BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia adalah negara hukum, hal ini tertuang dalam Undang-undang

dokumen-dokumen yang mirip
SURAT EDARAN Nomor: SE/ 06 / X /2015. tentang PENANGANAN UJARAN KEBENCIAN (HATE SPEECH)

SURAT EDARAN. Nomor: SE/06/X/2015. tentang PENANGANAN UJARAN HATE KEBENCIAN SPEECH ( ) Rujukan:

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP SURAT EDARAN KAPOLRI NOMOR:SE/06/X/2015 TENTANG PENANGANAN UJARAN KEBENCIAN (HATE SPEECH) DI MEDIA SOSIAL

No. Aturan Bunyi Pasal Catatan 1. Pasal 156 KUHPidana

Hate Speech (Ujaran Kebencian)

Surat Edaran Kapolri Tentang Ujaran Kebencian (Hate Speech), Akankah Membelenggu Kebebasan Berpendapat? Oleh: Zaqiu Rahman *

BAB I PENDAHULUAN. kekerasan. Tindak kekerasan merupakan suatu tindakan kejahatan yang. yang berlaku terutama norma hukum pidana.

BAB I PENDAHULUAN. Kemajuan teknologi yang ditandai dengan munculnya internet yang dapat

BAB I PENDAHULUAN. faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan hidupnya dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan norma serta

I. PENDAHULUAN. Manusia didalam pergaulan sehari-hari tidak dapat terlepas dari interaksi dengan

BAB I PENDAHULUAN. pencurian tersebut tidak segan-segan untuk melakukan kekerasan atau. aksinya dinilai semakin brutal dan tidak berperikemanusiaan.

BAB I PENDAHULUAN. Tercatat 673 kasus terjadi, naik dari tahun 2011, yakni 480 kasus. 1

BAB I PENDAHULUAN. Ilmu pengetahuan pada dasarnya muncul karena adanya hasrat ingin tahu

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan

I. PENDAHULUAN. Pembunuhan berencana dalam KUHP diatur dalam pasal 340 adalah Barang

BAB I PENDAHULUAN. merupakan wujud penegakan hak asasi manusia yang melekat pada diri. agar mendapatkan hukuman yang setimpal.

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2008

BAB I PENDAHULUAN. diperlukan suatu aturan hukum tertulis yang disebut pidana. Adapun dapat ditarik kesimpulan tujuan pidana adalah: 2

BAB I PENDAHULUAN. eksistensi negara modern, dan oleh karena itu masing-masing negara berusaha

BAB I PENDAHULUAN. dapat di pandang sama dihadapan hukum (equality before the law). Beberapa

BAB II LANDASAN TEORI. Adapun yang menjadi tujuan upaya diversi adalah : 6. a. untuk menghindari anak dari penahanan;

I. PENDAHULUAN. hukum serta Undang-Undang Pidana. Sebagai suatu kenyataan sosial, masalah

1. BAB I PENDAHULUAN. tentang kebebasan umat beragama dalam melaksanakan ibadahnya. Dasar hukum

BAB I PENDAHULUAN. Penegakan hukum pidana merupakan sebagian dari penegakan hukum di

BAB 1 PENDAHULUAN. Penuntutan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hlm ), hlm.94.

BAB I PENDAHULUAN. lingkungannyalah yang akan membentuk karakter anak. Dalam bukunya yang berjudul Children Are From Heaven, John Gray

BAB I PENDAHULUAN. A. Alasan Pemilihan Judul. Pidana Penjara Seumur Hidup (selanjutnya disebut pidana seumur hidup)

BAB I PENDAHULUAN. sangat pesat, khususnya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi.

BAB I PENDAHULUAN. pemberantasan atau penindakan terjadinya pelanggaran hukum. pada hakekatnya telah diletakkan dalam Undang-Undang Nomor 48 tahun

I. PENDAHULUAN. juga dapat menyengsarakan dan menghancurkan suatu negara. Dampak korupsi bagi negara-negara dengan kasus korupsi berbeda-beda bentuk,

I. PENDAHULUAN. terpuruknya sistem kesejahteraan material yang mengabaikan nilai-nilai

I. PENDAHULUAN. dengan alat kelamin atau bagian tubuh lainnya yang dapat merangsang nafsu

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum, tidak

BAB I PENDAHULUAN. perzinaan dengan orang lain diluar perkawinan mereka. Pada dasarnya

BAB I PENDAHULUAN. untuk dipenuhi. Manusia dalam hidupnya dikelilingi berbagai macam bahaya. kepentingannya atau keinginannya tidak tercapai.

BAB I PENDAHULUAN. Pertama, hal Soerjono Soekanto, 2007, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cetakan

BAB I PENDAHULUAN. berdiri di atasnya. Para fouding father ( pendiri bangsa) percaya dan menyakini,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkembangan jaman mengakibatkan semakin banyaknya kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan

I. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah negara hukum ( rechtsstaat) dan bukan

I. PENDAHULUAN. dari masyarakat yang masih berbudaya primitif sampai dengan masyarakat yang

BAB I PENDAHULUAN. Pidana bersyarat merupakan suatu sistem pidana di dalam hukum pidana yang

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

A. Penerapan Bantuan Hukum terhadap Anggota Kepolisian yang. Perkembangan masyarakat, menuntut kebutuhan kepastian akan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DAN PENADAHAN. dasar dari dapat dipidananya seseorang adalah kesalahan, yang berarti seseorang

BAB I PENDAHULUAN. yang memiliki derajat yang sama dengan yang lain. untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran. Dalam Pasal 2 Undang-undang

I. PENDAHULUAN. dalam Pembukaan UUD 1945 alinea ke-4 yang menyatakan sebagai berikut bahwa : Pemerintah

BAB III KESIMPULAN DAN SARAN. Untuk menjawab rumusan masalah yang dikemukakan penulis, berdasarkan

BAB I PENDAHULUAN. dua jenis alat bukti seperti yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum

Catatan Koalisi Perempuan Indonesia terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 46/PUU-XIV/2016

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk

POLICY BRIEF ANALISIS DAN EVALUASI HUKUM DALAM RANGKA PARTISIPASI PUBLIK DALAM PROSES PENGAMBILAN KEBIJAKAN PUBLIK

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Salah satu masalah besar yang dihadapi masyarakat pada saat ini

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Anak bukanlah untuk dihukum tetapi harus diberikan bimbingan dan

I. PENDAHULUAN. masing-masing wilayah negara, contohnya di Indonesia. Indonesia memiliki Hukum

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 76/PUU-XV/2017

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan baik pembangunan ekonomi, politik, maupun pengembangan

I. PENDAHULUAN. akan selalu ada, seperti penyakit dan kematian yang selalu berulang dan musim

BAB I PENDAHULUAN. lazim disebut norma. Norma adalah istilah yang sering digunakan untuk

teknologi informasi adalah munculnya tindak pidana mayantara (cyber crime). Cyber

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. (On-line), (29 Oktober 2016). 2

I. PENDAHULUAN. diyakini merupakan agenda penting masyarakat dunia saat ini, antara lain ditandai

BAB I PENDAHULUAN. baik. Perilaku warga negara yang menyimpang dari tata hukum yang harus

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. peraturan perundangan undangan yang berlaku dan pelakunya dapat dikenai

BAB I PENDAHULUAN. dipertegas dalam Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen ke-3 Pasal 1

I. PENDAHULUAN. Anak adalah amanat sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang senantiasa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia sebagai negara hukum berdasarkan Pancasila dan UUD

UNSUR-UNSUR PIDANA DALAM TINDAK PIDANA PENCEMARAN NAMA BAIK MELALUI MEDIA ONLINE (KAJIAN PUTUSAN PERKARA DENGAN TERDAKWA FLORENCE SAULINA SIHOMBING)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Negara Indonesia sebagai negara yang berdasarkan Pancasila dan

BAB I PENDAHULUAN. yang baik dan yang buruk, yang akan membimbing, dan mengarahkan. jawab atas semua tindakan yang dilakukannya.

II. TINJAUAN PUSTAKA. tindak pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam Undang-

BAB I PENDAHULUAN. hidup, tumbuh dan berkembang, berpartisipasi serta berhak atas perlindungan dari

BAB I PENDAHULUAN. yang memiliki peranan strategis dan mempunyai ciri-ciri dan sifat khusus, memerlukan pembinaan dan pengarahan dalam rangka menjamin

TINDAK PIDANA DI BIDANG MEDIA SOSIAL Oleh : Prof. Dr. H. Didik Endro Purwoleksono, S.H., M.H.

I. PENDAHULUAN. Hak asasi manusia merupakan dasar dari kebebasan manusia yang mengandung

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana. Bagaimanapun baiknya segala peraturan perundang-undangan yang siciptakan

I. PENDAHULUAN. Anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) adalah warga negara Indonesia yang

Oleh : Didit Susilo Guntono NIM. S BAB I PENDAHULUAN

I.PENDAHULUAN. Fenomena yang aktual saat ini yang dialami negara-negara yang sedang

BAB I PENDAHULUAN. Kejahatan di dalam masyarakat berkembang seiring dengan. tidak akan dapat hilang dengan sendirinya, sebaliknya kasus pidana semakin

BAB 1 PENDAHULUAN. setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum.

BAB I PENDAHULUAN. penjajahan mencapai puncaknya dengan di Proklamasikan Kemerdekaan. kita mampu untuk mengatur diri sendiri. 1

PENEGAKAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA

BAB 1 PENDAHULUAN. Ali Dahwir, SH., MH Hukum Pidana

PENDAHULUAN. perubahan dalam masyarakat Indonesia yang kemudian dikenal sebagai krisis

BAB I PENDAHULUAN. khususnya Pasal 378, orang awam menyamaratakan Penipuan atau lebih. (Pasal 372 KUHPidana) hanya ada perbedaan yang sangat tipis.

BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA PELAKU PEMBAKARAN LAHAN

Berdasarkan keterangan saya sebagai saksi ahli di bidang Hukum Telematika dalam sidang Mahkamah Konstitusi tanggal 19 Maret 2009, perihal Pengujian

I. PENDAHULUAN. Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya untuk

PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA KORPORASI PERBANKAN DENGAN PERMA NO. 13 TAHUN 2016

BAB I PENDAHULUAN. menyatakan Negara Indonesia adalah Negara hukum. 1 Adapun tujuan

Masih Dicari Hukum Yang Pro Kemerdekaan Berpendapat Friday, 21 October :50 - Last Updated Tuesday, 04 September :19

tulisan, gambaran atau benda yang telah diketahui isinya melanggar kesusilaan muatan yang melanggar kesusilaan

II. TINJAUAN PUSTAKA. sehingga mereka tidak tahu tentang batasan umur yang disebut dalam pengertian

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU TINDAK PIDANA PENCEMARAN NAMA BAIK MELALUI MEDIA SOSIAL DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara hukum, hal ini tertuang dalam Undang-undang Dasar 1945 terdapat pada BAB I Pasal I ayat (3). Sebagai negara hukum Indonesia mempunyai undang-undang yang mengatur agar terciptanya negara hukum yang sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia. Norma atau kaidah adalah petunjuk hidup, yaitu petunjuk bagaimana seharusnya kita berbuat, bertingkah laku, tidak berbuat, dan tidak bertingkah laku di dalam masyarakat. Dengan demikian, norma atau kaidah tersebut berisi perintah atau larangan, setiap orang hendaknya mentaati norma atau kaidah itu agar kehidupan dapat tentram dan damai. Hukum merupakan seperangkat norma atau kaidah, dan kaidah itu bermacam-macam, tetapi tetap sebagai satu kesatuan. Karena kaidah itu berisi perintah maupun larangan maka sudah selayaknya kaidah yang merupakan petunjuk hidup tersebut mempunyai sifat memaksa yang merupakan ciri dari kaidah hukum. 1 Imam Syaukani dalam buku Nomensen Sinamo dalam judul buku Pengantar Hukum Indonesia menyatakan bahwa hukum adalah sebuah entitas yang sangat kompleks, meliputi kenyataan, menyangkut yang majemuk, mempunyai banyak aspek, dimensi dan fase, bahkan bila diibaratkan benda ia 1 Yuliena Tiena Masriani, Pengantar Hukum Indonesia.cetakan 3, Jakarta, Sinar Grafika, 2012, hlm :1

2 bagaikan permata, yang tiap irisan dan sudutnya akan memberikan kesan yang berbeda bagi setiap orang yang melihat atau memandangnya. 2 Hukum secara umum dibagi menjadi dua, yaitu Hukum Publik dan Hukum Privat. Hukum Pidana itu merupakan Hukum Publik, yang artinya bahwa Hukum Pidana mengatur hubungan antara para individu dengan masyarakat atau negara, dan dijalankan demi kepentingan masyarakat serta hanya diterapkan bilamana masyarakat itu benar-benar memerlukan. Sementara Hukum Privat atau Hukum Sipil atau Hukum Perdata mengatur hubungan antara sesama individu. 3 Menurut Simons hukum pidana itu dapat dibagi menjadi hukum pidana dalam arti objektif dan hukum pidana dalam arti subjektif. Hukum pidana dalam arti objektif adalah hukum pidana yang berlaku, atau yang juga disebut sebagai hukum positif. 4 Simons merumuskan hukum pidana dalam arti objektif sebagai: 1) Keseluruhan larangan dan perintah yang oleh negara diancam dengan nestapa yaitu suatu pidana apabila tidak ditaati; 2) Keseluruhan peraturan yang menetapkan syarat-syarat untuk penjatuhan pidana, dan; 3) Keseluruhan ketentuan yang memberikan dasar untuk penjatuhan dan penerapan pidana. 5 Hukum pidana dalam arti subjektif bisa diartikan secara luas dan sempit, yaitu sebagai berikut: 2 Nomensen Sinamo, Pengantar Hukum Indonesia, Jakarta,Bumi Intitama Sejahtera: 2011. hlm.1 3 Koesparmono Irsan, Hukum Pidana Suatau Pengantar, Jakarta, 2015, hlm.1-11 4 P.A.F. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, cetakan 9, Bandung: Sinar Baru, 2013, hlm.1-2 5 Sudarto, Hukum Pidana I,cetakan 4, Semarang: Yayasan Sudarto, 2012, hlm. 9.

3 1) Dalam arti luas: Hak dari negara atau alat-alat perlengkapan negara untuk mengenakan atau mengancam pidana terhadap perbuatan tertentu; 2) Dalam arti sempit: Hak untuk menuntut perkara-perkara pidana, menjatuhkan dan melaksanakan pidana terhadap orang yang melakukan perbuatan yang dilarang. Hak ini dilakukan oleh badan-badan peradilan. Jadi ius puniendi adalah hak mengenakan pidana. Hukum pidana dalam arti subjektif (ius puniendi) yang merupakan peraturan yang mengatur hak negara dan alat perlengkapan negara untuk mengancam, menjatuhkan dan melaksanakan hukuman terhadap seseorang yang melanggar larangan dan perintah yang telah diatur di dalam hukum pidana itu diperoleh negara dari peraturan-peraturan yang telah ditentukan oleh hukum pidana dalam arti objektif (ius poenale). Dengan kata lain ius puniendi harus berdasarkan kepada ius poenale 6. Istilah ultimum remedium digunakan oleh Menteri Kehakiman Belanda untuk menjawab pertanyaan seorang anggota parlemen bernama Meckay dalam rangka pembahasan rancangan KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana). Asas tersebut ialah bahwa yang boleh dipidana yaitu mereka yang menciptakan on reght (perbuatan melawan hukum). Hal ini merupakan condito sine qua non. Kedua, ialah bahwa syarat yang harus ditambahkan ialah bahwa perbuatan melawan hukum itu tidaklah dapat ditekan dengan cara lain. Pidana itu haruslah tetap merupakan upaya yang terakhir. Pada dasarnya terhadap setiap ancaman pidana terdapat keberatan-keberatan. Setiap manusia yang berakal dapat juga 6 Koesparmono Irsan, Hukum Pidana Suatu Pengantar, Jakarta, 2015, hlm.1-11

4 memahaminya sekalipun tanpa penjelasan. Hal itu tidak berarti bahwa pemidanaan harus ditinggalkan, tetapi orang harus membuat penilaian tentang keuntungan dan kerugiannya pidana itu, dan harus menjaga jangan sampai terjadi obat yang diberikan lebih jahat dari pada penyakit. 7 Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi No 50/PUU-VI/2008 menegaskan bahwa Pasal 27 ayat 3 Undang-Undang tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik merupakan delik aduan. Bahkan dalam pertimbangan Mahkamah Konstitusi butir (3.17.1) menguraikan lebih lanjut bahwa Pasal 27 ayat 3 Undang-Undang Informasi Dan Transaksi Elektronik merupakan satu kesatuan bangunan sistem hukum dengan pasal 310 dan Pasal 311 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Yang mana pasal pencemaran nama baik dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana merupakan genus delicht atas Pasal 27 ayat 3 Undang-Undang Informasi Dan Transaksi Elektronik. Terlepas dari titik terang yang terbuka atas penafsiran Mahkamah Konstitusi atas Pasal 27 ayat 3 Undang-Undang tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik. Pada dasarnya masih menyimpan sejumlah kejanggalan ketentuan tersebut. Pertama, terminologi tanpa hak dalam Pasal 27 ayat 3 Undang-Undang Informasi Dan Transaksi Elektronik, kontradiksi dengan kalimat selanjutnya Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. Bahwa bagaimana mungkin suatu perbuatan adalah 7 https://restatika. Wordpress.com. Karakteristik Hukum Pidana Dalam Konteks Ultimum Remedium. (03 Mei 2016. Jam: 13.35)

5 terlarang tetapi masih dibuka pencemaran nama baik. Kiranya jika frase tanpa hak dalam ketentuan itu, dimaksudkan untuk meniadakan sifat melawan hukum pencemaran yang diletakkan dalam keadaan membela diri, berarti sifat melawan hukum dapat menjadi hapus apabila ada alasan demi kepentingan umum, sebagaimana maksud Pasal 310 ayat 3 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. 8 Kedua, Pasal 27 ayat 3 Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik juga diikuiti dengan kalimat yang memiliki muatan penghinaan dan atau pencemaran nama baik. Perlu diingat bahwa penghinaan diartikan sama dengan pengertian penghinaan (beleediging) berdasarkan Bab XVI Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Penghinaan tidak termasuk tindak pidana, melainkan kualifikasi dari bentuk-bentuk tindak pidana yang menyerang harga diri, nama baik atau kehormatan, baik yang diserang adalah pribadi maupun kelompok. 9 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana memiliki beberapa pasal yang dikenal sebagai pasal-pasal penyebaran kebencian, yaitu Pasal 154 tentang barang siapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap Pemerintah Indonesia, Pasal 155 tentang Penyiaran dari tindak pidana Pasal 154, dan Pasal 156 tentang barang siapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia. Pasal-pasal tersebut dengan tegas melarang pernyataan yang antara lain berupa pernyataan perasaan kebencian terhadap 8 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1, cetakan 2, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,2012, hlm. 2 9 Republik Indonesia Undang-Undang Pasal 27 ayat 3 Informasi dan Transaksi Elektronik.

6 Pemerintah Indonesia (Pasal 154 dan Pasal 155) atau suatu/beberapa golongan rakyat Indonesia (Pasal 156). Dalam perkembangan selanjutnya Pasal 154 dan Pasal 155 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana kemudian telah diputuskan sebagai bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan karenanya tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat oleh putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 6/PUU-V/2007. 10 Dasar pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam putusannya tersebut, yaitu bahwa ketentuan Pasal 154 dan 155 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, di satu pihak tidak menjamin adanya kepastian hukum sehingga bertentangan dengan Pasal 28D Ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, di pihak lain, sebagai konsekuensinya, juga secara tidak proporsional menghalang-halangi kemerdekaan untuk menyatakan pikiran dan sikap serta kemerdekaan menyampaikan pendapat sehingga bertentangan dengan Pasal 28 dan 28E Ayat (2) dan Ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945. 11 Hate Speech (Ucapan Penghinaan/atau kebencian) adalah tindakan komunikasi yang dilakukan oleh suatu individu atau kelompok dalam bentuk provokasi, hasutan, ataupun hinaan kepada individu atau kelompok yang lain dalam hal berbagai aspek seperti ras, warna kulit, etnis, gender, cacat, orientasi seksual, kewarganegaraan, agama, dan lain-lain. 12 Polisi Jenderal Badrodin Haiti menggunakan istilah Ujaran Kebencian terhadap Surat Edaran yang dikeluarkannya, dalam Kamus Besar Bahasa 10 Putusan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 6/PUU-V/2007 (Tanggal 17-7-2007) http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/, diakses tanggal 25-1-2016. 11 Ibid. 12 http://www.kompas.com (diakses tanggal 25-1-2016.)

7 Indonesia kata ujaran berasal dari kata ujar yang artinya perkataan yang diucapkan/kalimat atau bagian kalimat yang dilisankan, ujar-ujar nasihat atau kata-kata nenek moyang berupa peribahasa, pepatah, dan sebagainya, berujar berkata atau berucap, mengujarkan mengatakan/menuturkan, ujaran kalimat atau bagian kalimat yang dilisankan. 13 Surat edaran yang mengatur tentang hate speech, atau ujaran kebencian, yang sudah diedarkan oleh Kepala Kepolisian Republik Indonesia Jenderal Badrodin Haiti. Surat Edaran Nomor: SE/6/X/2015 tersebut dikeluarkan pada 8 Oktober lalu dan dikirim ke Kepolisian Sektor dan Resor di seluruh pelosok tanah air. Menurut surat edaran tesebut, ujaran kebencian adalah tindak pidana yang berbentuk penghinaan, pencemaran nama baik, penistaan, perbuatan tidak menyenangkan, memprovokasi, menghasut, penyebaran berita bohong, dan semua tindakan di atas memiliki tujuan atau bisa berdampak pada tindak diskriminasi, kekerasan, penghilangan nyawa, dan atau konflik sosial. Aspeknya meliputi suku, agama, aliran keagamaan, keyakinan dan kepercayaan, ras, antar golongan, warna kulit, etnis, gender, kaum difabel, dan orientasi seksual. Ujaran kebencian dapat melalui media kegiatan kampanye, spanduk atau banner, jejaring media sosial, penyampaian pendapat di muka umum atau demonstrasi, ceramah keagamaan, media massa cetak maupun elektronik, dan pamflet. Surat Edaran Kepala Kepolisian Republik Indonesia ini merujuk pada beberapa perundang-undangan antara lain; Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, 13 http://kbbi.web.id/ujar diakses tanggal 3-8 2016 jam 14.00

8 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Ratifikasi Konvensi Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, serta Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial. Nomor 2 huruf (f) Surat Edaran Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor: SE/06/X/2015 menyebutkan: 14 Ujaran kebencian dapat berupa tindak pidana yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan ketentuan pidana lainnya di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yang berbentuk antara lain: 1. Penghinaan; 2. Pencemaran nama baik; 3. Penistaan; 4. Perbuatan tidak menyenangkan; 5. Memprovokasi; 6. Menghasut; 7. Menyebarkan berita bohong dan semua tindakan di atas memiliki tujuan atau bisa berdampak pada tindak diskriminasi, kekerasan, penghilangan nyawa, dan atau konflik sosial. Selanjutnya pada huruf (g) Surat Edaran Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor: SE/06/X/2015 disebutkan: 15 Ujaran kebencian sebagaimana dimaksud di atas, bertujuan untuk menghasut dan menyulut kebencian terhadap individu dan atau kelompok masyarakat, dalam berbagai komunitas yang dibedakan dari aspek: 1. Suku; 2. Agama; 3. Aliran keagamaan; 4. Keyakinan atau kepercayaan; 5. Ras; 6. Antar golongan; 7. Warna kulit; 14 Surat Edaran (SE) Nomor SE/06/X/2015, hlm.2 15 Surat Edaran (SE) Nomor SE/06/X/2015, hlm.3

9 8. Etnis; 9. Gender; 10. Kaum difabel; 11. Orientasi seksual. Pada huruf (h) Surat Edaran kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor: SE/06/X/2015 disebutkan: 16 Ujaran kebencian sebagaimana dimaksud di atas dapat dilakukan melalui berbagai media, antara lain: 1. Dalam orasi kegiatan kampanye; 2. Spanduk atau banner; 3. Jejaring media sosial; 4. Penyampaian pendapat di muka umum (demonstrasi); 5. Ceramah keagamaan; 6. Media masa cetak atau elektronik; 7. Pamflet. Pada huruf (i) Surat Edaran Kepala kepolisian Republik Indonesia Nomor: SE/06/X/2015 disebutkan: 17 Dengan memperhatikan pengertian ujaran kebencian di atas, perbuatan ujaran kebencian apabila tidak ditangani dengan efektif, efisien, dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, akan berpotensi memunculkan konflik sosial yang meluas, dan berpotensi menimbulkan tindak diskriminasi, kekerasan, dan atau penghilangan nyawa. Ada satu contoh kasus yang penulis analisis dalam skripsi ini yaitu kasusnya Florece Saulina Sihombing, seorang mahasiswi yang berasal dari Medan yang kuliah di Universitas Gajah Mada Yogyakarta. Florence Saulina Sihombing menulis status di akun Phatnya yang berbunyi Gimana Indonesia bisa maju? Mau aja lo semua diperbudak keadaan. TOLOL sampai 7 generasi. Dan maumaunya Yogya diperbudak monopoli pertamina. Pantesan MISKIN. Ini salah satu capture Phat Florence Sihombing. 18 16 Ibid.hlm.3 17 Ibid.hlm.3 18 Regional Kompas.com. read. 2016/08/03. 15:30.WIB.

10 Gara-gara Forence Saulina Sihombing mengucapkan atau mengujarkan kebenciannya dimedia sosial Phat dan Twitter, dia dihadapkan ke meja hijau, bahkan sempat ditahan dalam tahanan Rutan Polda D.I. Yogyakarta pada tanggal 30 Agustus 2014, walaupun hanya 2 hari ditahan karena pada tanggal 1 September 2014 Penangguhan Penahanannya telah dikabulkan oleh Ditreskrimsus Polda D.I.Yogyakarta. Jaksa Penuntut Umum telah mendakwa Florence Saulina Sihombing dengan dakwaan Pasal 27 ayat (3) junto Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Informasi Dan Transaksi Elektronik Tahun 2011, dalam dakwaannya jaksa menjelaskan kronologinya. Bahwa pada awalnya hari rabu tanggal 27 Agustus 2014 sekira pukul 14.00 Wib Florence Saulina Sihombing bermaksud membeli pertamax 95 di pom Bensin Lempunyangan, Beciro, Yogyakarta, dan dia mengantri dijalur mobil, oleh petugas Statsiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) tidak dilayani dijalur mobil dan disuruhnya mengantri dijalur motor yang antriannya panjang sekali. Karena kesal tidak dilayani oleh petugas SPBU sesampainya di rumah kos-kosannya Florence Saulina Sihombing mencurahkan kekesalannya kepada petugas SPBU melalui media sosial. jogja Miskin, Tolol dan Tak Berbudaya. Teman-teman Jakarta-Bandung jangan mau tinggal di Jogja. Satu lagi kata-kata dari Florence Saulina Sihombing yang dicantumkan Jaksa Penuntut Umum dalam dakwaanya Orang Jogja bangsat. Kakak mau beli Pertamak 95 mentang-mentang pake motor harus antri dijalur mobil trus nggak

11 dilayani. Malah disuruh antri dijalur motor yang stuck panjangnya gak ketulungan. Diskriminasi. Emangnya aku gak bisa bayar apa. KZL. 19 Kata-kata dari Florece Saulina Sihombing tersebut telah menyulut kemarahan masyarakat Yogyakarta, dan melalui salah satu Lembaga Swadaya Masyarakat telah melaporkan Florence Saulina Sihombing ke Polda Yogyakarta sehingga akhirnya Florence Saulina Sihombing diadili di Pengadilan Negeri Yogyakarta. B. Identifikasi Masalah dan Rumusan Masalah 1. Identifikasi Masalah Berdasarkan uraian di atas untuk mengetahui, memahami dan juga mengkaji mengenai Surat Edaran Kepala Kepolisian republik Indonesia Nomor: SE/06/X/2015 Tentang Penanganan Ujaran Kebencian (Hate Speech), maka peneliti tertarik mengangkat dan menganalisis permasalahan dalam bentuk Skripsi dengan judul Efektivitas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik Dikaitkan Dengan Terbitnya Surat Edaran Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor: SE/6/X/2015 Tentang Penanganan Ujaran Kebencian (Hate Speech). 2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah sebagaimana yang telah diuraikan diatas, maka masalah penelitian yang penulis dapat rumuskan adalah sebagai berikut: 19 Perkara. Pt-yogyakarta.go.id.web.new. 2016/08/03. 16:00. WIB.

12 1. Bagaimana kedudukan hukum (legal standing) Surat Edaran Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor: SE/6/X/2015 tentang ujaran kebencian (hate speech)? 2. Bagaimana efektivitas Surat Edaran Kepolisian Republik Indonesia Nomor: SE/6/X/2015 sehingga mempunyai nilai daya paksa dalam rangka penegakan hukum di Indonesia? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian Berdasarkan pokok permasalahan di atas, ada beberapa tujuan yang melandasi penelitian ini yaitu: a. Untuk mengetahui bagaimana kedudukan hukum (legal standing) Surat Edaran Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor: SE/6/X/2015 tentang ujaran kebencian (hate speech) b. Untuk mengetahui bagaimana efektivitas Surat Edaran Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor: SE/6/X/2015 sehingga mempunyai nilai daya paksa dalam rangka penegakan hukum di Indonesia. 2. Manfaat Penelitian Adapun manfaat dari penelitian ini berdasarkan tujuan penelitian dalam penulisan penelitian maka penelitian ini memiliki manfaat teoritis dan praktis. Adapun kedua kegunaan tersebut adalah sebagai berikut: a. Secara Teoritis

13 Manfaat penelitian ini adalah untuk memberikan sumbangan pemikiran dalam pengembangan ilmu hukum khususnya dalam bidang hukum pidana menyangkut penerapan tujuan sistem pemidanaan bagi pelaku tindak pidana dan peran aparat penegak hukum khusunya Hakim di dalam menjatuhkan sanksi bagi pelaku tindak pidana kaitannya dengan ujaran kebencian. Selain itu penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan masukan bagi penyempurnaan peraturan hukum dalam pemidanaan pelaku tindak pidana yang disesuaikan dengan tujuan pemidanaan. b. Secara Praktis Diharapkan penelitian ini memberikan masukan kepada aparat penegak hukum dalam sistem peradilan pidana (criminal justice system) khususnya Hakim dalam mengambil putusan dengan pertimbangan perbuatan pidana dan kepentingan pelaku tindak pidana, sehingga dapat menyelaraskan dengan tujuan pemidanaan, selanjutnya penelitian ini juga diharapkan dapat bermanfaat bagi para pihak yang terkait dengan penanggulangan tindak pidana untuk mengambil beberapa rangkaian kebijakan.

14 D. Kerangka Teorities, Konsepsional, dan Pemikiran. 1. Kerangka Teoritis Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir, pendapat, teori, mengenai sesuatu kasus atau permasalahan yang menjadi perbandingan, pegangan teoritis. 20 Hukum sebagai sarana rekayasa sosial (law as a tool of social engineering) pertama kali dikemukakan Roscoe Pound (1870-1964) 21 pemikir yang jadi pentolan mazhab hukum antrho-sociological jurisprudence. Mazhab ini berkembang di Amerika Serikat sebagai reaksi atas mazhab positivisme hukum yang diprakarsai oleh Jhon Austin (1790-1859) dan Hans Kelsen (1881-1859) pada abad ke-19. Hukum dalam pengertian Pound dimaknai sebagai sarana untuk melakukan pembaruan di dalam masyarakat. Tool tidak diterjemahkan menjadi alat tetapi sarana sebab hukum bertalian dengan konteks kemasyarakatan seperti faktor-faktor kepercayaan, keyakinan, dan budayanya. Penerjemahan tool sebagai alat memiliki konotasi mekanistik yang kaku, yang mengabaikan aspek-aspek kemasyarakatan. Pandangan Pound tersebut agaknya bertolak belakang dari pendekatan instrumentalisme hukum yang selalu berkutat pada proposisi bahwa, pertama, hukum memuat sumber doktrinal yang berupa nilai dan asas-asas yang berisikan isi dan bentuk pada perkembangan hukum. Kedua, hukum selalu bersifat dinamis, tidak statis, dan secara alamiah selalu dalam keadaan 20 M.Solly lubis, Filsafat ilmu dan Penelitian, cetakan 4, Bandung, Mandar Maju, 2014, hlm. 80 21 www.beragammakalahkuliah.tk>2016/05 diakses pada tanggal 3-8-2016 jam 16.00 Wib

15 berkembang. Ketiga hukum senantiasa berkembang secara teratur dalam suatu sistem hukum untuk menghadapi tuntutan kemanusiaan. Keempat, adalah tugas hukum untuk memelihara dan menjaga agar proses perkembangan hukum dapat teratur dan bekerja secara bebas (Atmasasmita, 2012:17). 22 Menurut Roeslan Saleh, tidaklah ada gunanya untuk mempertanggungjawabkan terdakwa atas perbuatannya apabila perbuatannya itu sendiri tidak bersifat melawan hukum, maka lebih lanjut dapat pula dikatakan bahwa terlebih dahulu harus ada kepastian tentang adanya perbuatan pidana, dan kemudian semua unsur-unsur kesalahan harus dihubungkan pula dengan perbuatan pidana yang dilakukan, sehingga untuk adanya kesalahan yang mengakibatkan dipidananya terdakwa maka terdakwa haruslah: 23 1) Melakukan perbuatan pidana; 2) Mampu bertanggung jawab; 3) Dengan kesengajaan atau kealpaan, dan 4) Tidak adanya alasan pemaaf. Berdasarkan uraian tersebut di atas, jika keempat unsur tersebut di atas ada maka orang yang bersangkutan atau pelaku tindak pidana dimaksud dapat dinyatakan mempunyai pertanggungjawaban pidana, sehingga ia dapat dipidana. 22 www.beragammakalahkuliah.tk>2016/05 diakses pada tanggal 3-8-2016 jam 16.00 Wib 23 Roeslan Saleh, Pikiran-pikiran Tentang Pertanggungjawaban Pidana, cetakan 12, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2013, hlm. 10

16 Berbeda dengan seorang aparat penegak hukum contohnya Brimob yang mengeksekusi hukuman terpidana mati, menembak mati para terpidana mati, tetapi tidak bisa dikatakan bahwa anggota Brimob tersebut telah melakukan tindak pidana karena adanya alasan pemaaf. 2. Kerangka Konseptual Dalam kerangka konseptual diungkapkan beberapa konsepsi atau pengertian yang akan dipergunakan sebagai dasar penelitian hukum, dan didalam landasan/kerangka teoritis diuraikan segala sesuatu yang terdapat dalam teori sebagai suatu sistem aneka theore ma atau ajaran (di dalam bahasa Belanda: leerstelling ). 24 Keberadaan dari kerangka konsepsional dalam suatu penelitian diperlukan dalam rangka membatasi pengertian yang akan dikemukakan peneliti, sebab dimungkinkan satu kata atau istilah mempunyai pengertian yang beragam. Dengan demikian, diharapkan antara peneliti dan pembaca akan tercipta suatu kerangka berfikir dan pemahaman yang sama terhadap terminologi suatu pengertian istilah. Kerangka konsepsional ini merupakan penjabaran konkrit dari teori, serta dapat memuat definisi operasional, sebagai berikut: 25 1) Kata kebencian adalah suatu keadaan pikiran/mental dicirikan sebagai emosi intens dan irasional penghinaan, permusuhan, dan ketidaksukaan besar terhadap kelompok sasaran. 24 Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, cetakan 8, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2013, hlm. 7. 25 Ibid.

17 2) Kata diskriminasi harus dipahami sebagai setiap pembedaan, pengecualian, pembatasan, atau preferensi berdasarkan ras, jenis kelamin, etnis, agama, atau keyakinan, cacat, usia, orientasi seksual, bahasa politik atau pendapat lainnya, asal nasional atau sosial, kebangsaan, kekayaan, kelahiran, warna kulit, atau status lainnya, yang memiliki tujuan atau efek meniadakan atau mengurangi pengakuan, penikmatan atau pelaksanaan, pada pijakan yang sama, hak asasi manusia dan kebebasan fundamental di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya atau lainnya kehidupan publik. 3) Kata kekerasan harus dipahami sebagai penggunaan sengaja kekuatan fisik atau kekuasaan terhadap orang lain, atau terhadap kelompok atau komunitas, yang baik menghasilkan atau memiliki kemungkinan tinggi untuk mengakibatkan cidera, kematian, penderitaan psikologis, kegagalan melakukan pembangunan, atau pengurangan hak asasi lainnya. 4) Kata permusuhan menyiratkan tindakan yang diwujudkan bukan hanya suatu keadaan pikiran/mental, tetapi menyiratkan suatu keadaan pikiran/mental yang ditindaklanjuti. Dalam hal ini, kata permusuhan dapat didefinisikan sebagai manifestasi dari kebencian yang merupakan manifestasi dari emosi intens dan irasional penghinaan, permusuhan, dan kebencian terhadap kelompok sasaran.

18 3. Kerangka Pemikiran UU NO. 11 Tahun 2008 Tentang ITE Putusan Nomor: 26/Pid.Sus/2015/PT.YYK) Cyber Bullying Sosial Media Surat Edaran Kepala Kepolisian Republik Indonesia (SEKAP) Nomor: SE/6/X/2015 TentangPenanganan Ujaran E. Metode Penelitian Jenis penelitian yang digunakan disini, yaitu penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif merupakan suatu penelitian yang meletakkan titik berat penelitian pada hukum sebagai seperangkat norma (kaidah), dengan demikian merupakan suatu penelitian yang bersifat hukum positif. Untuk mencapai apa yang diharapkan dengan tepat terarah dalam penelitian, penyusunan menggunakan metode penelitian sebagai berikut: 1. Jenis Penelitian Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kepustakaan (library research) yaitu penelitian yang dilaksanakan dengan menggunakan literatur (kepustakaan), baik berupa buku, catatan, maupun laporan hasil penelitian

19 dari penelitian terdahulu. 26 Penelitian ini dilaksanakan dengan melakukan pengujian atau eksaminasi terhadap surat edaran yang di keluarkan oleh Kepala Kepolisian Republik Indonesia Jenderal Badrodin Haiti. Surat Edaran Nomor: SE/6/X/2015 tersebut dikeluarkan pada 8 Oktober lalu dan dikirim ke Kepolisian Sektor dan Resor di seluruh pelosok tanah air. Penelitian kepustakaan (library research) digunakan untuk mengetahui sejauh mana Kepolisian menggunakan teori sanksi pidana dan sanksi tindakan (double track system) sebagaimana yang telah tertuang dalam Undang-Undang. 2. Pendekatan Penelitian Penelitian ini menggunakan beberapa pendekatan, dimana dengan pendekatan-pendekatan tersebut penyusun akan mendapat informasi dari berbagai aspek, penyusun juga memakai pendekatan yuridis normatif yaitu penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma hukum positif. 27 3. Sumber Data Data yang akan dipergunakan adalah berupa data primer dan data sekunder. Data hukum primer adalah bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas. Data primer yang dipergunakan adalah Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik. Sedangkan, data hukum sekunder berupa SE/6/X/2015 tentang penaganan ujaran kebencian (hate speec), bahan hukum yang terdiri atas buku-buku teks 26 M. Iqbal Hasan, Pokok-Pokok Materi Metodologi Penelitian dan Aplikasinya, cetakan 3, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2012, hlm. 11. 27 Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, cetakan 2, Surabaya: Bayumedia, 2013, hlm. 282.

20 yang ditulis oleh ahli hukum yang berpengaruh, pendapat para sarjana, kasuskasus hukum yang berkaitan dengan topik penelitian. 4. Analisis Data Analisis data adalah proses penyederhanaan data ke dalam bentuk yang mudah dibaca dan diinterpretasikan. 28 Penyusunan menggunakan metode deskriptif analisis, yakni usaha untuk mengumpulkan dan menyusun suatu data, kemudian dilakukan analisis terhadap data tersebut. 29 Data yang telah terkumpul selanjutnya dianalisa dengan menggunakan metode deduktif, yaitu cara berfikir yang menggunakan dalil-dalil yang bersifat umum kemudian diambil faktor-faktor khusus sehingga dapat diambil suatu kesimpulan dari dalam yang bersifat umum. Metode ini digunakan untuk menganalisis bagaimana lingkup dan kedudukan Surat Edaran Kapolri Nomor: SE/6/X/2015 Tentang Penangangan Ujaran Kebencian (hate speech). F. Sistematika Penulisan Pada Sistematika penulisan, Penulis menguraikan mengenai pokok bab dan sub-subnya secara terstruktur dalam kalimat uraian. Pengetikan sistematika Bab mengikuti baris alinea yang memisahkan antara Bab I dan Bab berikutnya. 28 Masri Singarimbun dan Sofyan Efendi, Metode Penelitian Survei, cetakan 6, Jakarta: LP3ES, 2015, hlm. 85 29 Winarno Surachman, Pengantar Penelitian Ilmiah: Dasar, Metode, dan Teknik, cetakan 4, Bandung: Tarsito, 2012, hlm. 139

21 BAB I Pendahuluan, pada bab ini diuraikan mengenai latar belakang masalah, identifikasi masalah dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kerangka teoritis, kerangka konseptual, dan kerangka pemikiran, metode penelitian, serta sistematika penulisan. BAB II Tinjauan Pustaka, pada bab ini diuraikan mengenai teori sosial media, pertumbuhan media sosial, peran dan fungsi media sosial, jenis-jenis media sosial, Cyber Bullying, ulasan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektonik syarat dan kekuatan hukum alat bukti elektronik, pengertian ujaran kebencian (Hate Speech), latar belakang masalah munculnya Surat Edaran Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor: SE/6/X/2015, serta Surat Edaran Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor: SE/6/X/2015. BAB III Hasil Penelitian, pada bab ini diuraikan mengenai posisi kasus, dasar- dasar pertimbangan Hakim dalam putusan, putusan Pengadilan Tinggi Yogyakarta. BAB IV Pembahasan dan Analisis Hasil Penelitian, pada bab ini diuraikan mengenai kedudukan hukum surat edaran Kapolri nomor: SE/6/X/ 2015 tentang penanganan ujaran kebencian (hate speech), dan Efektivitas Surat Edaran Nomor: SE/6/X/2015 Sehingga Mempunyai Nilai Daya Paksa Dalam Rangka Penegakan Hukum Di Indonesia

22 BAB V Penutup Berisi Kesimpulan dan Saran Pada umumnya kontribusi Bab I sampai dengan Bab V saling berhubungan dalam lingkup kajiannya sehingga maknannya tetap utuh sebagaimanan layaknya sebuah karya ilmiah.