BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit gagal ginjal kronis adalah gangguan fungsi ginjal yang progresif

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. fungsi ginjal dengan cepat sehingga mengakibatkan ketidakseimbangan

BAB I PENDAHULUAN. didefenisikan sebagai kerusakan ginjal yang terjadi lebih dari 3 bulan berupa

BAB I PENDAHULUAN. berkaitan dengan gejala-gejala atau kecacatan yang membutuhkan

BAB I PENDAHULUAN. multipel. Semua upaya mencegah gagal ginjal amat penting. Dengan demikian,

BAB I PENDAHULUAN. Gagal ginjal kronik (GGK) atau penyakit renal tahap akhir

BAB I PENDAHULUAN. Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan pertumbuhan jumlah. penderita gagal ginjal pada tahun 2013 telah meningkat 50% dari tahun

BAB I PENDAHULUAN. Gagal ginjal kronik (GGK) atau Chronic Kidney Diseases (CKD) dalam jangka waktu yang lama (Black & Hawks, 2014).

BAB 1 PENDAHULUAN. Penurunan atau kegagalan fungsi ginjal berupa penurunan fungsi

BAB I PENDAHULUAN. Gagal ginjal kronis atau End Stage Renal Desease (ESRD) merupakan

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Ginjal memiliki fungsi untuk mengeluarkan bahan dan sisa-sisa

BAB I PENDAHULUAN. Disease: Improving Global Outcomes Quality (KDIGO) dan the Kidney Disease

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara

BAB I dalam Neliya, 2012). Chronic Kidney Disease (CKD) atau penyakit ginjal

BAB I PENDAHULUAN. Ginjal memiliki peranan yang sangat vital sebagai organ tubuh

BAB 1 PENDAHULUAN. ginjal yang bersifat irreversible, dimana kemampuan tubuh gagal untuk

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pada dasarnya setiap manusia menginginkan kondisi yang sehat, baik secara

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. dan cukup lanjut. Penyakit gagal ginjal kronis mengakibatkan laju filtrasi

I. PENDAHULUAN. keluhan maupun gejala klinis kecuali sudah terjun pada stadium terminal (gagal

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit ginjal kronik (PGK) merupakan gangguan fungsi ginjal yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Ginjal merupakan salah satu organ yang memiliki fungsi penting dalam

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. oleh mereka yang menderita gagal ginjal (Indraratna, 2012). Terapi diet

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. memperlancarkan darah dari zat toksin dan berbagai zat sisa. mengatur keseimbangan asam basa, mempertahankan volume dan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. Derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya dapat dicapai melalui

BAB I PENDAHULUAN. dapat terjadi secara akut dan kronis. Dikatakan akut apabila penyakit berkembang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Gambaran Umum Rumah Sakit RSUD dr. Moewardi. 1. Rumah Sakit Umum Daerah dr. Moewardi

BAB I PENDAHULUAN. secara menahun dan umumnya bersifat irreversibel, ditandai dengan kadar

BAB 1 : PENDAHULUAN. yang bersifat progresif dan irreversibel yang menyebabkan ginjal kehilangan

I. PENDAHULUAN. mempertahankan homeostasis tubuh. Ginjal menjalankan fungsi yang vital

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. juta orang mengalami gagal ginjal. Data dari The United State Renal Data System

BAB I PENDAHULUAN. ginjal yang bersifat menahun, berlangsung progresif dan cukup lanjut. Hal ini bila

BAB I PENDAHULUAN. dari mulai faal ginjal normal sampai tidak berfungsi lagi. Penyakit gagal ginjal

UKDW BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit gagal ginjal adalah kelainan struktur atau fungsi ginjal yang ditandai

HUBUNGAN DUKUNGAN KELUARGA DENGAN KEPATUHAN DIET PADA PASIEN GAGAL GINJAL KRONIS DENGAN TERAPI HEMODIALISIS DI RS PKU MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. Gagal ginjal kronis atau penyakit renal tahap akhir adalah gangguan pada

BAB I PENDAHULUAN. irreversible. Hal ini terjadi apabila laju filtrasi glomerular (LFG) kurang dari 50

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. mendadak dan hampir lengkap akibat kegagalan sirkulasi renal atau disfungsi

BAB I PENDAHULUAN. kerusakan ginjal (renal damage) yang terjadi lebih dari tiga bulan, dikarakteristikan

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit ginjal kronik seperti Glomerulonephritis Chronic, Diabetic

BAB I PENDAHULUAN. prevalensinya semakin meningkat setiap tahun di negara-negara berkembang

BAB I PENDAHULUAN. secara menahun dan sifatnya irreversibel, ditandai dengan kadar ureum dan

BAB 1 PENDAHULUAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

BAB I PENDAHULUAN. dan keserasian antara perkembangan fisik dan perkembangan mental. Tingkat. lampau, bahkan jauh sebelum masa itu (Budiyanto, 2002).

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Gagal ginjal kronik atau penyakit ginjal tahap akhir adalah

BAB I PENDAHULUAN. Gagal ginjal kronik merupakan kerusakan ginjal atau penurunan kemampuan

BAB I PENDAHULUAN. 2009). Gagal ginjal yang terjadi secara mendadak disebut gagal ginjal akut,

BAB I PENDAHULUAN. komposisi kimia darah, atau urin, atau kelainan radiologis (Joannidis et al.,


BAB I PENDAHULUAN. disease) saat ini masih menjadi masalah yang besar, sebagaimana prediksi

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit ginjal kronis (PGK) merupakan salah satu masalah kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. pasien penyakit gagal ginjal kronik di Amerika Serikat adalah orang.

BAB 1 PENDAHULUAN. yang beredar dalam darah). Penderita GGK harus menjalani terapi diet

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Estimasi Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan pertumbuhan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Ginjal merupakan organ yang berfungsi untuk mengatur keseimbangan air

BAB I PENDAHULUAN. dunia sehingga diperlukan penanganan dan pencegahan yang tepat untuk

Tabel 1.1 Keaslian penelitian

BAB I PENDAHULUAN. berfungsi menggantikan sebagian fungsi ginjal. Terapi pengganti yang. adalah terapi hemodialisis (Arliza, 2006).

BAB I PENDAHULUAN. bersifat progresif dan irreversible. Dimana kemampuan tubuh gagal untuk

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Banyak penyebab dari disfungsi ginjal progresif yang berlanjut pada tahap

BAB I PENDAHULUAN. Chronic Kidney Disease (CKD) atau Penyakit Ginjal Kronik (PGK) adalah kerusakan ginjal yang menyebabkan ginjal tidak dapat membuang

BAB I PENDAHULUAN. menghambat kemampuan seseorang untuk hidup sehat. Penyakit penyakit

BAB I PENDAHULUAN. mempertahankan metabolisme serta keseimbangan cairan dan elektrolit

BAB 1 PENDAHULUAN. ginjal secara optimal untuk membuang zat-zat sisa dan cairan yang berlebihan dari

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. masyarakat yang dapat dilakukan adalah pengendalian penyakit tidak menular. 2

BAB I PENDAHULUAN. keseimbangan cairan dan elektrolit, menyebabkan uremia (retensi urea dan

BAB I PENDAHULUAN. volume, komposisi dan distribusi cairan tubuh, sebagian besar dijalankan oleh Ginjal

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia mencapai 400 per kematian (WHO, 2013).

I. PENDAHULUAN. urea dan sampah nitrogen lain dalam darah) (Brunner dan Suddarth, 2002)

BAB 1 PENDAHULUAN. gagal untuk mempertahankan metabolism dan keseimbangan cairan dan elektrolit,

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

2025 (Sandra, 2012). Indonesian Renal Registry (IRR) tahun 2012

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan tubuh secara menyeluruh karena ginjal adalah salah satu organ vital

BAB I PENDAHULUAN. bervariasi dari 2-3 bulan hingga tahun (Price dan Wilson, 2006).

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Gagal ginjal kronik (Chronic Kidney Disease) merupakan salah satu penyakit

PERBEDAAN PENYEBAB GAGAL GINJAL ANTARA USIA TUA DAN MUDA PADA PENDERITA PENYAKIT GINJAL KRONIK STADIUM V YANG MENJALANI HEMODIALISIS DI RSUD

BAB 1 PENDAHULUAN. Ginjal kiri letaknya lebih tinggi dari ginjal kanan, berwarna merah keunguan.

BAB I PENDAHULUAN. hidup. Pada manusia, fungsi ini sebagian besar dijalankan oleh ginjal (Brenner,

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Undang Undang Kesehatan N0.36 Tahun 2009 menjelaskan

HUBUNGAN TINGKAT ASUPAN PROTEIN DENGAN KADAR UREUM DAN KREATININ DARAH PADA PENDERITA GAGAL GINJAL KRONIK DI RSUD Dr. MOEWARDI SURAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. yang progresif dan lambat yang biasanya berlangsung beberapa tahun.

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Gagal ginjal kronik (GGK) adalah suatu sindrom klinis yang

NOVIANI SABTINING KUSUMA PUTRI J

transplantasi adalah pasien dan hanya ada 920 pasien yang menerima transplantasi (NHSBT, 2014). Hemodialisis merupakan metode perawatan umum

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Perubahan gaya hidup menyebabkan terjadi pergeseran penyakit di

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 4 HASIL. 2,3 (0,3-17,5) Jenis Kelamin Pria 62 57,4 Wanita 46 42,6

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. aktivitas sehari-hari. Menurut WHO (World Health Organization) sehat adalah

BAB 1 PENDAHULUAN. secara progresif dan ireversibel, saat ini angka kejadian gagal ginjal kronik

BAB I PENDAHULUAN. angka ini meningkat menjadi 219 pasien dan tahun 2013 menjadi 418 pasien. Bila

HUBUNGAN TINGKAT STRES DENGAN KUALITAS TIDUR PADA PASIEN GAGAL GINJAL KRONIK YANG MENJALANI TERAPI HEMODIALISA DI RS UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR

Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. aktivitas sehari-hari. Sehat menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Tahun

BAB 1 PENDAHULUAN. dengan adanya peningkatan tekanan darah sistemik sistolik diatas atau sama dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Transkripsi:

1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penyakit gagal ginjal kronis adalah gangguan fungsi ginjal yang progresif dan irreversible, dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme serta keseimbangan cairan dan elektrolit sehingga menyebabkan uremia (Smeltzer & Bare, 2010). Gagal ginjal kronis merupakan kerusakan ginjal yang menyebabkan ginjal tidak dapat membuang racun dan produk sisa dari darah, ditandai adanya protein dalam urin serta penurunan laju filtrasi glomerulus, berlangsung lebih dari 3 bulan (Black & Hawks, 2009). Penderita penyakit gagal ginjal kronik di dunia semakin meningkat, menurut laporan The United States Renal Data System (USRDS, 2012) di Amerika Serikat pada tahun 2011 sebanyak 1.901 per 1 juta penduduk penderita gagal ginjal kronik, sementara Treatment of End Stage Organ Failure in Canada, tahun 2000 sampai 2009 menyebutkan hampir 38.000 warga Kanada hidup dengan gagal ginjal kronis dan telah meningkat hampir tiga kali lipat dari tahun 1990 (Corrigan, 2011). Data dari Indonesian Renal Registry tahun 2012 Indonesia termasuk negara dengan tingkat penderita gagal ginjal yang cukup tinggi, dilaporkan jumlah pasien baru tahun 2007 sampai 2012 mencapai 19.621 orang dan pasien aktif 9.161 orang. Berdasarkan data yang diperoleh dari RSUP HAM Medan pada bulan Februari 2015 penderita gagal ginjal kronis yang rutin menjalani hemodialisa sebanyak 170 pasien, data RSUD DR. Pirngadi Medan 1

2 pada bulan Januari 2015 tercatat sebanyak 156 pasien, bulan Februari 2015 sebanyak 157 pasien, bulan Mei 2015 sebanyak 153 pasien dan bulan Maret 2016 tercatat 136 pasien yang rutin menjalani hemodialisa, sedangkan di Klinik Spesialis Ginjal dan Hipertensi Rasyida Medan bulan Februari 2015 sebanyak 135 orang. Hemodialisa merupakan suatu cara yang dilakukan untuk mengeluarkan produk sisa metabolisme berupa zat terlarut (solut) dan air yang berada dalam darah melalui membran semi permiabel atau yang disebut dyalizer (Black & Hawk, 2009). Terapi ini merupakan prosedur penyelamat jiwa yang mahal, tidak asing dan suatu teknologi tinggi untuk mengeluarkan zat sisa metabolisme dan zat toksin dari dalam tubuh melalui proses difusi, osmosis dan ultrafiltrat. Di Indonesia hemodialisa dilakukan dua sampai tiga kali seminggu dengan setiap hemodialisis dilakukan selama 4 jam (Aru W.Sudoyo, Bambang Setiyohadi, Idrus Alwi, Marcellus Simadibrata K dan Siti Setiati, 2006). Konsensus Dialisis Pernefri (2003) menyatakan bahwa di Indonesia adekuasi hemodialisa dapat dicapai dengan jumlah dosis 10-15 jam perminggu. Bagi penderita gagal ginjal kronik, hemodialisa merupakan salah satu terapi pengganti ginjal yang dapat mencegah kematian tetapi tidak menyembuhkan atau memulihkan penyakitnya. Pasien akan tetap menghadapi permasalahan dan komplikasi terkait pengobatan. Tujuan utama tindakan hemodialisa adalah untuk mengembalikan keseimbangan cairan tubuh yang merupakan fungsi ginjal normal (Smeltzer & Bare, 2010). Banyak dari pasien hemodialisa dalam menjalani program rejimen pengobatan yang komplek,

3 mengalami kesulitan untuk mengelola cairan dan pembatasan diet yang mengakibatkan tingginya resiko kematian serta peningkatan biaya pelayanan kesehatan (Cristovao, 2015). Menurut Tovazzi & Mazzoni, (2012), Pasien yang mengalami kesulitan dalam mengelola cairan tidak mendapatkan pemahaman tentang bagaimana strategi yang dapat membantu mereka dalam pembatasan cairan. Sesuai dengan penelitian Kugler et., al (2005), sebanyak 81,4% pasien mengalami kesulitan mengikuti diet dan sebanyak 74,6% pasien mengalami kesulitan dalam pembatasan cairan. Sejalan dengan penelitian John (2012), pasien hemodialisa sering gagal mengikuti diet dan mengelola cairan sehingga mengurangi efektivitas perawatan dan menyebabkan perkembangan penyakit tidak terduga dan kemungkinan besar terjadi komplikasi. Asupan cairan harian pasien yang menjalani hemodialisa dibatasi hanya sebanyak insensible water losses ditambah jumlah urin (Smeltzer & Bare, 2010). Apabila pasien hemodialisa tidak melakukan pembatasan asupan cairan maka cairan akan menumpuk di dalam tubuh dan akan menimbulkan edema disekitar tubuh seperti tangan, kaki dan muka. Masalah kelebihan cairan yang dialami pasien hemodialisa tidak hanya diperoleh dari asupan cairan yang berlebihan akan tetapi juga dapat berasal dari makanan yang mengandung kadar air tinggi, oleh karena itu keseluruhan diet pasien yang menjalani hemodialisa harus dikontrol (Welch, Perkins, Johnson, & Kraus, 2006). Penambahan berat badan interdialisis merupakan peningkatan volume cairan yang dimanifestasikan dengan peningkatan berat badan sebagai dasar untuk mengetahui jumlah cairan yang masuk selama periode interdialisis (Arnold,

4 2008). Sejalan dengan hasil penelitian Istanti (2009), menyatakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara masukan cairan dan penambahan berat badan dimana semakin banyak masukan cairan maka semakin meningkat berat badan antara dua waktu dialisis dan faktor yang paling berkontribusi pada terjadinya penambahan berat badan interdialisis adalah masukan cairan. sedangkan Hasil penelitian Lopez (2005) menyatakan bahwa besarnya kenaikan berat badan interdialisis berhubungan dengan indeks massa tubuh (IMT), level serum albumin, status nutrisi, tekanan darah sebelum dialisis, kadar ureum dan kreatinin. Hasil penelitian Riyanto (2011) didapatkan data bahwa semakin tinggi penambahan berat badan pada pasien hemodialisa maka semakin rendah kualitas hidupnya. Hasil penelitian Mailani, Setiawan & Siregar (2014) di RSUD DR. Pirngadi dan RSUP HAM Medan menyatakan dari 194 pasien ditemukan 88 responden mengalami penambahan berat badan interdialisis kategori berat (>3,9 %), 46 responden kategori sedang (3-3,9%), 60 responden kategori ringan (<3%). Penambahan berat badan interdialisis di dapat rata-rata 2,13 Kg dengan penambahan berat badan minimal 0,36 Kg dan maksimal 4,29 Kg. Selain itu gambaran umum nilai kualitas hidup pasien hemodialisa dalam penelitian Mailani juga mengalami penurunan terutama pada domain keterbatasan akibat masalah fisik, keterbatasan akibat masalah emosi, beban akibat penyakit ginjal, fungsi fisik, efek penyakit ginjal, persepsi kesehatan secara umum, tidur, status pekerjaan, dan fungsi seksual. Kamyar & Kalantar (2009) menemukan bahwa pasien yang memiliki berat badan interdialisis 4,0 kg atau lebih akan mengalami peningkatan risiko kematian karena kardiovaskuler sebesar 25%.

5 Manajemen cairan pada pasien gagal ginjal kronik dengan hemodialisa merupakan hal yang sangat penting untuk diperhatikan, karena asupan cairan yang berlebihan dapat mengakibatkan peningkatan tekanan darah, edema terutama pada ekstremitas bawah, sesak nafas, tachikardi, gagal jantung kongestif, hipertrofi ventrikel kanan dan mendadak hipotensi saat dialisis (Smeltzer & Bare, 2010). Hasil studi pendahuluan di RSUD DR. Pirngadi Medan yang dilakukan Handayani (2011), terdapat sekitar 15% pasien dengan jadwal hemodialisa lebih cepat dari jadwal yang seharusnya, 20% datang dengan keadaan sesak, 30% yang mengalami kekurangan gizi, 40% mengalami komplikasi penumpukan cairan yang berlebihan, 50% mengalami peningkatan berat badan dari yang seharusnya. Sedangkan hasil penelitian Situmorang (2010) di RSUD DR. Pirngadi Medan didapatkan data pola, jenis, jumlah dan frekuensi makan pasien yang menjalani hemodialisa kurang baik sehingga asupan energi, kalium, natrium dan proteinnya secara umum berada pada kategori kurang baik. Asupan cairan juga pada umumnya berada pada kategori lebih. Tindakan hemodialisa dilakukan untuk mengeluarkan zat-zat toksin dan kelebihan cairan, namun dalam proses hemodialisa juga membuang zat-zat gizi yang masih diperlukan tubuh, diantaranya protein, glukosa dan vitamin larut air. Kehilangan zat-zat gizi ini apabila tidak ditanggulangi dengan benar dapat menyebabkan gangguan status nutrisi seperti malnutrisi. Malnutrisi adalah faktor utama terjadinya morbiditas dan mortalitas pada pasien hemodialisis selain kelebihan cairan. Penelitian di Kairo tahun 2005 melaporkan bahwa 20-60% pasien hemodialisis mengalami malnutrisi (Azar et al., 2007). Penelitian lain yang

6 dilakukan pada pasien di rumah sakit Riyadh Al Kharj tahun 2004 menunjukan hasil bahwa 45% pasien yang memiliki BMI<23,6 menunjukan adanya resiko mortalitas yang tinggi (Al Makarem, 2004). Data dari konsensus Eropa juga menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang erat antara malnutrisi dengan adanya kormobiditas dan inflamasi pada pasien dialisis (Locatelli et al., 2002). Malnutrisi energi protein adalah komplikasi malnutrisi tersering pada pasien hemodialisis (Galland et al., 2001). Menurut Aness, (2011) pasien hemodialisa selain mengalami gangguan fisik juga mengalami perubahan konsep diri, psikososial, keuangan dan mengalami perubahan peran dalam keluarga. Stres psikologis dan fisiologis utama yang dialami oleh pasien dialisis adalah nyeri, pembatasan cairan dan nutrisi, gatal, ketidaknyamanan, keterbatasan dalam aktivitas fisik, kelelahan, kelemahan, biaya perawatan, perasaan tidak mampu dan suasana hati yang negatif (Welch & Austin, 2001). Kim (2010), berpendapat seseorang yang menjalani hemodialisa harus merubah seluruh aspek kehidupannya, mulai dari pasien harus datang ke unit hemodialisa secara rutin, konsisten terhadap obat-obatan yang dikonsumsi, memodifikasi nutrisi secara besar-besaran, sampai mengatur asupan cairan harian serta mengukur keseimbangan cairan setiap hari. Perubahan yang dialami pasien hemodialisa terlihat pada hasil penelitian Farida (2010) berupa kelemahan fisik, penurunan nafsu makan, mual, muntah, anuria, sesak napas karena kelebihan cairan dan mengalami edema serta kram pada kedua kaki akibat garam yang berlebihan. Hasil penelitian Kring & Crane (2009), menyatakan lebih dari 90% pasien hemodialisa mengalami kelelahan.

7 Sesuai dengan penelitian Sullivan (2009), juga menyatakan dampak hemodialisa terhadap fisik membuat pasien lemah dan lelah terutama setelah hemodialisa. Hal ini didukung penelitian Rittman et al.,(1993 dalam John, 2012), beberapa pasien setelah menjalani hemodialisa cenderung akan beristirahat sepanjang hari dikarenakan energi mereka terkuras setelah menjalani proses hemodialisa. Bahkan hasil penelitian Christos (2012) melaporkan hampir semua partisipan yang mengatakan berhenti bekerja karena merasa terlalu lelah dan lemah sehingga tidak mampu untuk bekerja dengan baik yang akhirnya berdampak terhadap biaya kehidupan sehari-hari. Pasien hemodialisa dalam mempertahankan kesehatannya harus mampu beradaptasi karena perubahan yang terjadi dan dalam penelitiannya, adaptasi yang dilakukan oleh partisipan adalah membatasi aktivitas dan membatasi asupan cairan (Small, 2010). Sesuai dengan penelitian Arova (2013), didapatkan data, partisipan membatasi intake minumannya kurang lebih 500-600 ml dalam sehari yaitu minum melalui gelas kecil yang sama dengan menggunakan sedotan kecil dan ada yang menggunakan botol yang berukuran 600 ml sehari atau 300 ml sehingga 2 botol dalam sehari. Selain itu Muhammad (2012), dalam penelitiannya menyatakan pasien gagal ginjal juga harus selalu menjaga pola makan dimana mereka tidak bisa mengonsumsi buah dan sayuran sesuka hatinya layaknya orang sehat karena beberapa jenis sayur-sayuran dan buah-buahan berpotensi memperburuk kondisi mereka. Kondisi diatas memberikan dampak dan mempengaruhi serta menurunkan kualitas hidup pasien hemodialisa sehingga menyebabkan perubahan pada

8 kemampuan untuk melaksanakan fungsi kehidupannya sehari-hari dan membutuhkan peningkatan kompleksitas penanganan pasien (Young, 2009). Hal ini sejalan dengan penelitian Cleary & Drennan (2005) terhadap 97 pasien gagal ginjal kronis yang menjalani hemodialisa menunjukkan adanya penurunan kualitas hidup diantaranya : keterbatasan vitalitas, fungsi fisik dan peran fisik. Hasil penelitian Kusman (2005), tingkat kualitas hidup 91 pasien hemodialisa didapatkan hasil 57,2 % pasien mempersepsikan hidupnya pada tingkat rendah dan 66,1 % tidak puas dengan status kesehatannya. Pembatasan asupan cairan serta makanan pada pasien hemodialisa sering menghilangkan semangat hidup pasien serta keluarganya sehingga dapat mempengaruhi pada kehidupan sosial, fisik, psikologis, ekonomi, lingkungan dan spiritual pasien. Individu dengan hemodialisa jangka panjang sering merasa khawatir akan kondisi sakitnya yang tidak dapat diramalkan dan gangguan dalam kehidupannya (Smeltzer et. al., 2010). Pasien hemodialisa memerlukan perawatan secara terus menerus. Perawatan sehari-hari adalah tanggung jawab klien. Pasien dialisa mempunyai kemampuan alami dalam perawatan diri (self care) sehari-hari, dan perawat harus fokus pada kemampuan tersebut (Orem, 1995 dalam Simmons, 2009). Perawat dalam memberikan perawatan pada pasien, membuat nursing system yang effisien dan efektif dalam menentukkan cara-cara yang benar dalam membantu self care pasien (Simmons, 2009) dalam memantau cairan dan nutrisi. Saat ini kemampuan self care pasien telah menjadi perhatian dunia seiring dengan peningkatan kejadian penyakit kronis di dunia. Kondisi dari peningkatan biaya pengobatan serta jumlah tenaga edukator yang tidak cukup juga turut andil

9 menjadi alasan self care penting ditingkatkan sebagai upaya meningkatkan kualitas hidup pasien dengan penyakit kronis, keluarga dan komunitas (Taylor & Renpenning, 2011). Asuhan keperawatan tidak hanya berfokus pada penurunan morbiditas dan mortalitas pasien hemodialisa tetapi melihat pasien secara menyeluruh diharapkan dapat membantu dalam mempertahankan atau meningkatkan kualitas hidupnya. Perawat membantu pasien dalam melakukan self care yang dibutuhkan sesuai dengan penyakit kronis yang dialaminya agar dapat beradaptasi dengan perubahan yang terjadi untuk meningkatkan kualitas hidup pasien tersebut. Menurut Welch& Austin (1999) dalam Reid (2011), pasien hemodialisa mengalami kesulitan dalam pengelolaan kontrol pembatasan asupan cairan dan nutrisi. Uraian tersebut menunjukkan pentingnya manajemen cairan dan nutrisi pada pasien gagal ginjal kronis yang menjalani hemodialisa untuk meningkatkan kualitas hidup pasien sendiri. Berdasarkan uraian diatas peneliti tertarik untuk melihat bagaimana hubungan manajemen cairan dan status nutrisi dengan kualitas hidup pasien hemodialisa di RSUD DR. Pirngadi Medan. 1.2. Permasalahan Terapi hemodialisa menjadi pilihan utama untuk bertahan hidup bagi pasien gagal ginjal kronis. Tujuan dilakukan terapi hemodialisa salah satunya adalah untuk membantu memperbaiki komposisi cairan tubuh sehingga mencapai keseimbangan. Seseorang yang menjalani hemodialisa harus merubah seluruh aspek kehidupannya, mulai dari pasien harus datang ke unit hemodialisa secara

10 rutin, konsisten terhadap obat-obatan yang harus dikonsumsinya, memodifikasi nutrisinya secara besar-besaran, sampai mengatur asupan cairan harian dan nutrisi setiap hari. Pasien hemodialisa dalam mempertahankan kesehatannya harus mampu beradaptasi karena perubahan yang terjadi. Dalam beradaptasi perlu adanya usaha dari diri pasien untuk merawat dirinya sendiri (Self care) terutama dalam melakukan pengendalian/pengaturan cairan dan nutrisi karena terapi tanpa usaha dari diri pasien sendiri komplikasi dapat terjadi dan menimbulkan ketidaknyamanan, meningkatkan stress dan mempengaruhi kualitas hidup pasien. Self care pasien dalam melakukan pengendalian/pengaturan cairan dan nutrisi perlu dioptimalkan, ditingkatkan dan diperhatikan perawat karena dapat memberi kontribusi untuk meningkatkan kualitas hidup pasien hemodialisa. Berdasarkan uraian diatas maka dapat dirumuskan masalah penelitian dalam bentuk pertanyaan Bagaimana hubungan manajemen cairan dan status nutrisi dengan kualitas hidup pasien hemodialisa di RSUD DR. Pirngadi Medan? 1.3. Tujuan Penelitian Adapun tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan manajemen cairan dan status nutrisi dengan kualitas hidup pasien hemodialisa di RSUD DR. Pirngadi Medan. Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah : a) Mengidentifikasi karakteristik pasien yang menjalani terapi hemodialisa di RSUD DR. Pirngadi Medan.

11 b) Mengidentifikasi manajemen cairan pasien hemodialisa di RSUD DR. Pirngadi Medan. c) Mengidentifikasi status nutrisi pasien hemodialisa di RSUD DR. Pirngadi Medan. d) Mengidentifikasi kualitas hidup pasien hemodialisa di RSUD DR. Pirngadi Medan. e) Mengidentifikasi hubungan manajemen cairan dengan kualitas hidup pasien hemodialisa di RSUD DR. Pirngadi Medan. f) Mengidentifikasi hubungan status nutrisi dengan kualitas hidup pasien hemodialisa di RSUD DR. Pirngadi Medan. g) Mengidentifikasi hubungan lama menjalani hemodialisa dengan kualitas hidup pasien hemodialisa di RSUD DR. Pirngadi Medan. 1.4. Hipotesis 1.4.1. Mayor : Ada hubungan manajemen cairan dan status nutrisi dengan kualitas hidup pasien hemodialisa di RSUD DR. Pirngadi Medan. 1.4.2. Minor : Ada hubungan manajemen cairan dengan kualitas hidup pasien hemodialisa di RSUD DR. Pirngadi Medan. Ada hubungan status nutrisi dengan kualitas hidup pasien hemodialisa di RSUD DR. Pirngadi Medan.

12 1.5. Manfaat Penelitian 1.5.1 Bagi pelayanan kesehatan Sebagai bahan masukan, acuan dan dan pertimbangan terhadap keluhan dan masalah yang dilaporkan pasien terkait penyakitnya sehingga tenaga kesehatan dapat meningkatkan mutu pelayanan dan menyiapkan strategi untuk meningkatkan kemampuan pasien hemodialisa dalam melakukan manajemen cairan dan nutrisi agar dapat meningkatkan atau memperbaiki kualitas hidupnya. 1.5.2 Bagi masyarakat Pengelolaan cairan dan nutrisi bukan hanya dilakukan pasien namun dibutuhkan adanya dukungan serta peran dari keluarga dan masyarakat sehingga diharapkan dengan penelitian ini keluarga dan masyarakat memahami pentingnya manajemen cairan dan nutrisi bagi pasien dan dapat memberikan dukungan penuh dalam upaya meningkatkan atau mendorong pelaksanaannya. 1.5.3 Bagi tenaga perawat Sebagai bahan informasi dan rujukan bagi seluruh tenaga perawat dalam meningkatkan pengetahuannya mengenai strategi tertentu dalam melakukan manajemen cairan dan status nutrisi yang dilakukan pasien hemodialisa di Rumah Sakit dan dapat mengajarkan strategi tersebut pada pasien-pasien hemodialisa yang lain sehingga pasien tidak merasa tersiksa dengan pembatasan cairan dan nutrisi yang dialaminya saat ini dan diharapkan dapat meningkatkan kualitas hidup pasien itu sendiri.

13 1.5.4 Bagi peneliti Menambah pengetahuan dalam melakukan penelitian, menjadi acuan bagi penelitian selanjutnya secara lebih spesifik pada manajemen cairan dan status nutrisi pasien hemodialisa di Rumah Sakit dan menambah wawasan tentang strategi pasien dalam melakukan manajemen cairan dan nutrisi pada pasien hemodialisa di Rumah Sakit.