BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit periodontal menjadi salah satu masalah yang cukup serius di Indonesia. Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001 oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI menyatakan bahwa prevalensi penyakit periodontal pada semua kelompok umur cukup tinggi, yaitu sebesar 96,58% (Tampubolon, 2005). Penyakit periodontal adalah keadaan patologis yang mengenai jaringan pendukung gigi. Bakteri plak yang menumpuk pada permukaan gigi merupakan penyebab utama terjadinya penyakit periodontal (Suryono, 2014). Perawatan penyakit periodontal dapat berupa tindakan non-bedah untuk penderita penyakit periodontal ringan dengan pemberian antimikroba dan tindakan bedah yang ditujukan untuk penderita penyakit periodontal parah (Touger-Decker dkk., 2005). Luka adalah segala kerusakan fisik dalam kontinuitas jaringan (Touger-Decker dkk., 2005). Luka dapat terjadi pada jaringan periodontal yang kemudian akan memberikan reaksi dalam fase penyembuhan luka. Penyembuhan luka merupakan proses yang dinamis dan kompleks yang akan dimulai segera setelah terjadinya luka. Tujuan proses penyembuhan luka adalah untuk mengganti jaringan yang rusak secara struktural dan fungsional yang melibatkan beberapa fenomena seluler seperti migrasi, proliferasi, adhesi, dan sebagainya (Mulder dkk., 2002; Sugiaman, 2011). Proses penyembuhan luka terdiri dari tiga fase, yaitu fase 1
2 inflamasi, fase proliferasi, dan fase maturasi (Mulder dkk., 2002). Perlukaan yang terjadi pada rongga mulut umumnya sembuh sepenuhnya dalam waktu 2 minggu (Touger-Decker dkk., 2005). Fibroblas merupakan salah satu komponen utama pada proses penyembuhan luka. Fibroblas bermigrasi ke daerah luka dan muncul sebagai tanda dimulainya fase proliferasi pada proses penyembuhan luka (Asri dkk., 2013). Migrasi fibroblas memiliki peranan yang sangat vital untuk perbaikan jaringan secara cepat dan efektif (Sugiaman, 2011). Peran fibroblas juga sangat penting pada proses remodelling, yaitu bertanggung jawab pada persiapan menghasilkan produk struktur protein yang akan digunakan selama proses rekonstruksi jaringan (Asri dkk., 2013). Manggis yang memiliki nama latin Garcinia mangostana L. merupakan tanaman buah yang banyak tumbuh di kawasan Asia Tenggara, termasuk di Indonesia (Mardiana, 2011). Saat mengonsumsi daging buah manggis, kulit manggis merupakan bagian yang paling banyak dibuang, padahal kulit manggis sebenarnya dapat dikonsumsi dan bermanfaat bagi kesehatan (Puspaningtyas, 2013). Kulit manggis mengandung beberapa senyawa bioaktif seperti xanthone, flavonoid, triterpenoid, dan benzophenone (Orozco dan Failla, 2013). Xanthone merupakan senyawa utama yang banyak terkandung di dalam kulit manggis dengan persentase sebesar 95±4,8% (Aisha dkk., 2011). Xanthone memiliki aktivitas biologis antara lain sebagai antiinflamasi, antioksidan, antitumor, antibakteri, antifungi, dan antivirus (Chaverri dkk., 2008). Senyawa α-mangostin dan γ-mangostin merupakan senyawa golongan xanthone terbanyak
3 dalam kulit manggis yang dapat membantu menghentikan inflamasi dengan cara menghambat produksi enzim COX yang menyebabkan inflamasi (Nakatani dkk., 2002). Senyawa α-mangostin dilaporkan kemampuan antiinflamasinya dalam menghambat produksi IL-8 dan TNF-α yang berperan sebagai inflammatory marker (Orozco dkk., 2013). Selain itu α-mangostin juga dapat merangsang pelepasan mediator kemotaktis fibroblas, yaitu TGF-β (Atluri dkk., 2006; Rojas dkk., 2009). Kulit manggis juga mengandung senyawa lain, yaitu flavonoid yang berperan sebagai antioksidan untuk menetralkan aktivitas radikal bebas dan melindungi sel dari kerusakan lebih lanjut (Wickramasinghe, 2008). Flavonoid dapat pula menginduksi produksi TGF-β yang berfungsi memacu migrasi dan proliferasi fibroblas ke daerah luka (Häkkinen dkk., 2012). Untuk mendapatkan hasil penelitian yang representatif terhadap kondisi rongga mulut yang sebenarnya, maka pada penelitian ini digunakan human primary fibroblast yang diambil dari ligamen periodontal pada manusia. Kultur sel primer yang diisolasi dari manusia memiliki karakteristik fenotipe yang mirip dengan jaringan aslinya, termasuk fungsi normal fisiologisnya, sehingga dapat digunakan sebagai model penelitian secara in vitro yang memiliki relevansi tinggi (Marshak dan Greenwalt, 2006). Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, peneliti ingin meneliti lebih lanjut tentang pengaruh aplikasi gel ekstrak kulit manggis (Garcinia mangostana L.) terhadap migrasi human primary fibroblast.
4 B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas timbul suatu permasalahan sebagai berikut: apakah aplikasi gel ekstrak kulit manggis (Garcinia mangostana L.) berpengaruh terhadap migrasi human primary fibroblast. C. Keaslian Penelitian Penelitian mengenai ekstrak kulit manggis (Garcinia mangostana L.) telah banyak dilaporkan, salah satunya oleh Nakatani dkk. (2002) mengenai kemampuan ekstrak etanolik kulit manggis 40% sebagai agen antiinflamasi dengan cara menghambat pelepasan PGE 2 dan enzim COX pada sel glioma tikus C6. Sejauh yang peneliti ketahui, belum ada penelitian mengenai pengaruh aplikasi gel ekstrak kulit manggis (Garcinia mangostana L.) terhadap migrasi human primary fibroblast. D. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh aplikasi gel ekstrak kulit manggis (Garcinia mangostana L.) terhadap migrasi human primary fibroblast.
5 E. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat antara lain: 1. Memberikan informasi ilmiah mengenai pengaruh aplikasi gel ekstrak kulit manggis (Garcinia mangostana L.) terhadap migrasi human primary fibroblast. 2. Memperluas pemanfaatan ekstrak kulit manggis sebagai bahan herbal untuk pengobatan alternatif yang aman.