ANOMALI PEMBERANTASAN KORUPSI DAN UPAYA PENYELAMATAN KERUGIAN NEGARA DI NTB



dokumen-dokumen yang mirip
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2008 TENTANG KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2008 TENTANG KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2004 TENTANG LEMBAGA PENJAMIN SIMPANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Undang Undang No. 23 Tahun 1997 Tentang : Pengelolaan Lingkungan Hidup

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA

(JUVENILE JUSTICE SYSTEM) DI INDONESIA

MEMAHAMI UNTUK MEMBASMI BUKU PANDUAN UNTUK MEMAHAMI TINDAK PIDANA KORUPSI. Komisi Pemberantasan Korupsi

Laporan Independen NGO

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2009 TENTANG BADAN HUKUM PENDIDIKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

LAPORAN AKUNTABILITAS KINER INSTANSI PEMERINTAH (LAKIP) TAHUN ANGGARAN 2012 PENGADILAN TINGGI PEKANBARU

Kartu Tanda Penduduk dan Akses terhadap Layanan Dasar Studi Kasus di Kabupaten Bogor dan Kabupaten Sumba Timur

PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBRANA NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KORBAN PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Mengenal Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik

Pengguna Narkoba Lebih Baik Direhabilitasi daripada Dipenjara LAKIP BNN Tahun 2013

UU PERLINDUNGAN KONSUMEN UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

KOMISI INFORMASI PUSAT REPUBLIK INDONESIA PERATURAN KOMISI INFORMASI NOMOR 1 TAHUN 2010 TENTANG STANDAR LAYANAN INFORMASI PUBLIK

LEMBAGA PENYITAAN DAN PENGELOLAAN BARANG HASIL KEJAHATAN. bphn OLEH TIM PENGKAJIAN HUKUM. Ketua Dr. Febrian, SH., MS. Sekretaris Hajerati, SH., MH.

Pedoman Penerapan Pengecualian Informasi

DASAR-DASAR PERBANKAN

KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN

Pelembagaan Diskriminasi dalam Tatanan Negara-Bangsa Indonesia

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN KOMISI INFORMASI NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG PROSEDUR PENYELESAIAN SENGKETA INFORMASI PUBLIK

KEPUTUSAN KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KETERBUKAAN INFORMASI DI PENGADILAN NOMOR: 144/KMA/SK/VIII/2007

Undang Undang No. 16 Tahun 1985 Tentang : Rumah Susun

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 1997 TENTANG PERDAGANGAN BERJANGKA KOMODITI

Transkripsi:

Solidaritas Masyarakat untuk Transparansi (SOMASI) People s Solidarity for Transparency ----------------------------- CATATAN PEMBERANTASAN KORUPSI TAHUN 2014: JILID I ANOMALI PEMBERANTASAN KORUPSI DAN UPAYA PENYELAMATAN KERUGIAN NEGARA DI NTB A. Pengantar Upaya mewujudkan tujuan bernegara yang sejahtera di Indonesia masih terkendala karena persoalan korupsi. Berbagai upaya penanggulangan turut dilakukan pemerintah, antara lain dengan membentuk berbagai peraturan maupun lembaga khusus untuk memberantas korupsi, baik melalui jalur pencegahan maupun penindakan. Kendati demikian, jumlah kasus korupsi yang terjadi tidak mengalami penurunan sesuai harapan, justru terus saja mengalami peningkatan yang signifikan setiap tahunnya, khususnya dalam hal ini di Nusa Tenggara Barat (NTB). Berdasarkan hasil pemantauan persidangan dan riset putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri (PN) Mataram yang dilakukan Solidaritas Masyarakat untuk Transparansi (SOMASI) NTB menunjukkan adanya peningkatan jumlah kasus korupsi yang ditangani oleh Pengadilan Tipikor pada PN Mataram setiap tahunnya. Peningkatan ini mulai terhitung sejak beroperasinya Pengadilan Tipikor pada Mei 2011 lalu hingga saat ini. Pada tahun 2011 (dari bulan Mei Desember) tercatat sebanyak 11 perkara korupsi yang telah diperiksa oleh Pengadilan Tipikor, meningkat di -1-

tahun 2012 menjadi sebanyak 26 perkara, meningkat lagi di tahun 2013 menjadi sebanyak 44 perkara. Bahkan, sepanjang tahun 2014 meningkat signifikan menjadi sebanyak 56 perkara korupsi. Pada satu sisi, peningkatan jumlah kasus korupsi tersebut dapat menandakan penegak hukum di NTB semakin gencar dalam menangani kasus korupsi, khususnya melalui jalur penindakan. Karenanya, hal ini dapat diapresiasi sebagai sebuah pencapaian yang berkelanjutan. Akan tetapi, pada sisi lain, peningkatan jumlah kasus korupsi tersebut juga dapat menjadi pertanda kegagalan bagi penegak hukum di NTB, khususnya Kejaksaan maupun Pengadilan Tipikor telah gagal dalam memainkan peranan utamanya untuk menindak setiap pelaku korupsi dengan menjatuhkan tuntutan maupun hukuman yang seberat-beratnya. Sehingga, mampu menimbulkan efek jera (deterrent effect), baik bagi pelaku itu sendiri maupun bagi masyarakat pada umumnya supaya tidak ada lagi yang berani coba-coba melakukan korupsi. Namun, harus disadari bahwa agenda pemberantasan korupsi tidak dapat dipandang sama dengan agenda industri, yang tingkat keberhasilannya antara lain dapat diukur melalui peningkatan angka produksinya secara terus menerus. Oleh karena itu, peningkatan jumlah kasus korupsi yang terjadi setiap tahunnya di NTB tidak dapat dipandang sebagai keberhasilan yang sejati dalam agenda besar pemberantasan korupsi. Agenda besar pemberantasan korupsi, baik melalui jalur pencegahan maupun penindakan meniscayakan korupsi dapat diberantas sampai habis atau setidak-tidaknya dapat terus dikurangi peningkatannya. Dengan demikian, keberhasilan agenda pemberantasan korupsi ditentukan melalui berkurangnya angka korupsi yang terjadi, bukan dengan bertambahnya angka korupsi. Sejak tahun 2009 sampai saat ini, SOMASI NTB berkomitmen untuk terus melakukan pemantauan persidangan secara rutin dan mengumpulkan surat dakwaan, tuntutan serta putusan pengadilan, khususnya putusan Pengadilan Tipikor. Melalui pemantauan ini, dapat diidentifikasi antara lain mengenai rata-rata tuntutan dan putusan yang dijatuhkan kepada pelaku -2-

korupsi, jumlah kerugian negara yang ditimbulkan (termasuk jumlah uang pengganti kerugian negara), aktor (pelaku) beserta jabatan yang paling banyak melakukan korupsi, tingkat korupsi brdasarkan wilayah, dan tingkat kerugian negara berdasarkan wilayah. Hasil pemantauan ini juga dapat menjadi dasar dalam memberikan rekomendasi kepada Mahkamah Agung RI, Komisi Yudisial RI, Kejaksaan Agung RI, Komisi Kejaksaan RI, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) RI untuk mengevaluasi dan melakukan perbaikan terhadap kinerja penegakan hukum di daerah dalam penanganan kasus korupsi, khususnya di NTB. Metodologi yang digunakan dalam pemantauan ini adalah pemantauan persidangan secara langsung dan melakukan pengumpulan data perkara korupsi yang diperiksa, diadili, dan diputus di Pengadilan Tipikor melalui pemberitaan di media massa dan melalui Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) pada desk informasi Pengadilan Tipikor pada PN Mataram. Adapun sumber data yang digunakan dalam pemantauan ini adalah putusan Pengadilan Tipikor pada PN Mataram dari bulan Januari Desember 2014. Sumber data berupa putusan diperoleh melalui pemantauan persidangan secara langsung, direktori putusan pada laman resmi (website) Mahkamah Agung RI, permohonan informasi publik berupa putusan kepada Ketua Pengadilan Tipikor, dan dari pemberitaan media massa. Data kemudian diolah dan dianalisis serta dituangkan dalam bentuk grafik menggunakan Microsoft Excel. SOMASI NTB membagi putusan ke dalam 4 (empat) kategori, Pertama, bebas, yang dinyatakan bebas atau hukumannya 0 tahun. Kedua, ringan yang hukumannya 0,1 tahun sampai 4 tahun penjara. Ketiga, sedang, yang hukumannya 4,1 tahun sampai 10 tahun penjara. Keempat, berat, yang hukumannya di atas 10 tahun penjara. Adapun penentuan kategori ringan didasarkan pada pertimbangan bahwa hukuman minimal yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20-3-

Tahun 2001 adalah 4 tahun penjara Pasal 2 ayat (1), dan 1 tahun penjara Pasal 3. Sehingga, hukuman 0,1 tahun sampai 4 tahun penjara masuk dalam kategori hukuman ringan. Sedangkan, kategori sedang adalah hukuman 4,1 tahun sampai 10 tahun. Kemudian, kategori berat adalah yang dijatuhi hukuman di atas 10 tahun penjara. Pengkategorian terhadap putusan Pengadilan Tipikor tersebut penting dilakukan. Hal ini bertujuan untuk memastikan efektifitas dari fungsi penindakan terhadap pelaku korupsi memberikan efek jera, yang pada gilirannya juga akan berdampak pada menguatnya fungsi pencegahan korupsi itu sendiri. Selain itu, juga untuk mengukur dan mengevaluasi sejauh mana komitmen pemberantasan korupsi dari institusi penegak hukum, khususnya Pengadilan Tipikor, sehingga dapat diberikan rekomendasi perbaikan untuk penguatan strategi pemberantasan korupsi yang berefek jera. B. Hasil Pemantauan dan Analisis Sepanjang tahun 2014 (Januari - Desember), SOMASI NTB telah berhasil memantau sebanyak 23 perkara korupsi dengan 54 orang terdakwa, yang diperiksa, diadili, dan diputus di Pengadilan Tipikor pada PN Mataram. Dari 54 orang terdakwa, sebagian besar di antaranya, yaitu sebanyak 51 orang terdakwa (94,44%) telah diputus dengan hukuman Ringan, antara 0,1 4 tahun penjara. Sedangkan, 3 orang terdakwa (5,56%) diputus dengan hukuman Sedang, antara 4,1 10 tahun penjara, dan tidak ada seorang pun terdakwa yang diputus dengan hukuman Berat, yaitu di atas 10 tahun penjara. Selain itu, di tahun ini juga tidak ada terdakwa yang diputus dengan hukuman Bebas seperti tahun-tahun sebelumnya (tahun 2013 1 orang diputus Bebas tahun 2011 juga 1 orang telah diputus Bebas). -4-

Grafik 1. Perbandingan Jumlah Aktor Korupsi dan Lama Pemidanaan Lama pemidanaan terhadap pelaku korupsi dalam grafik di atas secara umum akan dibagi berdasarkan jumlahnya menjadi 4 (empat) kategori, yaitu Bebas, Ringan, Sedang, dan Berat. Pengelompokan tersebut dapat dilihat lebih rinci pada tabel di bawah ini. -5-

Tabel 1. Kategori Putusan Bagi Pelaku Korupsi Sepanjang 2014 No. Kategori Putusan Jumlah Terdakwa Prosentase 1. Bebas 0 Tahun 0 orang 0,00% 2. Ringan 0,1 4 tahun penjara 51 orang 94,44% 3. Sedang 4,1 10 tahun penjara 3 orang 5,56% 4. Berat di atas 10 tahun penjara 0 orang 0,00% Dominannya hukuman 1 tahun penjara bagi koruptor dikarenakan Pengadilan Tipikor pada PN Mataram menjatuhkan hukuman minimal, yang sebagian besar didasarkan pada Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tipikor ketika terdakwa dijerat dengan dakwaan subsidiairitas, yaitu Primair Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Pemberantasan Tipikor dengan ancaman pidana minimal 4 tahun atau Subsidair Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tipikor dengan ancaman pidana minimal 1 tahun. Dari 54 orang terdakwa yang telah diputus di Pengadilan Tipikor pada PN Mataram sepanjang tahun 2014, sebagian besar di antaranya, yaitu sebanyak 45 orang terdakwa (83,33%) dijerat dengan dakwaan subsidiairitas melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tipikor, yang 44 orang terdakwa di antaranya telah dinyatakan terbukti bersalah melanggar Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tipikor, hanya 1 orang terdakwa saja yang dinyatakan terbukti melanggar Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Pemberantasan Tipikor. Sementara 9 orang terdakwa sisanya (16,67%) dijerat dengan dakwaan suap dan pencucian uang. Dari 23 perkara korupsi dengan 54 orang terdakwa yang berhasil terpantau sepanjang tahun 2014, hanya 21 perkara yang ditemukan kerugian negaranya dengan total kerugian sebesar Rp. 11.021.929.598,87,-. Sedangkan, 2 perkara sisanya -6-

tidak ditemukan kerugian negaranya karena merupakan perkara suap, yang total keseluruhannya sebesar Rp. 6.205.045.000,00,-. Grafik 2. Perbandingan Kerugian Negara, Uang Pengganti, dan Denda Bagi Pelaku Korupsi Negara harus menanggung rugi akibat kerugian yang ditimbulkan oleh perkara korupsi tersebut. Akan tetapi, sangat disayangkan, kerugian negara yang ditimbulkan 21 perkara korupsi tersebut tidak diimbangi dengan penjatuhan uang pengganti yang proporsional untuk mengganti kerugian negara yang ditimbulkan. Tercatat dari 54 orang terdakwa, sebagian kecil di antaranya, yaitu hanya 19 orang terdakwa saja yang diputus atau dibebankan untuk membayar uang pengganti dengan -7-

total keseluruhan sebesar Rp. 2.295.443.562,36-. Sementara itu, mayoritas sebanyak 35 orang terdakwa tidak dibebankan untuk membayar uang pengganti kerugian negara. Sehingga, hanya sekitar 20,83% kerugian negara yang tergantikan, selebihnya negara masih menanggung rugi besar akibat dari perkara korupsi tersebut sepanjang tahun 2014. Dari total kerugian negara sebesar Rp. 11.021.929.598,87,- apabila dikonversi dalam bentuk barang dan/atau jasa, maka nilai kerugian yang ada dapat membiayai antar lain: (1) pemberian dana Bantun Operasional Sekolah (BOS)/ Bantuan Siswa Miskin (BSM) kepada 13.777 orang siswa di NTB selama 1 (satu) tahun, jika dirata-ratakan jumlah dana BOS/ BSM untuk masing-masing siswa adalah sebesar Rp. 800.000,-/ orang; atau (2) pemberian pupuk urea gratis bagi 306.165 orang petani miskin di NTB masing-masing 20 Kg/ petani, jika dirata-ratakan dengan harga eceran tertinggi pupuk urea di NTB senilai Rp. 1.800,-/ Kg; atau (3) pemberian subsidi beras miskin (Raskin) bagi 459.247 masyarakat miskin di NTB masing-masing 24 Kg/ orang, jika dirata-ratakan dengan harga normal Raskin untuk Rumah Tangga Sasaran Penerima Manfaat (RTS-PM) senilai Rp. 1.600,-/ Kg; atau (4) pembangunan Ruang Kelas Baru (RKB) sebanyak 82 unit ruang kelas bagi sekolah-sekolah terpencil di NTB, jika dirata-ratakan dengan unit cost 1 RKB sebesar Rp. 135.000.000,-; atau (5) pembangunan Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) sebanyak 3 unit di dasa-desa terpencil di NTB, jika dirata-ratakan dengan unit cost 1 Puskesmas sebesar Rp. 3.326.000.000,-; atau (6) pengadaan Buku Paket Sekolah (SD, SMP, atau SMA) bagi 441 sekolah-sekolah terpencil di NTB, jika dirata-ratakan dengan unit cost pengadaan Buku Pake Sekolah sebesar Rp. 25.000.000,-/ sekolah; atau (7) pemberian biaya persalinan bagi keluarga miskin di NTB, jika dirata-ratakan dengan biaya persalinan ibu hamil sebesar Rp. 500.000,-/ orang; atau (8) pembelian meubeler sekolah (SD, SMP, atau SMA) bagi 1.102 sekolah terpencil di NTB, jika dirataratakan dengan harga meubeler per unit sebesar Rp. 10.000.000,-; atau (9) pemberian Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) bagi 6.123 keluarga miskin selama 1 tahun, jika dirata-ratakan dengan jumlah BLSM untuk 1 kepala keluarga senilai Rp. 150.000,-/ bulan. -8-

Tabel 2. Konversi Kerugian Negara Tahun 2014 No. Kerugian Negara Jenis Konversi Sasaran/ Penerima Manfaat Unit Cost (Rp) 1. Raskin 459.247 keluarga miskin 1.600,-/ kg 2. BOS/ BSM 13.777 siswa 800.000,-/ tahun 3. Pupuk Urea 306.165 petani miskin 1.800,-/ kg 4. Biaya Persalinan 22.004 keluarga miskin 500.000,-/ persalinan 5. Rp. 11.021.929.598,87,- Meubeler Sekolah 1.102 sekolah terpencil 10.000.000,-/ sekolah 6. Ruang Kelas Baru 82 unit di sekolah terpencil 135.000.000,-/ ruang kelas 7. Pembangunan Puskesmas 3 unit di 3 desa terpencil 3.326.000.000,-/ bangunan 8. Buku Paket Sekolah 441 sekolah terpencil 25.000.000,-/ sekolah 9. BLSM 6.123 keluarga miskin 150.000,-/ bulan Selain pembebanan uang pengganti (kerugian negara) bagi pelaku korupsi, penjatuhan pidana denda juga dimaksudkan untuk memberikan efek jera bagi pelaku korupsi. Dari hasil pemantauan terhadap 23 perkara korupsi dengan 54 orang terdakwa sepanjang tahun 2014, tercatat hanya 29 orang terdakwa saja yang diputus atau dibebankan untuk membayar denda dengan total keseluruhan sebesar Rp. 2.450.000.000,00,-. Sedangkan, 25 orang terdakwa tidak diputus atau dibebankan untuk membayar denda. Kendati demikian, denda yang dijatuhkan oleh Pengadilan Tipikor juga dalam besaran yang tidak seragam (berbeda-beda). Jika dirinci, masing-masing 22 orang terdakwa dibebankan membayar denda sebesar Rp. 50.000.000,00,-, 5 orang terdkakwa dibebankan untuk membayar denda sebesar Rp. 200.000.000,00,- 1 orang terdakwa dibebankan untuk membayar -9-

denda sebesar Rp. 250.000.000,00,-, dan 1 orang terdakwa dibebankan untuk membayar denda sebesar Rp. 100.000.000,00,-. Sedangkan, 25 orang terdakwa sisanya tidak dibebankan untuk membayar denda. Tabel 3. Besaran Denda Bagi Pelaku Korupsi Tahun 2014 Denda (Rp) Jumlah Terdakwa 0 25 orang 50.000.000,00,- 22 orang 200.000,00,- 5 orang 250.000.000,00,- 1 orang 100.000.000,00,- 1 orang Jumlah 54 orang Dari sisi aktor (pelaku) korupsi, sepanjang tahun 2014, penegak hukum telah berhasil menindak pelaku korupsi yang tidak hanya berasal dari kalangan pejabat pemerintahan saja, tetapi juga dari berbagai kalangan seperti dari masyarakat umum, kepala dusun, kepala desa, pegawai pos, pegadaian, guru sekolah, direktur rumah sakit, sampai kepala dinas. Bahkan, tidak terkecuali kepala institusi penegak hukum juga ikut dijerat dan ditindak karena korupsi. Akan tetapi, aktor korupsi yang paling banyak ditindak oleh penegak hukum sepanjang tahun 2014 adalah dari kalangan pegawai sekretariat daerah (Setda) kabupaten, yaitu sebanyak 12 orang terdakwa dengan kasus yang sebagian besarnya hampir sama, yaitu kasus Surat Perintah Perjalanan Dinas (SPPD) Fiktif. Disusul dengan pegawai SKPD kabupaten/ kota dan pebisnis (wiraswasta), yang masing-masing 9 orang terdakwa dengan kasus sebagian besarnya adalah pengadaan barang/ jassa atau pembangunan infrastruktur umum. Selanjutnya, yang menempati urutan 3 besar aktor korupsi tahun 2014 di NTB adalah pegawai Bea-Cukai dengan 5 orang terdakwa dalam kasus yang sama. -10-

Grafik 3. Korupsi Berdasarkan Jabatan Aktor Jika dibagi berdasarkan wilayah, maka aktor korupsi yang paling banyak ditindak oleh penegak hukum sepanjang tahun 2014 adalah dari Kabupaten Sumbawa Barat, yaitu sebanyak 16 orang terdakwa, disusul Kabupaten Lombok Tengah sebanyak 14 orang terdakwa, kemudian Kabupaten Lombok Barat sebanyak 10 orang terdakwa. Kota Bima sebanyak 6 orang terdakwa, Kabupaten Lombok Timur dan Kabupaten Sumbawa, masing-masing 3 orang terdakwa. Kota Mataram dan Kabupaten Bima, -11-

masing-masing 1 orang terdakwa. Sisanya, Kabupaten Lombok Utara dan Kabupaten Dompu, masing-masing tidak ada terdakwa sepanjang tahun 2014. Grafik 4. Korupsi Berdasarkan Wilayah Jika dilihat dari tingkat korupsi berdasarkan wilayah sebagaiamana deskripsi grafik di atas, Kabupaten Sumbawa Barat menempati urutan pertama sebagai wilayah yang paling banyak dilakukan penindakan aktor korupsi oleh penegak hukum sepanjang tahun 2014. Akan tetapi, dari segi kerugian negara justru di Kabupaten Lombok Timur lah ditemukan kerugian negara terbesar sepanjang tahun 2014, yaitu sebesar Rp. 4.461.604.884.,38,-. Sedangkan, Kabupaten Sumbawa Barat menempati -12-

urutan 3 besar sebagai wilayah yang kerugian negara hasil korupsinya cukup besar, yaitu sebesar Rp. 1.578.922.977,00,- sepanjang tahun 2014. Grafik 4. Kerugian Negara Berdasarkan Wilayah Putusan pidana yang dijatuhkan Pengadilan Tipikor bagi pelaku korupsi sepanjang tahun 2014 masih terdapat disparitas (perbedaan) yang menunjukkan ketidak-seragaman antara pidana badan, denda, maupun pidana sibsidiair (pengganti), baik subsidiair denda maupun subsidiair uang penggnti kerugian negara. Perkara korupsi yang kerugian negaranya tergolong lebih -13-

sedikit diputus dengan hukum yang berat, sedangkan perkara korupsi yang kerugian negaranya lebih besar justru diputus dengan hukuman yang lebih ringan. Bahkan, juga perkara korupsi yang kerugian negaranya sama, tetapi diputus dengan hukuman yang berbeda. Untuk menjamin kepastian hukum dalam putusan pidana Pengadilan Tipikor, perlu ada pedoman pemidanaan yang jelas. Sehingga, ada ekuivalensi (kesepadanan) antara akibat yang ditimbulkan dengan hukuman yang dijatuhkan, baik hukuman badan, denda, maupun uang pengganti kerugian negara. Tabel 4. Disparitas Putusan Pidana No. Kasus Kerugian Negara (Rp) Penjara Denda (Rp) Uang Pengganti (Rp) Jabatan Terdakwa 1. Korupsi Pembangunan GOR 349.274.890,00,- 1 tahun 50.000.000,00,- 134.252.981,18,- Wiraswasta/ Pebisnis Gunung Sari 2. Korupsi (Pemerasan) Prona di Kabupaten Lombok Barat 157.950.000,00,- 1 tahun 50.000.000,00,- - Kepala BPN Kediri Jawa Timur 3. Korupsi Subsidi Peningkatan Mutu Pendidikan SMP di Lombok Barat 227.668.695,00,- 2 tahun 50.000.000,00,- 222.168.695,00,- Mantan Kepala Sekolah SMPN 3 Gerung 4. Korupsi Dana Bansos Tahun 628.750.000,00,- 2 tahun 100.000.000,00,- 518.750.000.000,00,- Anggota DPRD 2008 Kabupaten Lombok Barat 5. Korupsi (Penggelapan) Penjualan Raskin Jatah Desa Menemeng 6. Korupsi Pembangunan Dermaga Labuhan Haji 7. Korupsi Pemindah-tanganan (Penjualan) Tanah Pecatu Lingkungan Melayu Timur 8. Korupsi Penjualan Aset Lelang Pemda Lombok Barat di Kota Mataram 53.397.660,00,- 2 tahun 6 bulan 4.461.604.884,38,- 1 tahun 6 bulan 300.000.000,00,- 1 tahun 3 bulan Lombok Utara - 36.618.000,00,- Kepala Desa Menemeng 3.195.600,00,- Wiraswasta/ Pebisnis 50.000.000,00,- - Kepala Dusun Ireng Daye 300.000.000,00,- 2 tahun 50.000.000,00,- - Kepala Kantor Aset Daerah Lombok Barat -14-

C. Kesimpulan Hasil capaian penegak hukum, khususnya Pangadilan Tipikor pada PN Mataram dalam melakukan penindakan kasus korupsi di NTB sepanjang tahun 2014 masih jauh dari harapan masyarakat. Sebagian besar putusan yang dijatuhkan kepada pelaku korupsi masih didominasi oleh putusan dalam kategori hukuman Ringan antara 0,1 4 tahun penjara, yang pada gilirannya tidak dapat diharapkan mampu menjerakan koruptor. Putusan yang dijatuhkan Pengadilan Tipikor bagi pelaku korupsi kontra-produktif dengan semangat pemberantasan korupsi dalam Undang-Undang Pemberantasan Tipikor, yang berupaya menghukum koruptor dengan seberat-beratnya sehingga mampu menimbulkan efek jera. Sehingga, dapat menjadi pelajaran berharga, baik bagi pelaku korupsi itu sendiri maupun bagi masyarakat pada umumnya supaya tidak berani coba-coba melakukan korupsi. Upaya penyelamatan kerugian negara yang dilakukan oleh penegak hukum masih belum maksimal karena kerugian negara yang ditimbulkan tidak dibarengi dengan penjatuhan uang pengganti yang proporsional. Sehingga, hanya sekitar 20,83% kerugian negara yang tergantikan, selebihnya negara harus rugi besar akibat dari perkara korupsi sepanjang tahun 2014. Terdapat disparitas (perbedaan) hukuman dalam putusan pidana yang dijatuhkan Pengadilan Tipikor bagi pelaku korupsi. Ketidak-seragaman antara pidana badan, denda, maupun pidana sibsidiair (pengganti), baik subsidiair denda maupun subsidiair uang penggnti kerugian negara. Perkara korupsi yang kerugian negaranya tergolong lebih kecil diputus dengan hukum yang berat. Sedangkan, perkara korupsi yang kerugian negaranya lebih besar justru diputus dengan hukuman yang lebih ringan. Bahkan, juga perkara korupsi yang nilai kerugian negaranya sama, tetapi diputus dengan hukuman yang berbeda. -15-

D. Rekomendasi Berdasarkan keseluruhan hasil temuan di atas, ada beberapa catatan penting sebagai rekomendasi perbaikan di masa mendatang, yaitu sebagai berikut: 1. Penegak hukum, khususnya Pengadilan Tipikor harus memiliki kesamaan pandangan bahwa korupsi merupakan kejahatan luar biasa dan hukuman terhadap pelaku korupsi (koruptor) juga harus luar biasa (jera, miskin, malu, dan batasi hak-hak politiknya). Karenanya, Mahkamah Agung RI harus menerbitkan Surat Edaran atau Instruksi kepada hakim agar menjatuhkan hukuman maksimal bagi pelaku korupsi berupa: (a) penjatuhan pidana penjara maksimal sesuai dengan perbuatannya; (b) pemberian denda; (c) penjatuhan uang pengganti yang sesuai dengan kesalahannya; (d) penjatuhan pidana tambahan berupa pencabutan hak-hak politiknya untuk dipilih dalam jabatan publik; dan (e) pencabutan dana pensiun dari jabatan; 2. Mahkamah Agung RI harus merumuskan pedoman pemidanaan bagi hakim dalam perkara korupsi untuk mengurangi angka disparitas (perbedaan) putusan pidana yang dijatuhkan dalam perkara korupsi. Selain itu, juga untuk menutup celah atau peluang transaksional antara terdakwa dengan hakim dan untuk memberikan keadilan dan kepastian hukum bagi terdakwa itu sendiri maupun korban dalam perkara korupsi; dan 3. Pemerintah dalam hal ini Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkum-HAM) untuk tidak memberikan remisi dan pembebasan bersyarat bagi pelaku korupsi (koruptor), kecuali terhadap mereka yang ditetapkan sebagai whistle blower ataupun justice collaborator. Mataram, 9 Maret 2015 Divisi Hukum dan Peradilan Solidaritas Masyarakat untuk Transparansi (SOMASI) NTB -16-