Upaya Hukum. A. Upaya Hukum Banding.

dokumen-dokumen yang mirip
Makalah Peradilan Tata Usaha Negara BAB I PENDAHULUAN

BAB III. Upaya Hukum dan Pelaksanaan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara. oleh Pejabat Tata Usaha Negara

Langkah-langkah yang harus dilakukan Pemohon banding:

BAB III PELAKSANAAN PUTUSAN PENGADILAN TATA USAHA NEGARA OLEH PEJABAT TATA USAHA NEGARA

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 02 TAHUN 2002 TENTANG TATA CARA PENYELENGGARAAN WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI OLEH MAHKAMAH AGUNG

PENYELESAIAN SENGKETA KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK DI PENGADILAN TATA USAHA NEGARA

Didahului oleh pengajuan gugatan sampai dengan putusan dan eksekusi.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA ANCANGAN

HUKUM ACARA PERADILAN TATA USAHA NEGARA

MEMUTUSKAN. Menetapkan

SUMBANGAN PEMIKIRAN UNTUK PENYUSUNAN: NASKAH AKADEMIK (ACADEMIC DRAFTING)

SURAT EDARAN Nomor : 1 Tahun 1990 Tentang Petunjuk Pembuatan Penetapan Eks Pasal 71 ayat (2) Dan Akta Cerai Eks Pasal 84 ayat (4)

PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA. Oleh: NY. BASANI SITUMORANG, SH., M.Hum. (Staf Ahli Direksi PT Jamsostek)

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN KETUA PENGADILAN AGAMA LAMONGAN Nomor : W13-A17/4967/KU.03.2/SK/X/2016 TENTANG

STANDAR PELAYANAN PERKARA PIDANA

STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR (SOP) KEPANITERAAN PIDANA

ww.hukumonline.com PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 03 TAHUN 2005 TENTANG TATA CARA PENGAJUAN UPAYA HUKUM KEBERATAN TERHADAP PUTUSAN

UPAYA HUKUM PUTUSAN PENGADILAN AGAMA

2 c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Mahkamah Agung tentang Pedoman Beracar

BAB III. Anotasi Dan Analisis Problematika Hukum Terhadap Eksekusi Putusan. Hakim Peradilan Tata Usaha Negara

Praktek Beracara di Pengadilan Tata Usaha Negara

PROSEDUR DAN PROSES BERPERKARA DI PENGADILAN AGAMA

KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA

STANDARD OPERATION PROCEDURE (SOP) PROSES PENDAFTARAN DAN PEMERIKSAAN PERKARA DI PENGADILAN TATA USAHA NEGARA

Pelayanan Perkara Pidana

KEPUTUSAN KETUA PENGADILAN AGAMA LAMONGAN Nomor : W13-A17/1/KU.03.2/SK/I/2011 TENTANG

Jakarta, 31 Agustus 1951 SURAT EDARAN NOMOR 3 TAHUN 1951

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

ADMINISTRASI PERKARA KEPANITERAAN PERDATA DI PENGADILAN NEGERI SIBOLGA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAGAN ALUR PROSEDUR PERKARA PERDATA PASCA SIDANG

BIAYA BIAYA BIAYA BIAYA BIAYA NO KOMPONEN BIAYA

PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL. OLEH : Prof. Dr. H. Gunarto,SH,SE,Akt,M.Hum

STANDARD OPERATING PROCEDURES (S.O.P) PENANGANAN PERKARA PIDANA ACARA BIASA PADA PENGADILAN NEGERI TENGGARONG

PEDOMAN PENDAFTARAN GUGATAN TERHADAP KEPUTUSAN TATA USAHA NEGARA DAN TINDAKAN KONKRIT/FAKTUAL (GUGATAN UMUM) DI PENGADILAN TATA USAHA NEGARA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2002 TENTANG GRASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

R. Soegijatno Tjakranegara, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia, 95. (Jakarta: Sinar Grafika, 2002), h. 18

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

PENGGUGAT/ KUASANYA. Ketua Pengadilan Negeri menunjuk Majelis Hakim, dan Panitera menunjuk Panitera Pengganti. Kepaniteraan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2002 TENTANG GRASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

P U T U S A N. Nomor : 175/B/2012/PT.TUN-MDN

PEMERIKSAAN GUGATAN SEDERHANA (SMALL CLAIM COURT)

KETUA PENGADILAN TATA USAHA NEGARA BENGKULU

BAB V PENUTUP. ditarik kesimpulan yakni sebagai berikut :

PENGADILAN NEGERI JAKARTA BARAT SOP PENYELESAIAN BERKAS PERKARA GUGATAN

2015, No tidaknya pembuktian sehingga untuk penyelesaian perkara sederhana memerlukan waktu yang lama; d. bahwa Rencana Pembangunan Jangka Mene

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Untuk terlaksananya suatu putusan terdapat 2 (dua) upaya yang dapat ditempuh

KETUA PENGADILAN TATA USAHA NEGARA BENGKULU

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2002 TENTANG GRASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB VII PERADILAN PAJAK

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Dasar Hukum Pembentukan Peradilan Tata Usaha Negara. dan lain-lain Badan Kehakiman menurut undang-undang.

P U T U S A N Nomor 4/Pdt.G/2014/PTA.Mks BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

PROSEDUR DAN PROSES BERPERKARA DI PENGADILAN AGAMA

BAHAN KULIAH ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DAGANG Match Day 9 ARBITRASE (2)

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 02 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PENYELESAIAN SENGKETA INFORMASI PUBLIK DI PENGADILAN

SALINAN P U T U S A N Nomor : 72/Pdt.G/2011/PTA.Bdg.

STANDAR PELAYANAN PERADILAN PADA PENGADILAN TATA USAHA NEGARA JAKARTA

SURAT KEPUTUSAN KETUA PENGADILAN AGAMA KAB. MALANG Nomor : W13-A35/0162/HK.00.8/SK/I/2016

BAB I PENDAHULUAN. Negara Republik Indonesia adalah negara hukum (Rechstaat). Landasan

KOMPETENSI PERADILAN TATA USAHA NEGARA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA H. Ujang Abdullah, SH., M.Si *

AKTUALISASI KEWENANGAN PERADILAN TATA USAHA NEGARA BERKAITAN DENGAN KEMAJUAN TEKNOLOGI INFORMATIKA

P U T U S A N Nomor : 54/B/2013/PT.TUN-MDN

PENGADILAN NEGERI LIMBOTO

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA,

BAB I KETENTUAN UMUM. Pasal 1

Nomor : 121/Pdt.G/2011 /PTA.Bdg BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

PENGADILAN AGAMA JAKARTA BARAT Jl. Pesanggrahan Raya No.32 Kembangan Jakarta Barat Telp./Fax. (021) sd. 95

SURAT KEPUTUSAN KETUA PENGADILAN AGAMA WATAMPONE. Nomor : W20-A2/20/SK/Hk.05/I/2016 TENTANG PANJAR BIAYA PERKARA PENGADILAN AGAMA WATAMPONE

Peranan Peradilan Dalam Proses Penegakan Hukum UU No.5/1999. Putusan KPPU di PN dan Kasasi di MA

PERADILAN TATA USAHA NEGARA dan PROSES BERPERKARA di PENGADILAN TATA USAHA NEGARA. Diterbitkan Oleh PTUN PALEMBANG

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK

PENETAPAN KETUA PENGADILAN NEGERI BIAK TENTANG

NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA

file://\\ \web\prokum\uu\2004\uu htm

KETUA PENGADILAN AGAMA BOJONEGORO. SURAT KEPUTUSAN Nomor : W13.A5/4241/HK.05/SK/XII/2009

Adapun dari sisi materi, perubahan materi buku II Edisi Revisi 2009, dibandingkan dengan Buku II Edisi 2009, adalah sebagai berikut :

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2002 TENTANG GRASI

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 29/PUU-XV/2017 Perintah Penahanan yang Termuat dalam Amar Putusan

PPHI H. Perburuhan by DR. Agusmidah, SH, M.Hum

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN KETUA PENGADILAN AGAMA MAGELANG Nomor : W11-A35/683/HK.00.8/V/2015 T E N T A N G PANJAR BIAYA PERKARA PADA PENGADILAN AGAMA MAGELANG

PANDUAN WAWANCARA. proses mediasi terhadap perkara perceraian? b. Apa ada kesulitan dalam menerapkan model-model pendekatan agama?

BAGAN ALUR PROSEDUR PERKARA PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA

STANDAR PELAYANAN PERADILAN PADA PENGADILAN TATA USAHA NEGARA KUPANG

FORMULIR ADMINISTRASI KEPANITERAAN PENGADILAN AGAMA

STANDAR.OPERASIONAL.PROSEDUR (SOP) KEPANITERAAN PERDATA NO. URAIAN KEGIATAN WAKTU PENYELESAIAN KETERANGAN

KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 01 TAHUN Tentang

P U T U S A N. Nomor : 170/B/2012/PT.TUN-MDN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2002 TENTANG GRASI

SIFAT KHUSUS PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL MENURUT UNDANG UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

FUNGSI MAHKAMAH AGUNG DALAM MENERIMA PENINJAUAN KEMBALI SUATU PERKARA PIDANA 1 Oleh: Eunike Lumi 2

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 01 TAHUN 2008 Tentang PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Undang Undang No. 14 Tahun 1985 Tentang : Mahkamah Agung

MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA Jakarta, 9 Juli 1991

PROSEDUR BERPERKARA TATA CARA PENGAJUAN PERKARA (VIA BANK)

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Transkripsi:

Upaya Hukum A. Upaya Hukum Banding. Terhadap para pihak yang merasa tidak puas atas putusan yang diberikan pada tingkat pertama (PTUN), berdasarkan ketentuan Pasal 122 UU Peratun terhadap putusan PTUN tersebut dapat dimintakan pemeriksaan banding oleh Penggugat atau Tergugat kepada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN). Permohonan pemeriksaan banding diajukan secara tertulis oleh pemohon atau kuasanya yang khusus diberi kuasa untuk itu, kepada PTUN yang menjatuhkan putusan tersebut, dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari setelah putusan diberitahukan kepada yang bersangkutan secara patut. Selanjutnya selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sesudah permohonan pemeriksaan banding dicatat, Panitera memberitahukan kepada kedua belah pihak bahwa mereka dapat melihat berkas perkara di Kantor Pengadilan Tata Usaha Negara yang bersangkutan dalam tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari setelah mereka menerima pemberitahuan tersebut. Para pihak dapat menyerahkan memori atau kontra memori banding, disertai surat-surat dan bukti kepada Panitera Pengadilan Tata Usaha Negara yang bersangkutan, dengan ketentuan bahwa salinan memori dan kontra memori banding diberikan kepada pihak lawan dengan perantara Panitera Pengadilan (Pasal 126). Pemeriksaan banding di Pengadilan Tinggi TUN dilakukan sekurang-kurangnya terdiri dari 3 (tiga) orang hakim. Dalam hal Pengadilan Tinggi TUN berpendapat bahwa pemeriksaan Pengadilan Tata Usaha Negara kurang lengkap, maka Pengadilan Tinggi tersebut dapat mengadakan sendiri untuk pemeriksaan tambahan atau memerintahkan Pengadilan Tata Usaha Negara yang bersangkutan untuk melaksanakan pemeriksaan tambahan. 1

Setelah pemeriksaan di tingkat banding selesai dan telah diputus oleh Pengadilan Tinggi TUN yang bersangkutan, maka Panitera Pengadilan Tinggi TUN yang bersangkutan, dalam waktu 30 (tiga puluh) hari mengirimkan salinan putusan Pengadilan Tinggi tersebut beserta surat-surat pemeriksaan dan surat-surat lain kepada Pengadilan TUN yang memutus dalam pemeriksaan tingkat pertama, dan selanjutnya meneruskan kepada pihak-pihak yang berkepentingan (Pasal 127). Mengenai pencabutan kembali suatu permohonan banding dapat dilakukan setiap saat sebelum sengketa yang dimohonkan banding itu diputus oleh Pengadilan Tinggi TUN. Setelah diadakannya pencabutan tersebut permohonan pemeriksaan banding tidak dapat diajukan oleh yang bersangkutan, walaupun tenggang waktu untuk mengajukan permohonan pemeriksaan banding belum lampau (Pasal 129). B. Upaya Hukum Kasasi dan Peninjauan Kembali. Terhadap putusan pengadilan tingkat Banding dapat dilakukan upaya hukum Kasasi ke Mahkamah Agung RI. Pemeriksaan ditingkat Kasasi diatur dalam pasal 131 UU Peratun, yang menyebutkan bahwa pemeriksaan tingkat terakhir di Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara dapat dimohonkan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung. Untuk acara pemeriksaan ini dilakukan menurut ketentuan UU No.14 Tahun 1985 Jo. UU No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung. Menurut Pasal 55 ayat (1) UU Mahkamah Agung, pemeriksaan kasasi untuk perkara yang diputus oleh Pengadilan dilingkungan Pengadilan Agama atau oleh pengadilan di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, dilakukan menurut ketentuan UU ini. Dengan demikian sama halnya dengan ketiga peradilan yang lain, yaitu Peradilan Umum, Peradilan Agama, dan Peradilan Militer, maka Peradilan Tata Usaha Negara juga berpuncak pada Mahkamah Agung. Sementara itu apabila masih ada diantara para pihak masih belum puas terhadap putusan Hakim Mahkamah Agung pada tingkat Kasasi, maka dapat ditempuh upaya hukum luar biasa 2

yaitu Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung RI. Pemeriksaan Peninjauan Kembali diatur dalam pasal 132 UU Peratun, yang menyebutkan bahwa : Ayat (1) : Terhadap putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dapat diajukan permohonan Peninjauan Kembali pada Mahkamah Agung. Ayat (2) : Acara pemeriksaan Peninjauan Kembali ini dilakukan menurut ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 77 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. C. Pelaksanaan Putusan Pengadilan Putusan pengadilan yang dapat dilaksanakan hanyalah putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, demikian ditegaskan dalam Pasal 115 UU Peratun. Putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap artinya bahwa terhadap putusan tersebut telah tidak ada lagi upaya hukum, atau dapat juga masih ada upaya hukum akan tetapi oleh para pihak upaya hukum tersebut tidak ditempuh dan telah lewat tenggang waktu yang ditentukan oleh UU. Sebagai contoh, putusan PTUN Yogyakarta seharusnya dapat diajukan upaya hukum banding ke PTTUN Surabaya, akan tetapi karena telah lewat waktu 14 hari sebagaimana yang ditetapkan UU, para pihak tidak ada yang mengajukan upaya hukum tersebut, sehingga putusan PTUN Yogyakarta tersebut telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Terhadap putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yang kemudian dapat diajukan permohonan eksekusinya. Mengenai mekanisme atau prosedur eksekusi ini diatur dalam Pasal 116 s/d 119 UU Peratun. Sebagaimana telah dikemukakan pada bagian sebelumnya, dengan lahirnya UU No. 9 Tahun 2004, putusan Peratun telah mempunyai kekuatan eksekutabel. Hal ini dikarenakan 3

adanya sanksi berupa dwangsom dan sanksi administratif serta publikasi terhadap Badan atau Pejabat TUN (Tergugat) yang tidak mau melaksanakan putusan Peratun. Lebih lanjut Pasal 116 UU No. 9 Tahun 2004, menyebutkan prosedur eksekusi di Peratun, sebagai berikut : 1. Salinan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dikirimkan kepada para pihak dengan surat tercatat oleh Panitera Pengadilan setempat atas perintah Ketua Pengadilan yang mengadilinya dalam tingkat pertama selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari. 2. Dalam hal 4 (empat) bulan setelah putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikirimkan, Tergugat tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf a, Keputusan yang diperseketakan itu tidak mempunyai kekuatan hukum lagi. 3. Dalam hal Tergugat ditetapkan harus melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) haruf b dan huruf c, dan kemudian setelah 3 (tiga) bulan ternyata kewajiban tersebut tidak dilaksanakannya, penggugat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) agar Pengadilan memerintahkan Tergugat melaksanakan putusan Pengadilan tersebut. 4. Dalam hal Tergugat tidak bersedia melaksanakan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, terhadap pejabat yang bersangkutan dikenakan upaya paksa berupa pembayaran sejumlah uang paksa dan/atau sanksi administratif. 5. Pejabat yang tidak melaksanakan putusan pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diumumkan pada media massa cetak setempat oleh Panitera sejak tidak terpenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3). Pengajuan gugatan dalam Hukum Acara TUN sedikit berbeda dengan Hukum Acara Perdata pada Peradilan Umum, karena adanya pembatasan waktu pengajuan gugatan yang diatur dalam Pasal 55, dimana disebutkan bahwa gugatan dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu 90 hari terhitung sejak saat diterimanya atau diumumkannya Keputusan Badan/ Pejabat TUN. 4

Prosedur ini dimulai dengan gugatan yang diajukan oleh Penggugat karena adanya keputusan yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang dianggap merugikannya. Tolak ukur subjek yang bersengketa dapat dilihat pada Pasal 1 Ayat (6) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 yang berbunyi: Tergugat adalah Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yag dilimpahkan kepadanya, yang digugat oleh orang atau badan hukum perdata. Yang dimaksud dengan wewenang dalam hal ini tentu wewenang untuk melaksanakan urusan pemerintahan. Pasal tersebut diatas tidak membuka kemungkinan bagi Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara untuk bertindak sebagai Penggugat karena dalam undang-undang ini tidak ada pengaturan mengenai kemungkinan terjadinya gugatan rekonvensi seperti yang mungkin diajukan oleh suatu instansi pemerintah yang digugat dalam proses perkara onrechtmatige daad. Perbuatan tata usaha dapat digolongkan dalam: a. Mengeluarkan keputusan (beschikking); b. Mengeluarkan peraturan (regeling); c. Melakukan perbuatan materiil (materiele daad). 5