan untuk ladang jiwa-jiwa itu siap dituai. Sekian waktu yang dimaksud itu adalah, sekian waktu kita merancang program acara, menyiarkannya dengan semangat dan tekun, sampai akhirnya membuat ladang On Air telah menguning. Nah persoalannya, ladang On Air itu terkadang tidak juga menguning, padahal stara itu sudah puluhan tahun mengudara. Atau sebaliknya, ladang itu cepat sekali menguning dan matang, walaupun stara tersebut masih berusia balita. Mengapa bisa begitu, ya? Hm hm izinkan saya menjawabnya dengan singkat, karena semua tergantung pada kesiapan stara itu menjadi sarana yang profesional yang dibungkus dengan nafas-pelayanan! Dengan kata lain, selalu membuka dirikah stara-stara itu untuk berbenah diri? Untuk dibenahi? Dan untuk rela hati pada periode tertentu meminta masukan masukan dari seorang ahli yang independen? Ah pesan-nya, jangan pula kita lupakan: Belajarlah untuk membaca tanda-tanda zaman! Dengan demikian kita tidak terseret pada situasi yang membuat kita tidak mampu menguningkan ladang yang hijau, dan tidak mampu menuai ladang yang telah kuning! 4 / 5
Jakarta, 23 September 2005 Tema Adiputra 5 / 5