BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kanker hepar di Indonesia menduduki peringkat ketiga keganasan setelah kanker payudara dan kanker serviks pada pasien rawat inap di rumah sakit berdasarkan data yang diperoleh dari Departemen Kesehatan Republik Indonesia pada tahun 2009 (Suseno, 2009). Kontaminan lingkungan dan zat-zat berbahaya dapat menjadi inisiator yang menimbulkan keganasan dan secara tidak langsung akan menyebabkan terjadinya tumor atau kanker. Salah satu senyawa karsinogen yaitu dari golongan polycyclic aromatic hidrocarbon (PAH). Senyawa tersebut dapat terjadi akibat proses pembakaran yang tidak sempurna, zat kimia nitrosamin, radiasi nuklir, dan zat yang terkandung pada tembakau. PAH akan merusak keutuhan sel dan intinya sehingga bersifat mutagenik yaitu sel-sel normal setelah dicemari zat tersebut menjadi sel kanker yang berkembang tidak terkendali (Andayani dkk, 2008). Agen karsinogen 7,12-Dimethylbenz(α)anthracene (DMBA) merupakan salah satu senyawa toksik dari golongan senyawa PAH. Pada penelitian sebelumnya, pemberian DMBA pada tikus dapat menginduksi karsinogenesis. Paparan DMBA dapat terjadi melalui tiga jalur yaitu saluran pernapasan, saluran pencernaan, dan kontak kulit. DMBA diabsorbsi di dalam saluran pencernaan, kemudian masuk ke dalam sirkulasi darah, dan menuju vena porta, setelah itu akan mengalami metabolisme di hepar menjadi metabolit epoksida dehidrodiol yang sangat reaktif. Metabolit ini dapat meningkatkan suatu ikatan protein dengan deoxyribonucleic 1
2 acid (DNA) yang menyebabkan mutasi DNA sehingga terjadi proses karsinogenesis (Skupinska et al., 2004). Pengaruh negatif paparan senyawa tersebut dapat menyebabkan kerusakan sel pada jaringan hepar. Hampir semua gangguan terhadap hepar dapat mematikan hepatosit dan merangsang peningkatan sel-sel radang. Hepar merupakan organ tubuh yang rentan terhadap pengaruh bahan toksik dan berperan dalam setiap fungsi metabolik tubuh (Kumar et al., 2007; Price dan Wilson, 2005). Berdasarkan penelitian sebelumnya, pemberian DMBA secara per oral pada tikus Sprague dawley dua kali dalam seminggu selama lima minggu menunjukkan terjadinya hepatoma (Wahyuni, 2011). Hal ini diperkuat dengan penelitian pendahuluan yang telah dilakukan oleh peneliti pada tikus putih jantan (Rattus novergicus strain wistar) yang diinduksi oleh DMBA dua kali dalam seminggu selama tiga minggu menunjukkan adanya gambaran makroskopis berupa nodul pada permukaan hepar dan gambaran mikroskopis berupa peningkatan sel radang kronik serta pelebaran sinusoid. Upaya pengobatan terhadap kanker telah banyak dilakukan secara intensif, yaitu dengan pembedahan, radiasi, kemoterapi, dan imunoterapi yang cukup efektif bila belum terjadi proses metastasis, tetapi pada umumnya pasien melakukan pengobatan saat kanker sudah stadium lanjut sehingga sulit disembuhkan. Namun usaha pencegahan kanker yang dilakukan sejak dini kiranya merupakan jalan terbaik terhindar dari dampak yang ditimbulkan oleh kanker, salah satunya melalui kemopreventif (Wattenberg, 1985). Salah satu alternatif agen kemopreventif dengan menggunakan cacing tanah (Lumbricus rubellus). Selama beberapa tahun cacing tanah (Lumbricus rubellus)
3 telah banyak digunakan untuk pengobatan berbagai macam penyakit. Berdasarkan penelitian sebelumnya, cacing tanah (Lumbricus rubellus) terbukti mengandung earthworm fibrinolytic enzyme (EFE) disebut lumbrokinase yang memiliki aktivitas antitumor ditunjukkan melalui kerjanya dalam menekan sel tumor di hepar (in vitro dan in vivo) (Mihara et al., 1991). Selain itu, dengan sifat antioksidan yang dimilikinya, ekstrak cacing tanah memiliki potensi untuk menghambat proses inisiasi karsinogenesis dan menekan perkembangan proses neoplastik ke arah yang lebih berat. Aktivitas antioksidan ini ditunjukkan melalui studi yang dilakukan oleh Prakash et al., (2008) bahwa pemberian serbuk cacing tanah (Lumbricus rubellus) secara per oral dengan dosis 500 mg/kgbb dapat meningkatkan level enzim antioksidan dan sebagai hepatoprotektif pada tikus yang diinduksi alkohol. Berdasarkan fakta di atas, peneliti ingin mengetahui pengaruh pemberian ekstrak cacing tanah (Lumbricus rubellus) terhadap gambaran histopatologi inflamasi kronik pada hepar tikus putih jantan (Rattus novergicus strain wistar) yang diinduksi oleh agen karsinogen DMBA. 1.2 Rumusan Masalah Adakah pengaruh pemberian ekstrak cacing tanah (Lumbricus rubellus) terhadap gambaran histopatologi inflamasi kronik pada hepar tikus putih jantan (Rattus novergicus strain wistar) yang diinduksi oleh agen karsinogen DMBA? 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum Membuktikan adanya pengaruh pemberian ekstrak cacing tanah (Lumbricus rubellus) terhadap gambaran histopatologi inflamasi kronik pada
4 hepar tikus putih jantan (Rattus novergicus strain wistar) yang diinduksi oleh agen karsinogen DMBA. 1.3.2 Tujuan Khusus 1. Mengetahui dosis optimal pemberian ekstrak cacing tanah (Lumbricus rubellus) yang paling efektif terhadap perbaikan gambaran histopatologi inflamasi kronik pada hepar tikus putih jantan (Rattus novergicus strain wistar) yang diinduksi oleh agen karsinogen DMBA. 2. Mengetahui hubungan antara dosis ekstrak cacing tanah (Lumbricus rubellus) terhadap gambaran histopatologi inflamasi kronik pada hepar tikus putih jantan (Rattus novergicus strain wistar) yang diinduksi oleh agen karsinogen DMBA. 1.3 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat klinis Memberikan bukti ilmiah bahwa ekstrak cacing tanah (Lumbricus rubellus) memiliki potensi sebagai agen kemopreventif terhadap kanker hepar. 1.4.2 Manfaat akademis Digunakan sebagai referensi untuk penelitian selanjutnya yang berhubungan dengan potensi ekstrak cacing tanah (Lumbricus rubellus) sebagai agen kemopreventif terhadap kanker hepar. 1.4.3 Manfaat bagi masyarakat Memberikan informasi tentang ekstrak cacing tanah (Lumbricus rubellus) sebagai alternatif agen kemopreventif terhadap kanker hepar sehingga masyarakat dapat memanfaatkan cacing tanah (Lumbricus rubellus) dengan
5 dibuat serbuk atau ekstrak, serta diharapkan dapat menjadi peluang bagi masyarakat untuk berwirausaha budidaya cacing tanah (Lumbricus rubellus).