16 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perilaku hidup bersih sehat (PHBS) merupakan perilaku kesehatan yang dilakukan oleh individu, keluarga dan masyarakat dalam menolong dirinya sendiri di bidang kesehatan dan meningkatkan status gizi serta berperan aktif dalam kegiatankegiatan kesehatan. Melaksanakan PHBS bermanfaat untuk mencegah, menanggulangi dan melindungi diri dari ancaman penyakit serta memanfaatkan pelayanan kesehatan yang bermutu, efektif dan efisien (Depkes RI, 2007). Mempraktikkan PHBS merupakan langkah tepat dalam upaya memantau pertumbuhan dan pencegahan balita dari kurang gizi, dengan mengetahui ada atau tidaknya kurang gizi pada balita yang dapat dilakukan melalui penimbangan berat badan (BB) setiap bulan (Supariasa, 2001). Upaya penanggulangan kurang gizi memerlukan pendekatan berbagai segi kehidupan secara terintegrasi. Pencegahan dan penanggulangan gizi kurang tidak cukup dengan memperbaiki aspek makanan tetapi juga lingkungan kehidupan balita seperti; pola pengasuhan, tersedia air bersih dan kesehatan lingkungan (Soekirman, 2002) Widaninggar (2003) menyatakan bahwa kondisi lingkungan yang buruk akan menyebabkan timbulnya berbagai penyakit infeksi sehingga berpengaruh terutama pada status gizi balita, karena usia balita merupakan usia yang rentan terhadap
17 penyakit. Menurut Nadesul (Jurnal Promkes Depkes RI, 2008), jika ibu berperilaku hidup bersih sehat, dapat menangkal 20 jenis penyakit yang dapat diderita balita, antara lain; diare, typhus, kecacingan, influenza, batuk, tuberculosis dan penyakit kulit. Demikian juga hasil studi WHO, praktik cuci tangan pakai air bersih dan sabun sebelum makan, setelah buang air besar, sebelum memegang bayi, serta sebelum menyiapkan makanan dapat mengurangi prevalensi diare sampai 40% (Depkes RI, 2008). Perilaku kesehatan individu, menurut Kosa dan Robertson dalam Notoatmodjo (2003), menyatakan bahwa tiap individu mempunyai cara yang berbeda dalam mengambil tindakan pencegahan dan penyembuhan penyakit meskipun gangguan kesehatannya sama, hal ini karena kurang didasari oleh pengetahuan. Dari hasil penelitian yang dilakukan Safrizal (2002) di Kabupaten Bungo Provinsi Jambi, membuktikan bahwa ibu yang mempunyai pengetahuan tinggi tentang PHBS berpeluang bagi keluarganya untuk berperilaku hidup bersih dan sehat sebesar 6,4 kali dibandingkan dengan pengetahuan yang rendah. Penelitian yang sama juga dilakukan oleh Hasibuan (2005) di Kabupaten Tapanuli Selatan. Dari hasil penelitian diketahui bahwa adanya pengaruh frekuensi penyuluhan tentang PHBS terhadap peningkatan pengetahuan masyarakat sehingga berperilaku hidup bersih dan sehat. Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, menunjukkan praktik PHBS di Indonesia masih rendah, yaitu 38,7%, dibandingkan dengan target Nasional sampai tahun 2010 sebesar 65,0%. Hasil Riskesdas juga menghasilkan
18 peta masalah kesehatan yang terkait dengan praktik PHBS, yaitu balita yang ditimbang lebih kurang empat kali selama enam bulan terakhir adalah 45,4%, kurang makan buah dan sayur pada penduduk umur kurang dari 10 tahun adalah 93,6%, pemakaian air bersih dalam rumah tangga per orang setiap hari <20 liter adalah 14,4%, yang menggunakan jamban sendiri adalah 60%, rumah tangga yang tidak ada penampungan sampah dalam rumah adalah 72,9% (Depkes, 2008). Lebih lanjut data Riskesdas menunjukkan sebanyak 22 provinsi mempunyai prevalensi PHBS di bawah prevalensi nasional, diantaranya adalah Provinsi Sumatera Barat, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung Kepulauan Riau, dan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang paling rendah pencapaiannya, yaitu sebesar 36,8% (Depkes, 2008). Jika dikaitkan dengan data Riskesdas, maka gambaran praktik PHBS di Kabupaten Aceh Barat berdasarkan profil kesehatan tahun 2007 sangat rendah yaitu 34,8%. Hal ini terlihat dari beberapa criteria seperti jumlah balita yang ditimbang berat badannya 39,9%, bayi diberi ASI secara eksklusif 1,2%, prevalensi gizi buruk 6,6%, gizi kurang 28,6% dan gizi baik 64,8% (Dinkes Kabupaten Aceh Barat, 2007). Berdasarkan data Kecamatan Meureubo (2007), diketahui bahwa jumlah penderita diare masih cukup tinggi dimana terdapat 656 kasus dari 21.013 jumlah penduduk atau 3,1%, dan 290 kasus (40%) diantaranya adalah balita. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh banyak faktor seperti praktik PHBS masyarakat yang
19 sangat rendah yaitu hanya 24%, cakupan penimbangan balita di posyandu sebesar 39,1%. Status gizi balita di Kecamatan Meureubo yaitu gizi buruk 18,5%, dan gizi kurang 55,1%. Dalam kurun waktu tahun 2007 sampai dengan tahun 2008 di Desa Ranup Dong dan desa Pasie Aceh Baroh ditemukan 5 kasus balita dengan status gizi buruk kronis yaitu marasmus kwashiorkor, dan dua diantaranya meninggal (SP2TP Puskesmas Meureubo, 2008). Penelitian tentang praktik PHBS untuk melihat hubungannya dengan status gizi balita berdasarkan BB/U sudah dilakukan oleh Mustafa (2006) di Kota Banda Aceh dan Ruhana (2008) di Kabupaten Pidie. Dari hasil penelitian diperoleh, praktik PHBS mempunyai hubungan bermakna dengan kesehatan dan status gizi balita berdasarkan BB/U. Dari hasil pengukuran diperoleh balita dengan status gizi kurang (53%) berasal dari keluarga yang kurang baik dalam praktik kebersihan perorangan dan kebersihan lingkungan, yaitu sebesar 87,8%. Perilaku merupakan faktor terbesar yang mempengaruhi kesehatan individu, kelompok atau masyarakat. Oleh sebab itu dalam rangka membina dan meningkatkan kesehatan masyarakat, maka diperlukan intervensi promosi/pendidikan kesehatan. Pendidikan kesehatan tidak hanya meningkatkan pengetahuan, sikap dan praktik kesehatan saja, tetapi juga memperbaiki lingkungan, baik fisik maupun non-fisik dalam rangka memelihara kesehatan mereka (Notoatmodjo, 2007). Terwujudnya status gizi balita tidak terlepas dari pelaksanaan PHBS di lingkungan rumah tangga, karena PHBS merupakan salah satu upaya dalam
20 meningkatkan derajat kesehatan keluarga, pemberdayaan dalam meningkatkan pengetahuan serta keterampilan ibu dan keluarga dalam pengasuhan balita. Berdasarkan hal tersebut di atas, maka perlu dilakukan penelitian tentang pengaruh praktik PHBS terhadap status gizi balita di Kecamatan Meureubo Kabupaten Aceh Barat. Hal ini sesuai dengan program Departemen Kesehatan RI dalam upaya meningkatkan derajat kesehatan dan gizi masyarakat. 1.2. Permasalahan Praktik PHBS di Kecamatan Meureubo masih rendah dibandingkan dengan hasil Riskesdas tahun 2007. Data dari Puskesmas Meureubo memperlihatkan kasus diare tergolong tinggi, sebanyak 656 kasus dari 21.013 (3,1%) jumlah penduduk, 40% diantaranya adalah balita sebanyak 290 orang. Balita yang diserang diare dikhawatirkan akan mengalami dehidrasi (kehilangan cairan tubuh), hilang nafsu makan dan menderita gizi buruk atau kematian. Oleh karena itu permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana pengaruh praktik PHBS terhadap status gizi balita berdasarkan BB/U, TB/U dan BB/TB di Kecamatan Meureubo Kabupaten Aceh Barat. 1.3. Tujuan Penelitian Untuk menganalisis pengaruh praktik PHBS terhadap status gizi balita berdasarkan BB/U, TB/U dan BB/TB di Kecamatan Meureubo Kabupaten Aceh Barat.
21 1.4. Hipotesis 1. Ada pengaruh Pengetahuan ibu tentang Praktik PHBS terhadap status gizi balita berdasarkan BB/U, TB/U dan BB/TB di Kecamatan Meureubo Kabupaten Aceh Barat. 2. Ada pengaruh Sikap ibu tentang Praktik PHBS terhadap status gizi balita berdasarkan BB/U, TB/U dan BB/TB di Kecamatan Meureubo Kabupaten Aceh Barat. 3. Ada pengaruh Praktik PHBS ibu terhadap status gizi balita berdasarkan BB/U, TB/U dan BB/TB di Kecamatan Meureubo Kabupaten Aceh Barat. 1.5. Manfaat Penelitian 1. Bagi Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Barat, Sebagai bahan masukan/informasi, untuk mengambil langkah-langkah kebijakan mendatang dalam upaya penanggulangan masalah kesehatan dan gizi masyarakat serta peningkatan pelaksanaan PHBS. 2. Bagi Puskesmas Meureubo. Sebagai bahan masukan dalam pelaksanaan program PHBS di Kecamatan Meureubo dan penanggulangan masalah gizi masyarakat.
22 3. Untuk peneliti. Dengan penelitian ini memberikan pengalaman, menambah wawasan dan pengetahuan peneliti.