BAB I PENDAHULUAN. bencana alam, kecelakaan, mengalami kekerasan seksual, mengalami penindasan

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 1 PENDAHULUAN. atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan

BAB I PENDAHULUAN. hidrologis dan demografis, merupakan wilayah yang tergolong rawan bencana,

PENANGGULANGAN BENCANA (PB) Disusun : IdaYustinA

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANTUL

BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 18 TAHUN 2008 TENTANG PENYELENGGARAAN PENANGGULANGAN BENCANA DI KABUPATEN SITUBONDO

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Dari uraian yang telah disampaikan dari Bab I sampai Bab IV, maka dapat

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Tsunami berasal dari bahasa Jepang, terbentuk dari kata tsu yang berarti. longsoran yang terjadi di dasar laut (BMKG, 2013).

RANCANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI,

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. lempeng raksasa, yaitu Lempeng Eurasia, Lempeng Indo-Australia, dan

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2008 TENTANG PENDANAAN DAN PENGELOLAAN BANTUAN BENCANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB 1 PENDAHULUAN. peristiwa atau serangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu

BAB I PENDAHULUAN. letaknya berada pada pertemuan lempeng Indo Australia dan Euro Asia di

BAB I PENDAHULUAN. penduduk yang besar. Bencana yang datang dapat disebabkan oleh faktor alam

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2008 TENTANG PENDANAAN DAN PENGELOLAAN BANTUAN BENCANA

Powered by TCPDF (

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 4 TAHUN 2016 SERI D.4 PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. subduksi yaitu pertemuan Lempeng Indo-Australia dengan Lempeng

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LEBAK

BAB I PENDAHULUAN. strategis secara geografis dimana letaknya berada diantara Australia dan benua Asia

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk di Indonesia, khususnya di

BAB I LATAR BELAKANG. negara yang paling rawan bencana alam di dunia (United Nations International Stategy

WALIKOTA MATARAM PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT PERATURAN WALIKOTA MATARAM NOMOR : 7 TAHUN 2017 TENTANG

BERITA DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2011 NOMOR 32 SERI E

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan Negara kepulauan yang secara geografis terletak di daerah

Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN BANYUWANGI dan BUPATI BANYUWANGI MEMUTUSKAN:

PERATURAN BUPATI BANDUNG BARAT NOMOR 23 TAHUN 2011 TENTANG TUGAS POKOK, FUNGSI, DAN RINCIAN TUGAS BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH KABUPATEN

PEMERINTAH PROVINSI PAPUA

PEMERINTAH KOTA BATU PERATURAN DAERAH KOTA BATU NOMOR 13 TAHUN 2011 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH KOTA BATU

PERATURAN DAERAH KABUPATEN NGADA NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

- 2 - MEMUTUSKAN : PERATURAN GUBERNUR TENTANG PERBAIKAN DARURAT PADA SAAT TRANSISI DARURAT BENCANA DI ACEH. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PAKPAK BHARAT NOMOR 5 TAHUN 2010 T E N T A N G ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2008 TENTANG PENYELENGGARAAN PENANGGULANGAN BENCANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB 1 : PENDAHULUAN. Samudera Pasifik yang bergerak kearah barat-barat laut dengan kecepatan sekitar 10

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Kristen Maranatha 1

BUPATI BLITAR PERATURAN BUPATI BLITAR NOMOR 6 TAHUN 2011

PERATURAN BUPATI LANDAK NOMOR 16 TAHUN 2012 TENTANG

PEMERINTAH PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 10 TAHUN 2010

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MALANG,

PENDAHULUAN Latar Belakang

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2008 TENTANG PENDANAAN DAN PENGELOLAAN BANTUAN BENCANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KOTA BANJARBARU NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN, ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH KOTA BANJARBARU

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR : 9 TAHUN 2009 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH PROVINSI JAWA BARAT

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MALANG,

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN BANJAR dan BUPATI BANJAR

BUPATI ACEH TIMUR PERATURAN BUPATI ACEH TIMUR NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG

BUPATI PURBALINGGA PERATURAN BUPATI PURBALINGGA NOMOR 26 TAHUN 2011 TENTANG PENJABARAN TUGAS POKOK DAN FUNGSI BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH

BUPATI NGANJUK PERATURAN DAERAH KABUPATEN NGANJUK NOMOR 03 TAHUN 2012 TENTANG

2017, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor

WALIKOTA KEDIRI PERATURAN WALIKOTA KEDIRI NOMOR 56 TAHUN 2014 TENTANG URAIAN TUGAS POKOK DAN FUNGSI BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH KOTA KEDIRI

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 7. MENGANALISIS MITIGASI DAN ADAPTASI BENCANA ALAMLATIHAN SOAL 7.1

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANA TORAJA NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 80 TAHUN 2015 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. empat lempeng raksasa, yaitu lempeng Eurasia, lempeng Hindia-Australia,

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia menempati wilayah zona tektonik tempat pertemuan tiga

PERATURAN BUPATI TRENGGALEK NOMOR 9 TAHUN 2011 TENTANG PENJABARAN TUGAS POKOK DAN FUNGSI BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH KABUPATEN TRENGGALEK

PERATURAN MENTERI PERTAHANAN REPUBLIK INDONESIA,

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL ( Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul ) Nomor : 4 Tahun : 2011 Seri : D

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BUPATI TRENGGALEK SALINAN PERATURAN BUPATI TRENGGALEK NOMOR 62 TAHUN 2013 TENTANG PEDOMAN PENYELENGGARAAN REHABILITASI DAN REKONSTRUKSI PASKA BENCANA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2008 TENTANG PENYELENGGARAAN PENANGGULANGAN BENCANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia dengan keadaan geografis dan kondisi sosialnya berpotensi rawan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PEMERINTAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT

BAB I PENDAHULUAN. Sabuk Gempa Pasifik, atau dikenal juga dengan Cincin Api (Ring

PENJELASAN ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PENANGANAN BENCANA

Penger&an dan Ruang Lingkup Penanggulangan Bencana

GUBERNUR ACEH PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 104 TAHUN 2016 TENTANG

BAB 1 : PENDAHULUAN Latar Belakang

PERATURAN BUPATI KARAWANG NOMOR : 8 TAHUN 2014

QANUN KABUPATEN ACEH TIMUR NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG SUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH

BAB I P E N D A H U L U A N

BUPATI KETAPANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN KETAPANG NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BIMA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PROVINSIRIAU NOMOR 9 TAHUN 2017 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH NOMOR 17 TAHUN2013 TENTANG PENANGGULANGAN BENCANA ALAM

PEMERINTAH KOTA SINGKAWANG

SALINAN PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN TIMUR NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEBUMEN NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1 Peta Indeks Rawan Bencana Indonesia Tahun Sumber: bnpb.go.id,

KERENTANAN (VULNERABILITY)

Bencana dan Pergeseran Paradigma Penanggulangan Bencana

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2008 TENTANG PENYELENGGARAAN PENANGGULANGAN BENCANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PEMERINTAH KABUPATEN ALOR

11. Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2008 tentang Badan Nasional Penanggulangan Bencana;

PEMERINTAH PROVINSI KEPULAUAN RIAU

KEPALA PELAKSANA BADAN PENANGGULANGAN BECANA DAERAH KABUPATEN LAMONGAN. SUPRAPTO, SH Pembina Tingkat I NIP

BAB I PENDAHULUAN. Kejadian bencana yang datang silih berganti menimbulkan trauma pada

WALIKOTA BANJARBARU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN WALIKOTA BANJARBARU NOMOR 9 TAHUN 2016 TENTANG

RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 11 TAHUN 2009

BAB I PENDAHULUAN. pada 6`LU- 11` LS dan antara 95` BT - 141` BT1. Sementara secara geografis

BUKU SISWA ILMU PENGETAHUAN SOSIAL

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BNPB. Masyarakat. Penanggulangan Bencana. Peran Serta.

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

QANUN KABUPATEN ACEH BARAT DAYA NOMOR 4 TAHUN 2012 TENTANG

TIM CMHN BENCANA DAN INTERVENSI KRISIS

RANCANGAN PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 11 TAHUN 2009 TENTANG

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN Gangguan stres pascatrauma merupakan bentuk gangguan psikologis yang umum dialami individu yang mengalami peristiwa traumatik seperti peristiwa bencana alam, kecelakaan, mengalami kekerasan seksual, mengalami penindasan atau bully di sekolah, korban konflik sosial di mayarakat, atau korban kekerasan dalam rumah tangga. Melalui penelitian ini, penulis memfokuskan pada upaya memperoleh gambaran tentang gangguan stres pascatrauma pada anak dan remaja korban bencana alam serta melakukan analisis terhadap data yang diperoleh melalui penelitian tersebut. Pada bagian pendahuluan ini, penulis secara terinci menjelaskan tentang latar belakang penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, hipotesis penelitian, manfaat penelitian secara teoritis dan praktis, serta sistematika penulisan laporan penelitian. A. Latar Belakang Penelitian Indonesia adalah salah satu negara yang terletak di wilayah cincin api pasifik yang merentang sepanjang 40.000 km dari ujung Afrika Selatan, pantai barat Amerika Utara, wilayah Jepang, Philipina, Indonesia, dan berakhir di Selandia Baru. Cincin api Pasifik adalah rumah bagi sekitar 70% gunung api aktif yang ada di dunia dan tempat tejadinya sekitar 90% gempa bumi. Indonesia sendiri memiliki 240 gunung api dengan 70 diantaranya merupakan gunung api aktif. Posisi geologis Indonesia yang diapit oleh lempeng Indo-Australia di bagian selatan, lempeng Euro-Asia di bagian utara, dan lempeng Pasifik menyebabkan Indonesia menjadi wilayah yang sangat rawan terhadap bencana 1

2 gunung meletus, gempa bumi, dan tsunami. (Ginting, 2015; Tim redaksi buletin Tata Ruang, 2011; Turgeon, t.t.; Wikipedia, 2015b). Gambar 1.1. Posisi geologis Indonesia cincin api Pasifik (Sumber: Wikipedia) Sejak tahun 2000 terjadi beragam bencana alam di Indonesia. Tercatat beberapa bencana yang berskala besar dan berdampak masif seperti gempa dan tsunami Aceh tahun 2004, gempa bumi di Yogyakarta dan Bantul tahun 2006, tsunami Pangandaran tahun 2006, serta gempa Padang dan Padang Pariaman tahun 2009. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melalui sistem informasi data dan informasi bencana Indonesia (DIBI) mencatat sekitar 90 bencana yang mencakup banjir, tanah longsor, gempa bumi, dan tsunami terjadi antara tahun 2002 sampai 2009 dengan total korban jiwa sekitar 90.000 orang dan korban luka-luka sekitar 12.000 orang (Badan Nasional Penanggulangan Bencana, t.t.). Berdasarkan data Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika, sejak

3 tahun 1991 sampai dengan 2009 tercatat terjadi 30 kali gempa merusak dan 14 kali tsunami merusak (Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika, 2015b). Berikut ini disajikan data sejumlah bencana alam berikut korban jiwa dan harta benda yang terjadi antara tahun 2002 dan tahun 2014 yang disarikan dari beberapa sumber (Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika, 2015a; Badan Nasional Penanggulangan Bencana, t.t.; Bnj, 2009; Damanik, 2014; Departemen Pekerjaan Umum, 2006; Wardhani, 2014; Wikipedia, 2015a). Tabel 1.1. Beberapa Peristiwa Bencana Alam Sejak Tahun 2002 sampai dengan 2014 Tahun Kejadian Provinsi Meninggal (orang) Luka-luka (orang) Mengungsi (orang) 2002 Banjir Sulawesi Selatan 9 3936 56213 2002 Banjir dan tanah Kalimantan Barat 8 1 2335 longsor 2003 Banjir Sumatra Utara 160 50 2080 2003 Banjir dan tanah Jawa Barat 58 74 1796 longsor 2004 Gempa bumi dan Aceh 81448 982 97116 tsunami 2004 Tanah longsor Sulawesi Selatan 33 16 200 2005 Gempa bumi Sumatra Utara 850 6278 13139 2006 Gempa bumi Yogyakarta 4626 19202-2006 Gempa bumi Jawa Tengah 1063 18522-2006 Gempa bumi dan Jawa Barat 476 482 5840 tsunami 2007 Banjir & longsor Sulawesi Tengah 78 2380-2009 Gempa bumi Sumatra Barat 1117 1214-2010 Gempa bumi Papua 148 - - 2010 Gunung meletus Yogyakarta 100 100000 2010 Tsunami Mentawai-Sumatra Barat 450 2013 Gunung meletus Sumatra Utara 17-27518 2014 Tanah longsor Jawa Tengah 92 - - Peristiwa bencana alam menimbulkan banyak kerusakan, baik yang bersifat fisik maupun psikologis. Permasalahan psikologis ini dapat muncul sesaat setelah bencana terjadi, berbulan-bulan, atau bahkan bertahun-tahun setelah bencana berlalu (Kaplow, Saxe, & Putnam, 2006; Kulkarni, Pole, & Timko, 2012;

4 La Greca, Silverman, Vernberg, & Prinstein, 1996). Permasalahan psikologis ini tidak saja muncul pada usia atau kelompok orang tertentu namun dapat muncul pada berbagai kelompok orang seperti anak-anak, remaja, orang dewasa dan orang tua, laki-laki dan perempuan, serta individu yang berasal dari berbagai latar belakang etnis (Briere & Scott, 2006; Groome & Soureti, 2004; Kar, dkk., 2007). Berbagai penelitian menunjukkan bahwa gangguan psikologis pascabencana dapat termanifestasi dalam berbagai gejala seperti depresi, kecemasan, kecanduan minuman keras, atau gangguan stres pascatrauma (Fetzner, Abrams, & Asmundson, 2013). Sebagian besar manusia memiliki kapasitas yang memadai (resilience) untuk mengatasi penderitaan hidup dan melenting balik (bounch back) sehingga mampu kembali hidup secara normal (Briere & Scott, 2006). Meskipun demikian, terdapat sejumlah individu yang kurang mampu mengatasi tekanan psikologis akibat bencana sehingga berdampak pada munculnya berbagai gangguan psikologis seperti gangguan stres pascatrauma (Bonanno, Galea, Bucciarelli, & Vlahov, 2006). Gangguan stres pascatrauma (Post-Traumatic Stress Disorder - PTSD) merupakan bentuk gangguan psikologis yang umum ditemukan pada korban bencana setelah bencana lama berlalu (Fetzner, dkk. 2013; La Greca, dkk., 1996). Anak-anak diketahui sebagai populasi yang lebih rentan terhadap gangguan stres pascatrauma dibandingkan orang dewasa (Briere & Scott, 2006). Gangguan stres pascatrauma diketahui menyebabkan berbagai masalah akademik dan masalah sosial dalam kehidupan anak dan remaja (Bulut, 2013; Terranova, Boxer, & Morris, 2009). Pada sebagian besar anak dan remaja,

5 gangguan ini dapat diatasi apabila dilakukan intervensi berupa psikoterapi atau konseling trauma (Piyasil, dkk., 2011). Penelitian yang dilakukan oleh Thienkrua, dkk. (2006) menunjukkan pentingnya intervensi psikologis yang tidak hanya bersifat tanggap darurat, namun juga bersifat jangka panjang dengan melibatkan tenaga ahli konseling/psikoterapi, guru, dan orang tua. Pelaksanaan konseling trauma yang lebih sistematik tersebut mensyaratkan adanya dukungan dari para pakar dan praktisi konseling/psikoterapi serta dukungan kebijakan dan pendanaan dari pemerintah. Pemerintah Indonesia melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana, serta melalui Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 11 Tahun 2008 tentang Pedoman Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pascabencana, menegaskan pentingnya berbagai upaya untuk mencegah bencana, mitigasi bencana atau mengurangi dampak bencana, tanggap darurat, serta kegiatan rekonstruksi dan rehabilitasi yang mencakup seluruh aspek kehidupan. Dengan demikian, kegiatan penanggulangan bencana bukan saja mencakup kegiatan saat bencana terjadi atau tanggup darurat, namun mencakup seluruh kegiatan prabencana serta pascabencana yang bertujuan untuk menormalisasi seluruh aspek kehidupan dalam masyarakat yang mengalami bencana. Berdasarkan Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 11 Tahun 2008 tentang Pedoman Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pascabencana, rehabilitasi didefinisikan sebagai berikut:

6 Rehabilitasi adalah perbaikan dan pemulihan semua aspek pelayanan publik atau masyarakat sampai tingkat yang memadai pada wilayah pascabencana dengan sasaran utama untuk normalisasi atau berjalannya secara wajar semua aspek pemerintahan dan kehidupan masyarakat pada wilayah pascabencana. Rehabilitasi dilakukan melalui kegiatan (a) perbaikan lingkungan daerah bencana; (b) perbaikan prasarana dan sarana umum; (c) pemberian bantuan perbaikan rumah masyarakat; (d) pemulihan sosial psikologis; (e) pelayanan kesehatan; (f) rekonsiliasi dan resolusi konflik; (g) pemulihan sosial ekonomi budaya; (h) pemulihan keamanan dan ketertiban; (i) pemulihan fungsi pemerintahan; dan (j) pemulihan fungsi pelayanan publik. (hlm. 4 - garis bawah oleh penulis) Berdasarkan definisi tersebut, salah satu aspek penting dalam proses rehabilitasi adalah pemulihan kondisi sosial psikologis korban bencana. Penanganan psikologis ini bukan hanya dilakukan untuk mengurangi dampak psikologis saat bencana terjadi, namun juga dilakukan setelah atau bahkan jauh setelah bencana terjadi yang bertujuan untuk mengurangi atau mengatasi berbagai dampak psikologis pascabencana seperti misalnya gangguan stres pascatrauma (posttraumatic stress disorder PTSD) pada korban bencana. Peraturan kepala BNPB No. 11 Tahun 2008 tersebut menegaskan tentang pentingnya upaya pemulihan sosial psikologis yang bertujuan agar masyarakat mampu melakukan tugas sosial seperti sebelum terjadi bencana, serta tercegah dari mengalami dampak psikologis lebih lanjut yang mengarah pada gangguan kesehatan mental. Pemulihan sosial psikologis didefinisikan sebagai pemberian bantuan kepada masyarakat yang terkena dampak bencana agar dapat berfungsi kembali secara normal. Kegiatan pemulihan ini mencakup beragam aktivitas seperti kegiatan psikososial, intervensi psikologis, bantuan konseling dan konsultasi keluarga, serta pendampingan pemulihan trauma secara terstruktur dengan berbagai metode terapi psikologis. Upaya pemulihan ini juga mencakup upaya pelatihan bagi tokoh masyarakat, relawan, dan pihak-pihak yang dianggap

7 mampu dalam masyarakat untuk memberikan dukungan psikologis bagi masyarakat (Badan Nasional Penanggulangan Bencana, 2008). Upaya pemulihan kesehatan mental merupakan hal yang sangat penting untuk diberikan kepada korban bencana. Meskipun demikian, berdasarkan studi yang dilakukan oleh Jacob, dkk. (2007), Indonesia hanya menganggarkan dana sekitar 1% untuk kesehatan mental dari total dana yang dialokasikan untuk kesehatan secara umum. Dibandingkan dengan beberapa negara lain, proporsi anggaran kesehatan mental di Indonesia termasuk kecil. Proporsi anggaran yang kecil ini tentu saja akan menghambat pemberian dan jangkauan layanan kesehatan mental bagi masyarakat Indonesia, khususnya yang tinggal di daerah rawan bencana. Tabel 1.2. menunjukkan proporsi anggaran kesehatan mental terhadap anggaran kesehatan di beberapa negara dunia. Tabel 1.2. Proporsi Anggaran Kesehatan Mental Terhadap Anggaran Kesehatan di Beberapa Negara Dunia (Jacob, dkk., 2007) No. Negara Proporsi anggaran kesehatan mental terhadap total anggaran kesehatan 1. Indonesia 1% 2. Myanmar 1,3% 2. Malaysia 1,5% 3. Thailand 2,5% 4. Singapura 6,1% 6. India 2,05% 7. Cina 2,35% 8. Jepang 5% 9. Australia 9,6% 10. Amerika Serikat 6%

8 Bimbingan dan konseling komprehensif di sekolah mencakup dimensi preventif yang diwujudkan melalui layanan bimbingan serta dimensi kuratifremediatif yang diwujudkan melalui layanan konseling (Bowers & Hatch, 2002; Dollarhide & Saginak, 2012). Selain memfasilitasi perkembangan optimal peserta didik pada tahap perkembangan yang normal, bk komprehensif memiliki karakteristik fleksibel yang menyesuaikan layanannya berdasarkan keadaan dan kebutuhan nyata anak di sekolah. Dalam konteks ini, layanan bk komprehensif perlu dikembangkan lebih jauh sehingga mampu membantu peserta didik yang mengalami pengalaman traumatik khususnya yang disebabkan oleh bencana alam. Berdasarkan pengamatan yang penulis lakukan di beberapa sekolah yang berada di lokasi bencana, kemampuan guru bk atau konselor sekolah dalam melakukan pendeteksian gejala-gejala trauma secara akurat dan keterampilan dalam melakukan konseling trauma masih sangat terbatas. Selain itu, penulis juga tidak menemukan adanya tenaga psikolog klinis atau psikiater kunjung yang dapat melayani anak dan remaja di sekolah-sekolah tersebut. Kecilnya anggaran kesehatan mental, terbatasnya data dan pemahaman tentang kondisi psikologis korban bencana alam, sangat terbatasnya jumlah ahli yang mampu melaksanakan layanan konseling trauma, fokus intervensi psikologis yang lebih bersifat tanggap darurat, serta masih sangat terbatasnya layanan konseling trauma di sekolah dan di masyarakat dapat menyebabkan tetap tingginya prevalensi PTSD di masyarakat yang mengalami bencana. Diperlukan data, kebijakan, dan intervensi yang lebih baik agar layanan psikologis yang diberikan kepada korban bencana alam sesuai dengan kebutuhan dan permasalahan yang dihadapi.

9 B. Rumusan Masalah Penelitian Pemberian intervensi yang sesuai dengan masalah dan kebutuhan serta penetapan kebijakan yang lebih tepat dalam menangani dampak psikologis bencana, mensyaratkan adanya data yang valid dan memadai tentang keadaan psikologis yang sesungguhnya dialami anak dan remaja korban bencana alam. Meskipun demikian, hingga saat ini belum tersedia data yang memadai untuk mendeskripsikan secara terinci dampak psikologis, khususnya gangguan stres pascatrauma, yang dialami anak dan remaja korban bencana alam di Indonesia. Sebagai contoh, data yang disediakan oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melalui sistem Data dan Informasi Bencana Indonesia (DIBI), berfokus pada data kerusakan bangunan dan harta benda, nilai kerugian finansial yang dialami, jumlah pengungsi, jumlah korban luka, dan jumlah korban meninggal dunia. Meskipun data yang disajikan tersebut merupakan data yang sangat penting, namun pada sistem informasi ini tidak ditemukan data tentang dampak psikologis seperti gangguan stres pascatrauma pada korban bencana alam. Secara ideal seharusnya data tidak hanya mencakup jumlah korban jiwa atau luka serta kerusakan fisik dan kerugian finansial, namun juga perlu mencakup data yang mendeskripsikan dampak psikologis yang dialami korban bencana alam, termasuk data tentang gangguan stres pascatrauma (PTSD), khususnya pada anak dan remaja. Anak dan remaja merupakan populasi yang rentan mengalami berbagai gangguan psikologis seperti gangguan stes pascatrauma. Kurangnya data yang terinci tentang karakteristik gangguan stres pascatrauma pada populasi ini berdampak pada terhambatnya penentuan kebijakan yang tepat dalam menangani

10 anak dan remaja korban bencana alam. Selain itu, tidak memadainya data tersebut akan menyebabkan kurangnya sense of urgency dalam mengembangkan layanan intervensi psikologis seperti konseling trauma pada anak dan remaja korban bencana alam serta pengembangan program bimbingan dan konseling di sekolah untuk meningkatkan ketangguhan anak dan remaja dalam mengatasi dampak psikologis peristiwa bencana alam. Penanganan dampak psikologis pada anak dan remaja korban bencana alam perlu dilakukan secara sistematis dan komprehensif serta sesuai dengan kebutuhan dan permasalahan yang dialami. Meskipun pemerintah mengakui pentingnya penanganan dampak psikologis peristiwa bencana, namun bentuk intervensi psikologis yang diberikan saat ini lebih bersifat tanggap darurat. Hingga saat ini, belum tersedia data yang memadai untuk menilai apakah intervensi psikologis tanggap darurat yang telah dilakukan cukup berhasil mengatasi berbagai tekanan psikologis yang dihadapi anak, khususnya yang berkaitan dengan gejala stres pascatrauma. Kurang memadainya data yang dapat menggambarkan karakteristik gangguan pascatrauma pada anak dan remaja korban bencana alam, akan menghambat pengembangan intervensi psikologis yang benar-benar diperlukan agar mereka dapat hidup kembali secara normal dan mampu mengatasi berbagai gejala trauma yang mereka alami. Tidak adanya data yang memadai yang dapat menggambarkan karakteristik gejala trauma akan menghambat pengembangan intervensi psikologis yang bersifat jangka panjang. Sebagian besar anak dan remaja korban bencana alam adalah peserta didik yang bersekolah di tingkat sekolah dasar, sekolah menengah pertama, sekolah menengah atas, dan sekolah menengah kejuruan. Sekolah-sekolah tersebut,

11 kecuali pada tingkat sekolah dasar, pada umumnya telah memiliki tenaga guru bk atau konselor yang tugas utamanya adalah membantu anak untuk dapat berkembang secara optimal serta mencegah munculnya berbagai masalah dalam kehidupan peserta didik. Pada kenyataannya, di sekolah-sekolah yang penulis kunjungi dan pernah mengalami bencana alam, semua guru bk atau konselor di sekolah kurang memahami secara terinci dampak negatif peristiwa bencana alam terhadap peserta didik serta dampak gejala trauma terhadap perkembangan peserta didik baik secara pribadi, sosial, akademik, dan karir. Munculnya masalah perilaku, ketidakstabilan emosi, masalah sosial, atau masalah akademik pada sebagian siswa dianggap sebagai masalah yang umum dialami anak dan remaja dan kurang dikaitkan dengan gejala-gejala pascatrauma yang belum dapat diatasi oleh peserta didik. Pemahaman yang kurang memadai terhadap akar masalah yang dialami peserta didik, akan berakibat pada tidak tepatnya intervensi yang diberikan. Secara ideal, apabila karakteristik gangguan stres pascatrauma pada peserta didik korban bencana alam dapat diketahui, maka guru bk dan konselor di sekolah akan dapat lebih memahami permasalahan yang dihadapi siswa sehingga dapat mengembangkan dan memberikan intervensi yang lebih baik pula. Berbagai masalah di atas menunjukkan masih kurangnya kesadaran akan pentingnya konseling kesehatan mental di masyarakat, khususnya di sekolah. Memulihkan kesehatan mental peserta didik korban bencana alam belum menjadi prioritas penting bagi layanan bimbingan dan konseling di sekolah-sekolah yang terdampak bencana, yang pada akhirnya akan berdampak negatif terhadap perkembangan peserta didik secara utuh.

12 Untuk membangun kesadaran tentang pentingnya layanan konseling trauma di sekolah, maka konselor, guru bk, para pendidik, dan akademisi di bidang bimbingan dan konseling perlu lebih memahami dampak psikologis peristiwa bencana serta karakteristik gejala-gejala pascatrauma pada anak dan remaja korban bencana alam. Sayangnya, hingga saat ini belum tersedia data yang dapat mendeskripsikan gejala-gejala pascatrauma yang di alami peserta didik di Indonesia. Tidak adanya data yang memadai tersebut akan menyebabkan sulitnya membangun layanan konseling trauma di sekolah yang dikembangkan berdasarkan pemahaman terhadap keadaan yang sesungguhnya pada anak dan remaja korban bencana. Implikasi dari permasalahan ini adalah pentingnya memperoleh data yang terinci yang dapat menggambarkan karakteristik gejalagejala pascatrauma pada anak dan remaja korban bencana alam. Peristiwa tsunami di Pangandaran dan Cimerak Jawa Barat tahun 2006 serta gempa bumi di Kota Padang dan Padang Pariaman Sumatra Barat tahun 2009 telah menyebabkan meninggalnya ribuan jiwa serta mengakibatkan kerugian fisik dan finansial yang sangat besar. Meskipun demikian, tidak diketahui berapa prevalensi gangguan stres pascatrauma serta bagaimana karakteristik gejala trauma yang dialami oleh anak dan remaja korban bencana alam. Hingga sebelum penelitian ini dilakukan, tidak diketahui apakah anak dan remaja korban tsunami tahun 2006 dan korban gempa bumi tahun 2009 telah pulih sepenuhnya dari berbagai permasalahan psikologis atau masih mengalami gangguan psikologis tertentu. Selain itu, seandainya mereka masih mengalami gejala trauma tertentu, tidak diketahui seberapa parah gejala trauma tersebut mereka alami. Melalui penelitian ini diharapkan dapat diperoleh data yang

13 menggambarkan karakteristik gangguan stres pascatrauma pada anak dan remaja korban bencana alam tersebut. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, penulis merumuskan masalah penelitian melalui pertanyaan-pertanyaan penelitian berikut ini, yaitu: 1. Berapa prevalensi PTSD pada anak dan remaja korban tsunami di Pangandaran dan Cimerak Jawa Barat tahun 2006 dan korban gempa bumi di Kota Padang dan Padang Pariaman Sumatra Barat tahun 2009 dan apakah rentang waktu bencana (dihitung berdasarkan rentang waktu pengambilan data tahun 2013 dan tahun terjadinya peristiwa bencana) 7 tahun bagi korban bencana tsunami Pangandaran - Cimerak (2006) dan rentang waktu 4 tahun bagi korban gempa bumi kota Padang - Padang Pariaman (2009) dapat memulihkan mereka dari gangguan stres pascatrauma? 2. Apakah terdapat perbedaan prevalensi PTSD yang signifikan berdasarkan variabel kelompok umur, gender, latar belakang etnis, dan rentang waktu kejadian? 3. Apakah terdapat perbedaan prevalensi, intensitas, dan frekuensi mengalami gejala-gejala PTSD serta bagaimana karakteristik gejala stres pascatrauma yang dialami anak dan remaja korban bencana alam berdasarkan variabel kategori usia, gender, dan latar belakang etnis serta bagaimana respon kognitif dan emosi pada anak dan remaja korban bencana alam dan gejalagejala stres pascatrauma apa saja yang berpotensi menghambat perkembangan pribadi, sosial, akademik, dan karir peserta didik di masa depan?

14 4. Apakah variabel kategori usia, gender, latar belakang etnis, dan rentang waktu bencana dapat digunakan untuk memprediksi probabilitas keterdiagnosisan PTSD pada anak dan remaja? 5. Berapa prevalensi gejala-gejala PTSD berdasarkan tingkat keparahan gejala pada kelompok yang tidak memenuhi kriteria diagnosis dan pada kelompok yang memenuhi kriteria diagnosis PTSD, apakah terdapat perbedaan intensitas dan frekuensi gejala antara kedua kelompok tersebut, serta apakah tingkat keparahan gejala PTSD dapat digunakan untuk menentukan prioritas pemberian layanan konseling trauma selain menggunakan kriteria diagnosis PTSD berdasarkan DSM V? C. Tujuan Penelitian Secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk memahami karakteristik gangguan stres pascatrauma pada anak dan remaja korban bencana alam. Secara terinci, penelitian ini memiliki beberapa tujuan yaitu: 1. Mengetahui dan menganalisis prevalensi PTSD pada anak dan remaja korban bencana alam. 2. Membandingkan dan menganalisis prevalensi PTSD berdasarkan variabel kelompok usia, gender, latar belakang etnis, dan rentang waktu kejadian. 3. Membandingkan dan menganalisis prevalensi, intensitas, dan frekuensi gejala-gejala PTSD pada anak dan remaja korban bencana alam berdasarkan variabel kelompok usia, gender, dan latar belakang etnis serta memahami respon kognitif dan emosi dan gejala-gejala stres pascatrauma yang

15 berpotensi menghambat perkembangan pribadi, sosial, akademik, dan karir peserta didik di masa depan 4. Menguji kemampuan variabel gender, kategori usia, latar belakang etnis, dan rentang waktu kejadian dalam memprediksi probabilitas keterdiagnosisan PTSD. 5. Mengetahui dan menganalisis prevalensi gejala-gejala PTSD berdasarkan tingkat keparahan gejala pada kelompok yang tidak memenuhi kriteria diagnosis dan pada kelompok yang memenuhi kriteria diagnosis PTSD, serta mengetahui apakah tingkat keparahan gejala PTSD dapat digunakan untuk menentukan prioritas pemberian layanan konseling trauma selain menggunakan kriteria diagnosis PTSD berdasarkan DSM V. D. Hipotesis Penelitian Hipotesis penelitian yang diuji melalui penelitian ini didasarkan pada kajian teoretik yang telah penulis lakukan terhadap berbagai studi terdahulu yang penulis paparkan pada bab II yang menjelaskan tentang landasan teoretik penelitian. Terdapat sejumlah hipotesis yang diuji melalui penelitian ini yaitu sebagai berikut: 1. Prevalensi PTSD pada kelompok anak dan remaja yang mengalami bencana tahun 2006 (rentang waktu 7 tahun) lebih rendah dibandingkan kelompok anak dan remaja yang mengalami bencana tahun 2009 (rentang waktu 3 tahun). 2. Prevalensi PTSD pada kelompok remaja lebih tinggi dibandingkan pada kelompok anak dan prevalensi PTSD pada kelompok perempuan lebih tinggi

16 dibandingkan pada kelompok laki-laki. Selain itu, terdapat hubungan antara latar belakang etnis dengan prevalensi mengalami PTSD. 3. Prevalensi, intensitas, dan frekuensi mengalami setiap gejala PTSD pada kelompok remaja lebih tinggi dibandingkan pada kelompok anak dan prevalensi, intensitas, dan frekuensi mengalami setiap gejala PTSD pada kelompok perempuan lebih tinggi dibandingkan pada kelompok laki-laki. Selain itu, terdapat hubungan antara latar belakang etnis dengan prevalensi, intensitas, dan frekuensi mengalami setiap gejala PTSD. 4. Variabel kelompok umur, gender, rentang waktu kejadian, dan latar belakang etnis merupakan prediktor yang memadai untuk memprediksi keterdiagnosisan PTSD pada anak dan remaja korban bencana alam. 5. Kelompok yang memenuhi kriteria diagnosis PTSD mengalami gejala-gejala PTSD dengan intensitas dan frekuensi yang lebih tinggi dibandingkan kelompok yang tidak memenuhi kriteria diagnosis. E. Manfaat Penelitian Penelitian ini memiliki manfaat dan signifikansi dalam aspek teoritis dan praktis. Secara teoritis, signifikansi penelitian ini adalah: 1. Meningkatnya pemahaman tentang prevalensi gangguan stres pascatrauma (PTSD) pada anak dan remaja korban bencana alam berdasarkan kategori usia, gender, latar belakang etnis, dan rentang waktu kejadian. 2. Meningkatnya pemahaman tentang karakteristik gejala stres pascatrauma pada anak dan remaja korban bencana alam berdasarkan kategori usia, gender, dan latar belakang etnis.

17 3. Meningkatnya pemahaman tentang respon kognitif dan emosi pada anak dan remaja korban bencana alam termasuk gejala-gejala stres pascatrauma yang berpotensi menghambat perkembangan pribadi, sosial, akademik, dan karir peserta didik di masa depan. Sementara itu, secara praktis manfaat penelitian ini adalah: 1. Pemahaman tentang karakteristik gangguan stres pascatrauma pada anak dan remaja korban bencana alam akan membantu pengambil kebijakan dan pakar di bidang konseling trauma untuk menentukan arah kebijakan dan langkahlangkah yang perlu dilakukan dalam mencegah dan mengatasi gangguan stres pascatrauma pada anak dan remaja. 2. Pemahaman tentang karakteristik gejala stres pascatrauma pada anak dan remaja akan membantu praktisi kesehatan mental seperti konselor, pekerja sosial, psikolog, dan psikiater untuk menentukan intervensi psikologis yang tepat bagi anak dan remaja korban bencana alam, baik dalam lingkungan sekolah maupun masyarakat. 3. Pemahaman tentang karakteristik gangguan stres pascatrauma pada anak dan remaja usia sekolah akan membantu konselor dan guru bk untuk memberikan layanan yang lebih baik kepada peserta didik yang menjadi korban bencana alam. 4. Pemahaman tentang karakteristik gangguan stres pascatrauma pada anak dan remaja akan membantu penentuan prioritas pemberian layanan konseling trauma bagi peserta didik korban bencana alam. Adapun manfaat dan signifikansi penelitian ini dari aspek kebijakan penanganan gangguan psikologis pada anak dan remaja korban bencana alam

18 adalah hasil penelitian ini dapat menjadi landasan untuk menjawab pertanyaan tentang sejauh mana layanan pemulihan psikologis yang selama ini diterapkan di lapangan berhasil mencegah atau mengatasi gangguan stres pascatrauma pada anak dan remaja. Hasil penelitian ini dapat menjadi bukti tentang apakah tata laksana rehabilitasi psikologis pada anak dan remaja pascabencana pada saat ini telah memadai atau perlu dikembangkan lebih lanjut. F. Sistematika Penulisan Hasil Penelitian Penulisan hasil penelitian ini disusun dalam lima bab. Bab pertama berisi tentang latar belakang penelitian, rumusan masalah penelitian yang dinyatakan dalam bentuk pertanyaan penelitian, tujuan dilakukannya penelitian, hipotesis penelitian, manfaat dan signifikansi penelitian secara keilmuan atau teoretis, manfaat hasil penelitian bagi praktik konseling trauma, serta manfaat dan signifikansinya dalam penetapan kebijakan penanganan anak dan remaja korban bencana alam yang mengalami gangguan stres pascatrauma. Bab kedua berisi landasan teoretik penelitian yang mencakup definisi peristiwa traumatik dan berbagai respon individu setelah mengalami peristiwa bencana, dampak psikologis dan gangguan stres pascatrauma pada anak dan remaja korban bencana alam, kriteria diagnosis PTSD, faktor-faktor protektif serta penyebab muncul dan bertahannya PTSD pada korban bencana, strategi koping sebagai faktor penting dalam menentukan respon pascatrauma, model kognitif perilaku serta fitur kognitif pada individu yang mengalami PTSD, serta layanan konseling trauma serta intervensi psikologis pada anak dan remaja korban bencana alam.

19 Bab ketiga berisi tentang rancangan penelitian yang digunakan, lokasi, populasi dan sampel penelitian termasuk kriteria dan tahapan dalam pemilihan sampel, variabel penelitian dan definisi operasional, pengembangan instrumen penelitian, penjelasan tentang prosedur penelitian termasuk pembentukan dan pelatihan tim pengumpul data di lapangan, proses pengumpulan data, prosedur pengisian instrumen penelitian, serta teknik analisis data penelitian. Bab keempat berisi tentang analisis data penelitian dalam rangka menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian. Pada bab empat penulis menggunakan statistik deskriptif untuk mendeskripsikan data yang diperoleh melalui penelitian ini serta menggunakan statistik inferensial nonparametrik untuk melakukan pengujian terhadap hipotesis penelitian. Pada bab ini hasil pengolahan data akan dianalisis menggunakan teori-teori dan penelitian-penelitian terdahulu yang telah dikaji sebelumnya pada bab dua. Bab kelima berisi tentang kesimpulan hasil penelitian, implikasi dan rekomendasi yang diberikan terkait dengan hasil penelitian, keterbatasan penelitian, dan rekomendasi bagi penelitian selanjutnya.