BAB I PENDAHULUAN. penting dan strategis dalam pembangunan masyarakat, bangsa, dan negara, yaitu sebagai

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Bandung saat ini telah menjadi salah satu kota pendidikan khususnya

BAB I PENDAHULUAN. banyak pilihan ketika akan memilih sekolah bagi anak-anaknya. Orangtua rela untuk

BAB I PENDAHULUAN. artinya ia akan tergantung pada orang tua dan orang-orang yang berada di

BAB I PENDAHULUAN. akan tergantung pada orangtua dan orang-orang yang berada di lingkungannya

BAB I PENDAHULUAN. Remaja atau Adolescene berasal dari bahasa latin, yaitu adolescere yang

BAB I PENDAHULUAN. Dengan adanya perkembangan dunia yang semakin maju dan persaingan

BAB II LANDASAN TEORI. tersebut mempelajari keadaan sekelilingnya. Perubahan fisik, kognitif dan peranan

BAB 1 PENDAHULUAN. perkembangan pembangunan di sektor ekonomi, sosial budaya, ilmu dan teknologi.

BAB I PENDAHULUAN. diandalkan. Remaja merupakan generasi penerus yang diharapkan dapat. memiliki kemandirian yang tinggi di dalam hidupnya.

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan

BAB I PENDAHULUAN. terperinci serta dapat mengaplikasikan ilmu tersebut dalam kehidupan sehari-hari

BAB I PENDAHULUAN. diasuh oleh orangtua dan orang-orang yang berada di lingkungannya hingga

BAB I PENDAHULUAN. lain. Sebagai makhluk sosial manusia dituntut untuk dapat menyesuaikan diri,

B A B PENDAHULUAN. Setiap manusia yang lahir ke dunia menginginkan sebuah kehidupan yang

KATA PENGANTAR. Saya Mahasiswi Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Manusia sepanjang rentang kehidupannya memiliki tahap-tahap

BAB I PENDAHULUAN. Di zaman modern ini perubahan terjadi terus menerus, tidak hanya perubahan

BAB I PENDAHULUAN. dengan keluarga utuh serta mendapatkan kasih sayang serta bimbingan dari orang tua.

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja berhubungan dengan perubahan intelektual. Dimana cara

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pentingnya perilaku asertif bagi setiap individu adalah untuk memenuhi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. ahli psikologi. Karena permasalahan remaja merupakan masalah yang harus di

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya pendidikan formal merupakan hal yang sangat dibutuhkan oleh setiap

BAB I PENDAHULUAN. Penyelenggaraan pendidikan yang dilaksanakan di Indonesia dari masa ke

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Dalam menjalankan kehidupan sehari-hari, manusia selalu membutuhkan

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah

BAB I PENDAHULUAN. Belajar merupakan istilah kunci yang penting dalam kehidupan manusia,

BAB I PENDAHULUAN. adalah aset yang paling berharga dan memiliki kesempatan yang besar untuk

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa yang penting dalam kehidupan seseorang,

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja adalah masa transisi dari masa anak menuju masa dewasa, dan

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu komponen dalam sistem pendidikan adalah adanya siswa, siswa

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. bagi remaja itu sendiri maupun bagi orang-orang yang berada di sekitarnya.

BAB I PENDAHULUAN. dalam menunjukkan bahwa permasalahan prestasi tersebut disebabkan

BAB I PENDAHULUAN. membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka

BAB I PENDAHULUAN. bila arah pembangunan mulai memusatkan perhatian terhadap upaya peningkatan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia pada hakekatnya adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri. Manusia

HUBUNGAN ANTARA TIPE POLA ASUH ORANG TUA DENGAN KEMANDIRIAN PERILAKU REMAJA AKHIR. Dr. Poeti Joefiani, M.Si

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan salah satu aspek yang penting bagi kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia (Human Development Index), yaitu komposisi dari peringkat pencapaian

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan belajar mengajar berlangsung. Para guru dan siswa terlibat secara. Sekolah sebagai ruang lingkup pendidikan perlu menjamin

BAB I PENDAHULUAN. bagi setiap kalangan masyarakat di indonesia, tidak terkecuali remaja.

2016 IMPLEMENTASI NILAI-NILAI KEDISIPLINAN SISWA DALAM MEMATUHI NORMA TATA TERTIB SEKOLAH

BAB I PENDAHULUAN. berhubungan dengan orang lain, atau dengan kata lain manusia mempunyai

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah individu yang unik dan terus mengalami perkembangan di

BAB I PENDAHULUAN. atau interaksi dengan orang lain, tentunya dibutuhkan kemampuan individu untuk

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah individu yang selalu belajar. Individu belajar berjalan, berlari,

BAB I PENDAHULUAN. sesuai dengan yang dia lihat. Istilah yang sering didengar yaitu chidren see children

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. terutama karena berada dibawah tekanan sosial dan menghadapi kondisi baru.

BAB I PENDAHULUAN. Dalam dua dasawarsa terakhir ini, perubahan yang terjadi dalam berbagai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. setiap tahap perkembangannya, seperti pada tahap remaja.

BAB I PENDAHULUAN. untuk saling berinteraksi. Melalui interaksi ini manusia dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. diharapkan oleh kelompok sosial, serta merupakan masa pencarian identitas untuk

BAB 1 PENDAHULUAN. bagi keberlanjutan pembangunan masyarakat, bangsa, dan negara, sekaligus sebagai

BAB 1 PENDAHULUAN. dan sosial-emosional. Masa remaja dimulai kira-kira usia 10 sampai 13 tahun

BAB I PENDAHULUAN. dapat diabaikan dalam kehidupan manusia. Namun demikian, orang tua masih

BAB I PENDAHULUAN. berikutnya. Artinya apa yang telah terjadi sebelumnya akan meninggalkan

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa

BAB I PENDAHULUAN. masa anak-anak ke masa dewasa di mana pada masa-masa tersebut. sebagai masa-masa penuh tantangan.

BAB I PENDAHULUAN. diharapkan muncul generasi-generasi yang berkualitas. Sebagaimana dituangkan

BAB I PENDAHULUAN. manusia pun yang dapat hidup sendiri tanpa membutuhkan kehadiran manusia lain

keberhasilan belajar yang semakin tinggi dan tanggung jawab terhadap perilaku

BAB I PENDAHULUAN. dan berfungsinya organ-organ tubuh sebagai bentuk penyesuaian diri terhadap

BAB I PENDAHULUAN. menuntut perhatian serius bagi orang tua yang tidak menginginkan anak-anaknya. tumbuh dan berkembang dengan pola asuh yang salah.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan teknologi dewasa ini pada akhirnya menuntut semakin

BAB I PENDAHULUAN. Ketika zaman berubah dengan cepat, salah satu kelompok yang rentan

GAMBARAN POLA ASUH ORANGTUA PADA ANAK PENYANDANG EPILEPSI USIA BALITA DI POLIKLINIK ANAK RSUP.PERJAN DR. HASAN SADIKIN BANDUNG.

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk sosial; mereka tidak dapat hidup sendiri dan

BAB I PENDAHULUAN. Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan Sekolah Menengah Atas

BAB I PENDAHULUAN. maka diperlukan partisipasi penuh dari putra-putri bangsa Indonesia di berbagai

LAMPIRAN 1 KUESIONER KEMANDIRIAN

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan salah satu kunci utama dalam perkembangan

BAB I. Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT diartikan setiap perbuatan. terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan

BAB I PENDAHULUAN. yang merupakan masa peralihan dari kanak-kanak menuju dewasa. Masa remaja

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki ambang millennium ketiga, masyarakat Indonesia mengalami

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Bagi masyarakat modern saat ini memperoleh pendidikan merupakan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Intany Pamella, 2014

BAB I PENDAHULUAN. keagamaan. Bahkan hubungan seksual yang sewajarnya dilakukan oleh

II. TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pengertian Kepercayaan Diri Anak Usia Remaja. yang berkualitas adalah tingkat kepercayaan diri seseorang.

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. biologis dan ditutup dengan aspek kultural. Transisi dari masa kanak-kanak ke remaja

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tita Andriani, 2013

PERAN KELUARGA STRATEGIS DAN KRUSIAL

LAMPIRAN I KATA PENGANTAR

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan elemen penting bagi pembangunan bangsa. Pendidikan menurut UU No. 20 tahun 2003, merupakan usaha sadar dan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah mahluk sosial yang memiliki kemampuan untuk menyesuaikan tingkah

LAMPIRAN 1. DATA VALIDITAS & RELIABILITAS ALAT UKUR

BAB I PENDAHULUAN. Anak tumbuh dan berkembang di bawah asuhan orang tua. Melalui orang tua,

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa transisi dari masa kanak-kanak menuju masa

BAB I PENDAHULUAN. baik dari faktor luar dan dalam diri setiap individu. Bentuk-bentuk dari emosi yang

BAB I PENDAHULUAN. Tantangan globalisasi serta perubahan-perubahan lain yang terjadi di

BAB I PENDAHULUAN. sesuai dengan kebutuhannya. Sekolah merupakan salah satu lembaga yang

BAB I PENDAHULUAN. Remaja berasal dari bahasa latin adolensence yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG MASALAH. Indonesia,1998), seringkali menjadi tema dari banyak artikel, seminar, dan

I. PENDAHULUAN. masa sekarang dan yang akan datang. Namun kenyataan yang ada, kehidupan remaja

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Remaja di Indonesia dipandang sebagai generasi muda yang memiliki peranan sangat penting dan strategis dalam pembangunan masyarakat, bangsa, dan negara, yaitu sebagai generasi penerus nilai-nilai bangsa dan cita-cita pembangunan. Oleh sebab itu, remaja diharapkan dapat tumbuh dan berkembang menjadi manusia dewasa yang berkualitas, bertanggung jawab, dan mandiri. Remaja yang mandiri akan cenderung berprestasi karena dalam menyelesaikan tugas-tugasnya, remaja tidak lagi bergantung pada orang lain dan mereka akan mampu menyelesaikan masalahnya sendiri. Remaja akan tumbuh menjadi orang yang mampu berpikir serius dan berusaha untuk menyelesaikan sesuatu yang menjadi tanggung jawabnya, serta lebih percaya diri atas keputusannya (Nyoman Karma, 2002). Terdapat fenomena yang muncul di kalangan masyarakat Indonesia ini dimana para remaja masih memperlihatkan sikap dan tindakan yang mengidentifikasikan sebagai remaja yang kurang mandiri (Nyoman Karma, 2002). Saat mereka mengalami masalah dengan teman-temannya atau orang lain, mereka tidak mau berusaha untuk menyelesaikannya sendiri dan akan memilih meminta bantuan pada orang lain. Lalu saat mereka harus memilih jurusan SMA atau kegiatan seperti ekstrakulikuler biasanya mereka tidak mampu memutuskannya sendiri tetapi akan menunggu orang lain untuk memutuskan untuk dirinya karena mereka tidak yakin diri untuk memutuskannya. Hal tersebut membuat remaja tidak terlatih untuk membuat rencana sendiri, menyelesaikan masalah atau tugasnya sendiri dan tidak mampu membuat keputusannya sendiri. 1

2 Contoh lainnya seperti saat teman yang mengajak mereka bermain pada pekan ujian atau ulangan maka ia akan menerima ajakan tersebut sehingga ia tidak belajar untuk ujian karena mereka tidak dapat mengatur mana kegiatan yang penting dan yang tidak penting. Apabila terdapat teman yang membolos atau merokok, remaja mudah terpengaruh karena mereka tidak dapat menentukan mana yang salah dan mana yang benar. Remaja yang tidak mandiri dapat membuat dirinya mudah terpengaruh oleh nilai-nilai, informasi atau orang lain seperti dari teman-temannya (Elda Anggriana, 2005). Ketidakmandirian remaja pun dapat menimbulkan salah satu permasalahan yaitu kenakalan remaja yang masih terus terjadi. Kenakalan remaja yang terjadi karena remaja tersebut tidak mandiri secara kognitif, contohnya seperti membolos sekolah, malas mengerjakan PR, tawuran remaja, merokok dan minum minuman keras. Budaya barat yang masuk ke Indonesia menambah dampak negatif yang besar juga pada remaja zaman sekarang. Hal ini mulai dari cara berpakaian orang barat yang dicontoh oleh remaja bahkan sampai budaya seks bebas atau pergaulan bebas dan kehidupan dunia malam pun sudah banyak yang mencontoh (Dita Eka Wulandari, 2012). Kemandirian merupakan suatu hal penting bagi remaja, dengan tidak matangnya pemikiran remaja menunjukkan bahwa remaja tersebut masih belum mandiri, maka akan besar kemungkinan remaja mengalami masalah atau hambatan untuk mencapai masa depannya. Dalam menjalani kehidupannya, remaja akan selalu bergantung dengan orangorang sekitarnya dan tidak dapat melakukannya sendiri. Remaja diharapkan untuk dapat mengambil keputusan sendiri dengan mempertimbangkan masukan dari orang-orang di sekitarnya, tanpa menyerahkan pengambilan keputusannya pada orang lain seperti orang tua. Pada kenyataannya, tidak semua anak pada masa remaja mampu melakukan hal tersebut (Yovita, 2007).

3 Remaja yang mandiri memiliki pribadi yang percaya diri dan berani dalam menghadapi suatu masalah atau segala situasi. Mereka mantap dalam melakukan segala sesuatu yang sudah menjadi tanggung jawabnya seperti mengerjakan tugas dan belajar untuk ulangan. Contoh lainnya yaitu remaja lebih mantap dalam memikirkan cita-citanya dan mereka sudah memulai untuk belajar agar dapat mencapai cita-citanya. Remaja ini pun dapat menetapkan target selanjutnya yang dia ingin capai, contohnya seperti menetapkan nilai ulangan yang akan dicapai. Remaja tidak mudah terpengaruh tetapi mereka mau mendengarkan masukan yang dapat membangun dirinya dari orang lain, mereka mengurangi ketergantungan-ketergantungan dari orang lain dan lebih bersandar pada kekuatan sendiri. Menurut Steinberg (2014), kemandirian adalah suatu kemampuan individu untuk mengatur diri sendiri dan memutuskan suatu hal secara bertanggung jawab dalam ketidakhadiran atau jauh dari pengawasan langsung orang tua atau dewasa lain. Peningkatan tanggung jawab, kemandirian, dan menurunnya tingkat ketergantungan remaja terhadap orang tua merupakan suatu perkembangan yang harus dipenuhi individu pada periode remaja akhir. Dengan begitu, kemandirian perlu dikembangkan saat anak dalam masa remaja awal dan remaja madya. Monks (Widiana, 2001) mengatakan bahwa orang yang mandiri akan memperlihatkan perilaku yang eksploratif, mampu mengambil keputusan, percaya diri, dan kreatif. Remaja yang memasuki masa remaja madya merupakan remaja yang sedang menjalani pendidikan SMA. Pada masa sekolah tingkat menengah atas, anak sedang mempersiapkan diri menuju proses pendewasaan diri. Beberapa SMA yang berada di Kota Bandung, SMA X ini merupakan salah satu sekolah yang memiliki tujuan untuk memberikan kesempatan pada generasi muda memperoleh pendidikan yang berkualitas agar mereka dapat menghadapi tantangan maupun kendala di masa akan datang. Para siswa diperlukan adanya kesadaran akan kemandirian mereka untuk siap menghadapi segala

4 tantangan yang akan terjadi pada masa depannya dan lebih dewasa dalam mengambil segala keputusan. SMA ini termasuk ke dalam sekolah unggulan akan tetapi sekolah ini masih mengalami beberapa masalah mengenai kemandirian para siswanya seperti yang disampaikan oleh beberapa guru BP. Dalam mencapai tujuan tersebut menurut guru BP SMA X, sekolah telah menyediakan kegiatan-kegiatan wajib di sekolah yang dapat mengembangkan kemandirian siswa yaitu kegiatan OSIS, ekstrakulikuler dan pembinaan karakter. Sekolah telah menyediakan kegiatan-kegiatan tersebut, akan tetapi banyak siswa yang masih tidak mandiri. Hal-hal yang menyangkut dengan masalah kemandirian yang terjadi pada siswasiswa kelas X menurut guru BP SMA X yaitu antara lain mereka masih belum tahu potensipotensi yang dimilikinya dengan begitu mereka harus mengikuti berbagai test martikulasi, angket dan psikotes. Dampak transisi dari SMP ke SMA juga menyebabkan masih ditemui masalah-masalah kemandirian, contoh lainnya adalah mereka masih mengalami kebingungan dengan perubahan pembelajaran materi di sekolah sehingga mereka sering kesulitan dalam mengerjakan PR sendiri. Beberapa dari mereka memiliki orang tua yang memanjakannya sehingga membuat mereka bergantung pada orang sekitarnya seperti mereka masih takut jika sendirian keluar untuk membeli makanan. Pada saat pemilihan jurusan SMA mereka tidak peduli dengan jurusan yang akan dipilihnya dan membiarkan orang tuanya saja yang memilihkannya untuk mereka. Pada penjurusan program IPA dan IPS, sebagian besar siswa masih bingung dalam memilih jurusannya dan mereka lebih mengikuti pilihan orang tuanya, oleh karena itu terdapat beberapa siswa yang ingin pindah jurusan karena tidak sesuai dengan keinginannya. Guru BP tersebut mengatakan bahwa masih banyak orang tua yang menuntut anaknya untuk masuk pada jurusan yang diinginkannya, dan terdapat orang tua yang kurang peduli sehingga

5 menyerahkan sepenuhnya anaknya untuk dibimbing oleh sekolah. Masalah lainnya yaitu tidak sedikit siswa yang memilih untuk menyontek jawaban dari tugas temannya karena tidak dapat mengerjakannya sendiri. Siswa-siswa kelas XI juga memiliki masalah kemandirian, karena kebanyakan dari mereka masih senang bermain-main dan kurang serius dalam memikirkan masa depannya. Siswa kelas XI masih banyak yang mengalami masalah dalam pertemanannya, lalu mereka menjadi malas sekolah dan ada yang merengek pada orang tuanya agar dipindahkan kelasnya agar tidak sekelas dengan temannya tersebut. Kemudian masih sering pula terjadi perlakuan orang tua yang memperlakukan mereka seperti anak kecil dan memberikan apapun yang diinginkan oleh anak-anaknya. Dengan perlakuan orang tua yang kurang mendukung kemandirian tersebut membuat siswa terhambat untuk menjadi pribadi dewasa. Kunci kemandirian anak sebenarnya berada di tangan orang tua, karena kemandirian pada anak berawal dari keluarga. Keluarga berperan penting dalam mempengaruhi perkembangan kemandirian, terlihat dari bagaimana orang tua dalam merawat, mengasuh, dan mendidik remaja yang sedang mengalami perkembangan, yang disebut pola asuh. Menurut Baumrind (1980, dalam Social Development), pola asuh orang tua merupakan suatu cara yang digunakan orang tua dalam membantu remaja untuk tumbuh dan berkembang, dengan merawat, membimbing, dan mendidik anak untuk mampu berdiri sendiri sehingga dapat menggunakan potensi yang dimilikinya. Orang tua seharusnya dapat berkomunikasi dengan remaja secara terbuka yaitu dengan menerima pendapat anaknya dan memberitahukan pendapatnya. Pada saat remaja memutuskan sesuatu, memang peran orang tua penting namun orang tua seharusnya dapat menentukan batas perannya dalam keputusan remaja tersebut sehingga keputusannya tidak sepenuhnya dari orang tua saja. Orang tua dapat membantu atau membimbing remaja dalam

6 melakukan kegiatannya maka tidak hanya mengontrol sesuai dengan keinginan orang tuanya (Dwi, 2012). Menurut Baumrind (dalam Sigelman, 2002), pola asuh memiliki 2 dimensi yaitu dimensi afeksi dan dimensi kontrol. Dimensi yang menggambarkan orang tua berespons kepada anaknya, berkaitan dengan kehangatan dan dukungan orang tua adalah dimensi afeksi/responsiveness. Sedangkan dimensi yang menggambarkan standar yang ditetapkan oleh orang tua bagi anaknya, berkaitan kontrol perilaku dari orang tua, yaitu dimensi kontrol/demandingness. Berdasarkan hasil survey peneliti yang dilakukan pada 10 siswa (Kelas X & XI) SMA X, didapatkan hasil 20% (2 siswa) menghayati perlakuan orang tuanya yang sering mengatur kegiatan mereka, menekankan displin yang tinggi, dan menuntut untuk selalu mendapat prestasi yang tinggi, sehingga siswa menunjukkan perilaku terbiasa untuk mengerjakan tugas-tugas sekolahnya sendiri dan berani dalam menjawab pertanyaanpertanyaan guru di kelas. Saat menjelang hari ujian, siswa lebih memilih untuk belajar di rumah dan berlatih soal jika teman-temannya mengajak pergi, karena mereka sudah dapat memilih hal-hal yang lebih penting untuk diri mereka. Mereka tidak bebas dalam memilih teman, karena tidak disukai oleh orang tuanya. Siswa mampu memutuskan hal-hal yang tidak sejalan dengan tekanan dari orang tuanya untuk dirinya, contohnya memutuskan untuk merokok atau berpacaran. Didapatkan hasil 20% (2 siswa) yang menghayati orang tuanya yang kurang membimbing atau terlalu membebaskan mereka sehingga kurang adanya aturan yang jelas untuk ditaati, maka didapatkan perilaku yang berhubungan dengan kemandirian siswa tersebut yaitu mereka masih bergantung dengan teman dalam hal mengerjakan tugas maupun ujian. Mereka seringkali lebih memilih untuk pergi dengan teman-temannya daripada belajar untuk ulangan, karena mereka sulit membedakan hal yang penting dan tidak penting untuk dirinya.

7 Saat di sekolah mereka sering melanggar peraturan sekolah seperti mengenai pakaian, kuku, rambut, dan kaos kaki. Siswa bebas memutuskan waktu untuk dirinya pergi dan pulang ke rumah, hingga tidak pulang ke rumah. Didapatkan hasil 30% (3 siswa) yang menghayati bahwa orang tuanya terlalu memanjakan dan selalu mengkhawatirkan mereka walaupun sedang melakukan kegiatan di sekolah seperti sering menelepon mereka, maka didapatkan perilaku yang berhubungan dengan kemandirian siswa tersebut yaitu walaupun siswa sering mengobrol dan bertukar pendapat mengenai masalah pertemanan dan kegiatan sekolahnya tetapi mereka memiliki hal pribadi yang tidak diketahui orang tua. Mereka masih bergantung dengan teman dalam mengerjakan tugas sekolahnya. Dalam hal pertemanan, merekapun ditentukan oleh orang tua, dengan siapa mereka boleh atau tidak boleh berteman. Saat berpergian atau les, mereka biasanya ditemani atau ditunggui oleh pembantunya. Mereka sering meminta pada orang tuanya untuk membeli barang yang sebenarnya kurang penting hanya untuk kesenangan sesaat, seperti baju, tas, dan pernak-pernik lainnya. Didapatkan hasil 40% (4 siswa) yang menghayati orang tuanya yang kurang memberikan kasih sayang pada mereka atau kurang berkomunikasi dengan mereka dikarenakan orang tuanya sibuk, maka didapatkan perilaku yang berhubungan dengan kemandirian siswa tersebut yaitu mereka memiliki hubungan yang kaku dengan orang tuanya sehingga mereka tidak bercerita banyak mengenai kegiatan yang dilakukan di sekolah pada orang tuanya. Mereka lebih sering bercerita dengan teman-temannya. Mereka sudah mampu membagi waktu untuk belajar dan waktu untuk bermain dengan benar. Apabila mereka mengalami masalah atau bertengkar dengan temannya maka mereka sudah terbiasa untuk menyelesaikannya sendiri dengan temannya. Mereka menjalin hubungan yang dekat dengan teman-temannya karena mereka lebih sering menghabiskan waktu dengan teman-teman daripada dengan orang tuanya.

8 Berdasarkan fenomena-fenomena kemandirian yang berbeda-beda pada siswa SMA X memiliki keterkaitan dengan dimensi pola asuh orang tua yang berbeda-beda pula. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk meneliti kontribusi dimensi pola asuh terhadap setiap aspek kemandirian pada siswa (kelas X & XI) di SMA X Kota Bandung. 1.2. Identifikasi Masalah Penelitian ini ingin mengetahui seberapa besar kontribusi dimensi pola asuh terhadap aspek kemandirian pada siswa (kelas X & XI) di SMA X Kota Bandung. 1.3. Maksud dan Tujuan Penelitian 1.3.1. Maksud Penelitian Maksud dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kontribusi dua dimensi pola asuh terhadap aspek kemandirian pada siswa (kelas X & XI) di SMA X Kota Bandung. 1.3.2. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran kontribusi dari dimensi responsiveness dan dimensi demandingness terhadap 3 aspek kemandirian pada siswa (kelas X & XI) di SMA X Kota Bandung. 1.4. Kegunaan Penelitian 1.4.1. Kegunaan Teoritis 1. Memberikan informasi pada bidang ilmu Psikologi Perkembangan mengenai kontribusi dimensi pola asuh terhadap aspek kemandirian siswa SMA. 2. Memberikan masukan pada peneliti lain yang hendak melakukan penelitian lanjutan mengenai dimensi pola asuh dan aspek kemandirian pada remaja.

9 1.4.2. Kegunaan Praktis 1. Memberikan informasi kepada kepala sekolah, wali kelas, dan guru BP SMA X di Kota Bandung mengenai kontribusi dimensi pola asuh terhadap aspek kemandirian siswa SMA, sehingga sekolah diharapkan dapat memberikan suatu penyuluhan pada orang tua siswa yang bertujuan untuk meningkatkan kemandirian remaja. 2. Memberikan informasi kepada orang tua dari siswa SMA X di Kota Bandung mengenai kontribusi dimensi pola asuh terhadap aspek kemandirian siswa SMA agar mereka dapat lebih mengoptimalkan usahanya dalam mengasuh dan mendidik anakanaknya menjadi mandiri. 3. Memberikan informasi kepada siswa SMA X di Kota Bandung mengenai kemandirian remaja sehingga mereka dapat mengembangkan diri menjadi pribadi yang mandiri. 1.5. Kerangka Pemikiran Masa remaja madya memiliki kisaran usia 15-18 tahun, oleh sebab itu siswa (kelas X & XI) SMA X tergolong ke dalam masa remaja madya. Remaja madya mengalami beberapa perubahan dalam masa ini, antara lain perubahan secara biologis, kognitif dan sosial. Siswa akan mengalami perubahan secara fisik pada tubuhnya, selain itu kemampuan berpikir mereka bertambah dan berubah menjadi lebih abstrak realitis mengenai orang atau lingkungan sekitarnya. Siswa juga mengalami peralihan dari bentuk sosialisasi kekanak-kanakan menjadi matang dan bertanggung jawab (dalam Steinberg, 2002). Tumbuh kembang remaja membutuhkan dukungan kedua orang tuanya baik dalam mengembangkan bakat serta menggali potensi yang ada di dalam diri anak tersebut. Orang tua perlu menciptakan lingkungan rumah atau keluarga yang serasi, selaras dan seimbang dengan kehadiran anak-anak berbakat. Disamping itu perlu menyiapkan sarana lingkungan fisik yang

10 memungkinkan anak mengembangkan bakatnya (Semiawan, 1990 : 31-55). Secara tidak langsung dalam hal ini orang tua telah menerapkan pola asuh yang berbeda-beda dalam keluarganya. Menurut Scars, Maccoby dan Lewin (dalam Maccoby, 1980), pola asuh merupakan segala bentuk interaksi yang terjalin secara mendalam antara orang tua dengan anak, tidak hanya pemenuhan fisiologis dan psikologis tetapi orang tua juga bertanggung jawab atas kebutuhan remaja untuk diperhatikan dan dihargai. Pola asuh mencakup dua dimensi yaitu dimensi afeksi (responsiveness) dan dimensi kontrol (demandingness). Dimensi kontrol (demandingness) adalah dimensi yang berhubungan dengan sejauhmana orang tua dalam mengharapkan dan menuntut kematangan serta perilaku yang bertanggung jawab dari anak, mulai dari lemah hingga kuat. Dimensi kontrol memiliki beberapa indikator yaitu pertama restrictiveness, dimana orang tua membatasi setiap aktivitas anak di dalam rumah maupun di luar rumah. Kedua yaitu demandingness, orang tua memberikan tuntutan pada anak. Ketiga yaitu strictness, orang tua mengharuskan anak untuk mematuhi setiap aturan yang ada. Keempat yaitu instrusiveness, anak harus bertingkah laku sesuai aturan yang ada. Kelima yaitu arbitrary excecise of power, orang tua mengatur kegiatan atau kursus yang harus diikuti oleh anaknya (Baumrind, 1980). Dimensi kedua yaitu dimensi afeksi (responsiveness), dimensi ini bergerak mulai dari kehangatan sampai penolakan pada anak saat proses mengasuh, membimbing dan mengarahkan. Dimensi afeksi memiliki beberapa indikator yaitu pertama, kepekaan terhadap kebutuhan anak, kedua yaitu kesediaan untuk meluangkan waktu dan melakukan kegiatan bersama anak, ketiga yaitu kepekaan terhadap keadaan emosi anak, keempat yaitu kesiapan menanggapi prestasi dan keberhasilan yang dicapai anak, dan kelima yaitu perhatian terhadap kesejahteraan anak. Afeksi atau kehangatan adalah faktor penting dalam pengasuhan anak dan kasih sayang yang diterima anak. Jika relasi orang tua dan anak erat dan penuh kasih sayang

11 maka orang tua dapat mengendalikan siswa tanpa teknik disiplin yang ketat karena dengan hal ini siswa menjadi peka dan bersedia untuk dibimbing (Baumrind, 1980). Orang tua dalam menjalani rumah tangga selain harus dapat menciptakan rasa aman dan nyaman pada anak-anaknya, orang tua harus memiliki sikap demokratis dalam memberikan larangan, dirangsang untuk menjadi mandiri dan percaya diri. Hal tersebut penting karena dalam perkembangan psikososial, siswa dituntut untuk menjadikan dirinya sebagai individu yang mandiri dalam pandangan mereka sendiri maupun pandangan orang lain. Steinberg (2014) mengatakan bahwa kemandirian merupakan suatu kemampuan yang dimiliki individu untuk mengatur diri sendiri dan memutuskan suatu hal dengan bertanggung jawab dalam ketidakhadiran atau jauh dari pengawasan langsung orang tua atau dewasa lain. Kemandirian ini terbagi menjadi tiga aspek yaitu kemandirian emosional (Emotional Autonomy), kemandirian perilaku (Behavioral Autonomy), dan kemandirian kognitif (Cognitive Autonomy). Kemandirian emosional berhubungan dengan berkurangnya ketergantungan anak secara emosional dengan orang tua. Empat aspek dalam kemandirian emosional yaitu, pertama de-idealized, merujuk pada kemampuan siswa yang tidak mengidealkan orang tuanya sebagai orang yang serba tahu dan serba bisa, seperti siswa dapat menolak kegiatan yang ditentukan oleh orang tuanya. Kedua, parents as people merujuk pada kemampuan siswa melihat orang tuanya seperti orang lain pada umumnya yang dapat melakukan kesalahan, seperti contohnya siswa yang tidak selalu mengikuti saran orang tuanya karena saran orang tuanya juga bisa salah. Ketiga, non dependency merujuk pada kemampuan siswa mengandalkan dirinya sendiri dan menunda untuk meminta bantuan orang lain atau orang tua, seperti siswa yang kesulitan dengan tugas sekolah akan berusaha mengerjakannya tanpa bantuan orang tuanya. Keempat, individuated merujuk pada siswa melakukan keinginannya sendirian tanpa perlu diketahui oleh orang tuanya seperti memilih kebutuhan pribadinya,

12 seperti siswa yang sedang suka dengan lawan jenis dan mereka menyembunyikannya dari orang tuanya. Kemandirian perilaku berhubungan dengan kemampuan remaja untuk memutuskan sesuatu dan melaksanakannya. Dalam kemandirian perilaku terdapat tiga aspek, pertama yaitu perubahan dalam kemampuan membuat keputusan, merujuk pada kemampuan siswa mempertimbangkan keputusannya sendiri dengan melihat masalah dari pelbagai sudut pandang. Siswa dapat mempertimbangkan pilihan ekstrakulikuler sesuai dengan kemampuannya. Kedua yaitu perubahan dalam kerentanan terhadap pengaruh orang lain, merujuk pada siswa tidak mudah terpengaruh oleh saran atau pendapat yang disampaikan oleh orang lain sehingga dapat mempertahankan keputusannya. Siswa dapat menolak pendapat orang tua mengenai masa depannya yang bertentangan dengan keinginannya. Ketiga yaitu perubahan perasaan percaya diri dalam membuat keputusan, merujuk pada siswa yakin dan percaya diri dalam membuat keputusannya. Siswa percaya diri menyampaikan pendapatnya pada orang tuanya walaupun tidak sejalan dengan orang tuanya tersebut. Kemandirian kognitif berhubungan dengan kemampuan remaja untuk menolak tekanan atau tuntuan orang lain mengenai keyakinan dalam bidang kognitif. Kemandirian kognitif memiliki tiga aspek yaitu, pertama remaja meningkatkan pemikiran abstrak mengenai moralitas, politik dan agama, merujuk pada penalaran siswa yang sesuai dengan moral, lebih berprinsip, dan kepercayaan pada spiritual dan ideologis. Siswa dapat mengatur kegiatannya melihat berdasarkan prioritasnya. Kedua, keyakinan menjadi semakin berakar pada prinsipprinsip umum, siswa akan bertingkah laku yang sesuai dengan hal-hal yang dapat dipertanggungjawabkan atau memiliki dasar ideologis. Siswa mempersiapkan diri dengan belajar jauh hari sebelum ulangan agar saya dapat memperoleh hasil yang baik. Ketiga, keyakinan menjadi semakin dibentuk dalam diri remaja sendiri dan tidak hanya dalam sistem

13 nilai yang diberikan oleh orang tuanya atau orang dewasa lainnya. Siswa yang tetap memilih untuk belajar dibandingkan bermain dengan temannya sebelum hari ujian. Kemandirian pada masa remaja dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain yaitu teman sebaya dan keluarga atau orang tua. Kelompok teman sebaya merupakan lingkungan sosial pertama dimana remaja belajar untuk hidup bersama dengan orang lain yang bukan anggota keluarganya. Ini dilakukan remaja dengan tujuan untuk mendapatkan pengakuan dan penerimaan kelompok teman sebayanya sehingga tercipta rasa aman. Penerimaan dari kelompok teman sebaya ini merupakan hal yang sangat penting, karena remaja membutuhkan adanya penerimaan dan keyakinan untuk dapat diterima oleh kelompoknya. Hubungan di dalamnya membuat remaja belajar berpikir secara mandiri, mengambil keputusan sendiri, menerima atau menolak pandangan dan nilai yang berasal dari keluarga, dan mempelajari pola perilaku yang diterima di dalam kelompoknya (Hurlock, 1991). Teman sebaya memiliki pengaruh besar pada kehidupan remaja, yaitu pengaruh baik maupun pengaruh buruk. Pengaruh baik yang dapat membuat remaja menjadi mandiri, seperti teman yang dapat menjadi kelompok belajar atau kelompok bermain. Kelompok teman sebaya ini dapat membuat remaja menjadi belajar untuk menyesuaikan diri dalam standar kelompok, belajar bertukar pendapat, belajar menerima dan melaksanakan tanggung jawab. Teman sebaya yang membawa pengaruh buruk yaitu seperti teman yang berusaha mempengaruhi remaja untuk mencoba minuman alkohol atau merokok agar dapat diterima dalam kelompok dan mengajarkan untuk menyontek atau membolos, pengaruh ini dapat membuat remaja menjadi tidak mandiri. Perbedaan perlakuan orang tua kepada anak memungkinkan berbedanya pula sikapsikap anak-anaknya. Orang tua dengan kontrol tinggi, dimana keluarga ini memiliki peraturan-peraturan yang keras dan jarang dijelaskan pada anaknya. Orang tua dalam keluarga ini menganggap bahwa anak yang mencoba untuk mandiri merupakan salah satu sikap yang

14 tidak hormat atau tidak sopan pada orang tuanya. Contohnya saat remaja ingin melakukan aktivitasnya bersama teman-temannya serta ingin membawa kendaraan sendiri atau pulang sendiri tetapi orang tuanya menjemput mereka agar langsung pulang setelah sekolah selesai. Orang tua ini menghambat anaknya untuk mandiri dalam membuat keputusan, bertanggung jawab atas setiap tindakannya mereka sendiri, lalu mereka juga mengganggu individuasi atau privasi remaja. Remaja menjadi bergantung pada orang tuanya dalam menentukan kegiatan atau masa depannya karena mereka merasa bahwa orang tuanya yang benar dalam menetapkan suatu pilihan untuknya. Orang tua yang biasa mengontrol tugas anaknya membuat mereka mengerti jika mereka melakukan tugas sendiri maka kemampuan mereka akan meningkat. Orang tua dengan kontrol rendah tidak memberikan arahan pada anak-anak mereka, sehingga hasilnya remaja menjadi tidak punya standar yang adekuat pada setiap tingkah lakunya. Dengan tidak adanya peraturan dan arahan dari orang tua, maka remaja menjadi mengandalkan teman-temannya untuk mendapatkan nasihat dan dukungan secara emosional, namun hal ini dapat menjadi masalah karena teman-temannya tersebut juga para remaja yang masih relatif terlalu muda dan kurang berpengalaman. Tidak terkejut jika remaja yang memiliki orang tua yang kurang memberikan bimbingan yang cukup akan memiliki ketergantungan pada teman-temannya. Remaja tidak dapat membedakan hal-hal yang sebenarnya buruk bagi dirinya, besar kemungkinan remaja akan lebih mudah terjerumus pada hal-hal yang tidak baik dan mudah terpengaruh oleh orang sekitarnya. Remaja yang mengerjakan tugas dengan menyalin dari tugas temannya, hal ini karena mereka kurang dijelaskan orang tua dampak dari hal yang dilakukannya tersebut dapat merugikan dirinya. Orang tua yang membesarkan anak mereka dengan memberi afeksi yang berlebihan sampai beranjak remaja, seperti saat remaja tertangkap basah mengenai suatu kejadian tetapi tidak adanya konsekuensi pada hal tersebut. Upaya orang tua untuk menghindari anaknya

15 terjerumus masuk dalam pergaulan yang tidak baik, sebagai konsekuensinya orang tua ini menjadi selalu memonitori kegiatan yang dilakukan dalam kehidupan sosial remaja dari sekolah dasar sampai memasuki jenjang SMA. Hal tersebut menjadi kesulitan remaja, ketika mereka sedang berusaha meningkatkan kemandiriannya justru orang tua mereka akan lebih membatasi. Berkaitan dengan kemandirian emosional, maka remaja sulit untuk jauh dengan orang sekitar karena mereka tidak terbiasa menghadapi masalah-masalah sendirian. Sedangkan kemandirian perilakunya, remaja menjadi tidak dapat mengambil keputusannya sendiri karena mereka tidak tahu kemampuannya sendiri. Kemandirian kognitif pada remaja ini maka remaja mudah terpengaruh oleh orang-orang sekitarnya karena tidak dapat membedakan perilaku yang benar dan tidak. Kedekatan atau kehangatan berperan baik dalam mendukung pada kemandirian, jika tidak ada maka masalah menjadi lebih parah. Orang tua yang memperlakukan anaknya tanpa kasih sayang yang cukup dapat memperburuk keadaan anak karena anak merasa diabaikan. Remaja dengan orang tua ini menjadi mandiri secara emosional karena mereka sudah terbiasa tidak memiliki hubungan dekat dengan orang tuanya. Kemandirian secara perilaku, remaja ini akan sulit jika harus membuat keputusan, mereka sering mengikuti keputusan orang lain, mereka tidak dapat mempertahankan pendapatnya sendiri. Remaja ini pun sulit untuk mencapai kemandirian kognitif karena mereka jarang berkomunikasi dengan orang tuanya maka mereka kurang memiliki kemampuan dalam bidang etika, mereka hanya dapat pelajaran tersebut dari orang lain seperti dari teman-temannya (Steinberg, 2014). Perlakuan orang tua yang dapat menumbuhkan kemandirian pada remaja yaitu dengan cara orang tua memberikan kehangatan, ketegasan dengan menegakkan aturan, norma dan nilai-nilai, harapan untuk mendengar dan menerangkan, agar mendorong anak untuk membentuk diri mereka sendiri. Orang tua sebaiknya selalu melibatkan anak mereka dalam mengambil keputusan saat menghadapi masalah, sehingga anak diharapkan mempunyai

16 keterampilan dan pengalaman dalam pemecahan masalah. Oleh sebab itu dapat menumbuhkan keyakinan, kepercayaan diri, dan tindakan-tindakan mandiri membuat keputusan yang bertanggung jawab. Menurut Baumrind, anak dapat menjadi bebas melakukan sesuatu dengan kontrol diri orang tua, langkah dan tujuan dijelaskan secara rasional. Hubungan orang tua dan anak hangat tapi tetap berpegang pada standar yang ditentukan, maka anak menjadi mandiri, responsive, berani menyatakan pendapat dan kreatif. Kedua dimensi pola asuh di atas memberikan pengaruh berbeda-beda pada setiap kemandirian siswanya. Untuk lebih jelasnya, paparan di atas akan digambarkan dalam bentuk skema di bawah ini. Orang tua memberikan perlakuan: Demandingness Responsiveness Siswa (kelas X & XI) SMA X di Kota Bandung (Remaja Madya) Kemandirian Emosional Kemandirian Perilaku Kemandirian Kognitif Faktor-faktor yang mempengaruhi kemandirian: - Teman Sebaya Skema 1.1 Kerangka Pemikiran

17 1.6. Asumsi Berdasarkan kerangka pikir di atas, maka asumsi dari penelitian ini yaitu: - Kemandirian merupakan masalah umum yang terjadi pada masa remaja dan sangat penting untuk ditingkatkan demi masa depan siswa. - Kemandirian akan tercermin dalam kemandirian emosional, kemandirian perilaku, dan kemandirian kognitif. - Kemandirian remaja dapat dipengaruhi oleh dua dimensi pola asuh yang diberikan oleh orang tua sehingga dapat memberikan derajat kontribusi yang berbeda-beda terhadap kemandirian siswa. - Dimensi pola asuh memberikan pengaruh berbeda-beda terhadap aspek-aspek kemandirian. 1.7. Hipotesis Berdasarkan kerangka pikir yang telah diuraikan di atas, maka dapat diturunkan hipotesis sebagai berikut: 1. Terdapat kontribusi dimensi demandingness dan dimensi responsiveness terhadap kemandirian emosional siswa (kelas X & XI) SMA X di Kota Bandung. 2. Terdapat kontribusi dimensi demandingness dan dimensi responsiveness terhadap kemandirian perilaku siswa (kelas X & XI) SMA X di Kota Bandung. 3. Terdapat kontribusi dimensi demandingness dan dimensi responsiveness terhadap kemandirian kognitif siswa (kelas X & XI) SMA X di Kota Bandung.