BAB I PENDAHULUAN. penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi. pidana atau tidak yang dilakukan terdakwa.



dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. kepada pemeriksaan keterangan saksi sekurang-kurangnya disamping. pembuktian dengan alat bukti keterangan saksi.

BAB I PENDAHULUAN F. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil,

EKSISTENSI SAKSI MAHKOTA KAITANNYA DENGAN SPLITSING DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA

EKSISTENSI SAKSI MAHKOTA SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PERKARA PIDANA

BAB I PENDAHULUAN. adanya jaminan kesederajatan bagi setiap orang di hadapan hukum (equality

BAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3)

dikualifikasikan sebagai tindak pidana formil.

BAB I PENDAHULUAN. Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

BAB I PENDAHULUAN. Dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, telah ditegaskan bahwa

Lex Privatum, Vol. IV/No. 2/Feb/2016

BAB I PENDAHULUAN. (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan

BAB I PENDAHULUAN. proses acara pidana di tingkat pengadilan negeri yang berakhir dengan pembacaan

BAB I LATAR BELAKANG. yang diajukan oleh warga masyarakat. Penyelesaian perkara melalui

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. hukum, tidak ada suatu tindak pidana tanpa sifat melanggar hukum. 1

dengan aparatnya demi tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan harkat dan martabat manusia. Sejak berlakunya Undang-undang nomor 8 tahun 1981

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan yang pengaruhnya sangat luas. Perubahan-perubahan yang

JURNAL ILMIAH KEDUDUKAN HUKUM KESAKSIAN ANAK DI BAWAH UMUR DALAM TINDAK PIDANA KDRT. Program Studi Ilmu Hukum

Kekuatan Keterangan Saksi Anak Dibawah Umur dalam Pembuktian Perkara Pidana

BAB I PENDAHULUAN. lazim disebut norma. Norma adalah istilah yang sering digunakan untuk

KEDUDUKAN KETERANGAN AHLI SEBAGAI ALAT BUKTI MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA 1 Oleh : Hadi Alamri 2

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pertanggungjawaban pidana ( criminal liability) atau ( straafbaarheid),

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU-KUHAP) Bagian Keempat Pembuktian dan Putusan

Lex Crimen Vol. VII/No. 1 /Jan-Mar/2018. H. Rusli Muhammad, Hukum Acara Pidana Kontemporer, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007, hlm. 185.

PERANAN SAKSI YANG MENGUNTUNGKAN TERDAKWA DALAM PROSES PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA (STUDI PN PALU NOMOR 10/PID.SUS-TIPIKOR/2013/PN.

BAB I PENDAHULUAN. dapat lagi diserahkan kepada peraturan kekuatan-kekuatan bebas dalam

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH

BAB I PENDAHULUAN. yang bertujuan mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. landasan konstitusional bahwa Indonesia adalah negara yang berdasarkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam konstitusi Indonesia, yaitu Pasal 28 D Ayat (1)

Presiden, DPR, dan BPK.

PERAN SAKSI MAHKOTA DALAM PERKARA PIDANA KORUPSI DI PENGADILAN NEGERI MAKASSAR

BAB I PENDAHULUAN. pidana adalah kebenaran materil, yang menjadi tujuan dari hukum acara pidana itu

Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan

BAB I PENDAHULUAN. Pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan penting. dalam proses pemeriksaan sidang pengadilan, melalui proses pembuktian

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah.

BAB I PENDAHULUAN. yang telah tercakup dalam undang-undang maupun yang belum tercantum dalam

NILAI KEADILAN DALAM PENGHENTIAN PENYIDIKAN Oleh Wayan Rideng 1

I. PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat), tidak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam Penjelasan Undang Undang Dasar 1945, telah dijelaskan

I. PENDAHULUAN. jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian keuangan negara maupun dari segi

I. PENDAHULUAN. Hakim memiliki peranan penting dalam suatu proses persidangan yaitu. mengambil suatu keputusan hukum dalam suatu perkara dengan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. semua warga negara bersama kedudukannya di dalam hukum dan. peradilan pidana di Indonesia. Sebelum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981

BAB I PENDAHULUAN. dipersidangan, dan hakim sebagai aparatur penegak hukum hanya akan

Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis)

BAB I PENDAHULUAN. acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya

BAB I PENDAHULUAN. dalam hal dan menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang untuk

peradilan dengan tugas pokok untuk menerima, memeriksa, mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Dalam hal ini, untuk

ALAT BUKTI PETUNJUK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA. (Studi Kasus Di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Surakarta)

BAB I PENDAHULUAN. pengadilan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. pemeriksaan di sidang pengadilan ada pada hakim. Kewenangan-kewenangan

BAB I PENDAHULUAN. melalui media massa maupun media elektronik seperti televisi dan radio.

BAB I PENDAHULUAN. perundang-undangan yang berlaku. Salah satu upaya untuk menjamin. dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana ( KUHAP ).

BAB I PENDAHULUAN. Kejahatan adalah suatu permasalahan yang terjadi tidak hanya di dalam suatu

Toddy Anggasakti dan Amanda Pati Kawa. Abstrak

FUNGSI DAN KEDUDUKAN SAKSI A DE CHARGE DALAM PERADILAN PIDANA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. Negara Indonesia merupakan Negara Hukum yang sangat

BAB I PENDAHULUAN. mencapai suatu kehidupan yang adil dan makmur bagi warganya berdasarkan

BAB I PENDAHULUAN. melibatkan pemeriksaan investigatif oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan tersebut selain melanggar dan menyimpang dari hukum juga

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Praperadilan merupakan lembaga baru dalam dunia peradilan di

I. PENDAHULUAN. didasarkan atas surat putusan hakim, atau kutipan putusan hakim, atau surat

BAB I PENDAHULUAN. diperiksa oleh hakim mengenai kasus yang dialami oleh terdakwa. Apabila

I. PENDAHULUAN. disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk menentukan

III. METODE PENELITIAN. data yang dapat memecahkan suatu permasalahan. 33 Penelitian yang dilakukan

BAB III PENUTUP. A. Kesimpulan. Berdasarkan pembahasan yang sudah diuraikan sebelumnya maka penulis. menyimpulkan bahwa :

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia ada tata hukum yaitu tata tertib dalam pergaulan hidup

BAB I PENDAHULUAN. Hukum materiil seperti yang terjelma dalam undang undang atau yang

Kata kunci: Pencabutan keterangan, terdakwa. AKIBAT HUKUM TERHADAP PENCABUTAN KETERANGAN TERDAKWA DI PENGADILAN 1 Oleh: Efraim Theo Marianus 2

KEDUDUKAN SAKSI A DE CHARGE PADA PROSES PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI ARTIKEL ILMIAH

BAB 1 PENDAHULUAN. setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum.

III. METODE PENELITIAN. satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan cara menganalisanya 1

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tata Cara Pelaksanaan Putusan Pengadilan Terhadap Barang Bukti

III. METODE PENELITIAN. Dalam analisa penelitian ini, penulis memilih jenis penelitian normatif, 47 yaitu

BAB I PENDAHULUAN. dinyatakan bersalah dan dijatuhi pidana. hubungan seksual dengan korban. Untuk menentukan hal yang demikian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Didalam proses perkara pidana terdakwa atau terpidana

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017

BAB IV ANALISIS HUKUM MENGENAI PENGGUNAAN ALAT PENDETEKSI KEBOHONGAN (LIE DETECTOR) PADA PROSES PERADILAN PIDANA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. pada Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang berbunyi Negara Indonesia adalah Negara Hukum.

BADAN PEMERIKSA KEUANGAN SEBAGAI PEMBERI KETERANGAN AHLI DAN SAKSI DALAM KASUS TINDAK PIDANA KORUPSI

BAB III IMPLEMENTASI KETERANGAN AHLI DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA DI TINGKAT PENYIDIKAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum, tidak

Lex Privatum, Vol. IV/No. 4/Apr/2016

SURAT TUNTUTAN (REQUISITOIR) DALAM PROSES PERKARA PIDANA

BAB I PENDAHULUAN. mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur baik spiritual maupun

commit to user BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perlindungan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENCABUTANKETERANGAN TERDAKWA DALAM BERITA ACARA PEMERIKSAAAN (BAP) DAN TERDAKWA

PEMBUKTIAN DAN PUTUSAN PENGADILAN DALAM ACARA PIDANA 1 Oleh: Susanti Ante 2

Transkripsi:

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Alat bukti berupa keterangan saksi sangatlah lazim digunakan dalam penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi dimaksudkan untuk mengetahui apakah memang telah terjadi suatu perbuatan pidana atau tidak yang dilakukan terdakwa. Keberadaan saksi untuk memberikan keterangan dalam penyelesaian perkara pidana disebutkan dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 1 angka 26 mengatakan bahwa: Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri. Tidak ada suatu perkara pidana yang lepas dari pembuktian alat bukti keterangan saksi. Hampir semua pembuktian perkara pidana, selalu didasarkan kepada pemeriksaan keterangan saksi sekurang-kurangnya di samping pembuktian dengan alat bukti yang lain, masih tetap selalu diperlukan pembuktian dengan alat bukti keterangan saksi. 1 1 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, Jakarta, Sinar Grafika, 2008, hlm 286.

2 Keterangan saksi dalam kedudukannya sebagai alat bukti dimaksudkan untuk membuat terang suatu perkara yang sedang diperiksa diharapkan dapat menimbulkan keyakinan pada hakim, bahwa suatu tindak pidana itu benar-benar telah terjadi dan terdakwa telah bersalah melakukan tindak pidana tersebut. Seringkali dalam berbagai sidang pembuktian perkara pidana, muncul alat bukti yang disebut dengan istilah saksi mahkota. Pada dasarnya, istilah saksi mahkota tidak disebutkan secara tegas dalam KUHAP. Penggunaan alat bukti saksi mahkota hanya dapat dilihat dalam perkara pidana yang berbentuk penyertaan, dan terhadap perkara pidana tersebut telah dilakukan pemisahan (splitsing) sejak proses pemeriksaan pendahuluan di tingkat penyidikan. Selain itu, munculnya dan digunakannya saksi mahkota dalam perkara pidana yang dilakukan pemisahan tersebut didasarkan pada alasan karena kurangnya alat bukti yang akan diajukan oleh penuntut umum. 2 Secara normatif penggunaan saksi mahkota merupakan hal yang bertentangan dengan prinsip-prinsip peradilan yang adil dan tidak memihak dan pelanggaran kaidah HAM secara universal sebagaimana yang diatur dalam KUHAP itu sendiri, khususnya hak ingkar yang dimiliki terdakwa dan hak terdakwa untuk tidak dibebankan kewajiban pembuktian, Pasal 66 KUHAP. Penggunaan saksi mahkota oleh Penuntut Umum selama ini jelas melanggar 2 http://mmsconsulting.wordpress.com/2008/07/31/eksistensi-saksi-mahkota-sebagai-alatbukti-dalam-perkara-pidana/, di akses pada hari Kamis, Tanggal 08 Oktober 2009, jam 22:12 WIB.

3 instrumen hak asasi manusia secara internasional. 3 Istilah saksi mahkota tidak terdapat dalam KUHAP, tapi dalam praktik dan berdasarkan perspektif empirik saksi mahkota itu ada. Di sini yang dimaksud saksi mahkota adalah saksi yang berasal dan/atau diambil dari salah seorang atau lebih tersangka atau terdakwa lainnya yang bersama-sama melakukan perbuatan pidana dan dalam hal mana kepada saksi tersebut diberikan mahkota. 4 Mahkota yang diberikan kepada saksi yang berstatus terdakwa tersebut adalah dalam bentuk ditiadakan penuntutan terhadap perkaranya atau diberikan suatu tuntutan yang sangat ringan apabila perkaranya dilimpahkan ke pengadilan atau dimaafkan atas kesalahan yang pernah dilakukan saksi tersebut. 5 Dalam perkembangannya, ternyata muncul berbagai pendapat, baik yang berasal dari praktisi maupun akademisi, mengenai penggunaan saksi mahkota sebagai alat bukti dalam pemeriksaan perkara pidana. Sebagian pihak berpendapat bahwa penggunaan saksi mahkota dibolehkan karena bertujuan untuk tercapainya rasa keadilan publik. Namun sebagian berpendapat, bahwa penggunaan saksi mahkota tidak dibolehkan karena bertentangan dengan hak asasi dan rasa keadilan terdakwa. 3 http://mmsconsulting.wordpress.com/2008/07/31/eksistensi-saksi-mahkota-sebagai-alatbukti-dalam-perkara-pidana/, di akses pada hari Kamis, Tanggal 08 Oktober 2009, jam 22:12 WIB. 4 Lilik Mulyadi, Putusan Hakim Dalam Hukum Acara Pidana : Teori, Praktik, Teknik Penyusunan dan Permasalahannya, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2007, hlm 85-86. 5 ibid

4 B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah tersebut diatas maka penulis mengajukan perumusan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana mekanisme penentuan saksi mahkota berdasarkan praktik peradilan? 2. Bagaimana kekuatan pembuktian saksi mahkota berdasarkan praktik peradilan? C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui bagaimana mekanisme penentuan saksi mahkota berdasarkan praktik peradilan. 2. Untuk mengetahui bagaimana kekuatan pembuktian saksi mahkota berdasarkan praktik peradilan. D. Tinjauan Pustaka Pembuktian tentang benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan, merupakan bagian yang terpenting acara pidana. Bagaimana akibatnya jika seseorang yang didakwa dinyatakan terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan berdasarkan alat bukti yang ada disertai keyakinan hakim, padahal tidak benar. Untuk inilah maka hukum acara pidana bertujuan untuk

5 mencari kebenaran materiil. 6 Pada dasarnya hampir tidak ada perbedaan pemeriksaan saksi dengan tersangka. Baik mengenai tata cara pemanggilannya maupun cara pemeriksaan, bahkan pengaturannya dalam KUHAP hampir seluruhnya diatur dalam pasal-pasal yang bersamaan, tidak dipisah dalam aturan pasal yang berbeda. 7 Ditinjau dari segi nilai dan kekuatan pembuktian atau the degree of evidence keterangan saksi, agar keterangan saksi atau kesaksian mempunyai nilai serta kekuatan pembuktian, perlu diperhatikan beberapa pokok ketentuan yang harus dipenuhi oleh seorang saksi. Artinya, agar keterangan seorang saksi dapat dianggap sah sebagai alat bukti yang memiliki nilai kekuatan pembuktian, harus dipenuhi aturan ketentuan sebagai berikut: 8 1. Harus mengucapkan sumpah atau janji, 2. Keterangan saksi yang bernilai sebagai bukti, 3. Keterangan saksi harus diberikan di sidang pengadilan, 4. Keterangan seorang saksi saja dianggap tidak cukup, 5. Keterangan bebarapa saksi yang berdiri sendiri. Alat bukti keterangan saksi merupakan alat bukti yang paling utama dalam perkara pidana. Boleh dikatakan, tidak ada perkara pidana yang luput dari pembuktian alat bukti keterangan saksi. Hampir semua pembuktian perkara pidana, selalu bersandar kepada pemeriksaan keterangan saksi. Sekurang- 6 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm 249. 7 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm 141. 8 M. Yahya Harahap, Op.cit, hlm 286-290.

6 kurangnya disamping pembuktian dengan alat bukti yang lain, masih selalu diperlukan pembuktian dengan alat bukti keterangan saksi. Saksi menduduki peran dan fungsi yang penting dalam suatu pemeriksaan perkara disidang pengadilan. Tanpa adanya saksi, suatu tindak pidana akan sulit diungkap kebenarannya. Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan mengenai suatu atau semua hal yang ia lihat, ia dengar atau ketahui tentang suatu kejahatan atau perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu. 9 Pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan dalam proses pemeriksaan sidang pengadilan. Melalui pembuktian ditentukan nasib terdakwa. Apabila hasil pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang tidak cukup membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa, terdakwa dibebaskan dari hukuman. Sebaliknya, kalau kesalahan terdakwa dapat dibuktikan dengan alat-alat bukti disebut dalam Pasal 184 KUHAP, yaitu: 1. Alat bukti yang sah ialah: a. Keterangan saksi; b. Keterangan ahli; c. Surat; d. Petunjuk; e. Keterangan terdakwa. 9 http://racifmultiply.com/journal/item/21, di akses pada hari Rabu, Tanggal 07 Oktober 2009, jam 10:38 WIB.

7 2. Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan. Terdakwa dinyatakan bersalah. Kepadanya akan dijatuhi hukuman. Oleh karena itu, hakim harus hati-hati, cermat, dan matang menilai dan mempertimbangkan nilai pembuktian. Meneliti sampai dimana batas minimum kekuatan pembuktian atau bewijs kracht dari setiap alat bukti yang disebut dalam Pasal 184 KUHAP. Suatu keterangan tentang perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa, dimana keterangan tersebut ada hubungannya dengan tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa, maka dapat digunakan sebagai sangkaan adanya perbuatan pidana yang dilakukan oleh terdakwa. Penentuan perbuatan pidana didahului oleh timbulnya dugaan atau sangkaan tentang suatu perbuatan yang akan ditetapkan kebenarannya secara lengkap dengan mengadakan seleksi keadaan-keadaan dan merangkai kejadian-kejadian. 10 Dalam hal ini hakim ketua sidang mengingatkan saksi tentang hal itu serta meminta keterangan mengenai perbedaan yang ada dan dicatat dalam berita acara pemeriksaan sidang. Penolakan saksi untuk diperiksa dan diminta keterangannya serta keterangan saksi yang berbeda dengan keterangan yang diberikan dalam berita acara pemeriksaan yang dilakukan oleh penyidik, merupakan hambatan bagi hakim guna menemukan kebenaran materiil dalam penyelesaian perkara 10 Bambang Poernomo, Pokok-pokok Tata Acara Peradilan Pidana Indonesia, Yogyakarta, Liberty, 1986, hlm 12.

8 pidana. Untuk menjatuhkan pidana terhadap terdakwa, hakim disamping mendengar keterangan dari saksi juga mendengarkan keterangan dari terdakwa. 11 Sebagaimana diungkapkan oleh Djoko Prakosa: Dari keterangan yang diberikan terdakwa dapat ditarik suatu petunjuk, karena itulah keterangan saksi dan keterangan terdakwa mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam pemeriksaan perkara pidana dipersidangan. 12 Alat bukti saksi mahkota pengaturannya tidak terdapat dalam KUHAP, walaupun dalam KUHAP tidak ada definisi otentik mengenai saksi mahkota namun dalam praktik dan berdasarkan perspektif empirik saksi mahkota itu ada. Namun demikian, ketentuan Pasal 168 huruf c KUHAP merupakan dasar pengaturan terhadap eksistensi saksi mahkota. Penggunaan saksi mahkota sebagai alat bukti dalam perkara pidana dibolehkan. Jadi disini penggunaan saksi mahkota dibenarkan didasarkan pada prinsip-prinsip tertentu yaitu: 13 1. Dalam perkara delik penyertaan, 2. Terdapat kekurangan alat bukti, 3. Diperiksa dengan mekanisme pemisahan (splitsing). Terdakwa bergantian menjadi saksi atas perkara yang dia sendiri ikut serta didalamnya. Sebenarnya bertentangan dengan larangan mendakwa diri sendiri, karena dia sebagai saksi akan disumpah yang dia sendiri juga menjadi terdakwa 11 Djoko Prakoso, Alat bukti dan Kekuatan pembuktian di dalam proses Pidana, Yogyakarta, Liberty, 1988, hlm 68 12.ibid 13 http://sofyanlubis.blogspot.com/2008/07/saksi-mahkota.html, di akses pada hari Sabtu, Tanggal 10 oktober 2009, jam 22:47 WIB.

9 atas perkara itu. Terdakwa tidak disumpah, berarti jika dia berbohong tidak melakukan delik sumpah palsu. Jika saksi berbohong dapat dikenai sumpah palsu. Jadi, bergantian menjadi saksi dari para terdakwa berarti mereka didorong untuk bersumpah palsu, karena pasti akan meringankan temannya, karena dia sendiri juga ikut serta melakukan delik itu, dan memberatkan terdakwa. 14 Saksi mahkota juga pelaku, diajukan sebagai terdakwa yang dakwaannya sama dengan terdakwa yang diberikan kesaksian. Saksi yang disumpah harus berkata benar tentang yang ia lihat, ia dengar, dan ia alami, kalau tidak dapat dipidana atas kesaksiannya. Saksi mahkota mengalami tekanan psikis, karena secara implisit membuktikan perbuatan yang ia lakukan kesaksian yang benar akan diancam pidana dalam posisinya sebagai terdakwa tidak dapat mengingkari atau membela diri, karena terikat sumpah kala jadi saksi. Adanya alasan klasik yang dikemukakan Penuntut Umum, bahwa untuk memenuhi dan mencapai rasa keadilan publik sebagai dasar argumentasi diajukannya saksi mahkota bukan merupakan hal yang menjustifikasi penggunaan saksi mahkota sebagai alat bukti sudah tidak bisa ditoleransi lagi. 15 14 Andi Hamzah, Op. Cit, hlm 271-272. 15 ibid

10 E. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian normatif, yakni penelitian dengan studi pustaka terhadap bahan-bahan hukum, baik bahan hukum primer, bahan sekunder, maupun bahan hukum tersier dan atau bahan non hukum. Penelusuran bahan-bahan hukum tersebut dapat dilakukan dengan membaca, melihat, mendengarkan, maupun sekarang banyak dilakukan penelusuran bahan hukum tersebut melalui media internet. 2. Narasumber: Ibu Eka Ratna W, S.H. selaku Hakim di Pengadilan Negeri Bantul. 3. Sumber Data a. Bahan hukum primer adalah peraturan perundang-undangan dan dokumen resmi yang berhubungan erat dengan permasalahan yang diteliti. Bahan hukum penelitian ini bersumber dari: 1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana, 2) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981, tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), b. Bahan hukum sekunder adalah bahan-bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder dalam penelitian ini bersumber dari: 1) Literatur-literatur hukum pidana, terutama yang berkaitan dengan saksi mahkota sebagai alat bukti dalam perkara pidana.

11 2) Makalah-makalah dan hasil penelitian terdahulu yang berkaitan dengan saksi mahkota sebagai alat bukti dalam perkara pidana. c. Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, sebagai contoh adalah Kamus Hukum, Penerbit Citra Umbara Bandung. 4. Teknik pengumpulan data. Pengumpulan data dilakukan dengan Penelitian Kepustakaan: Kepustakaan, yaitu mencari dan mengumpulkan data yang diperoleh dari buku-buku literatur, tulisan para ahli dan peraturan perundang-undangan. 5. Analisis Data. Dalam penelitian ini menggunakan analisa kualitatif yang berupa meyederhanakan data kedalam bentuk yang lebih mudah dibaca dan di interpretasikan. Analisa ini memandang data sebagai produk dari proses memberikan interprestasikan peneliti yang ada didalamnya sudah terkandung makna yang mempunyai refrensi pada nilai. Dengan demikian data yang dihasilkan merupakan konstuksi interaksi antara peneliti dengan informan. Kegiatan analisis dalam penelelitian kualitatif hanya merupakan rekonstruksi sebelumnya. Dari pandangan tersebut penelitian kualitatif memproses data penelitian dari reduksi data, penyajian data sampai pada pengambilan kesimpulan.

12 F. Sistimatika Penulisan Skripsi BAB I Pada bab pendahuluan berisi penyajian materi sebagaimana diuraikan dalam bagian pokok usulan penelitian. Bab pendahuluan terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, metode penelitian dan sistimatika penulisan skripsi. BAB II Bab ini menguraikan tentang tinjauan tentang pembuktian, pengertian hukum pembuktian, sistem pembuktian serta alat bukti. Dalam alat bukti ini diterangkan tentang keterangan saksi, keterangan ahli, alat bukti surat, alat bukti petunjuk dan keterangan terdakwa. BAB III Bab ini menguraikan tentang saksi dalam pemeriksaan perkara pidana, mencakup tentang pengertian saksi, hak dan kewajiban sebagai saksi, macam-macam saksi: Saksi Aquit de Charge, saksi Aquit Charge, saksi mahkota, dan saksi korban. BAB IV Dalam bab ini tentang penyajian data dimana berisi data atau faktafakta yang sudah dikumpulkan dan relevan serta melakukan pengkajian terhadap penelitian terhadap penelitian yang didapat. Pada bab ini berisi tentang mekanisme penentuan saksi mahkota berdasarkan praktik peradilan dan kekuatan pembuktian saksi mahkota berdasarkan praktik peradilan. BAB V Menyajikan kesimpulan dimana merupakan pernyataan singkat tentang hasil akhir yang mengaitkan antara landasan teoritik yang

13 dijadikan pijakan dengan hasil analisis data yang diperoleh. Bagian saran menurut pernyataan berdasarkan pengalaman dan pertimbangan peneliti bagi semua pihak yang mempunyai kaitan dan kepentingan dengan obyek penelitian.