BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Korupsi sebagai suatu bentuk perbuatan pidana memberikan suatu akibat yang tidak baik dalam perjalanan suatu negara khususnya dalam pencapaian tujuan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Korupsi di Indonesia telah melibatkan banyak kalangan, baik di pusat maupun di daerah, di lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, dan tokoh masyarakat. 1 Penegakan hukum serta pengusutan secara tuntas dan adil terhadap tindak korupsi memang harus dilaksanakan dan ditegakkan tanpa pandang bulu. Akan tetapi, ada berbagai persoalan yang lebih fundamental, agar menumbuhkan sikap arif untuk bersama-sama tidak mengulang dan membudayakan korupsi dalam berbagai aspek kehidupan. 2 Jadi upaya-upaya pemberantasan tindak pidana korupsi dengan berbagai bentuk usaha terus dijalankan, khususnya dengan jalan memberikan perlindungan kepada saksi pelapor. Masih segar dalam ingatan kita suatu kisah tentang seorang yang bernama Endin Wahyudi yang melaporkan perbuatan pidana yang diduga dilakukan oleh beberapa orang Hakim. Kemudian, hakim tersebut melakukan serangan balik. Sang Hakim bebas dari hukuman, sementara yang pelapor dihukum pengadilan karena terbukti melakukan tindak pidana yang dituduhkan. 3 Kisah tragis sang pelapor yang memberikan pesan negatif bagi penegakan hukum di Indonesia. Dimensi yang sangat terasa sekali pada akhir-akhir ini adalah 1 Martiman Prodjohamidjojo, 2001, Penerapan Pembuktian Terbalik Dalam Kasus Korupsi, Bandung : Mandar Maju, hal. 2 2 Ibid, hal. 3. 3 Sutta Dharmasaputra, UU Perlindungan Saksi dan Korban. Sebuah Momentum Baru Penegakan Hukum, http://www.google.com, Diakses tanggal 10 Januari 2011. 1
laporan dari Bekas Kabareskrim Polri yaitu Susno Duadji yang mengungkap kasus korupsi di sektor Pajak juga memberikan konsekuensi dimintanya perlindungan saksi oleh Susno Duadji. 4 Hanya sebagian orang saja yang bersedia mengambil risiko untuk melaporkan suatu tindak pidana jika dirinya, keluarganya dan harta bendanya tidak mendapat perlindungan dari ancaman yang mungkin timbul karena laporan yang dilakukannya. Begitu juga dengan saksi, Kalau tidak mendapat perlindungan yang memadai, akan enggan memberikan keterangan sesuai dengan fakta yang dialami, dilihat dan dirasakannya sendiri. Persoalan utama banyaknya saksi yang tidak bersedia menjadi saksi ataupun tidak berani mengungkapkan kesaksian yang sebenarnya disebabkan tidak ada jaminan yang memadai, terutama jaminan atas perlindungan tertentu ataupun mekanisme tertentu untuk bersaksi. Saksi termasuk pelapor bahkan sering mengalami gugatan balik atau tuntutan hukum atas kesaksian atau laporan yang diberikannya. Saksi akhirnya menjadi tersangka atau bahkan terpidana. Selama tidak adanya aturan hukum yang memberikan jaminan bagi saksi atau pelapor, suatu kasus korupsi sangat sulit terungkap. 5 Peraturan tentang perlindungan saksi, pelapor dan korban bervariasi dan tersebar di berbagai peraturan perundang-undangan. Di bidang tindak pidana korupsi, perlindungan terhadap saksi dan pelapor diatur dalam Pasal 41 ayat (2) e Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 15 Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi 4 Ibid. 5 Evi Hartanti, 2005, Tindak Pidana Korupsi, Jakarta: Sinar Grafika, hal. 5.
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, kemudian yang terbaru adalah Undang- Undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Peraturan Pemerintah (PP) No. 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan terhadap Korban dan Saksi dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat sebagai pelaksanaan dari UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Kemudian terdapat PP No. 24 Tahun 2003 tentang Tata Cara Perlindungan terhadap Saksi, Penyidik, Penuntut Umum dan Hakim dalam Perkara Tindak Pidana Terorisme sebagai pelaksanaan UU No. 15 Tahun 2003 tentang pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Peraturan Pemerintah No. 57 Tahun 2003 tentang Tata Cara Perlindungan Khusus Terhadap Pelapor dan Saksi Dalam Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). PP No. 57 Tahun 2003 ini ditindak lanjuti dengan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri) No. 17 Tahun 2005 yang berlaku sejak 30 Desember 2005. Peraturan sudah cukup banyak dalam hal penanggulangan tindak pidana korupsi, karena diaturnya secara komprehensif perlindungan saksi dan pelapor dalam satu undang-undang khusus yaitu Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, tetapi kebanyakan peraturan tersebut memberikan perlindungan terhadap ancaman yuridis, seperti ancaman gugatan perdata dan pidana terhadap saksi dan pelapor. Keseluruhan peraturan perundangundangan tersebut yang relatif lebih lengkap adalah perlindungan saksi dan pelapor berdasarkan Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang (UUTPPU). Atas dasar hal tersebut di atas maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan
judul Perlindungan Hukum Terhadap Saksi Pelapor Dalam Tindak Pidana Korupsi. B. Perumusan Masalah Adapun permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini adalah : 1. Bagaimana proses perlindungan saksi dalam tindak pidana korupsi? 2. Bagaimana bentuk perlindungan hukum terhadap saksi tindak pidana korupsi? 3. Bagaimana faktor-faktor yang menyebabkan diberikannya perlindungan terhadap saksi pelapor dalam tindak pidana korupsi? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Adapun tujuan penelitian dalam skripsi ini adalah sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui proses perlindungan saksi dalam tindak pidana korupsi. 2. Untuk mengetahui bentuk perlindungan hukum terhadap saksi tindak pidana korupsi. 3. Untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan diberikannya perlindungan terhadap saksi pelapor dalam tindak pidana korupsi. Berangkat dari permasalahan-permasalahan di atas penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut : a. Dari segi teoritis sebagai suatu bentuk penambahan literatur di bidang hukum acara pidana khususnya dalam hal pelaksanaan perlindungan terhadap saksi dalam kasus korupsi. b. Dari segi praktis sebagai suatu bentuk sumbangan pemikiran dan masukan para
pihak yang berkepentingan sehingga dapat dicapainya suatu kepastian hukum dalam bidang perlindungan saksi. D. Keaslian Penulisan Adapun penulisan skripsi yang berjudul Perlindungan Hukum Terhadap Saksi Pelapor Dalam Tindak Pidana Korupsi dari hasil penelitian pada Fakultas Hukum USU belum ditemukan, sehingga penulisan skripsi ini masih asli serta dapat dipertanggungjawabkan secara moral dan akademik. E. Tinjauan Kepustakaan Perlindungan hukum pada dasarnya difungsikan sebagai suatu keadaan terhadap keberadaan hukum itu sendiri dalam hal mengatur hubungan-hubungan yang terdapat di dalam masyarakat. Jadi pada dasarnya membicarakan hukum sama dengan membicarakan pengertian hukum itu sendiri, karena elemen-elemen daripada tujuan hukum itu sendiri 6 Perlindungan hukum adalah suatu keadaan yang menyangkut penyelenggaraan kehidupan manusia sebagai kehidupan bersama. Keadaan tertib yang umum menyiratkan suatu keteraturan yang diterima secara umum sebagai suatu kepantasan minimal yang diperlukan, supaya kehidupan bersama tidak berubah menjadi anarki. Masalah perlindungan hukum sering dibahas dengan menggunakan istilah yang berbeda-beda oleh berbagai penulis. Ada yang menyebutkan sebagai suatu sebab bagi keadaan damai, ada juga yang menyebutnya 6 Martiman Prodjohamidjojo, Op.Cit, hal. 21.
sebagai akibat daripada kepastian hukum. Apapun pengertian yang digunakan untuk perlindungan hukum maka tujuan yang utama adanya untuk mencapai ketertiban umum. Perlindungan hukum memerlukan sesuatu yang mampu mengakibatkan bahwa keadaan masyarakat secara umum adalah tertib, dan bukan sebaliknya, tata tertib hukum sebenarnya merupakan kepentingan objektif dan sebenarnya dari semua pihak dalam masyarakat. Artinya, jika dibiarkan, keadaan umum masyarakat itu bisa saja menjadi tidak tertib.. 7 Pasal 1 angka (1) Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 menjelaskan saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan/atau ia alami sendiri. Menurut hukum acara pidana, keterangan saksi merupakan bukti yang paling penting. Boleh dikatakan keterangan saksi dalam setiap proses pemeriksaan perkara pidana tetap diperlukan walaupun seandainya bukti berupa surat atau keterangan terdakwa telah ada. Meskipun di atas telah diuraikan bahwa setiap pemeriksaan perkara pidana untuk menentukan salah atau tidaknya seorang terdakwa harus didukung 2 (dua) alat bukti yang sah, namun walaupun telah dipenuhi syarat tersebut dalam prakteknya masih juga diusahakan untuk mendengar keterangan saksi, dan keterangan saksi tersebut setidak-tidaknya harus ada dua. Menurut Pasal 1 butir ke-26 KUHAP, saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan 7 Budiono Kusumohamidjojo, 1999, Ketertiban Yang Adil, Jakarta : Grasindo, hal. 121.
tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri. Selanjutnya pasal 1 butir ke-27 KUHAP mengatur sebagai berikut keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan pengetahuannya itu. yaitu : Dari ketentuan tersebut di atas, dapat ditarik unsur-unsur yang terpenting a. Adanya peristiwa pidana yang ia (saksi). b. Dengar sendiri, c. Lihat sendiri d. Alami sendiri e. Dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu. 8 Jadi, agar seseorang dapat didengar keterangannya sebagai saksi haruslah memenuhi syarat yaitu dapat memberikan keterangan terhadap peristiwa pidana yang didengarnya sendiri, dilihatnya sendiri dan dialaminya sendiri. Pengertian kata sendiri berarti setiap hal-hal yang secara langsung diketahui oleh saksi akan tetapi baik pendapat maupun rekaan, yang diperoleh dari hasil pemikiran saja bukan merupakan keterangan saksi dan tidak mencakup keterangan yang diperoleh dari orang lain (testomonium de auditu). Korupsi berasal dari bahasa Latin : corruptio yang artinya penyuapan; dan corruptore yang artinya merusak, gejala di mana para pejabat, badan-badan negara 8 M. Yahya Harahap, 2006, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, Jakarta : Sinar Grafika, hal. 255.
menyalahgunakan wewenang dengan terjadinya penyuapan, pemalsuan serta ketidak beresan lainnya. 9 Secara harfiah korupsi merupakan sesuatu yang busuk, jahat dan merusak. Hal ini disebabkan korupsi memang menyangkut segi moral, sifat dan keadaan yang busuk, jabatan dalam instansi atau aparatur pemerintah, penyelewengan kekuasaan dalam jabatan karena pemberian, faktor ekonomi dan politik, serta penempatan keluarga atau golongan ke dalam kedinasan di bawah kekuasaan jabatannya. Kartono menjelaskan : Korupsi adalah tingkah laku individu yang menggunakan wewenang dan jabatan guna mengeruk keuntungan pribadi, merugikan kepentingan umum dan negara. Jadi korupsi demi keuntungan pribadi, salah urus dari kekuasaan, demi keuntungan pribadi, salah urus terhadap sumber-sumber kekayaan negara dengan menggunakan wewenang dan kekuatan-kekuatan formal (misalnya dengan alasan hukum dan kekuatan senjata) untuk memperkaya diri sendiri. 10 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi, yang berlaku terhitung mulai tanggal 16 Agustus 1999 yang kemudian diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang- Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Tujuan dengan diundangkannya Undang-Undang Korupsi ini sebagaimana dijelaskan dalam konsiderans menimbang diharapkan dapat memenuhi dan mengantisipasi perkembangan dan kebutuhan hukum bagi masyarakat dalam rangka mencegah dan memberantas secara lebih efektif setiap tindak pidana korupsi yang sangat merugikan keuangan, perekonomian negara pada khususnya 9 Evi Hartanti, Op.Cit, hal. 8. 10 Kartini Kartono, 2003, Patologi Sosial, Jakarta : Raja Grafindo Persada, hal. 80.
serta masyarakat pada umumnya. Pasal 2, 3 dan 4 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi terdapat 3 istilah hukum yang perlu diperjelas, yaitu istilah tindak pidana korupsi, keuangan negara dan perekonomian negara. Yang dimaksud dengan Tindak Pidana Korupsi adalah: 1. Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. 2. Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara (sesuai Pasal 2 dan 3 UU No. 31 Tahun 1999). 11 Sedangkan pengertian Keuangan Negara dalam undang-undang ini adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun baik yang dipisahkan maupun yang tidak dipisahkan, termasuk didalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karenanya : 1. Berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat lembaga Negara, baik ditingkat pusat maupun ditingkat Daerah. 2. Berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggungjawaban Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, Yayasan, Badan Hukum, dan Perusahaan yang menyertakan Modal Negara, atau perusahaan yang menyertakan pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan Negara. 12 Batasan mengenai Perekonomian Negara menurut UU tersebut sebagai berikut : kehidupan perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan atau usaha masyarakat secara mandiri yang didasarkan pada kebijakan Pemerintah, baik ditingkat pusat maupun di tingkat Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang 11 Eddy Suhartono, Perihal Ketentuan-Ketentuan Tindak Pidana Korupsi, http/www/google.com/korupsi, Diakses tanggal 19 Januari 2011. 12 Ibid.
bertujuan memberikan manfaat, kemakmuran dan kesejahteraan kepada seluruh kehidupan rakyat. Undang-undang bermaksud mengantisipasi atas penyimpangan keuangan atau perekonomian negara yang dirasa semakin canggih dan rumit. Oleh karenanya tindak pidana korupsi yang diatur dalam Undang-undang ini dirumuskan seluasluasnya sehingga meliputi perbuatan-perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi secara melawan hukum. Dengan rumusan tersebut, perbuatan melawan hukum dalam tindak pidana korupsi dalam pula mencakup perbuatan-perbuatan tercela yang menurut perasaan keadilan masyarakat harus dituntut dan dipidana. 13 Perbuatan melawan hukum disini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun materiil yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana sesuai Penjelasan Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999. Selanjutnya Tindak pidana korupsi dalam undang-undang ini dirumuskan secara tegas sebagai tindak pidana formil, hal ini sangat penting untuk pembuktian. Dengan rumusan formil yang dianut dalam undang-undang ini berarti meskipun hasil korupsi telah dikembalikan kepada negara, pelaku tindak pidana korupsi tetap diajukan ke Pengadilan dan tetap di pidana sesuai dengan Penjelasan Pasal 4 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999. 14 13 Ibid. 14 Penjelasan Pasal 4 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999
Penjelasan dari pasal tersebut adalah dalam hal pelaku tindak pidana korupsi, melakukan perbuatan yang memenuhi unsur-unsur pasal dimaksud, dimana pengembalian kerugian negara atau perekonomian negara, yang telah dilakukan tidak menghapuskan pidana si pelaku tindak pidana tersebut. 15 Pengembalian kerugian negara atau perekonomian negara, yang telah dilakukan tidak menghapuskan pidana si pelaku tindak pidana tersebut. Pengembalian kerugian negara atau perekonomian negara tersebut hanya merupakan salah satu faktor yang meringankan pidana bagi pelakunya. F. Metodologi Penelitian Metode penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini terdiri atas : 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah yuridis normatif atau penelitian hukum doktriner, yaitu suatu penelitian yang dilakukan atau ditujukan hanya pada peraturan yang tertulis atau bahan hukum yang lain. 2. Jenis dan Sumber Data meliputi: Adapun jenis data penelitian ini bersumber dari data sekunder yang a. Bahan hukum primer, dalam penelitian ini dipakai 1) Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan 15 Kartini Kartono, Op.Cit, hal. 82.
Korban. 2) Hukum Acara Pidana yaitu Undang-Undang No. 8 Tahun 1981. 3) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 4) Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. b. Bahan hukum sekunder, berupa bacaan yang relevan dengan materi yang diteliti. c. Bahan hukum tertier, yaitu dengan menggunakan kamus hukum maupun kamus umum dan website internet baik itu melalui Google maupun Yahoo. 3. Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data yang dipergunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini adalah berupa studi kepustakaan. 4. Analisis data Untuk mengolah data yang didapatkan dari penelusuran kepustakaan, maka hasil penelitian ini menggunakan analisa kualitatif. Analisis kualitatif ini pada dasarnya merupakan pemaparan tentang teori-teori yang dikemukakan, sehingga dari teori-teori tersebut dapat ditarik beberapa hal yang dapat dijadikan kesimpulan dan pembahasan skripsi ini. G. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan ini dibagi dalam beberapa Bab, dimana dalam bab
terdiri dari beberapa sub bab. Adapun sistematika penulisan ini dibuat dalam bentuk uraian: Bab I. Pendahuluan Dalam Bab ini akan diuraikan tentang uraian umum seperti penelitian pada umumnya yaitu, Latar Belakang Masalah, Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Keaslian Penulisan, Tinjauan Kepustakaan, Metode Penulisan serta Sistematika Penulisan. Bab II. Proses Perlindungan Saksi Dalam Tindak Pidana Korupsi Dalam bab ini akan diuraikan pembahasan tentang: Perkembangan Perlindungan Saksi Dalam Proses Peradilan Pidana, Ide Dasar Formulasi Undang-Undang Perlindungan Saksi, Formulasi Undang- Undang Perlindungan Saksi serta Proses Perlindungan Saksi Dalam Tindak Pidana Korupsi Bab III. Bentuk Perlindungan Hukum Terhadap Saksi Tindak Pidana Korupsi Dalam bagian ini akan diuraikan pembahasan tentang: Perlindungan Hukum Terhadap Saksi Pelapor Tindak Pidana Korupsi, Lembaga Yang Terkait Dalam Perlindungan Saksi Pelapor Tindak Pidana Korupsi serta Bentuk Perlindungan Hukum Terhadap Saksi Pelapor Tindak Pidana Korupsi. Bab IV. Faktor-Faktor Yang Menyebabkan Diberikannya Perlindungan Terhadap Saksi Pelapor Dalam Tindak Pidana Korupsi Dalam bagian ini akan diuraikan pembahasan tentang: Beberapa Catatan tentang Undang-Undang Perlindungan Saksi, Kebijakan
Formulasi Hukum Tentang Perlindungan Saksi Dalam Proses Peradilan Pidana Di Masa Yang Akan Datang serta Faktor-Faktor Yang Menyebabkan Diberikannya Perlindungan Terhadap Saksi Pelapor Dalam Tindak Pidana Korupsi Bab V. Kesimpulan dan Saran Bab ini adalah bab penutup, yang merupakan bab terakhir dimana akan diberikan kesimpulan dan saran.