BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Matematika mempunyai peranan yang penting dalam menata dan mengelola kehidupan bersama sebuah masyarakat, bangsa dan negara. Hal ini bisa dilihat dari betapa banyak dan beragamnya profesi serta hal-hal yang bisa dipilih sebagai bidang pengabdian hidup berlandaskan pada pengetahuan dan keterampilan matematika. Misalnya: ahli statistik, dokter, ilmuwan, peneliti, guru, ekonom, insinyur, ekolog, dan masih banyak profesi yang lainnya. Tetapi hal itu dapat terwujud apabila matematika tak hanya dipahami sebatas pada keterampilan berhitung, namun jauh lebih dalam dari itu, yaitu pada logika bernalar. Berkaitan dengan pentingnya penalaran, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), secara tegas menyebutkan salah satu tujuan diberikannya matematika di tingkat SMP/MTs yaitu agar peserta didik memiliki kemampuan menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika (Depdiknas, 2006). Sesuai dengan apa yang dirumuskan dalam NCTM (National Council of Teachers of Mathematics) pada tahun 2000, standar matematika sekolah meliputi standar isi atau materi (mathematical content) dan standar proses (mathematical processes). Standar proses meliputi pemecahan masalah (problem solving), penalaran
dan pembuktian (reasoning and proof), koneksi (connection), komunikasi (communication), dan representasi (representation). Penalaran merupakan unsur yang penting dalam pembelajaran matematika, hal ini sejalan dengan pendapat Soedjadi (dalam Trisnadi, 2006) yang menyatakan bahwa matematika sebagai salah satu ilmu dasar, baik aspek terapannya maupun aspek penalarannya mempunyai peranan penting dalam upaya penguasaan ilmu dan teknologi. Didukung pula oleh pendapat Baroody (dalam Dahlan, 2004) yang mengungkapkan bahwa penalaran dapat secara langsung meningkatkan hasil belajar siswa, yaitu jika siswa diberi kesempatan untuk menggunakan keterampilan bernalarnya dalam melakukan pendugaan-pendugaan berdasarkan pengalamannya sendiri, maka siswa akan lebih mudah memahami konsep. Berkaitan dengan pentingnya penalaran dalam matematika, NCTM (2000: 262) merekomendasikan bahwa tujuan pembelajaran penalaran pada kelas 6-8 (setingkat SMP/MTs) adalah agar siswa dapat (1) menguji pola dan struktur untuk mendeteksi keteraturan, (2) merumuskan generalisasi dan konjektur hasil observasi keteraturan, (3) mengevaluasi konjektur, dan (4) membuat dan mengevaluasi argumen matematik. Namun, keadaan di lapangan belumlah sesuai dengan yang diharapkan. Wahyudin (dalam Dwirahayu, 2005) menyatakan salah satu penyebab lemahnya kemampuan siswa dalam memahami konsep matematika adalah kurangnya kemampuan bernalar. Hal ini disebabkan pembelajaran matematika yang dilakukan di
SMP dan SMA tidak banyak memperdalam logika atau penalaran. Siswa lebih sering diberi soal-soal perhitungan dengan menggunakan algoritma yang ada tanpa adanya kebebasan menjawab. Kurangnya penggunaan kemampuan bernalar dalam menyelesaikan masalah matematika menyebabkan siswa kesulitan dalam menyelesaikan persoalan dalam kehidupannya. Laporan hasil studi Henningsen Stein, (1997); Peterson, (1998); Mullis, dkk, (2000) mengungkapkan bahwa pembelajaran matematika pada umumnya belum memfokuskan pada pengembangan kemampuan berpikir tingkat tinggi (Suryadi, 2005: 65). Hal ini didukung oleh studi lain yang dilakukan oleh Priatna (2003) dan Somatayana (2005) khususnya tentang kemampuan penalaran siswa menyimpulkan bahwa kemampuan penalaran matematik siswa masih tergolong rendah. Untuk menghasilkan komunitas matematika yang baik bagi pertumbuhan dan perkembangan kemampuan penalaran matematika dapat dilakukan dengan berbagai cara antara lain: 1) pemberian penalaran yang dimulai sejak usia dini (Baroody, 1993); 2) dalam pembelajaran guru hendaknya berusaha agar siswa tidak hanya terampil mengaplikasikan konsep atau rumus saja, tetapi lebih didorong ke arah pencapaian tingkat penalaran yang lebih tinggi (Sumarmo, 1997); dan 3) soal-soal yang diberikan beragam dan soal non-rutin yaitu masalah yang tidak dikenal oleh siswa, yang prosedur penyelesaiannya memerlukan perencanaan, tidak sekedar menggunakan rumus, teorema atau dalil (Mullis, et.al, 2003). Pembelajaran akan berhasil jika diawali dengan membangun pemikiran siswa. Misalnya siswa diberikan permasalahan yang tidak asing lagi dalam pemikirannya
artinya permasalahan yang diberikan pernah mereka alami, sehingga siswa berupaya untuk mencari dan menemukan jawabannya berdasarkan pada struktur pengetahuan yang telah mereka miliki sebelumnya. National Research Council merangkum bahwa guru yang efektif adalah guru yang dapat menstimulasi siswa belajar matematika. Penelitian pendidikan matematika menawarkan sejumlah bukti bahwa siswa akan belajar matematika secara baik ketika mereka mengkonstruksi pengetahuan mereka sendiri. Untuk memahami apa yang mereka pelajari mereka harus bertindak dengan kata kerja mereka sendiri menembus kurikulum matematika: menguji, menyatakan, mentransformasi, menyelesaikan, menerapkan, membuktikan, dan mengomunikasikan. Hal ini pada umumnya terjadi ketika siswa belajar dalam kelompok, terlibat dalam diskusi, membuat presentasi, dan bertanggung jawab dengan yang mereka pelajari sendiri (Turmudi, 2008: 70). Melalui pembelajaran yang diawali dengan masalah, siswa belajar untuk bertanggung jawab dalam kegiatan belajar, tidak sekedar menjadi penerima informasi yang pasif, namun harus aktif mencari informasi yang diperlukan sesuai dengan kapasitas yang dimilikinya. Siswa juga dituntut untuk terampil bertanya dan mengemukakan pendapat, menemukan informasi yang relevan dari sumber, mencari berbagai cara alternatif untuk mendapatkan solusi, dan menentukan cara yang paling efektif untuk menyelesaikan masalah. Masalah kontekstual digunakan sebagai sumber awal pemunculan konsep sekaligus sebagai obyek penerapan matematika. Melalui masalah kontekstual yang dihadapi, sejak awal siswa diharapkan menemukan cara, alat matematis atau model
matematis sekaligus pemahaman tentang konsep atau prinsip yang akan dipelajari. Pemberian masalah pada proses awal pembelajaran ini diharapkan dapat membuat siswa aktif berpikir sejak awal dan siswa sendiri yang berusaha membangun konsep yang akan dipelajari. Dengan menyelesaikan masalah, diharapkan siswa dapat menemukan konsep atau pengetahuan yang baru bagi dirinya. Bruner (dalam Dahar, 1996: 103) menganggap bahwa belajar penemuan sesuai dengan pencarian pengetahuan secara aktif oleh manusia, dan dengan sendirinya memberikan hasil yang paling baik. Berusaha sendiri untuk mencari pemecahan masalah serta pengetahuan yang menyertainya, menghasilkan pengetahuan yang benar-benar bermakna. Demikian pula Ruseffendi (1991: 329) menyatakan bahwa metode penemuan adalah metode mengajar yang mengatur pengajaran sedemikian rupa sehingga anak memperoleh pengetahuan yang sebelumnya belum diketahuinya itu tidak melalui pemberitahuan, sebagian atau seluruhnya ditemukan sendiri. Hal ini didukung pula oleh pendapat Dahar (1996: 103) yang menyatakan bahwa secara menyeluruh belajar penemuan meningkatkan penalaran siswa dan kemampuan untuk berpikir secara bebas. Penemuan yang dimaksud dalam penelitian ini yaitu siswa menemukan konsep melalui bimbingan dan arahan dari guru karena pada umumnya sebagian besar siswa masih membutuhkan konsep dasar untuk dapat menemukan sesuatu. Hal ini terkait erat dengan karakteristik pelajaran matematika yang lebih merupakan deductive reasoning dalam perumusannya. Di samping itu, penemuan tanpa bimbingan dalam pelaksanaannya dapat memakan waktu berhari-
hari atau bahkan siswa tidak berbuat apa-apa karena tidak tahu, dan tidak semua siswa dapat menemukan sendiri. Dalam pembelajaran penemuan terbimbing, guru sebagai fasilitator, membimbing siswa dimana ia diperlukan. Siswa didorong untuk berpikir sendiri, menganalisis sendiri, sehingga dapat 'menemukan' konsep atau prinsip umum berdasarkan bahan atau data yang telah disediakan guru. Sampai seberapa jauh siswa dibimbing, tergantung pada kemampuannya dan materi yang sedang dipelajari. Untuk meningkatkan penalaran matematik, dibutuhkan persepsi dan sikap yang positif terhadap matematika, dan merupakan salah satu tujuan pelajaran matematika di sekolah, yaitu agar para siswa: Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah (Depdiknas, 2006). Hal ini penting mengingat sikap positif terhadap matematika berkorelasi positif dengan prestasi belajar matematika (Ruseffendi, 1991). Tetapi, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa tidak sedikit siswa yang memandang matematika sebagai suatu mata pelajaran yang sangat membosankan, menyeramkan, bahkan menakutkan. Banyak siswa yang berusaha menghindari mata pelajaran tersebut. Ausubel dan Bisher (dalam Karso dan Suherman, 1993) mengemukakan akibat yang dapat timbul jika memaksakan siswa mempelajari suatu bahan yang sulit dicerna oleh siswa, yaitu: 1) tidak saja akan gagal dalam belajar, tapi juga akan membenci dan menghindari pelajaran yang berkenaan dengan materi
tersebut, 2) biasanya mengalami frustasi dan mungkin pula mengembangkan sifat negatif terhadap kemampuan tersebut. Oleh karena itu, perubahan proses pembelajaran matematika yang menyenangkan harus menjadi prioritas utama. Upaya yang dapat dilakukan guru untuk menimbulkan sikap positif siswa terhadap matematika salah satunya adalah dengan cara mengaitkan materi matematika yang diajarkan dengan situasi nyata, penyampaian materi matematika agar dapat menyenangkan, mudah dipahami, tidak menakutkan, dan tunjukkan bahwa matematika banyak kegunaannya. Materi harus dipilih dan disesuaikan dengan lingkungan yang berkaitan dengan kehidupan seharihari (kontekstual) dan tingkat kognitif siswa, dimulai dengan cara-cara informal melalui pemodelan sebelum dengan cara formal. Dengan memperhatikan uraian di atas, penulis mengajukan sebuah studi tentang kemampuan penalaran matematik siswa melalui pembelajaran dengan metode penemuan terbimbing berbasis masalah kontekstual, yang dilaksanakan di Madrasah Tsanawiyah, dan diberi judul Peningkatan Kemampuan Penalaran Matematik Siswa MTs Melalui Pembelajaran dengan Metode Penemuan Terbimbing Berbasis Masalah Kontekstual. B. Rumusan Masalah Mengacu pada uraian yang telah dituangkan pada latar belakang masalah, maka masalahnya mengarah pada peningkatan kemampuan penalaran matematik siswa MTs. Dengan demikian, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Apakah terdapat perbedaan yang signifikan terhadap peningkatan kemampuan penalaran matematik antara siswa yang memperoleh pembelajaran dengan metode penemuan terbimbing berbasis masalah kontekstual dan siswa yang memperoleh pembelajaran biasa (konvensional)? 2. Bagaimanakah kualitas peningkatan kemampuan penalaran matematik siswa yang memperoleh pembelajaran dengan metode penemuan terbimbing berbasis masalah kontekstual? 3. Bagaimana sikap siswa terhadap matematika, pembelajaran dengan metode penemuan terbimbing berbasis masalah kontekstual? C. Tujuan Penelitian Berdasarkan uraian dari latar belakang dan rumusan masalah, maka penelitian ini bertujuan untuk memperoleh informasi obyektif mengenai kemampuan penalaran matematik siswa melalui pembelajaran dengan metode penemuan terbimbing berbasis masalah kontekstual. Secara rinci, tujuan penelitian ini dapat dijabarkan sebagai berikut: 1. Untuk menelaah perbedaan peningkatan kemampuan penalaran matematik antara siswa yang memperoleh pembelajaran dengan metode penemuan terbimbing berbasis masalah kontekstual dan siswa yang memperoleh pembelajaran biasa (konvensional). 2. Untuk menelaah kualitas peningkatan kemampuan penalaran matematik siswa MTs melalui pembelajaran dengan metode penemuan terbimbing berbasis masalah kontekstual.
3. Untuk melihat sikap siswa terhadap matematika, dan terhadap pembelajaran dengan metode penemuan terbimbing berbasis masalah kontekstual. D. Manfaat Penelitian Adapun hasil dari penelitian yang akan dilaksanakan melalui studi eksperimental ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran terhadap berbagai pihak terutama: 1. Bagi siswa, dengan mengikuti pembelajaran dengan metode penemuan terbimbing berbasis masalah kontekstual ini diharapkan dapat meningkatkan kemampuan penalaran matematik siswa, motivasi dan sikap siswa terhadap matematika, serta memperoleh pengalaman yang baru dalam belajar. 2. Bagi guru matematika, diharapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuannya terhadap alternatif model pembelajaran yang memungkinkan untuk diterapkan sebagai upaya meningkatkan kemampuan penalaran matematik. 3. Semua pihak yang berkepentingan untuk dapat dijadikan sebagai rujukan dalam penulisan selanjutnya. E. Hipotesis Penelitian Hipotesis dari penelitian ini adalah Terdapat perbedaan yang signifikan terhadap peningkatan kemampuan penalaran matematik antara siswa yang memperoleh pembelajaran dengan metode penemuan terbimbing berbasis masalah kontekstual dan siswa yang memperoleh pembelajaran biasa (konvensional).
F. Definisi Operasional Untuk memperoleh kesamaan persepsi tentang istilah yang digunakan dalam penelitian ini, maka perlu dijelaskan istilah-istilah yang digunakan, yaitu: 1. Kemampuan penalaran matematik yang digunakan dalam penelitian ini adalah menarik kesimpulan logik, memberikan penjelasan dengan model, fakta, sifatsifat dan hubungan, memperkirakan jawaban dan proses solusi, dan menggunakan pola dan hubungan untuk menganalisis situasi matematik. 2. Metode penemuan terbimbing merupakan kegiatan pembelajaran yang dirancang sedemikian rupa sehingga siswa dapat menemukan konsep-konsep dan prinsipprinsip melalui proses mengamati, menggolongkan, membuat dugaan, mengukur, menjelaskan, menarik kesimpulan, dan sebagainya untuk menemukan beberapa konsep atau prinsip. Guru sebagai fasilitator, membimbing siswa dimana ia diperlukan. Siswa didorong untuk berpikir sendiri, menganalisis sendiri, sehingga dapat menemukan konsep atau prinsip umum berdasarkan bahan atau data yang telah disediakan guru. Sampai seberapa jauh siswa dibimbing, tergantung pada kemampuannya dan materi yang sedang dipelajari. 3. Masalah kontekstual adalah masalah atau soal-soal berkonteks kehidupan nyata (kontekstual) yang konkret atau yang ada pada alam pikiran siswa atau situasi yang memuat masalah yang dapat dijangkau oleh pikiran siswa. Masalah-masalah itu dapat disajikan dalam bahasa biasa atau cerita, bahasa lambang, benda konkret atau model (gambar, grafik, tabel, dan lain-lain). Soal seperti ini tidaklah sekedar berkaitan dengan konteks kehidupan keseharian, tetapi juga dapat sesuatu yang
fiktif namun dapat dijangkau oleh akal manusia, ataupun sesuatu yang kontekstual secara matematika 4. Metode penemuan terbimbing berbasis masalah kontekstual adalah kegiatan pembelajaran yang diawali dengan memberikan masalah kontekstual kepada siswa, dengan menyelesaikan masalah kontekstual siswa dapat menemukan konsep-konsep dan prinsip-prinsip baru bagi dirinya. Guru membimbing siswa dimana ia diperlukan. Sampai seberapa jauh siswa dibimbing, tergantung pada kemampuannya dan materi yang sedang dipelajari. 5. Pembelajaran biasa (konvensional) adalah pembelajaran yang menggunakan metode ceramah atau ekspositori. Pembelajaran konvensional biasanya diawali dengan guru menjelaskan materi pelajaran di depan kelas dan siswa mendengarkan penjelasan guru, kemudian siswa diberi contoh-contoh soal yang diselesaikan oleh guru dan terakhir siswa diberi soal-soal latihan. 6. Peningkatan kemampuan penalaran matematik siswa antara sebelum dan sesudah pembelajaran dihitung dengan menggunakan rumus: skor postes skor pretes Gain Ternormalisasi (g) = skor ideal skor pretes dengan kriteria indeks gain berdasarkan kategori Hake (Meltzer, 2002) sebagai berikut: g 0,7 Tinggi 0,3 < g < 0,7 Sedang g 0,3 Rendah