BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LatarBelakang Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue Haemorrhagic Fever (DHF) adalah penyakit yang disebabkan oleh virus dengue yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes Aegypty dan Aedes Albopictus. Kedua jenis nyamuk ini terdapat di hampir seluruh pelosok Indonesia, kecuali di tempat-tempat ketinggian lebih dari 1000 meter diatas permukaan air laut. Menurut World Health Organization (2002), jumlah penduduk dunia yang beresiko terinfeksi lebih dari 2,5 sampai 3 milyar orang terutama penduduk yang tinggal di daerah perkotaan di negara tropis dan subtropis. Jumlah kasus DBD di Asia Tenggara bervariasi hingga tahun 2006 terjadi 188.684 kasus. Sejak tahun 2003, jumlah kasus DBD semakin meningkat meskipun angka kematian dapat ditekan di bawah 1%. Infeksi DBD berada di semua negara di Asia Tenggara. Hinggga tahun 2003, Thailand merupakan Negara dengan jumlah infeksi DBD terbanyak. Namun, sejak tahun 2004, posisi itu ditempati Indonesia hingga saat ini (Hadinegoro, 2005). Di Indonesia, penyakit DBD masih merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat di Indonesia yang belum dapat ditanggulangi. Penyakit DBD bahkan endemis hampir di seluruh propinsi. Dalam kurun waktu 5 tahun terakhir jumlah kasus dan daerah terjangkit terus meningkat dan menyebar luas serta sering
menimbulkan Kejadian Luar Biasa (KLB). Diperkirakan setiap tahunnya ada 3.000.000 kasus di Indonesia, dan 500.000 kasus DBD yang memerlukan perawatan di rumah sakit dan minimal 12.000 diantaranya meninggal dunia, terutama anak-anak (Depkes RI, 2007). Penyakit DBD belum ditemukan vaksinnya, sehingga tindakan yang paling efektif untuk mencegah perkembangbiakan nyamuk ini adalah dengan program pemberantasan sarang nyamuk. Berbagai kegiatan yang dilaksanakan Pemerintah dalam rangka pemberantasan Demam Berdarah Dengue (DBD) melalui upaya-upaya pencegahan yang dilakukan secara berkelanjutan, hasilnya belum optimal bahkan masih dijumpai Kejadian Luar Biasa (KLB) yang menelan korban jiwa. Hal ini tentu erat kaitannya dengan tingkat pengetahuan masyarakat tentang pencegahan Demam Berdarah Dengue (DBD) (Soegijanto, 2004). Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi jumlah kasus DBD yaitu perubahan iklim dan kelembaban udara, lingkungan fisik dan biologik, dan perilaku penduduk. Menurut data dari Balai Besar Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika, curah hujan bulanan di Medan pada tahun 2009 agak tinggi, terutama pada Bulan Januari, Maret, Mei, September, Oktober, Nopember dan Desember. Berdasarkan pengamatan terhadap pola penularan DBD di Indonesia, umumnya musim penularan DBD berlaku pada musim hujan (Roose, 2008). Tempat perindukan nyamuk (vector) dilaporkan semakin banyak. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Hasyimi pada tahun 2004, perilaku penduduk yang selalu menampung air karena takut tidak tersedianya air menyebabkan tempat
perindukan nyamuk Aedes Aegypti cenderung menjadi banyak sehingga memperluas peluang terjadinya transmisi DBD. Pengaruh lingkungan juga sangat berpengaruh terhadap transmisi DBD. Roose dalam penelitiannya pada tahun 2008 menyatakan bahwa penduduk di perumahan yang padat lebih cenderung terserang DBD (Roose, 2008). Sejak pertama kali ditemukan di Surabaya dan Jakarta pada tahun 1968, tercatat 54 kasus dengan 24 kematian (CFR 41,5%). Selanjutnya pada tahun 1972 ditemukan DBD di luar Jawa yaitu Sumatera Barat, Lampung, dan Riau. Sejak itu penyakit DBD tersebar di berbagai daerah, dan angka kejadian penyakit DBD terus meningkat (Depkes, 2007). KLB penyakit DBD terjadi di sebagian besar daerah perkotaan dan beberapa daerah pedesaan, di mana sejak tahun 1975 penyakit ini telah terjangkit di daerah perdesaan. Sampai dengan bulan November 2007, kasus DBD di Indonesia telah mencapai 124,811 (IR: 57,51/100.000 penduduk) dengan 1.277 kematian (CFR: 1,02%) (Depkes, 2007). Berdasarkan profil kesehatan Indonesia tahun 2010, terlihat bahwa pada pola penyakit terbanyak pasien rawat inap di seluruh wilayah di Indonesia, DBD masuk kedalam urutan kedua dengan jumlah kasus pada laki-laki 30.232 kasus dan perempuan sebanyak 28.883 kasus. Selain itu, diperoleh jumlah yang meninggal sebanyak 325 orang (CFR sebesar 0,55%) (Depkes RI, 2010). Jumlah kasus DBD pada tahun 2010 sebanyak 156.086 kasus dengan jumlah kematian akibat DBD sebesar 1.358 orang. Dengan demikian, IR DBD pada tahun
2010 adalah 65,7 per 100.000 penduduk dan CFR sebesar 0,87%. IR DBD mengalami penurunan dibandingkan tahun 2009 dengan IR sebesar 68,22 per 100.000 penduduk. Demikian pula dengan CFR yang sedikit mengalami penurunan, pada tahun 2009 CFR DBD sebesar 0,89% (Depkes RI, 2010). Sampai saat ini upaya pemberantasan DBD yang telah dilakukan menitikberatkan pada pemberantasan nyamuk Aedes Aegypti melalui kegiatan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) dan gerakan 3M (Menutup, Menguras dan Mengubur) untuk jentik nyamuk serta pengasapan untuk nyamuk dewasa. Selain itu telah diterapkan pula sistem kewaspadaan dini terhadap kemungkinan terjadinya KLB DBD (Dinkes Prov. Sumut, 2009). Soegeng (2004) dalam kajian utama untuk memberantas DBD mengatakan bahwa pengetahuan masyarakat di Indonesia pada umumnya relative masih sangat rendah, sehingga perlu dilakukan sosialisasi berulang mengenai pencegahan DBD. Dalam Sosialisasi Pencegahan DBD, penyuluhan tentang pencegahan DBD harus sering dilakukan agar masyarakat termotivasi untuk ikut berperan serta dalam upayaupaya tersebut. Untuk daerah Sumatera Utara angka kejadian DBD mengalami peningkatan tiap tahunnya. Tahun 2002, jumlah penderita (IR) DBD di Sumatera Utara sebesar 3,6/100.000 penduduk (353 penderita), tahun 2004 naik menjadi 8,79/100.000 dan terus naik hingga pada tahun 2008 menjadi 33,2/100.000 penduduk (Dinkes Prov. Sumut, 2009).
Demikian juga di Kota Medan yang terus meningkat jumlah kasus DBD sehingga memerlukan upaya-upaya pengendalian yang dilakukan oleh Dinas kesehatan kota Medan dan jajarannya. Upaya yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kota Medan dalam penanggulangan DBD di Kota Medan antara lain: (1) Pertolongan pertama pada penderita DBD, (2) Penyuluhan, (3) Fogging Focus (4) Penaburan bubuk abate, dan (5) Pemberantasan sarang nyamuk (PSN) (Dinkes Kota Medan, 2011). Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kota Medan dan Puskesmas Helvetia (per Juli 2008 s/d juni 2009), jumlah kasus DBD di kelurahan Helvetia Tengah sebanyak 72 kasus yang merupakan kelurahan dengan jumlah kasus tertinggi di Kota Medan. Tingginya angka kejadian DBD tiap tahunnya di Kecamatan Medan Helvetia dikarenakan padatnya pemukiman di kecamatan tersebut, rendahnya kesadaran masyarakat, serta jumlah penduduk yang relatif besar. Kecamatan Medan Helvetia adalah salah satu Kecamatan di kota Medan dengan luas wilayah 11,60 km dan terdiri dari 7 Kelurahan yaitu Kelurahan Helvetia, Helvetia Tengah, Helvetia Timur, Sikambing CII, Dwikora, Cinta Damai dan Tanjung Gusta. Jumlah penduduknya sebanyak 142.187 jiwa yang terdiri dari 35.144 Kepala keluarga. Kelurahan Helvetia Tengah merupakan kelurahan yang terbanyak jumlah penduduknya yaitu 33.382 jiwa yang terdiri dari 7803 Kepala keluarga (Profil Kecamatan Medan Helvetia 2009) Kelurahan Helvetia Tengah Kecamatan Medan Helvetia merupakan kelurahan dengan jumlah kasus DBD tertinggi di Kota Medan pada tahun 2009,
sehingga ini menjadi alasan kelurahan ini dijadikan sasaran penelitian. Sejak program Peluk Asa mulai dilaksanakan tahun 2009, terjadi penurunan kasus DBD di Kelurahan Helvetia Tengah yaitu dari 72 kasus pada tahun 2009 menjadi 37 kasus pada tahun 2010. Pada tahun 2011, jumlah kasus DBD di Kelurahan Helvetia Tengah 44 kasus dan kelurahan Helvetia Timur 48 kasus (Puskesmas Helvetia, 2011) Pemberantasan DBD di kelurahan Helvetia tengah memerlukan partisipasi lembaga swadaya masyarakat. Salah satu peran serta pemberdayaan masyarakat di Kecamatan Medan Helvetia Kota Medan adalah melalui program Peluk Asa yang dimotori Yayasan Ibu. Program ini dilaksanakan sejak Juli 2009 sampai dengan Juli 2010. Peluk Asa adalah kependekan dari Perlindungan Keluarga dengan Kasih Sayang ; yang dapat mempunyai makna dan tujuan bahwa masyarakat yang intinya berbasis dari keluarga ini akan dapat menggapai harapan yang diinginkan bersama dengan jalan saling perhatian, saling melindungi, saling menyayangi, dan dilaksanakan secara bersama-sama. Program peluk Asa memiliki 40 orang kader di kelurahan Helvetia Tengah. Kader-kader tersebut telah banyak mengikuti pelatihan dan program-program penanganan demam berdarah yang dimotori yayasan Ibu. Yayasan Ibu merupakan lembaga nirlaba yang sudah mendapatkan pengakuan Nasional dan International telah melakukan aktifitas Respons Bencana, Kesehatan dan Gizi, Air dan Sanitasi, Psikososial dan Perkembangan Anak. Program ini pada dasarnya difungsikan untuk meningkatkan pemberdayaan masyarakat dalam penanggulangan DBD.
Dalam pemberantasan DBD, seluruh lapisan masyarakat seharusnya ikut berperan serta aktif. Oleh karena itu, pentingnya dan pemberdayaan masyarakat dalam pemberantasan penyakit ini. Beberapa hal mengenai pemberdayaan masyarakat dalam pemberantasan DBD adalah: a. Masyarakat diharapkan memiliki pengetahuan yang cukup mengenai DBD baik seluk beluk penyakit maupun tata cara penanggulangannya. b. Masyarakat diberikan pembinaan oleh petugas kesehatan ataupun masyarakat lain atau kader yang telah terlebih dahulu mendapatkan pengetahuan atau pelatihan dari petugas kesehatan. c. Masyarakat memiliki kesadaran, sehingga mau dan mampu menjalankan usaha penanggulangan DBD (Peluk ASA, 2007). Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis tertarik untuk melihat pengaruh pelaksanaan program Peluk Asa dalam pemberdayaan masyarakat (inisiatif, kelola sumber daya, toleransi variasi, pengorganisasian dan komunikasi) terhadap pengendalian demam berdarah di Kecamatan Medan Helvetia Kota Medan tahun 2012. 1.2 Permasalahan Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan penelitian ini adalah belum diketahui adanya pengaruh pelaksanaan program Peluk Asa dalam pemberdayaan masyarakat (inisiatif, kelola sumber daya, toleransi variasi,
pengorganisasian dan komunikasi) terhadap pengendalian demam berdarah di Kecamatan Medan Helvetia Kota Medan tahun 2012. 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh pelaksanaan program Peluk Asa dalam pemberdayaan masyarakat (inisiatif, kelola sumber daya, toleransi variasi, pengorganisasian dan komunikasi) terhadap pengendalian demam berdarah di Kecamatan Medan Helvetia Kota Medan tahun 2012. 1.4. Hipotesis Ada pengaruh pelaksanaan program Peluk Asa dalam pemberdayaan masyarakat (inisiatif, kelola sumber daya, toleransi variasi, pengorganisasian dan komunikasi) terhadap pengendalian demam berdarah di Kecamatan Medan Helvetia Kota Medan tahun 2012. 1.5. Manfaat Penelitian 1.5.1. Dinas Kesehatan Kota Medan Sebagai bahan masukan dan informasi kepada Pemerintah Dinas Kota Medan dalam merumuskan kebijakan program pengendalian demam berdarah di wilayah kerjanya. 1.5.2. Puskesmas Helvetia Memberi masukan bagi Puskesmas Helvetia Kota Medan tentang informasi dan pengaruh pelaksanaan program Peluk Asa dalam pemberdayaan masyarakat
terhadap pengendalian demam berdarah di wilayah kerja Puskesmas Helvetia Kota Medan. 1.5.3. Kader/relawan Yayasan Ibu Sebagai sumber informasi bagi kader/relawan yayasan ibu tentang pengaruh pelaksanaan program Peluk Asa dalam pemberdayaan masyarakat terhadap pengendalian demam berdarah. 1.5.4. Ilmu Pengetahuan Penelitan ini dapat bermanfaat dalam memperkaya khasanah keilmuan promosi kesehatan terutama yang berkaitan dengan pelaksanaan program Peluk Asa dalam pemberdayaan masyarakat terhadap pengendalian demam berdarah.