BAB I PENDAHULUAN. Penyakit Diabetes Mellitus, yang selanjutnya disingkat DM, merupakan

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. bebas dari penyakit atau kecacatan (World Health Organization, 1948 dalam

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan perolehan data Internatonal Diabetes Federatiaon (IDF) tingkat

BAB I PENDAHULUAN. pada jutaan orang di dunia (American Diabetes Association/ADA, 2004).

BAB I PENDAHULUAN. hidup. Pada manusia, fungsi ini sebagian besar dijalankan oleh ginjal (Brenner,

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit kronis menjadi masalah kesehatan yang sangat serius dan

BAB I PENDAHULUAN. Stroke merupakan suatu manifestasi klinis gangguan peredaran darah otak yang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. mellitus dan hanya 5% dari jumlah tersebut menderita diabetes mellitus tipe 1

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. metabolisme gula akibat kurangnya sekresi hormon insulin sehingga terjadi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. sumber daya manusia Indonesia seutuhnya. Visi Indonesia sehat yang diharapkan

BAB I PENDAHULUAN. berkembang adalah peningkatan jumlah kasus diabetes melitus (Meetoo & Allen,

BAB I PENDAHULUAN. (glukosa) akibat kekurangan atau resistensi insulin (Bustan, 2007). World

I. PENDAHULUAN. sebagai akibat insufisiensi fungsi insulin. Insufisiensi fungsi insulin dapat

BAB 1 PENDAHULUAN. aktivitas fisik dan meningkatnya pencemaran/polusi lingkungan. Perubahan tersebut

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. perilaku dan gaya hidup yang dijalani oleh masyarakat. Saat pendapatan tinggi,

kepatuhan dan menjalankan self care individu lanjut usia dengan Diabetes Melitus selama menjalani terapi hipoglikemi oral dan insulin?.

BAB I PENDAHULUAN. menjadi lemah ginjal, buta, menderita penyakit bagian kaki dan banyak

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan merupakan anugerah dari Tuhan namun dewasa ini banyak individu yang belum

BAB I PENDAHULUAN. menggunakan insulin yang diproduksi dengan efektif ditandai dengan

BAB I PENDAHULUAN. degenerative. Diabetes Melitus (yang selanjutnya disingkat DM) merupakan

BAB 1 PENDAHULUAN. situasi lingkungannya, misalnya perubahan pola konsumsi makanan, berkurangnya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. makanan, berkurangnya aktivitas fisik dan meningkatnya pencemaran / polusi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Penyakit diabetes mellitus ditetapkan oleh PBB sebagai penyakit tidak


BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Diabetes melitus merupakan penyakit kronis yang ditandai dengan peningkatan kadar

BAB 1 : PENDAHULUAN. dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun Sedangkan

Diabetes tipe 2 Pelajari gejalanya

BAB I PENDAHULUAN. berbagai perubahan sebagai dampak dari gaya hidup yang semakin maju. Perubahan

BAB I PENDAHULUAN. Kehamilan adalah masa yang unik dalam hidup seorang wanita, yaitu keadaan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Diabetes Melitus (DM) adalah suatu sindrom klinis kelainan metabolik

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. semakin meningkat dari tahun ke tahun. Data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)

BAB 1 PENDAHULUAN. kesehatan umat manusia pada abad ke 21. Diabetes mellitus (DM) adalah suatu

BAB I PENDAHULUAN. yang sangat berpengaruh terhadap kualitas hidup dari pasien DM sendiri.

BAB I PENDAHULUAN. mendukung produktivitas dan efektifitas kegiatan setiap hari, salah satu masalah

BAB I PENDAHULUAN. menular (PTM) yang menjadi masalah kesehatan masyarakat, baik secara

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, baik secara global, regional, nasional dan lokal (Depkes, 2013).

BAB I PENDAHULUAN. dengan jumlah penderita 7,3 juta jiwa (International Diabetes Federation

BAB I PENDAHULUAN. Obesitas didefinisikan sebagai suatu keadaan dengan akumulasi lemak yang

BAB I PENDAHULUAN. perhatian adalah diabetes melitus (DM). Menurut Kementrian Kesehatan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. atau keduanya (Sutedjo, 2010). Diabetes mellitus adalah suatu kumpulan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Diabetes melitus (DM) adalah penyakit kronis yang mengacu pada

berkembang akibat peningkatan kemakmuran di Negara bersangkutan akhir-akhir ini banyak disoroti. Peningkatan perkapita dan perkembangan gaya hidup

BAB I PENDAHULUAN. Menurut International Diabetes Federation (IDF, 2015), diabetes. mengamati peningkatan kadar glukosa dalam darah.

BAB 2 DATA DAN ANALISA

BAB 1 PENDAHULUAN. yang saat ini makin bertambah jumlahnya di Indonesia (FKUI, 2004).

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dicapai dalam kemajuan di semua bidang riset DM maupun penatalaksanaan

I. PENDAHULUAN. WHO (2006) menyatakan terdapat lebih dari 200 juta orang dengan Diabetes

BAB 1 PENDAHULUAN. produksi glukosa (1). Terdapat dua kategori utama DM yaitu DM. tipe 1 (DMT1) dan DM tipe 2 (DMT2). DMT1 dulunya disebut

BAB I PENDAHULUAN. sedangkan penyakit non infeksi (penyakit tidak menular) justru semakin

BAB I PENDAHULUAN. manifestasi berupa hilangnya toleransi kabohidrat (Price & Wilson, 2005).

BAB I PENDAHULUAN. Diabetes Melitus adalah penyakit hiperglikemia yang ditandai

I. PENDAHULUAN. adekuat untuk mempertahankan glukosa plasma yang normal (Dipiro et al, 2005;

BAB I PENDAHULUAN. insulin dependent diabetes melitus atau adult onset diabetes merupakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. timbulnya berbagai penyakit. Salah satu penyakit yang dapat terjadi yaitu diabetes

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Diabetes Mellitus (DM) sebagai suatu penyakit tidak menular yang cenderung

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan survei yang dilakukan World Health Organization (WHO)

Obat Penyakit Diabetes dan Berbagai Komplikasi Neuropati

BAB I PENDAHULUAN. demografi, epidemologi dan meningkatnya penyakit degeneratif serta penyakitpenyakit

BAB I PENDAHULUAN. utama bagi kesehatan manusia pada abad 21. World Health. Organization (WHO) memprediksi adanya kenaikan jumlah pasien

BAB I PENDAHULUAN. ditandai oleh kadar glukosa darah melebihi normal serta gangguan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan perolehan data Internatonal Diabetes Federatiaon (IDF) tingkat

BAB I. Pendahuluan. diamputasi, penyakit jantung dan stroke (Kemenkes, 2013). sampai 21,3 juta orang di tahun 2030 (Diabetes Care, 2004).

BAB 1 PENDAHULUAN. tahun terus meningkat, data terakhir dari World Health Organization (WHO)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. di negara-negara maju dan berkembang setiap tahunnya, sebagai akibat

Obat Herbal Diabetes Kering

BAB 1 PENDAHULUAN. menjadi masalah kesehatan di dunia. Insidens dan prevalens penyakit ini terus

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit diabetes melitus (DM) adalah kumpulan gejala yang timbul pada

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Saat ini diabetes mellitus (DM) merupakan penyakit degeneratif yang

BAB 1 PENDAHULUAN. insulin atau keduanya (American Diabetes Association [ADA] 2004, dalam

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Diabetes mellitus merupakan salah satu penyakit degeneratif yang menjadi

Efektivitas Pengobatan Obat Herbal Untuk Diabetes Kering Pada Luka Kaki Penggunaan Obat Herbal Untuk Diabetes Kering

BAB I PENDAHULUAN. Diabetes melitus telah menjadi masalah kesehatan di dunia. Insidens dan

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit degeneratif atau penyakit tidak menular akan terus meningkat

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Jogja yang merupakan rumah sakit milik Kota Yogyakarta. RS Jogja terletak di

BAB V SIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan hasil penelitian mengenai kontribusi determinan-determinan

BAB I PENDAHULUAN. yang selalu mengalami peningkatan setiap tahun di negara-negara seluruh

BAB 1 PENDAHULUAN. Diabetic foot merupakan salah satu komplikasi Diabetes Mellitus (DM).

BAB I PENDAHULUAN. Diabetes Melitus (DM) merupakan kelompok penyakit metabolic dengan karakteristik

BAB I PENDAHULUAN. syaraf) (Smeltzer & Bare, 2002). Diabetes Melitus (DM) adalah penyakit kronis

BAB I PENDAHULUAN. Menurut American Diabetes Association / ADA (2011) DM adalah suatu

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. mempengaruhi kualitas hidup serta produktivitas seseorang. Penyakitpenyakit

BAB I PENDAHULUAN. diabetes mellitus semakin meningkat. Diabetes mellitus. adanya kadar glukosa darah yang tinggi (hiperglikemia)

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit degeneratif semakin sering terdengar dan dialami oleh masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. sebagai masalah kesehatan global terbesar di dunia. Setiap tahun semakin

BAB 1 PENDAHULUAN. penduduk dunia meninggal akibat diabetes mellitus. Selanjutnya pada tahun 2003

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Stroke menjadi masalah kesehatan yang perlu mendapat perhatian khusus.

BAB 1 PENDAHULUAN. sekresi insulin yang progresif dilatar belakangi oleh resistensi insulin (Soegondo,

BAB I PENDAHULUAN. tipe 2. Diabetes tipe 1, dulu disebut insulin dependent atau juvenile/childhoodonset

BAB I LATAR BELAKANG

ABSTRAK. Kata Kunci: Manajemen halusinasi, kemampuan mengontrol halusinasi, puskesmas gangguan jiwa

BAB I PENDAHULUAN BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pada era modern saat ini, gaya hidup manusia masa kini tentu sudah

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Penyakit Diabetes Mellitus, yang selanjutnya disingkat DM, merupakan penyakit yang ditandai dengan tingginya kadar glukosa darah atau disebut dengan hyperglycemia (Graham, 2003). DM merupakan salah satu jenis penyakit tidak menular yang semakin banyak dialami di dunia (World Health Organization, 2011). DM ditandai dengan gejala-gejala seperti seringnya buang air kecil, kelelahan, bagian mulut menjadi kering, impoten, menstruasi yang tidak teratur, sering munculnya infeksi pada kulit, gusi, atau sistem urin, rasa nyeri atau kram pada kaki, telapak kaki atau jari-jari, penyembuhan luka yang lebih lama, rasa gatal, dan mudah mengantuk. Adapun akibat dari penyakit DM adalah kebutaan, cuci darah akibat gagal ginjal, kerusakan sistem syaraf, rasa nyeri atau kehilangan sensor sensasi, serta amputasi pada bagian kaki dan jari kaki. DM juga menimbulkan gangguan pada sistem syaraf pusat sehingga menimbulkan gangguan memori, khususnya pada orang usia lanjut (Taylor, 2006). Jumlah penderita DM di dunia pada tahun 2013 sebanyak 382 juta orang dan pada tahun 2035 diperkirakan akan terus mengalami peningkatan sebanyak 592 juta orang (International Diabetes Federation, 2013). Prevalensi DM di Indonesia berada di urutan ke-4 tertinggi di dunia bahkan jumlah penderita DM terus mengalami peningkatan, terutama untuk DM tipe II. Penderita DM tipe II di Indonesia akan meningkat signifikan hingga 21,3 juta jiwa pada 2030 mendatang (World Health Organization, 2011). 1

2 WHO telah menetapkan dua jenis utama dari DM, yaitu DM tipe I dan DM tipe II. DM tipe I disebabkan oleh faktor genetik sehingga individu yang memiliki riwayat keluarga DM memiliki risiko yang lebih tinggi untuk terkena DM. DM tipe I biasanya sudah terdiagnosa pada usia anak-anak atau usia muda dan sering disebut dengan juvenile diabetes. DM tipe II disebabkan oleh pola hidup yang tidak sehat, yaitu merokok, kurangnya aktivitas fisik dan olahraga, serta kelalaian dalam mengonsumsi makanan (Lyons, 2005). DM tipe II dapat terjadi pada anak-anak maupun dewasa, namun biasanya terjadi setelah usia 40 tahun. Jenis DM yang banyak diderita adalah DM tipe II karena pola hidup tidak sehat yang dilakukan oleh individu. Individu yang telah didiagnosis menderita DM tipe II, yang selanjutnya disebut penderita DM tipe II, harus menghadapi penyakit tersebut seumur hidupnya atau dengan kata lain penderita DM tipe II tidak akan sembuh total. Kenyataan tersebut mengharuskan para penderita DM tipe II untuk melakukan pengelolaan DM sepanjang hidupnya, seperti melakukan pemeriksaan kadar gula darah secara rutin, perencanaan makan (diet), olahraga secara teratur, dan penggunaan obat-obatan oral serta injeksi insulin bila diperlukan, agar kadar gulanya terkontrol (Asif, 2014). Seorang penderita DM tipe II yang tidak melakukan pengelolaan penyakitnya, akan mengalami penurunan fungsi individu secara keseluruhan baik secara fisik, psikologis, dan sosial (Ruslianti, 2008). Kadar gula darah yang tidak terkendali (terlalu tinggi maupun terlalu rendah), akan berpengaruh terhadap fisik dan psikologis. Pengaruh pada fisik, kadar gula darah yang tidak terkendali akan meningkatkan risiko terjadinya komplikasi bagi para penderitanya, seperti kebutaan, kardiovaskular, dan gagal ginjal. Penderita DM tipe II merasa energinya berkurang sehingga mudah merasa kelelahan dan menyebabkan

3 aktivitas fisiknya berkurang, bahkan peran dan tanggung jawabnya pun menjadi terganggu. Selain fungsi fisik yang terganggu, fungsi emosi pun dapat terganggu seperti munculnya perasaan cemas dan mudah tersinggung yang dapat menimbulkan keterbatasan dalam aktivitas sosial (Lanywati, 2001). Pengaruh pada psikologis, DM tipe II yang merupakan penyakit kronis ini dapat menimbulkan efek psikologis, seperti keterikatan pada diet serta obat-obatan untuk mengendalikan kadar gula darahnya. Penderita DM tipe II merasa kondisi fisiknya melemah dan tidak dapat melakukan aktivitas seperti orang normal. Penderita DM tipe II merasa sendiri atau terpisah dari kehidupan pertemanan dan keluarga karena aktivitas yang terbatas. Stres juga dirasakan oleh penderita DM tipe II yang sudah mengalami komplikasi seperti kerusakan saraf sehingga individu merasa seperti kehilangan kontrol terhadap penyakit DM-nya. (American Diabetes Asociation, 2013). Hal selanjutnya yang dialami oleh penderita DM tipe II yang sudah mengalami komplikasi adalah perasaan gelisah, takut, cemas, perasaan marah dalam diri, dan depresi yang semakin memperburuk kondisi fisiknya. Penderita DM tipe II yang merasa sangat cemas tidak akan dapat berpikir secara jernih sehingga akan sulit untuk melakukan pengelolaan penyakitnya secara teratur. Penderita DM tipe II mungkin merasa seperti tidak makan sama sekali sehingga penderita DM tipe II akan mengonsumsi makanan secara terus menerus dan semakin sulit bagi penderita DM tipe II untuk mengontrol makanan apa saja yang telah dikonsumsinya. Hal ini tentu saja akan mempengaruhi kadar gula darahnya. Penderita DM tipe II memiliki risiko lebih besar mengalami depresi dibandingkan individu tanpa DM. Sebuah penelitian longitudinal yang dilakukan lebih dari 7 tahun, menghasilkan bahwa akibat utama dari DM tipe II yang dialami penderita

4 tidak hanya mengakibatkan pengembangan komplikasi makrovaskuler (termasuk penyakit kardiovaskular, stroke, dan penyakit ginjal), komplikasi mikrovaskuler (termasuk nefropati, neuropati, retinopati, dan amputasi), dan cacat fungsional, tetapi juga mengakibatkan depresi bahkan sampai pada kematian. Hal ini menunjukkan bahwa depersi memiliki hubungan yang sinergis dengan DM (Black, 2003). Penderita DM tipe II yang mengalami depresi, tidak akan memiliki energi dan menjadi semakin sulit untuk melakukan pengelolaan penyakitnya dan depresi pun dapat menjadi circumtances problem (American Diabetes Asociation, 2013). Konsekuensi dari penyakit DM tersebut menunjukkan bahwa pengelolaan DM sangatlah penting. Namun demikian, sangat disayangkan bahwa pada kenyataannya penderita DM tipe II tidak merasa terancam ketika mengetahui bahwa dirinya terkena DM karena akibat buruk dari DM, seperti komplikasi parah tidak langsung dialami. Hal ini membuat penderita DM tipe II tidak melakukan pengelolaan dengan melakukan pola hidup sehat, khususnya diet kalori (Taylor, 2006). Diet adalah salah satu faktor utama terkait dengan DM, terutama DM tipe II. Jumlah dan jenis makanan yang dikonsumsi merupakan penentu fundamental dari kesehatan manusia. Diet, khususnya diet kalori merupakan aspek penting dari keseluruhan pengelolaan DM, yang mungkin melibatkan diet saja, diet dengan obat hipoglikemik oral, atau diet dengan insulin (Asif, 2014). Diet adalah fundamental dalam etiologi dan mengelola DM (Krebs, 2013). Misalnya dalam hal makanan, penderita DM tipe II harus memperhatikan jumlah kalori pada makanan yang akan dikonsumsinya, karena jika salah perhitungan, kadar gula darah dapat meningkat secara drastis (Fransisca, 2012). Hal yang perlu dilakukan oleh penderita DM tipe II adalah mempertahankan kadar gula darahnya pada tingkat yang aman, yaitu 90-130 mg/l

5 sebelum makan dan kurang dari 180 mg/l setelah makan (American Diabetes Association, 2013). Tantangan yang dihadapi oleh penderita DM tipe II adalah mereka harus melakukan diet kalori secara teratur dan konsisten. Hal ini dialami oleh penderita DM tipe II yang berada di Puskesmas X Bandung, yang selanjutnya akan disebut pasien DM tipe II di Puskesmas X Bandung. Puskesmas X Bandung adalah salah satu lembaga kesehatan di Indonesia yang menjadi tempat pengobatan bagi penderita DM baik DM tipe I maupun DM tipe II. Puskesmas X Bandung merupakan salah satu puskesmas di kota Bandung yang berstatus sebagai salah satu Unit Pelaksana Teknis (UPT) Puskesmas yang memiliki puskesmas-puskesmas pembantu dalam ruang lingkup wilayah yang lebih kecil. Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat dikatakan bahwa Puskesmas X Bandung memiliki jumlah pasien yang lebih banyak karena menjadi salah satu puskesmas pusat bagi puskesmas-puskesmas pembantu di sekitarnya. Pasien yang datang berobat setiap bulannya rata-rata berjumlah 200 orang. Dari jumlah rata-rata tersebut, pasien DM tipe I maupun tipe II setiap bulannya rata-rata berjumlah 25 orang dan yang menderita DM tipe II rata-rata berjumlah 10 sampai 20 orang. Dari jumlah rata-rata pasien DM tipe II yang hadir setiap bulannya, dilakukan wawancara kepada 12 pasien yang menderita DM tipe II. Penyebab utamanya dikarenakan tidak pasien DM tipe II tersebut tidak melakukan pola hidup sehat. Oleh karena itu, dokter dan perawat selaku tenaga medis di puskesmas X Bandung telah melakukan penanganan terhadap pasien DM tipe II tersebut. Beberapa penanganan yang telah diberikan kepada pasien DM tipe II di Puskesmas X Bandung, yaitu pemeriksaan kadar gula darah, pemberian obat, himbauan untuk mengatur pola makan atau melakukan diet kalori, dan olahraga bersama. Namun demikian, pasien DM tipe II

6 di Puskesmas X Bandung sangat sulit untuk melakukan arahan tersebut, terutama diet kalori sehingga sebagai akibatnya kadar gula darah pasien DM tipe II di Puskesmas X Bandung tetap mengalami kenaikan. Dokter maupun perawat sudah mengatakan kepada pasien DM tipe II di Puskesmas X Bandung bahwa ketika didiagnosis menderita DM tipe II, maka dokter maupun perawat akan memberi informasi mengenai diet kalori yang perlu ditaati oleh pasien DM tipe II tersebut. Berdasarkan hasil wawancara dengan kedua dokter yang menangani pasien DM tipe II di Puskesmas X Bandung, mayoritas pasien DM tipe II di Puskesmas X Bandung cukup teratur melakukan pengelolaan penyakitnya dengan rutin melakukan pemeriksaan minimal sebulan sekali, cukup rajin berolahraga, dan cukup teratur meminum obat. Masalah yang seringkali muncul adalah ketika pasien DM tipe II di Puskesmas X Bandung tidak menjaga asupan makanan atau diet kalori yang sudah diinformasikan oleh dokter. Diet kalori yang perlu dilakukan oleh pasien DM tipe II adalah menghitung jumlah kalori makanan sesuai dengan batas asupan kalori yang dapat dikonsumsi setiap harinya, mengonsumsi jenis makanan yang hanya dianjurkan dokter di mana pun, dan memiliki jadwal makan yang teratur. Apabila pasien DM tipe II di Puskesmas X Bandung telah mengonsumsi obat secara teratur, tetapi tidak melaksanakan diet kalori, maka hal tersebut dapat menghambat bahkan menggagalkan upaya pengelolaan penyakit DM tipe II lainnya. Selain itu, pasien DM tipe II di Puskesmas X Bandung dapat mengalami komplikasi penyakit akibat tidak menaati diet kalori karena kadar gula darah meningkat sangat tinggi dan pada beberapa kasus mengakibatkan pasien DM tipe II di Puskesmas X Bandung mengalami kematian secara mendadak. Hal-hal tersebut menjelaskan kepada

7 pasien DM tipe II di Puskesmas X Bandung mengenai betapa pentingnya mengelola penyakit DM tipe II dengan melakukan diet kalori. Pasien DM tipe II di Puskesmas X Bandung yang telah menerima informasi dan berkonsultasi dengan dokter mengenai diet kalori dapat dikatakan taat melaksanakan diet kalori apabila pasien DM tipe II di Puskesmas X Bandung selalu menghitung jumlah kalori makanan sesuai dengan batas asupan kalori yang dapat dikonsumsi setiap harinya, mengonsumsi jenis makanan yang hanya dianjurkan dokter di mana pun, dan memiliki jadwal makan yang teratur. Pasien DM tipe II di Puskesmas X Bandung menyadari akan pentingnya diet kalori dan orang-orang terdekat pun bersedia mendukung, tetapi pasien DM tipe II di Puskesmas X Bandung tetap tidak melakukan diet kalori karena pasien DM tipe II di Puskesmas X Bandung memersepsi bahwa dirinya tidak akan mampu melakukan diet kalori, yaitu untuk selalu menghitung jumlah kalori makanan sesuai dengan batas asupan kalori yang dapat dikonsumsi setiap harinya, untuk mengonsumsi jenis makanan yang hanya dianjurkan dokter di mana pun, dan untuk memiliki jadwal makan yang teratur. Persepsi tersebutlah yang akan memengaruhi diet kalori menjadi sulit untuk dilakukan. Pada teori psikologi, terdapat istilah untuk menjelaskan fenomena di atas, yaitu intensi, yang dijelaskan oleh Icek Ajzen (2005) di dalam teori planned behavior. Intensi adalah faktor pendorong yang memengaruhi individu untuk menampilkan suatu perilaku (Ajzen, 2005). Teori planned behavior menjelaskan bahwa intensi dipengaruhi oleh tiga determinan, yaitu attitude toward the behavior, subjective norm, dan perceived behavioral control (Ajzen, 2005). Attitude toward the behavior adalah evaluasi individu terhadap perilaku yang akan ditampilkan. Subjective norms adalah persepsi individu

8 mengenai tuntutan figur signifikan terhadap perilaku yang akan ditampilkan. Perceived behavioral control adalah keyakinan diri individu akan kemampuannya mengontrol perilaku yang akan ditampilkan. Berdasarkan hasil wawancara kepada enam pasien DM tipe II di Puskesmas X Bandung, diperoleh data bahwa keenam pasien DM tipe II di Puskesmas X Bandung tersebut berpendapat bahwa makan sesuai jenis yang dianjurkan dokter merupakan hal yang berguna bagi kesehatan mereka. Pasien DM tipe II di Puskesmas X Bandung mengetahui bahwa diet kalori dapat mencegah ketidakseimbangan kadar gula darah dan mencegah terjadinya komplikasi. Berdasarkan penjelasakan tersebut, maka dapat dikatakan bahwa pasien DM tipe II di Puskesmas X Bandung memiliki evaluasi bahwa diet kalori merupakan suatu hal yang baik dan menguntungkan. Evaluasi tersebut akan menghasilkan attitude toward the behavior yang positif pada pasien DM tipe II di Puskesmas X Bandung terhadap diet kalori. Selain itu, berdasarkan hasil wawancara kepada enam pasien DM tipe II di Puskesmas X Bandung, diperoleh data bahwa keenam pasien DM tipe II di Puskesmas X Bandung memersepsi bahwa figur signifikan mereka yaitu keluarga, teman, dokter, atau perawat menuntut untuk melakukan diet kalori dengan mengonsumsi makanan sesuai anjuran dokter atau pun makan teratur sesuai jadwal. Tuntutan tersebut dipersepsi sebagai dukungan dan perhatian yang besar dari figur signifikan kepada pasien DM tipe II di Puskesmas X Bandung untuk melakukan diet kalori. Berdasarkan penjelasan tersebut, maka dapat dikatakan bahwa pasien DM tipe II di Puskesmas X Bandung memiliki persepsi bahwa figur signifikan memberikan tuntutan dan dorongan yang besar, berupa dukungan untuk melakukan diet kalori.

9 Persepsi tersebut akan menghasilkan subjective norm yang positif pada pasien DM tipe II di Puskesmas X Bandung terhadap diet kalori. Berdasarkan hasil wawancara kepada enam pasien DM tipe II di Puskesmas X Bandung, diperoleh data bahwa keenam pasien DM tipe II di Puskesmas X Bandung menghayati adanya kesulitan untuk melakukan diet kalori. Pasien DM tipe II di Puskesmas X Bandung menghayati bahwa dirinya kurang yakin dapat memiliki keteraturan jadwal makan karena kesibukkan aktivitas yang sulit ditinggalkan. Pasien DM tipe II di Puskesmas X Bandung juga memersepsi tidak akan mampu untuk selalu makan sesuai jenis makanan yang dianjurkan dokter karena hal tersebusebut merupakan hal yang membosankan dan mengesalkan. Pasien DM tipe II di Puskesmas X Bandung mengatakan lebih menyukai makan jenis makanan manis, seperti kue-kue atau gorengan, walaupun mereka mengetahui bahwa makanan-makanan tersebut berlemak dan berkalori tinggi. Pasien DM tipe II di Puskesmas X Bandung juga memersepsi dirinya tidak akan akan mampu untuk melakukan diet kalori secara disiplin. Berdasarkan penjelasakan tersebut, maka dapat dikatakan bahwa pasien DM tipe II di Puskesmas X Bandung memiliki keyakinan diri yang rendah untuk melakukan diet kalori. Keyakinan diri tersebut akan menghasilkan perceived behavioral control yang lemah pada pasien DM tipe II di Puskesmas X Bandung terhadap diet kalori. Berdasarkan hasil wawancara di atas diperoleh data bahwa attitude toward the behavior dan subjective norm pasien DM tipe II di Puskesmas X Bandung terhadap diet kalori dapat dikatakan positif, sedangkan perceived behavioral control pasien DM tipe II di Puskesmas X Bandung dapat dikatakan lemah. Pada teori planned behavior, ketiga determinan yaitu attitude toward the behavior, subjective norm, dan perceived behavioral control dapat saling memengaruhi baik positif atau pun negatif. Pengaruh

10 tersebut kemudian akan memengaruhi intensi menjadi lemah atau kuat, artinya jika salah satu determinan positif sedangkan kedua determinan lainnya negatif, maka kedua determinan yang negatif akan menjadi positif dan ketiga determinan tersebut akan membuat intensi menjadi kuat (Ajzen, 2005), demikian sebaliknya. Berdasarkan penjelasan tersebut, intensi diet kalori pasien DM tipe II di Puskesmas X Bandung dapat dikatakan lemah karena dimensi perceived behavioral control diet kalori yang lemah akan memengaruhi dimensi attitude toward the behavior dan subjective norm yang positif. Oleh karena itu, determinan yang perlu diberikan treatment agar menjadi kuat adalah perceived behavioral control. Ajzen (2005) mengatakan bahwa semakin banyak sumber daya dan kesempatan yang individu yakini memilikinya, maka semakin positif persepsi terhadap kontrol atas perilakunya. Sebuah penelitian yang telah dilakukan oleh Ajzen (2002), menunjukkan bahwa perceived behavioral control terdiri dari dua komponen, yaitu self-efficacy dan controlability, sehingga dalam langkah-langkah perceived behavioral control harus mengarah pada self-efficacy serta controllability, khususnya self-efficacy. Penelitian lainnya mendukung bahwa self-efficacy diterima sebagai prediktor perubahan perilaku dan pemeliharaan kesehatan sehingga akan memberikan pengaruh yang besar bagi sebuah perilaku kesehatan (Strecher, 1986). Self-efficacy diartikan sebagai keyakinan diri individu akan kemampuannya dalam mengorganisasikan dan melaksanakan sumber-sumber dari tindakan yang dibutuhkan untuk mengatur situasi-situasi yang prospektif (Bandura, 2002). Selfefficacy individu mencakup empat aspek, yaitu pilihan yang dibuat oleh individu, usaha yang dikeluarkan pada pilihan yang telah dibuat, daya tahan menghadapi rintangan atas

11 pilihan yang telah, dan penghayatan perasaan terhadap masalah yang berhubungan dengan pilihan yang telah dibuat. Pasien DM tipe II yang memiliki self-efficacy yang tinggi akan kemampuannya melakukan diet kalori, maka kaitannya dengan perceived behavioral control adalah pasien DM tipe II di Puskesmas X Bandung akan memiliki keyakinan tentang kemampuannya untuk mengontrol diet kalorinya sehingga perceived behavioral control pasien DM tipe II di Puskesmas X Bandung akan mengalami perubahan dari lemah menjadi kuat. Perceived behavioral control terhadap diet kalori yang sudah berubah menjadi kuat dan kedua determinan yang positif, akan memengaruhi intensi diet kalori pasien DM tipe II di Puskesmas X Bandung menjadi kuat. Berdasarkan penjelasan tersebut, maka peneliti tertarik untuk membuat pelatihan self-efficacy mengenai diet kalori atau yang akan disebut pelatihan self-efficacy diet kalori untuk meningkatkan intensi diet kalori pasien DM tipe II di Puskesmas X Bandung. 1.2 Identifikasi Masalah Apakah pelatihan self-efficacy diet kalori dapat meningkatkan intensi diet kalori pada pasien DM tipe II di Puskesmas X Bandung. 1.3 Maksud, Tujuan, dan Kegunaan Penelitian 1.3.1 Maksud Penelitian Maksud penelitian ini adalah untuk mendapatkan gambaran mengenai peningkatan intensi diet kalori pada pasien DM tipe II di Puskesmas X Bandung setelah diberikan pelatihan self-efficacy diet kalori.

12 1.3.2 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah melihat peningkatan intensi diet kalori pada pasien DM tipe II di Puskesmas X Bandung setelah diberikan pelatihan self-efficacy diet kalori. 1.3.3 Kegunaan Penelitian 1.3.3.1 Kegunaan Teoretis - Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya pengetahuan dalam bidang psikologi klinis dan psikologi kesehatan mengenai pelatihan self-efficacy diet kalori yang dapat digunakan sebagai salah satu intervensi untuk meningkatkan intensi diet kalori pada pasien DM tipe II di Puskesmas X Bandung. - Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi peneliti lain yang ingin melakukan penelitian sejenis ataupun penelitian lebih lanjut yang berkaitan dengan pelatihan self-efficacy diet kalori untuk meningkatkan intensi diet kalori. 1.3.3.2 Kegunaan Praktis - Bagi pasien DM tipe II di Puskesmas X Bandung, penerapan pelatihan selfefficacy diet kalori diharapkan dapat membantu meningkatkan keyakinan diri untuk melakukan diet kalori sehingga dapat mencegah ketidakseimbangan kadar gula darah, mencegah terjadinya komplikasi, dan bahkan dapat mencegah terjadinya stres. - Bagi dokter dan perawat di Puskesmas X Bandung, penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi mengenai intensi diet kalori pasien DM tipe II di Puskesmas X Bandung, sehingga tenaga ahli puskesmas X Bandung dapat membantu mengarahkan dan menerapkan secara konsisten kepada pasien DM tipe II. Selain itu,

13 penelitian ini diharapkan dapat dijadikan salah satu alternatif yang dapat dilakukan untuk mengatasi permasalahan intensi diet kalori pada pasien DM tipe II di Puskesmas X Bandung. 1.4 Metodologi Penelitian Penelitian ini bertujuan menguji pelatihan self-efficacy diet kalori untuk meningkatkan intensi diet kalori pada pasien DM tipe II di Puskesmas X Bandung. Rancangan penelitian yang digunakan adalah one group pre-test and post-test design, di mana kepada subjek penelitian dilakukan pengukuran sebelum dan sesudah dilakukan intervensi pelatihan self-efficacy diet kalori. Alat ukur yang digunakan adalah kuesioner intensi diet kalori yang disusun peneliti berdasarkan teori planned behavior (Ajzen, 2005) sebagai alat ukur dependent variabel dan kuesioner self-efficacy diet kalori sebagai alat ukur independent variabel yang dimodifikasi dari kuesioner General Self-Efficacy (Schwarzer, 1995). Data yang diperoleh pada penelitian ini akan dianalisis dengan menggunakan mixed method atau metode campuran di mana peneliti menganilisis dengan mengumpulkan atau menggabungkan data kuantitatif dan kualitatif (Creswell, 2016). Teknik sampling yang digunakan adalah purposive sampling, yaitu pemilihan sampel yang didasarkan pada kriteria tertentu sesuai dengan tujuan penelitian. Subjek dalam penelitian ini adalah tiga orang pasien DM tipe II di Puskesmas X Bandung. Treatment yang diberikan berupa pelatihan self-efficacy diet kalori yang akan dilaksanakan dengan metode experiential learning.