BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Kekurangan zat besi merupakan salah satu masalah gizi utama dan jika terjadi pada anak-anak akan menjadi persoalan serius bangsa. Kekurangan zat besi mempunyai pengaruh yang amat besar terhadap tingkat kemampuan dan kecerdasan belajar, bila tidak segera diatasi akan terjadi kehilangan sumber daya manusia baru yang berkualitas. Keberhasilan pembangunan suatu negara sangat tergantung kepada keberhasilan bangsa dalam menyiapkan sumber daya manusia yang merupakan salah satu kebutuhan untuk menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas sesuai dengan tujuan pembangunan kesehatan nasional. Pembangunan kesehatan manusia tidak hanya kesehatan mental maupun fisik tetapi juga kesehatan untuk mencapai kecerdasan khususnya anak sekolah (Soeida, 2008). Wajib belajar pendidikan 9 tahun merupakan program penting pemerintah yang bertujuan untuk mencapai cita cita pembangunan nasional yang sejalan dengan Garis Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Namun ternyata masih ada beberapa hal yang menghambat keberhasilan tersebut antara lain adalah masalah kurang gizi yang dijumpai pada kelompok anak usia sekolah terutama pada keluarga miskin di daerah pedesaan (Depkes RI, 1996). Pembinaan anak dan remaja merupakan bagian dari upaya meningkatkan sumber daya manusia berkualitas. Salah satu masalah yang dihadapi kelompok anak
usia sekolah dasar adalah rendahnya tingkat kesehatan dan status gizi terutama pada anak anak yang berasal dari keluarga miskin. Untuk peningkatkan kecukupan gizi anak Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) pemerintah melakukan program melalui Pembinaan Makanan Tambahan untuk Anak Sekolah (PMT-AS) guna mengatrol tingkat kecerdasan dan adanya jalinan kerja sama dengan departemen kesehatan dalam rangka pemberian suplemen zat besi berupa tablet FeSO4 500 mg (Ferro Sulfat) kepada kelompok sasaran anak-anak sekolah dasar (Soeida, 2008). Tingkat kesehatan dan status gizi merupakan salah satu faktor yang sangat mempengaruhi kemampuan belajar anak dalam masa pendidikan. Anak yang kurang sehat dan kurang gizi sulit memperoleh prestasi belajar yang memadai, disebabkan anak mengalami letih, lesu, dan berkurangnya pusat konsentrasi belajar sehingga sering tidak hadir mengikuti pelajaran di sekolah dan daya serap terhadap materi pengajaran sangat rendah. Selain peningkatan metode belajar mengajar di sekolah, peningkatan kesehatan untuk keberhasilan proses belajar mengajar perlu di upayakan. Salah satu aspek pembangunan yang penting adalah pembangunan sumber daya manusia. Meskipun sudah banyak kemajuan yang dicapai, namun masih ditemukan berbagai masalah termasuk masalah gizi pada anak sekolah. Hal ini dikarenakan anak sekolah adalah salah satu kelompok rawan gizi. Terutama rawan gizi terhadap kekurangan zat besi yang mengakibatkan anemi. Anemi muncul akibat penurunan jumlah dan mutu sel darah merah yang antara lain berfungsi sebagai sarana transportasi zat gizi serta oksigen untuk proses fisiologi dan biokimia jaringan
tubuh. Anemi menimbulkan dampak fisiologis dan psikologis terutama berupa sulit berkonsentrasi dalam belajar sehingga tidak mampu berprestasi dalam belajar (RAN, 2006). Menurut Kodiyat (1995) dalam RAN (2006), di Indonesia anemi gizi masih menjadi masalah utama. Data hasil penelitian menunjukan prevalensi anemi gizi besi masih tinggi yaitu pada ibu hamil prevalensinya mencapai 63,5%, balita 55,5%, anak usia sekolah 20% - 40%, wanita dewasa 30% - 40%, pekerja berpenghasilan rendah 30% - 40%, dan pria dewasa 20% - 30%. Penelitian lain oleh Pusponegoro menyebutkan anemi ditemukan pada balita 40,5%, anak usia sekolah 47,2%, remaja puteri 57,1% dan ibu hamil 50,9%. Sementara Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) pernah meneliti pada 1000 anak sekolah dasar di 11 propinsi dan hasilnya menunjukan 20%-25% terkena anemi. Dari hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001menyebutkan prevalensi anemia pada anak 0-5 tahun 47% anak usia sekolah dan remaja 26,5% dan wanita usia subur 40% (RAN, 2006). Hal di atas sejalan dengan hasil survei dasar anak anak Sekolah Dasar (SD) di Sumatera yang dilakukan oleh Mercy Cops tahun 2005. Survei yang dilakukan meliputi empat propinsi yaitu Sumatera Barat, Riau, Bengkulu dan Lampung ditemukan bahwa prevalensi angka kecacingan dikalangan anak SD di Sumatera sebesar 36% dan menderita anemia sebesar 43,31%. Hasil studi yang lebih kecil lingkupnya seperti yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Sawahlunto Sijunjung tahun 2006, ditemukan anak SD 15,3% mengalami kekurangan gizi, kekurangan zat besi 73,5% dan kekurangan konsumsi karbohidrat sebesar 77,2% (Herry, 2008).
Menurut Supariasa (2002), salah satu penyebab kurangnya asupan zat besi adalah karena pola konsumsi makanan masyarakat Indonesia yang masih didominasi sayuran sebagai sumber zat besi (non heme iron). Sedangkan daging dan protein hewani lainnya (ayam dan ikan) yang diketahui sebagai sumber zat besi yang baik (heme iron), jarang dikonsumsi terutama oleh masyarakat dipedesaan sehingga hal ini menyebabkan rendahnya penggunaan dan penyerapan zat besi. Selain itu, menurut Nasution (2004) penyebab defisiensi zat besi dipengaruhi oleh kebutuhan tubuh yang meningkat akibat mengindap penyakit kronis, kehilangan darah karena menstruasi dan infeksi parasit (kecacingan). Di Indonesia penyakit kecacingan masih merupakan masalah besar untuk kasus anemi defisiensi besi, karena diperkirakan cacing menghisap darah 2-100 cc setiap harinya (Isniati, 2007). Menurut Husaini pemberian zat besi selama empat bulan pada balita anemia dapat meningkatkan kadar Hb secara bermakna. Pemberian Suplemen zat besi berbentuk pil selama 2 kali per minggu dengan dosis 60 mg dapat memberikan dampak yang sama terhadap kenaikan kadar Hb dengan suplementasi zat besi berbentuk pil setiap hari dengan dosis 30 mg (Muljanti dkk, 2000). Pemberian suplemen besi (ferro sulfat dengan kandungan besi elemental 60 mg) per minggu selama 4,5 bulan dapat menurunkan persentasi anemia gizi dari 60% menjadi 35,9%. Pemberian suplemen zat besi satu kali per minggu selam 4,5 bulan dapat meningkatkan status Hb status secara bermakna (Saidin dkk, 1999). Pemerintah melalui Departemen kesehatan sejak Repelita enam telah merekomendasikan untuk menurunkan prevalensi anemia gizi pada anak usia sekolah
melalui suplementasi zat besi. Pemberian dilakukan dalam dua cara yaitu pertama tahap pencegahan, diberikan tanpa pemeriksaan kadar Hb dengan dosis 30 mg kadar besi dan 0,125 asam folat dua kali seminggu. Tahap kedua dengan pemeriksaan kadar Hb terlebih dahulu, dimana anak usia 6-12 tahun dengan kadar Hb < 12 mg/dl diberikan 2 x 30 mg tablet besi seminggu 2x selama tiga bulan (Depkes RI, 1995). Hasil lokakarya defisiensi zat besi di Indonesia tangga 1-2 April 1997 telah merekomendasikan bahwa Suplementasi zat besi pada anak sekolah dasar adalah 60 mg setiap minggu melalui program pemberian makanan tambahan anak sekolah (Helen Keller Internasional, 1997). Menurut RAN (1989) dalam Nasution tahun 2004, kebutuhan sehari-hari zat besi yang dianjurkan untuk usia 6 bulan sampai 3 tahun adalah 10 mg/hari yang merupakan suatu kadar yang telah dipertimbangkan dapat memenuhi kebutuhan anak pada usia tersebut. Sementara Widya Karya Pangan dan Gizi (1989) dalam Almatsier tahun 2004, menetapkan angka kecukupan zat besi bagi anak sekolah adalah 10 mg/hari. Namun, menurut RAN-Pangan dan Gizi (2006), bahwa kebutuhan ratarata zat besi pada anak sekolah adalah 5 mg/hari dan jika terjadi infeksi jumlah dosis akan bertambah menjadi 10 mg/hari. Anak yang kekurangan zat besi menunjukan skor motorik dan IQ lebih rendah pada usia 11-14 tahun. Kekurangan zat besi pada anak usia sekolah juga menyebabkan sulit konsentrasi dan gangguan kecerdasan terutama untuk pelajaran matematika. selain hal diatas, kekurangan zat besi juga menyebabkan penurunan nilai tes psikologi, tes konsentrasi, mengurangi kemampuan belajar konsep dan menurunkan daya ingat (Anynomous, 2007).
Berdasarkan survei awal yang dilakukan peneliti di Kecamatan Peukan Baro dan didukung oleh data dari petugas UKS didapatkan, dari 136 siswa SDN I Dayah Bubue terdapat gejala anemia sebanyak 32 siswa dan dari 392 siswa Madrasah Ibtidaiyah terdapat siswa dengan gejala anemia sebanyak 83 siswa. Dari statistik yang ada di kantor Kecamatan Peukan Baro rata-rata penduduk/orang tua siswa tersebut mata pencarian petani dan dapat dikategorikan berpenghasilan menengah kebawah. Pemberian suplementasi Fe dengan dosis 10 mg pada anak sekolah dasar, didasari oleh; 1) merupakan dosis kebutuhan anak sekolah, 2) dosis yang aman, oleh karena dengan pemberian 10 mg kemungkinan akibat kelebihan pemberian Fe yang mempunyai efek samping mual, dan sebagainya dapat dihindari, 3) anak dengan gejala anemia yang dimungkinkan adanya penyakit infeksi seperti kecacingan, 4) dalam usia pertumbuhan, memerlukan asupan Fe yang besar dan 5) adanya pola konsumsi makanan yang tidak cukup gizi. 1.2 Permasalahan Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, maka dirumuskan masalah sebagai berikut : 1. Apakah suplementasi Fe dengan dosis 10 mg perhari selama tiga bulan berpengaruh terhadap kadar hemoglobin anak sekolah dasar. 2. Apakah suplementasi Fe berpengaruh terhadap prestasi belajar anak sekolah dasar.
1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh suplementasi Fe dengan dosis 10 mg perhari selama tiga bulan terhadap peningkatan kadar hemoglobin dan prestasi belajar anak Sekolah Dasar di Kecamatan Peukan Baro Kabupaten Pidie. 1.4 Hipotesis Ada pengaruh suplementasi Fe terhadap peningkatan kadar hemoglobin dan prestasi belajar anak sekolah dasar di Kecamatan Peukan Baro, Kabupaten Pidie, Nanggroe Aceh Darussalam. 1.5 Manfaat Penelitian 1. Bagi Pengembangan ilmu Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang manfaat suplementasi Fe terhadap pestasi belajar anak sekolah dasar. 2. Bagi Dinas Kesehatan Diharapkan menjadi masukan bagi pengelola gizi dalam merencanakan program penanggulangan anemia bagi anak sekolah dasar di Kabupaten Pidie. 3. Bagi Masyarakat Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan wawasan bagi masyarakat dalam upaya mengetahui akibat dari anak yang anemia gizi.