PERKAWINAN ANTAR AGAMA DI INDONESIA PERSPEKTIF KAJIAN SOSIAL LEGAL Siti Maryam Qurotul Aini 1 Abstract: The marriage of religious differences has been discussing since the time of Prophet Muhammad Saw. This article reviews the social phenomenon about marriage with difference religious perspective of Islamic and legal law of Indonesia that is in law of Number 1 Year 1974 on Marriage or Compilation of Islamic Law (KHI). The result of this research showed that the compilation of Islamic law prohibits marrying of religious differences, although the law of Number 1 Year 1974 does not regulate the ban on different religious marriages. The very strict rules leads religious couples who want to conduct marriage choose various acts of legal smuggling to obtain the legality of marriage and recorded in the civil registry. They finally get law legality in the formal legal domain of the state; however, it brings social and psychological effect for the sustainability of the household and the establishment of their following generation. In this case, there are three groups in view of this religious marriage. Keywords: marriage of religious differences, social legal Pendahuluan Fitrah manusia adalah hidup berpasangan. Allah Swt menciptakan makhluk-nya berpasangan untuk saling mengenal, mengadakan interaksi sosial dan menciptakan kehidupan yang 1 Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Darussalam Krempyang Nganjuk. 80
Siti Maryam Qurotul Aini tenteram. Salah satu bentuk interaksi sosial manusia adalah perkawinan. Perkawinan menjadi sebuah institusi yang tidak hanya terkait dengan dimensi lahiriyah, namun juga terkait dengan berbagai dimensi lain, salah satunya ibadah kepada Allah Swt. Perkawinan sebagai bentuk ibadah kepada-nya tidak dapat terlepas dari dimensi agama, sedangkan setiap agama memiliki konsep hukum tersendiri dalam masalah perkawinan. Perkawinan dari mempelai seagama tentu tidak menimbulkan permasalahan yang signifikan. Hal ini berbeda jika perkawinan berlangsung antar agama, yaitu pasangan beda agama, sehingga hal ini akan menimbulkan dampak hukum dan sosial. Indonesia mengakui keberadaan agama-agama yang hidup di dalamnya. Slogan Bhinneka Tunggal Ika menjadikan umat beragama di Indonesia mampu hidup berdampingan dan berinteraksi sosial dengan baik dan damai. Namun dalam masalah perkawinan, masing-masing agama tidak mengenal adanya perkawinan antar agama. Hal ini juga didukung oleh peraturan perundangan di Indonesia yang tidak mengatur tentang perkawinan antar agama. Namun demikian fenomena perkawinan beda agama banyak terjadi di Indonesia, sehingga menyisakan banyak pelaku perkawinan antar agama kesulitan mendapatkan legalitas perkawinannya. Berbagai upaya dilakukan demi mendapatkan legalitas perkawinan. Artikel ini akan mengulas secara singkat fenomena sosial berupa perkawinan antar agama dalam perspektif hukum legal formal di Indonesia. Fokus pembahasan tulisan ini adalah mampu menjawab pertanyaan, (1) tentang perspektif hukum agama Islam tentang perkawinan antar agama, (2) tentang perspektif hukum positif di Indonesia tentang perkawinan antar agama, (3) gambaran fenomena perkawinan antar agama di Indonesia, (4) analisis sosial legal perkawinan antar agama di Indonesia. Pembahasan A. Perspektif Hukum Islam (Fiqh Munākahat) Perkawinan, dalam hukum Islam, adalah perbuatan yang suci, yaitu suatu perikatan antara dua pihak dalam memenuhi perintah dan anjuran Allah Swt agar kehidupan berkeluarga dan 81
berumah tangga serta berkerabat tetangga berjalan baik sesuai ajaran agama masing-masing. Jadi perkawinan dilihat dari segi keagamaan adalah suatu perikatan jasmani dan rohani yang membawa akibat hukum terhadap agama yang dianut kedua calon mempelai beserta keluarga kerabatnya. Dalam berbagai agama, terdapat berbagai konsep pengertian perkawinan. Islam mendefinisikan perkawinan sebagai akad atau perikatan antara laki-laki dan perempuan dengan adanya wali dan saksi yang menjadikan sahnya hubungan badan di antara keduanya. Menurut hukum Kristen Katholik, perkawinan adalah persekutuan hidup antara pria dan wanita atas dasar ikatan cinta kasih yang total dengan persetujuan bebas dari keduanya yang tidak dapat ditarik kembali. Perkawinan tersebut sah jika kedua mempelai sudah dibaptis. Menurut hukum Hindu, perkawinan (wiwaha) adalah ikatan antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri untuk mengatur hubungan seks yang layak guna memperoleh keturunan anak pria yang akan menyelamatkan arwah orang tuanya dari neraka dan dilangsungkan dengan upacara menurut hukum Hindu, jika tidak maka tidak sah. Menurut hukum agama Budha, keputusan Sangha Agung tanggal 1 Januari 1977 pasal 1 dijelaskan bahwa perkawinan adalah suatu ikatan lahir batin antara seorang pria sebagai suami dan seorang wanita sebagai istri yang berlandaskan cinta kasih (metta), kasih sayang (karuna) dan rasa sepenanggungan (mudita) dengan tujuan membentuk satu keluarga atau rumah tangga bahagia yang diberkahi Sanghyang Adi Budha, para Budha dan para Bodhisatwa-Mahasatwa. Perkawinan sah jika dilakukan menurut hukum perkawinan agama Budha. 2 Menurut ajaran Islam, yang tertuang dalam fiqh munākahat, perkawinan antar agama atau kawin beda agama bukan hal baru. Hal ini merupakan permasalahan yang sudah lama diperdebatkan, namun selalu masih diperbincangkan dan didiskusikan hingga saat ini. Dalam banyak kasus di masyarakat masih muncul resistensi yang begitu besar terhadap kawin beda agama, umumnya pada persoalan halal dan haramnya per- 2 Lihat Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama (Bandung: Mandar Maju, 2007), 10-12. 82
Siti Maryam Qurotul Aini kawinan tersebut. 3 Mayoritas ulama sejak zaman sahabat Nabi Muhammad Saw hingga sekarang sepakat bahwa wanita Islam haram hukumnya kawin dengan laki-laki non-muslim, baik musyrik, kafir maupun ahli kitab dan melarang pria Islam menikahi wanita musyrik dan kafir. Hal ini berdasarkan pada ayat QS. al-baqarah: 221 dan QS. al-mumtahanah: 10. Namun yang menjadi persoalan dari zaman sejak dulu hingga sekarang adalah perkawinan antara pria yang beragama Islam dengan wanita ahli kitab atau kitābiyah. Berdasarkan kepada teks dari QS. al-baqarah: 221 tersebut, menurut para ulama perkawinan seorang pria Islam dengan kitābiyah hukumnya boleh. Namun menurut sebagian ulama lainnya tidak membolehkan perkawinan tersebut, bahkan ada yang mengharamkannya dengan berpegang pada kaidah sadd al-dzari ah, yaitu menghindari fitnah dan mafsadah yang ditimbulkan oleh perkawinan beda agama. 4 Polemik di atas pada dasarnya bermula pada redaksi yang ada dalam al-qur an. Di sana terdapat istilah mu min, kāfir, musyrik dan ahli kitāb. Ketiga istilah terakhir (kāfir, musyrik dan ahli kitāb) dapat dikatakan sebagai golongan non-muslim. Al-Jaziri membedakan golongan non-muslim menjadi tiga golongan. Pertama adalah golongan yang tidak memiliki kitāb samāwi atau tidak berkitab semacam kitāb samāwi. Mereka ini adalah penyembah berhala dan orang-orang murtad yang disamakan dengan mereka. Kedua adalah golongan yang memiliki semacam kitāb samāwi. Golongan ini adalah orang-orang Majusi yang menyembah api. Mereka mengubah-ubah kitab yang diturunkan kepada mereka dan membunuh nabi mereka. Ketiga adalah golongan yang beriman kepada kitab suci. Mereka ini adalah kaum Yahudi yang percaya kepada kitab Taurat dan kaum Nasrani yang percaya pada kitab Injil. 5 Sedangkan Yusuf al-qardhawi membagi golongan non-muslim menjadi lima golongan, yaitu musyrik (penyembah berhala), mulhid (kaum atheis), murtad (orang 3 Wasman dan Wardah Nuroniyah, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia (Yogyakarta: Teras, 2011), 279-280. 4 Ibid, 280-281. 5 Abdurrahman al-jaziri, al-fiqh ala Madzāhib al- Arba ah (Beirut: Dār Ihyā al- Turāts al- Arabi, 1969), 75. 83
yang keluar dari Islam), bahā i (termasuk golongan murtad) dan ahli kitāb (kaum Yahudi dan Nasrani). 6 Berdasarkan pemaparan ini muncul persoalan baru terkait pengertian ahli kitāb. Siapa sesungguhnya ahli kitāb, termasuk dalam kategori musyrik atau tidak, yang hal ini mempengaruhi hukum mengawininya. Berdasarkan pada persoalan ini, yaitu perkawinan antara pria Islam dengan wanita kitābiyah, terdapat perbedaan pendapat di antara ulama. Setidaknya terdapat tiga pendapat yang dapat dibahas pada artikel ini. Pertama adalah golongan yang menghalalkan. Golongan ini berpendapat bahwa menikahi perempuan ahli kitāb, Yahudi dan Nasrani, halal hukumnya. Hal ini menurut pendapat jumhur ulamā. Argumentasi yang mereka bangun adalah bahwa dalam sejumlah ayat, al-qur an membedakan antara orang-orang musyrik dengan ahli kitāb. Pada beberapa ayat terdapat penggunaan huruf wawu yang berfaidah athaf, yang berarti pembeda antara kata yang sebelumnya dengan yang sesudahnya. Dengan demikian, arti musyrik berbeda dengan ahli kitāb. Golongan ini juga berpendapat bahwa larangan menikahi wanita musyrik karena khawatir kaum musyrik memerangi kaum Islam. Oleh karena itu jelas bahwa yang dimaksud musyrik adalah orang yang suka memerangi kaum muslim, bukan orang Yahudi dan Nasrani, yang dalam perjalanan sejarah pernah mengadakan perjanjian damai dengan kaum muslim. Sejarah menunjukkan, golongan ini beralasan, ada beberapa sahabat Nabi Muhammad Saw yang mengawini ahli kitāb, seperti yang dilakukan oleh Thalhah dan Hudhaifah bin al-yamani. Alasan yang cukup mendasar tentang kehalalan mengawini wanita ahli kitāb adalah QS. al-ma idah: 5 yang turun setelah QS. al-baqarah: 221. Dalam diskursus ilmu ushul fiqh, QS. al- Ma idah: 5 dapat dijadikan mukhashish dari QS. al-baqarah: 221, sehingga pengertian musyrik yang asalnya mencakup semua golongan non-muslim, di-takhsis dengan mengecualikan ahli kitāb yang muhsanat. 7 6 Yusuf al-qardhāwi, Hudā al-islam Fatāwā Mu āssirah (Kairo: Dār Afaq al-gad, 1978), 402-406. 7 Wasman dan Wardah Nuroniyah, Hukum Perkawinan, 284-294. 84
Siti Maryam Qurotul Aini Namun demikian dalam menentukan pihak yang dimaksud dengan istilah ahli kitāb, ulama berbeda pendapat. Sebuah qaul mu tamad dalam madzhab Syafi i menyatakan bahwa wanita ahli kitāb yang halal dikawini pria Islam adalah wanita yang menganut agama Yahudi atau Nasrani sebagai agama keturunan dari orang-orang terdahulu (nenek moyang mereka) sejak sebelum Nabi Muhammad Saw menjadi rasul. Pendapat ini mengakui ahli kitāb bukan karena agamanya, namun karena menghormati asal keturunannya. 8 Di Indonesia pendapat ini diikuti kaum liberalis Islam seperti para pemikir Jaringan Islam Liberal (JIL). 9 Mereka bahkan tidak hanya membolehkan perkawinan pria muslim dengan wanita kitābiyah, namun juga membolehkan perkawinan wanita muslim dengan pria ahli kitāb atau non-muslim. Pendapat mereka dilandaskan juga pada kritik validitas hadits yang menyatakan tentang kebolehan pria muslim mengawini wanita kitābiyah, namun tidak sebaliknya. Mereka juga mendasarkan pendapatnya pada fakta historis perkawinan wanita muslim dengan pria non-muslim yang pernah terjadi pada zaman Nabi Muhammad Saw masih hidup. Kedua adalah golongan yang mengharamkan perkawinan beda agama secara mutlak. Golongan ini berpendapat bahwa mengawini wanita kitābiyah hukumnya haram. Di antara yang berpendapat seperti ini adalah Ibnu Umar dan kalangan Syi ah Imāmiyah. Golongan ini berargumen dengan firman Allah Swt dalam QS. al-baqarah: 221 dan QS. al-mumtahanat: 10, sebagaimana disebutkan di atas. Golongan ini menyamakan kaum ahli kitāb dengan kaum kāfir dan musyrik karena mentuhankan Uzair dan Nabi Isa bin Maryam. 10 Pendapat golongan ini juga dipegang oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang mengharamkan secara mutlak perkawinan muslim dengan non-muslim. 11 8 Ibrahim Hosen, Fiqih Perbandingan (Jakarta: Yayasan Ihya Ulumuddin Indonesia, 1971), 201-204. 9 JIL sebagai kelompok masyarakat yang berpikir liberal, banyak menggugat berbagai aturan yang dinilai sudah mapan oleh banyak pihak. Dalam berbagai artikel, mereka mengusung tema hak-hak asasi manusia, menggugat keterlibatan negara yang mencampuri urusan privat warganya dan lain sebagainya. Lihat situs mereka di http:/ /www.islamlib.com. 10 Ibrahim Hosen, Fiqih Perbandingan, 202. 11 Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), Pengkajian Hukum Tentang Perkawinan Beda Agama (Jakarta: Kemenkumham RI, 2011), 56. 85
Ketiga adalah golongan yang berpendapat tentang kehalalannya, tetapi mengharamkannya atas dasar sadd aldzari ah. Golongan ini berpendapat bahwa hukum mengawini wanita kitābiyah adalah halal, namun secara politik tidak diperbolehkan. Pendapat ini berdasarkan pada perintah Umar bin Khattāb ra yang pernah menyuruh para sahabat yang beristrikan wanita ahli kitāb untuk menceraikan istri-istri mereka. Perintah Umar ini dipatuhi oleh para sahabat kecuali Hudhaifah meskipun pada akhirnya Hudhaifah menceraikan istrinya kendati hal itu tidak dilakukannya di depan Umar karena tidak ingin jika masyarakat menilai apa yang dilakukannya sebagai kesalahan. 12 B. Perpsektif Hukum Positif di Indonesia Berdasarkan perjalanan sejarah pemberlakuan hukum di Indonesia, setidaknya diketahui terdapat berbagai hukum yang berlaku, termasuk salah satunya adalah hukum Islam. Secara sosiologis dan kultural, hukum Islam adalah hukum yang mengalir dan berurat akar pada budaya masyarakat. Sebelum hukum Islam menjadi bagian dari hukum positif di Indonesia dalam masalah-masalah tertentu, hukum Islam mengalami pasang surut dalam perkembangan pemberlakuannya sejak zaman penjajahan Belanda, VOC, pasca kemerdekaan, Orde Lama, Orde Baru hingga sekarang. 13 Pada zaman kedatangan VOC, antara tahun 1602-1880, hukum Islam terutama hukum perdata Islam (Civiele Wetten Der Mohammeddaansche) telah memperoleh legalitas pemberlakuan secara positif melalui Resolutie Der Indische Regeering tanggal 25 Mei 1760. Saat itu kumpulan hukumnya hanya berisi hukum perkawinan dan kewarisan yang dikenal dengan Compendium Freijer. Compendium Freijer ini pun digunakan pada pengadilan VOC, namun hanya khusus untuk orang Indonesia. Pada perjalanannya, terdapat dua teori pemberlakuan hukum Islam yang saling bertentangan sehingga mempengaruhi daya ikat dan cakupan hukum Islam sebagai hukum positif. 12 Ibnu Qudamah, al-mughni, juz VI (Riyadh: Maktabah al-riyadh al-haditsah, tt.), 590. 13 Marzuki Wahid dan Rumadi, Fiqh Madzhab Negara (Yogyakarta: LKiS, 2001), 81-83. 86
Siti Maryam Qurotul Aini Hukum positif yang berlaku di Indonesia yang mengatur mengenai perkawinan antara lain adalah UU Nomor 1 Tahun 1974, berlaku bagi semua golongan warga negara dan daerah di Indonesia. Pemberlakuan UU Nomor 1 Tahun 1974 ini mengakhiri berbagai macam hukum perkawinan bagi bermacam-macam golongan yang ada di Indonesia sejak zaman kolonial Belanda. 14 Perkawinan antar agama tidak diatur secara khusus dalam hukum positif di Indonesia, yaitu UU Nomor 1 Tahun 1974. Dengan demikian hukum positif di Indonesia tidak mengenal istilah perkawinan antar agama atau beda agama. Namun dalam undang-undang ini dikenal ada istilah perkawinan campuran. Pengertian perkawinan campuran yang dinyatakan dalam undang-undang maupun dalam kehidupan sehari-hari mencakup tiga pengertian, yaitu perkawinan antar kewarganegaraan, perkawinan antar adat dan perkawinan antar agama. 15 Perkawinan campuran antar agama terjadi jika seorang pria dan seorang wanita, yang berbeda agamanya, melakukan perkawinan dengan tetap mempertahankan agamanya masingmasing. Adanya perbedaan agama dalam perkawinan dapat menimbulkan gangguan keseimbangan dalam kehidupan rumah tangga. 16 Namun dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 terdapat rumusan lain tentang perkawinan campuran. Perkawinan campuran diatur dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 Bab XII Ketentuan-ketentuan lain Bagian Ketiga Perkawinan Campuran Pasal 57-62. Bunyi aturan tersebut adalah sebagai berikut: Pasal 57 Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-Undang ialah perkawinan antara dua orang yang ada di Indonesia, tunduk pada hukum yang berlainan karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia. 14 Hilman Hadiwijaya, Hukum Perkawinan Indonesia, 5-6. 15 Ibid, 13. 16 Ibid, 17. 87
88 Pasal 58 Bagi orang-orang yang berlainan kewarganegaraan yang melakukan perkawinan campuran, dapat memperoleh kewarganegaraan dari suami/istrinya dan dapat pula kehilangan kewarganegaraannya menurut cara-cara yang telah ditentukan dalam Undang-Undang Kewarganegaraan Republik Indonesia yang berlaku. Pasal 59 1. Kewarganegaraan yang diperoleh sebagai akibat perkawinan atau putusnya perkawinan menentukan hukum yang berlaku baik yang mengenai hukum publik atau hukum perdata. 2. Perkawinan campuran yang dilangsungkan di Indonesia dilakukan menurut Undang-Undang Perkawinan ini. Pasal 60 1. Perkawinan campuran tidak dapat dilaksanakan sebelum terbukti bahwa syarat-syarat perkawinan yang ditentukan oleh masing-masing pihak terpenuhi. 2. Untuk membuktikan bahwa syarat-syarat tersebut dalam ayat (1) telah dipenuhi dan karena itu tidak ada rintangan untuk melangsungkan perkawinan campuran, maka oleh mereka yang menurut hukum yang berlaku bagi pihak masing-masing berwenang mencatat perkawinan, diberikan surat keterangan bahwa syarat-syarat telah dipenuhi. 3. Jika pejabat yang bersangkutan menolak untuk memberikan surat keterangan itu, maka atas permintaan yang berkepentingan, pengadilan memberikan keputusan dengan tidak beracara serta tidak boleh dimintakan banding lagi tentang soal apakah penolakan pemberian surat keterangan itu beralasan atau tidak. 4. Jika pengadilan memutuskan bahwa penolakan tidak beralasan, maka keputusan itu menjadi pengganti keterangan tersebut ayat (3). 5. Surat keterangan atau keputusan pengganti keterangan tidak mempunyai kekuatan lagi jika perkawinan itu tidak dilangsungkan dalam masa enam (6) bulan sesudah keterangan itu diberikan.
Siti Maryam Qurotul Aini Pasal 61 1. Perkawinan campuran dicatat oleh pegawai pencatat yang berwenang. 2. Barang siapa yang melangsungkan perkawinan campuran tanpa memperlihatkan terlebih dahulu kepada pegawai pencatat yang berwenang surat keterangan atau keputusan pengganti keterangan yang disebut pasal 60 ayat (4) Undang- Undang ini, dihukum dengan hukuman kurungan selamalamanya 1 (satu) bulan. 3. Pegawai Pencatat Perkawinan yang mencatat perkawinan, sedangkan ia mengetahui bahwa keterangan atau keputusan pengganti keterangan tidak ada, dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan dan dihukum jabatan. Pasal 62 Dalam perkawinan campuran kedudukan anak diatur sesuai dengan pasal 59 ayat (1) Undang-Undang ini. Berdasarkan ketentuan dalam UU tersebut, sama sekali tidak ditemukan aturan tentang perkawinan antar agama atau beda agama. Yang ada hanyalah perkawinan campuran antar warga negara Indonesia dengan warga negara asing. Jadi sudah jelas bahwa yang menjadi titik tolak adalah perbedaan kewarganegaraan, bukan perbedaan agama. Di samping UU Nomor 1 Tahun 1974, di Indonesia terdapat pula produk hukum Islam yang terkodifikasi dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang menjadi rujukan para hakim Pengadilan Agama dalam menyelesaikan perkara. Jika dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 tidak ditemukan, maka dalam KHI terdapat pasal yang menjelaskannya. Berikut adalah bagian dari KHI: Pasal 40 Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita karena keadaan tertentu: a. Karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan dengan pria lain; b. Seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain; c. Seorang wanita yang tidak beragama Islam. 89
Pasal 44 Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam. 17 Prinsip larangan melangsungkan perkawinan antara seorang pria Islam dengan seorang wanita yang tidak beragama Islam dianggap sebagai sesuatu yang baru. Hal ini mengingat dalam fiqh munākahat pada umumnya telah disebutkan bahwa seorang laki-laki muslim dilarang kawin dengan wanita musyrik, sedangkan dengan wanita kitābiyah, yaitu mereka yang beragama Yahudi dan Nasrani masih diperbolehkan meskipun terdapat kontroversi dalam menentukan kriteria ahli kitāb, yang masih asli atau termasuk juga Yahudi dan Nasrani yang kitabnya telah berubah, serta pendapat MUI yang tidak membolehkannya. Sedangkan mengenai larangan wanita muslimah kawin dengan laki-laki non-muslim secara tegas disebutkan ketidakbolehannya. 18 C. Fenomena Perkawinan Antar Agama Sebagaimana diungkapkan oleh BPHN Puslitbang Kemenkum HAM RI tahun 2011 dalam pengkajian hukum tentang perkawinan beda agama (perbandingan beberapa negara), fenomena perkawinan beda agama dapat dijumpai di banyak negara. Berdasarkan regulasi yang mengatur perihal perkawinan beda agama, negara-negara muslim dapat dikelompokkan menjadi tiga. Pertama adalah negara muslim yang cenderung tidak memperbolehkan perkawinan antar agama. Kedua adalah negara muslim yang telah mengubah total hukum perkawinannya dan menerapkan hukum modern Barat. Ketiga adalah negara muslim yang telah mereformulasi hukum keluarga dengan hukum modern. 19 Fenomena perkawinan antar agama sering dijumpai di Indonesia. Beberapa di antaranya dilakukan oleh pasangan warga negara Indonesia berbeda agama yang bertempat tinggal di luar negeri untuk selanjutnya mencatatkan perkawinan mereka di Kantor Catatan Sipil. Hal ini lazim dilakukan oleh kalangan yang 17 Kompilasi Hukum Islam, Buku I Hukum Perkawinan Bab VI Larangan Kawin. 18 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Akademika Pressindo, 2010), 71-72. 19 BPHN, Pengkajian Hukum Tentang Perkawinan Beda Agama, 23. 90
Siti Maryam Qurotul Aini memiliki tingkat perekonomian cukup mapan, seperti artis. Perkawinan dengan cara semacam itu bagi mereka menjadi the best solution mengingat pelaksanaan perkawinan beda agama di Indonesia, yaitu dengan tetap mempertahankan keyakinan agama masing-masing, sulit terwujud. Banyak contoh dalam hal ini, seperti perkawinan yang dilakukan oleh Nia Zulkarnaen, Lidya Kandow, Julia Perez, Angelina Sondakh, Irfan Bachdim dan lain sebagainya. Namun demikian realitas yang terjadi di masyarakat tidak semuanya melakukan langkah semacam itu. Tidak sedikit pula demi mendapatkan legalitas hukum atas perkawinan terdapat oknum yang melakukan penyelundupan hukum meskipun pada dasarnya perkawinan mereka tidak sah. 20 Misalnya adalah pria beragama Islam kawin dengan wanita beragama Kristen. Pernikahannya dilakukan di Gereja dengan pemberkatan pendeta dan dilakukan pula pencatatan perkawinan (sipil) dengan tujuan sekedar memenuhi kehendak calon istri dan keluarganya, sedangkan hati nuraninya tetap mempertahankan keyakinannya, yaitu memeluk agama Islam. Hal ini tentu sangat tidak baik dan akan membawa dampak buruk bagi keberlangsungan pernikahan keduanya di kemudian hari. Contoh lain adalah pria beragama Hindu kawin dengan wanita beragama Islam. Pekawinannya dilakukan di tempat kediaman calon istri yang beragama Islam demi untuk memenuhi keinginan keluarga mempelai wanita dengan mengucapkan dua kalimat syahadat. Namun di kemudian hari dilakukan lagi perkawinan menurut tata cara agama Hindu dan bertempat di pihak keluarga laki-laki yang beragama Hindu, sehingga perkawinan pertama dibatalkan karena agama Hindu melarang perkawinan di luar agama Hindu. Cara lain lagi yaitu pria beragama Islam kawin dengan wanita beragama Katholik, yang kondisi orang tua mempelai wanita beragama Budha atau Konghucu. Pada mulanya upacara dilakukan secara Islam, mengikuti agama mempelai pria, kemudian dilakukan dengan cara agama Budha atau Konghucu. Setelah itu, mengingat mempelai wanita beragama Katholik, maka pernikahan 20 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia, 18-19. 91
dilangsungkan dengan cara Katholik. Realitas semacam ini meskipun secara legal formal memenuhi ketentuan UU berdasarkan Pasal 2 (1) UU Nomor 1 Tahun 1974, namun secara hakiki pernilahan tersebut melanggar ketentuan agama. Contoh lain perkawinan beda agama yang terjadi di Indonesia adalah perkawinan antara artis Lidya Kandow yang Kristen dengan Jamal Mirdad yang Islam. Lidya Kandow dan Jamal Mirdad menikah pada tahun 1986 tanpa restu dari orang tua keduanya. Jika pada umumnya pasangan beda agama lebih memilih menikah di luar negeri, namun keduanya memilih tetap melangsungkan perkawinannya di Indonesia. Konsekuensinya mereka mengalami kesulitan dalam mendapatkan legalitas perkawinannya meskipun pada akhirnya dengan bantuan pengacara legalitas perkawinan diperoleh pada tahun 1995. 21 Terdapat kebijakan menarik berkaitan dengan perkawinan antar agama adalah yurisprudensi Mahkamah Agung (MA) tercatat Register Nomor 1400K/Pdt/1986 yang berisikan pemberian izin melakukan perkawinan beda agama terhadap kasus perkawinan beda agama antara Andi Vony Gani P (Islam) dan Andrianus Petrus Hendrik Nelwan (Kristen Protestan). Mahkamah Agung dalam yurisprudensi tesebut mengabulkan permohonan kasasi Andi Vony Gani P dan Andrianus Petrus Hendrik Nelwan, kemudian memerintahkan pegawai catatan sipil Provinsi DKI Jakarta agar melangsungkan perkawinan keduanya setelah syarat-syarat perkawinan menurut UU terpenuhi. 22 D. Analisis Sosial Legal Sebagai analisis dari berbagai aspek, termasuk aspek sosial legal, dapat dikatakan bahwa perkawinan antar agama di Indonesia tidak diatur dalam UU Nomor 1 Tahun 1974. Namun dalam UU tersebut terdapat pasal yang menyatakan bahwa perkawinan adalah sah jika dilakukan menurut masing-masing agama dan kepercayaannya. Dalam pasal lain juga disebutkan bahwa 21 http://www.wikipediabahasaindonesiaensiklopedibebas/lydia-kandou.html., diakses 29 Desember 2012. 22 Wasman dan Wardah Nuroniyah, Hukum Perkawinan Islam, 306. Baca juga Murdiarti Trisnaningsih, Relevansi Kepastian Hukum Dalam Mengatur Perkawinan Beda Agama (Bandung: CV. Utomo, 2007), 60-62. 92
Siti Maryam Qurotul Aini perkawinan dilarang di antara dua orang yang memiliki hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin. 23 Berdasarkan isi dari kedua pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa perkawinan antar agama pada dasarnya tidak memenuhi aspek legalitas hukum karena pada dasarnya agama-agama yang ada melarang perkawinan antara pemeluk agama satu dengan pemeluk agama lain. Namun dalam fiqh munākahat terdapat pendapat yang membolehkan perkawinan antara pria muslim dengan wanita kitābiyah. Dengan demikian masih ada celah hukum bagi perkawinan antara pria muslim dengan wanita kitābiyah. Pada pasal lain UU Nomor 1 Tahun 1974 disebutkan bahwa perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. 24 Hal ini menjadi sebuah aturan prosedural untuk menjamin hak dan kewajiban suami istri terpenuhi. Namun pada perkembangannya aturan ini dimanfaatkan oleh pasangan beda agama yang menikah di luar negeri, karena tidak mau melewati jalur yang rumit jika harus menikah di Indonesia. Mereka memilih menikah di luar negeri karena di sana tidak ada aturan larangan menikah antar agama. Setelah perkawinan pasangan beda agama ini terlaksana di luar negeri dan memperoleh bukti legalitas hukum, kemudian mereka kembali ke Indonesia untuk mencatatkan perkawinannya pada Kantor Catatan Sipil sehingga secara legal formal mereka tercatat sebagai suami istri. 25 Namun demikian secara legal agama, perkawinan antar agama yang dilakukan di luar negeri adalah tidak memenuhi kekuatan hukum dalam agamanya, sehingga hal ini dapat dikatakan sebagai tindakan penyelundupan hukum. Dalam istilah lain dikatakan bahwa perkawinan semacam itu legal secara lahiriyah namun ilegal secara agama. Indonesia merupakan negara dengan tingkat kemajemukan yang tinggi dalam berbagai bidang, 23 UU Nomor 1 Tahun 1974 pasal 2 dan pasal 8 (f). 24 Ibid, pasal 2 (2). 25 Baca dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil. Lihat Tim Redaksi, Hukum Keluarga: Kumpulan Perundangan Tentang Kependudukan, Kompilasi Hukum Islam, Perkawinan, Perceraian, KDRT dan Anak (Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2010). 93
termasuk dalam agama. Hal ini menyebabkan sekat-sekat perbedaan agama menjadi lebur. Banyak terjadi interaksi sosial di antara mereka termasuk dalam masalah perkawinan. Ada pula kelompok masyarakat yang berpandangan liberal dengan menyetujui perkawinan antar agama terjadi. Dalam pandangan kelompok ini larangan perkawinan antar agama dapat melanggar hak asasi manusia (HAM). Secara mendasar, pendapat kelompok liberal tersebut sah dalam konteks negara demokrasi. Namun kelompok yang kontra dengan pandangan kaum liberal dengan mendukung larangan perkawinan antar agama juga memiliki dasar hukum dan pertimbangan-pertimbangan tertentu. Menurut kelompok pendukung larangan menikah beda agama, selain mempertimbangkan aspek yuridis legal formal, juga mempertimbangkan aspek sosial lain yang berkaitan, yaitu aspek psikologis dan religius. Dampak yang akan timbul akibat perkawinan antar agama dilihat dari aspek psikologis antara lain memudarnya kehidupan rumah tangga, tujuan rumah tangga tidak tercapai, perkawinan mempertemukan dua keluarga besar dan berebut pengaruh. Sedangkan dari aspek religius, pada dasarnya tidak mengenal perkawinan antar agama. Jadi jika terdapat perkawinan antar agama, maka hal itu melanggar ketentuan-ketentuan agama itu sendiri, sehingga perkawinan tersebut kehilangan nilai religiusnya. 26 Penutup Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa fenomena perkawinan antar agama di Indonesia selalu ada. Meskipun UU Nomor 1 Tahun 1974 tidak mengatur larangan nikah beda agama, sehingga menimbulkan kekosongan hukum, namun KHI telah menyebutkan tentang ketidakbolehan melakukan perkawinan beda agama. Regulasi perihal larangan pernikahan beda agama yang cukup tegas di Indonesia menyebabkan pasangan beda agama yang ingin melangsungkan pernikahannya memilih berbagai tindakan penyelundupan hukum demi memperoleh legalitas perkawinan dan tercatat dalam Kantor 26 BPHN, Pengkajian Hukum Tentang Perkawinan Beda Agama, 46-70. 94
Siti Maryam Qurotul Aini Catatan Sipil. Meskipun pernikahan beda agama mampu memperoleh legalitas hukum dalam ranah hukum formal kenegaraan, namun tidak dapat ditolak bahwa perkawinan antar agama membawa dampak sosial dan psikologis bagi keberlangsungan rumah tangga dan pembentukan generasi penerus. DAFTAR PUSTAKA Abdurrahman. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Akademika Pressindo, 2010. Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN). Pengkajian Hukum Tentang Perkawinan Beda Agama. Jakarta: Kemenkumham RI, 2011. Hadikusuma, Hilman. Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama. Bandung: Mandar Maju, 2007. Hosen, Ibrahim. Fiqih Perbandingan. Jakarta: Yayasan Ihya Ulumuddin Indonesia, 1971. http://www.islamlib.com. http://www.wikipediabahasaindonesiaensiklopedibebas/lydia- Kandou.html., diakses 29 Desember 2012. al-jaziri, Abdurrahman. al-fiqh ala Madzāhib al- Arba ah. Beirut: Dār Ihyā al-turāts al- Arabi, 1969. Kompilasi Hukum Islam (KHI). Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil. al-qardhāwi, Yusuf. Hudā al-islam Fatāwā Mu āssirah. Kairo: Dār Afaq al-gad, 1978. Qudamah, Ibnu. al-mughni, juz VI. Riyadh: Maktabah al-riyadh al-haditsah, tt. Trisnaningsih, Murdiarti. Relevansi Kepastian Hukum Dalam Mengatur Perkawinan Beda Agama. Bandung: CV. Utomo, 2007. 95
Tim Redaksi. Hukum Keluarga: Kumpulan Perundangan Tentang Kependudukan, Kompilasi Hukum Islam, Perkawinan, Perceraian, KDRT dan Anak. Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2010. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Wahid, Marzuki dan Rumadi. Fiqh Madzhab Negara. Yogyakarta: LKiS, 2001. Wasman dan Wardah Nuroniyah. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. Yogyakarta: Teras, 2011. 96