Faktor Individual Needs dalam School Engagement pada Remaja di Kota Bandung Individual Needs Factor in School Engagement of Adolescents in Bandung

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Dunia pendidikan pada jaman ini sangat berkembang di berbagai negara. Sekolah sebagai

BAB I PENDAHULUAN. yang cacat, termasuk mereka dengan kecacatan yang berat di kelas pendidikan umum,

Studi Deskriptif School Engagement Siswa Kelas X, XI Dan XII IPS SMA Mutiara 2 Bandung

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan adanya globalisasi yang berpengaruh pada bidang-bidang

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan dapat membantu suatu negara dalam mencetak SDM (Sumber

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya pendidikan formal merupakan hal yang sangat dibutuhkan oleh setiap

BAB I PENDAHULUAN. berkembang dan berkualitas agar mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. terpenting dalam suatu perkembangan bangsa. Oleh karena itu, perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan memegang peran penting dalam pembangunan nasional. Melalui pendidikan yang baik, akan lahir manusia Indonesia yang mampu

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan merupakan salah satu pondasi dasar suatu bangsa, sehingga pendidikan merupakan

School Engagement pada Siswa SMA Pangudi Luhur Van Lith Muntilan

1 2

Kata Kunci: Sekolah Engagement, metode deskriptif, Convenience sampling.

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan elemen penting bagi pembangunan bangsa. Pendidikan menurut UU No. 20 tahun 2003, merupakan usaha sadar dan

BAB I PENDAHULUAN. dipergunakan/dimanfaatkan; serta (3) Siswa memiliki kesulitan untuk memahami

ABSTRAK. ii Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN. wajib mengikuti pendidikan dasar. Pendidikan dasar ditempuh selama

Studi Deskriptif Student Engagement pada Siswa Kelas XI IPS di SMA Pasundan 1 Bandung

BAB I PENDAHULUAN. bagian yang ada di dalamnya tentu perlu membekali diri agar benar-benar siap

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan usaha mewujudkan suasana belajar bagi peserta

Abstrak. Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN. penting dan sangat strategis. Sumber manusia yang berkualitas merupakan

BAB II LANDASAN TEORI. dimensi, yaitu behavioral engagement (partisipasi, tidak adanya perilaku yang

ABSTRAK. iii Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN. ditentukan dari proses pembelajaran di sekolah tersebut. Pendidikan dapat

BAB I PENDAHULUAN. tingkat dasar, menengah dan perguruan tinggi (Kemendiknas, 2010). Pendidikan yang disediakan

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan sarana yang menjadi jembatan penghubung peradaban bangsa

BAB I PENDAHULUAN. seberapa besar perkembangan pendidikannya (Sanjaya, 2005). Menurut UU RI No

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan adalah cara yang dianggap paling strategis untuk mengimbangi

Abstrak. Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan manusia. Melalui pendidikan individu diharapkan mampu untuk

Prosiding Psikologi ISSN:

BAB I PENDAHULUAN. lain. Sebagai makhluk sosial manusia dituntut untuk dapat menyesuaikan diri,

BAB I PENDAHULUAN. siswa SMP kelas VII. Siswa SMP kelas VII memasuki tahap remaja awal.

ABSTRAK. v Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki era globalisasi yang terjadi saat ini ditandai dengan adanya

BAB I PENDAHULUAN. Penyelenggaraan pendidikan yang dilaksanakan di Indonesia dari masa ke

Abstrak. Kata kunci: peers support, student engagement, dukungan emosional, dukungan instrumental, dukungan informatif, dukungan penghargaan

ABSTRAK Program Magister Psikologi Universitas Kristen Maranatha

HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSIONAL DENGAN PRESTASI BELAJAR PADA SISWA KELAS II SMK KESEHATAN BHAKTI KENCANA TASIKMALAYA

Abstrak. i Universitas Kristen Maranatha

kemampuan yang dimiliki oleh siswa semakin meningkat. Peningkatan tersebut Upaya yang dilakukan untuk mencapai tujuan kegiatan pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk hidup yang senantiasa berkembang dan

BAB I PENDAHULUAN. mencerdaskan kehidupan seluruh rakyat Indonesia. Sistem pendidikan nasional yang

Studi Deskriptif Mengenai School Engagement pada Siswa Kelas X SMA X Bandung

2014 PENGGUNAAN TEKNIK BEHAVIOR CONTRACT

BAB I PENDAHULUAN. Setiap manusia diharapkan memiliki kemampuan untuk beradaptasi

PENGARUH PERSEPSI IKLIM SEKOLAH TERHADAP STUDENT ENGAGEMENT PADA SISWA SMA SULTAN ISKANDAR MUDA MEDAN SKRIPSI MUHAMMAD ANGGY FAJAR PURBA

HUBUNGAN KEIKUTSERTAAN ORGANISASI DENGAN REGULASI DIRI PADA REMAJA : STUDI KASUS DI SMA N 2 NGAWI

BAB I PENDAHULUAN. Sejak tahun 2004, bencana demi bencana menimpa bangsa Indonesia. Mulai

BAB I PENDAHULUAN. Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan Sekolah Menengah Atas

BAB I PENDAHULUAN. SMPN T Kota Bandung merupakan salah satu SMP Negeri yang. mendapat nilai akreditasi A dari pemerintah melalui Dinas Pendidikan Kota

LAMPIRAN I KATA PENGANTAR

BAB I PENDAHULUAN. rencana dan pengaturan mengenai isi dan bahan belajar yang menjadi acuan

B A B PENDAHULUAN. Setiap manusia yang lahir ke dunia menginginkan sebuah kehidupan yang

KONTRIBUSI PERSEPSI TENTANG KOMPETENSI PEDAGOGIK GURU TERHADAP KETERIKATAN SISWA PADA PELAJARAN MATEMATIKA

PENGARUH SENSE OF HUMOR TERHADAP STRES PADA REMAJA KELAS AKSELERASI DI KOTA MEDAN SKRIPSI OLGA SEPTANIA SIMATUPANG

BAB I PENDAHULUAN. manusia, karena tujuan pendidikan tidak hanya mentransfer ilmu pengetahuan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Dinan Afifah Firdaus, 2014

MOTIVASI BERPRESTASI DAN PERAN ORANGTUA PADA SISWA SMP YANG MENGALAMI PERCERAIAN ORANGTUA DI SURABAYA SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. Sekolah internasional adalah sekolah yang melayani siswa yang berasal dari sejumlah

Abstrak. iii Universitas Kristen Maranatha

Studi Deskriptif Children Well-Being pada Korban Pelecehan Seksual yang Berusia 8-12 Tahun di Sukabumi

BAB I PENDAHULUAN. diandalkan. Remaja merupakan generasi penerus yang diharapkan dapat. memiliki kemandirian yang tinggi di dalam hidupnya.

ABSTRAK. Kata Kunci :Parent Involvement, School Engagement, Behavioral Engagement, Emotional Engagement, Cognitive Engagement, SekolahMenengahPertama.

ABSTRACT. 'perceptions of teaching students skills PPL Department of PIPS with seventh grade students'

BAB I PENDAHULUAN. Dengan adanya perkembangan dunia yang semakin maju dan persaingan

Abstrak. ii Universitas Kristen Maranatha

PERAN KEHARMONISAN KELUARGA DAN PENERIMAAN TEMAN SEBAYA TERHADAP KONSEP DIRI REMAJA SMP DI DENPASAR

BAB I PENDAHULUAN. daya yang terpenting adalah manusia. Sejalan dengan tuntutan dan harapan jaman

PENGARUH PERILAKU TEMAN SEBAYA TERHADAP MOTIVASI BELAJAR PESERTA DIDIK DI SMP NEGERI 01 RANAH BATAHAN KABUPATEN PASAMAN BARAT

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan formal dapat ditempuh mulai dari tingkat terendah yaitu pre-school/

ABSTRAK. Universitas Kristen Maranatha

MOTIVASI BERPRESTASI SISWA KELAS 3 JURUSAN TATA BUSANA DI SMK NEGERI 3 SUNGAI PENUH SRI DEFI MUSTIKA

ABSTRAK. Universitas Kristen Maranatha

HUBUNGAN ANTARA PENERIMAAN SOSIAL KELOMPOK KELAS DENGAN KEPERCAYAAN DIRI PADA SISWA KELAS I SLTP XXX JAKARTA OLEH: RITA SINTHIA ABSTRACT

Abstrak. vii. Universitas Kristen Maranatha

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pengertian dan Batasan Usia Remaja (Hurlock 1980:206)

BAB I PENDAHULUAN. hanya mendidik siswa dalam hal akademis saja, tetapi juga melatih siswa agar

PERANAN GURU MATA PELAJARAN DALAM MENGATASI KESULITAN BELAJAR PESERTA DIDIK YANG MEMPEROLEH HASIL BELAJAR RENDAH

Abstrak. i Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR ISI. HALAMAN JUDUL i. LEMBAR PENGESAHAN ii. LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS LAPORAN PENELITIAN iii

BAB I PENDAHULUAN. Sekolah Menengah Atas (SMA) adalah salah satu bentuk pendidikan formal yang

EMA SAFITRI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dalam dunia pendidikan. Keterikatan siswa oleh beberapa peneliti, pendidik dan

DAFTAR ISI v. KATA PENGANTAR.. i ABSTRAK iii ABSTRACT iv. DAFTAR TABEL viii DAFTAR BAGAN... ix DAFTAR LAMPIRAN. x

Hubungan antara Parent Involvement dengan Student Engagement pada Siswa Kelas XI di SMK TI Garuda Nusantara Cimahi

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI SISWA MELANGGAR TATA TERTIB DI JURUSAN BANGUNAN SMK NEGERI 1 PADANG

ABSTRACT Program Magister Psikologi Universitas Kristen Maranatha

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh melalui pengolahan data

Prosiding Psikologi ISSN:

1 2

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lia Liana Iskandar, 2013

HUBUNGAN POLA ASUH ORANG TUA DENGAN PENYESUAIAN DIRI PESERTA DIDIK DI SMA N 16 PADANG JURNAL

saaaaaaaa1 BAB I PENDAHULUAN

HUBUNGAN PEER SUPPORT DENGAN SCHOOL ENGAGEMENT PADA SISWA SD

Penyesuaian Akademis Mahasiswa Tingkat Pertama

PENERAPAN PEMBELAJARAN KOOPERATIF DAN TUTOR SEBAYA PADA PEMBELAJARAN MATEMATIKA SISWA KELAS VII SMP BUNDA PADANG. Endah 1, Susi Herawati 1

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI MINAT BELAJAR SISWA DALAM MATA PELAJARAN IPS DIKELAS VII 1 SMP PERTIWI SITEBA PADANG TAHUN PELAJARAN 2013/ 2014


Transkripsi:

Prosiding Psikologi ISSN: 2460-6448 Faktor Individual Needs dalam School Engagement pada Remaja di Kota Bandung Individual Needs Factor in School Engagement of Adolescents in Bandung 1 Muggi Suci Prasetyo, 2 Endang Supraptiningsih, 3 Stephani Raihana Hamdan 1,2,3 Prodi Psikologi, Fakultas Psikologi, Universitas Islam Bandung, Jl. Tamansari No.1 Bandung 40116 email: 1 muggisprasetyo@gmail.com, 2 endang.doddy@gmail.com, 3 stephanihamdan@unisba.ac.id Abstract. Junior high schools students entered the age of adolescence. Adolescent are required to be able to behave in accordance with the expectations of the community. For example the school environment that has rules and norms that apply. At the age of adolescents who are known to have a characteristic as a problematic age because the inability of adolescents to overcome their own problems is not balanced with the desire to want to be independent in solving problems. Many middle school students who exhibit violating school rules, do not attend school activities, students feel bored when learning in class and do not have a strategy to master the subjects from school, according to Fredricks (2004), these behaviors indicate low school engagement. One of the factors that influence school engagement is individual needs. Individual needs consist of need for relatedness, need for autonomy, and need for competence (Fredricks, 2004). This study has a population of 301 students with the number of students being sampled is 172 students. Students who have high school engagement are 81%. While students who have low school engagement are 19%. Thus respondents tend to have high school engagement. Keywords: Individual Needs, School Engagement, Adolescent. Abstrak. Pada Sekolah Menengah Pertama (SMP), siswa memasuki usia remaja. Remaja dituntut untuk dapat berperilaku sesuai dengan harapan dari lingkungan dan masyarakat. Seperti misalnya lingkungan sekolah yang memiliki peraturan dan norma-norma yang berlaku. Sedangkan pada usia remaja yang diketahui memiliki ciri sebagai usia yang bermasalah karena ketidakmampuan remaja untuk mengatasi masalah sendiri tak diimbangi dengan keinginannya yang ingin menjadi mandiri dalam menyelesaikan permasalahan. Banyak siswa SMP yang menunjukkan perilaku melanggar aturan sekolah, tidak mengikuti kegiatan-kegiatan sekolah, siswa merasa bosan saat pembelajaran di kelas dan tidak memiliki strategi untuk menguasai materi, perilaku-perilaku tersebut menurut Fredricks (2004) mengindikasikan school engagement yang rendah. Salah satu faktor yang mempengaruhi school engagement adalah individual needs, yang merupakan pandangan mengenai kebutuhan individu. Individual needs terdiri dari need for relatedness, need for autonomy, dan need for competence (Fredricks, 2004). Penelitian ini memiliki populasi sebanyak 301 siswa dengan jumlah siswa yang menjadi sampel adalah 172 siswa. Siswa yang memiliki school engagement yang tinggi adalah 81%. Sedangkan siswa yang memiliki school engagement yang rendah adalah 19%. Dengan demikian responden cenderung memiliki school engagement yang tinggi. Kata Kunci: Individual Needs, School Engagement, Remaja. A. Pendahuluan Siswa pada sekolah menengah pertama sudah memasuki usia remaja. Remaja dituntut untuk dapat berperilaku sesuai dengan harapan dari lingkungan dan masyarakat. Seperti misalnya di lingkungan sekolah yang memiliki peraturan dan norma norma yang berlaku. Sekolah sebagai suatu lembaga pendidikan bagi para siswa tentunya memiliki peraturan yang harus ditaati sehingga dapat mencapai tujuan bersama. Dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan, sekolah sudah semestinya memiliki fasilitas untuk mendukung kemudahan dalam proses pendidikan siswa, berbagai jenis kegiatan ekstrakulikuler yang kemudian dapat mengembangkan potensi siswa serta para staff dan pengajar yang sepenuhnya mendukung terselenggaranya proses pengajaran. Ketika faktor fasilitas sekolah dan pengajar sudah terpenuhi maka dengan mudah siswa dapat memberikan usaha dan partisipasinya terhadap 174

Faktor Individual Needs dalam School Engagement... 175 kegiatan akademik maupun nonakademik sekolah. Namun seperti yang diketahui bahwa usia remaja memiliki ciri sebagai usia yang bermasalah karena ketidakmampuan remaja untuk mengatasi masalah sendiri tak diimbangi dengan keinginannya yang ingin menjadi mandiri dalam menyelesaikan permasalahan. Remaja seringkali melakukan pelanggaran sekolah. Siswa tidak menggunakan atribut yang diwajibkan oleh sekolah, mengobrol dan bermain smartphone di kelas saat guru sedang menjelaskan materi, bolos sekolah dan tidak ikut serta dalam kegiatan-kegiatan sekolah. Siswa seringkali merasa bosan dan tidak tertarik pada materi yang dijelaskan oleh gurunya, serta siswa menolak mengikuti kegiatan seni dan perlombaan di sekolah karena merasa malas mengikuti latihan untuk persiapannya, dan siswa tidak memiliki jadwal belajar yang rutin serta tidak memiliki rencana untuk menguasai keterampilan dalam kegiatan-kegiatan sekolah seperti misalnya ekstrakulikuler. Siswa melakukan pelanggaran terhadap aturan sekolah, tidak terlibat dalam proses pembelajaran di kelas dan tidak ikut serta dalam kegiatan-kegiatan sekolah. Siswa menunjukan ketidaktertarikannya pada proses pembelajaran di sekolah dan juga terhadap kegiatan-kegiatan sekolah, dan siswa tersebut juga tidak memiliki strategi dalam pembelajaran. Hal ini dapat dikatakan bahwa siswa tersebut menunjukkan perilaku tidak terlibat dalam proses pembelajaran akademik maupun non-akademik di sekolah. Hal ini menunjukkan indikasi school engagement yang rendah. Selain itu juga terdapat siswa yang selalu mematuhi aturan sekolah, seperti menggunakan atribut sesuai dengan ketentuan, tidak pernah bolos sekolah dan mengerjakan tugas yang diberikan guru. Siswa tersebut juga mengatakan bahwa mereka mengikuti kegiatan ekstrakulikuler dan juga kegiatan sekolah lainnya seperti perlombaan-perlombaan yang diadakan sekolah. Siswa senang saat guru meminta siswanya untuk berdiskusi mengenai materi yang baru saja disampaikan, karena bisa saling tanya dengan teman yang lain dan juga dengan guru terutama pada mata pelajaran yang disukainya. Siswa menyukai kegiatankegiatan sekolah, seperti ekstrakulikuler, dan juga perlombaan serta beberapa kali mengajukan diri untuk ikut perlombaan dan juga ikut terlibat dengan kelas untuk penampilan kegiatan seni. Siswa memiliki jadwal belajar yang rutin, setiap hari setidaknya selama 1 jam untuk mengulas materi yang baru saja dipelajari dan juga mengerjakan tugas dari sekolah jika ada. Siswa dengan giat melakukan persiapan untuk penampilan seni di sekolah dan juga perlombaan yang diadakan sekolah. Mereka juga mengikuti latihan untuk setiap kegiatan dan juga mengikuti persiapan yang memang diperlukan. Berdasarkan uraian diatas, hal ini menunjukkan indikasi school engagement yang tinggi. Setelah ditelusuri lebih lanjut, hal ini dikarenakan perbedaan dalam hal kebutuhan masing-masing remaja atau siswa tersebut. Bagaimana siswa memandang lingkungan kelas, alasan siswa melakukan sesuatu, dan juga bagaimana kebutuhan berkompetensi siswa dalam menentukan kesuksesannya. Hal ini merupakan indikasi individual needs. Berdasarkan uraian diatas, peneliti tertarik untuk meneliti Faktor individual needs dalam school engagement pada remaja di Kota Bandung. Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh data Psikologi

176 Muggi Suci Prasetyo, et al. mengenai faktor individual needs dalam school engagement pada remaja di Kota Bandung. B. Landasan Teori School engagement adalah usaha dan waktu yang diarahkan dalam proses pembelajaran pada kegiatan akademik dan non-akademik. School engagement muncul sebagai cara untuk memahami keterlibatan siswa yang berkaitan dengan usaha yang diarahkan dalam proses pembelajaran baik pada kegiatan akademik maupun nonakademik. (Fredricks, 2004). Terdapat 3 komponen dalam school engagement yaitu komponen behavioral engagement, emotional engagement, serta cognitive engagement (Fredricks, 2004). Dibawah ini merupakan uraian pada masing masing komponen : 1. Behavioral Engagement diuraikan menjadi 3 pengertian. Pertama adalah perilaku positif, seperti mematuhi aturan dan norma kelas juga tidak adanya perilaku disruptif seperti bolos sekolah dan terlibat dalam masalah. Kedua adalah keterlibatan dalam pembelajaran dan tugas-tugas akademis dengan keterlibatan tingkah laku seperti memperhatikan, konsentrasi dan terlibat dalam diskusi dikelas. Sedangkan yang ketiga adalah ikut serta dalam kegiatan-kegiatan sekolah. 2. Emotional Engagement merupakan reaksi afektif siswa dikelas baik secara positif maupun negatif serta reaksi emosi siswa terhadap sekolah dan guru seperti misalnya ketertarikan, bosan, senang, sedih dan cemas. Emotional engagement juga sebagai identifikasi pada sekolah yang didalamnya terdapat rasa memiliki dan merasa menjadi bagian penting dari sekolah. 3. Cognitive Engagement berupa tindakan siswa berupa investasi dalam pembelajaran seperti misalnya berfikir dan bersedia mengerahkan usaha yang diperlukan untuk memahami ide yang kompleks dan untuk menguasai keterampilan yang sulit. Cognitive engagement juga berupa motivasi, usaha dan penggunaan srategi yang dilakukan oleh siswa dalam belajar. Dibawah ini merupakan faktor faktor yang mempengaruhi school engagement yang diungkapkan oleh Fredrick, 2004 yaitu : 1. School-Level Factors, karakteristik dari sekolah dapat menurunkan keterasingan siswa dan meningkatkan involvement, engagement dan integration siswa di sekolah. Hal yang terkait didalamnya seperti memiliki visi dan misi sekolah yang jelas dan konsisten, ukuran sekolah yang kecil, partisipasi siswa terhadap kebijakan dan manajemen sekolah, kesempatan staff dan siswa untuk terlibat dalam kerjasama dan akademik yang memungkinkan untuk mengembangkan fasilitas sekolah. 2. Classroom Context tersusun oleh beberapa dimesi diantaranya dukungan guru, teman sebaya, struktur kelas, dukungan otonomi dan karakteristik tugas. (a) Teacher Support, dukungan guru dapat berupa akademik ataupun berupa interpersonal. Didalam kelas guru dapat menciptakan lingkungan yang mendukung siswanya, bagaimana guru dapat mendorong siswa agar dapat Volume 5, No. 1, Tahun 2019

Faktor Individual Needs dalam School Engagement... 177 memahami pembelajaran, sebagai seserang yang memberi dukungan dan bagaimana menyusun strategi belajar untuk siswa. (b) Peers, teman sebaya juga berpengaruh pada keterlibatan siswa. Penerimaan teman sebaya pada anak-anak maupun remaja berhubungan dengan tingkat kepuasan di sekolah (yang mana hal ini adalah aspek dari emotional engagement), dan perilaku yang tidak tepat secara sosial dan upaya dalam akademis (yang mana hal ini adalah aspek dari behavioral engagement). Lebih jelasnya, anak yang ditolak oleh teman sebaya saat sekolah memiliki resiko untuk berperilaku buruk dan menjadi kurang berpartisipasi dikelas, keduanya merupakan elemen dari behavioral engagement, dan rendahnya ketertarikan terhadap sekolah merupakan aspek dari emotional engagement. Dukungan teman sebaya dan engagement seperti memiliki hubungan timbal balik. Anak yang tidak mematuhi aturan sekolah atau tidak menyukai sekolah merupakan anak yang cenderung tidak menganggap teman sebaya mendukungnya. (c) Classroom Structur, struktur mengacu pada kejelasan dari harapan guru untuk akademik dan social serta konsekuensi yang harus ditanggung apabila mereka gagal memenuhi harapannya tersebut. Guru yang memiliki harapan yang jelas dan memberikan respon yang konsisten akan memiliki siswa yang memiliki keterlibatan terhadap kelas, dengan memperhatikan norma norma yang berlaku dikelas. (d) Autonomy Support, dukungan otonomi dalam kelas dikategorisasikan pada pilihan, berbagi keputusan, dan tidak adanya pengendalian eksternal seperti misalnya nilai atau hadiah (rewards) dan hukuman sebagai alasan untuk mengerjakan tugas sekolah atau berperilaku baik. (e) Task Characteristics, siswa dapat menyelesaikan tugas dengan cara memperhatikan pengerjaan tugas tersebut dan jika siswa memahami apa yang telah disampaikan. Hal ini juga akan sejalan dengan faktor siswa didalam kelas. 3. Individual Needs. Pada pandangan mengenai kebutuhan individu, kebutuhan dasar psikologis tersebut terdiri dari need for relatedness, need for autonomy, dan need for competency. (a) Need for relatedness, siswa akan lebih terlibat (engaged) ketika faktor classroom contexts dikaitkan dengan need for relatedness, hal ini terjadi jika di ruang kelas baik guru dan teman sebaya dapat membuat lingkungan yang peduli dan mendukung. (b) Need for autonomy, Individu mempunyai keinginan melakukan sesuatu dengan suatu alasan pribadi dibaliknya (alasan internal), daripada melakukan sesuatu karena mereka dikendalikan oleh orang lain. Beberapa penelitian telah menguji hubungan antara keterlibatan dan kebutuhan untuk otonomi. (c) Need for Competence, kompetensi melibatkan kontrol, strategi dan kapasitas. Ketika seseorang butuh untuk berkompetensi, mereka percaya akan dapat Psikologi

178 Muggi Suci Prasetyo, et al. menentukan kesuksesan mereka, dapat mengerti apa yang harus dilakukan dan percaya bahwa mereka dapat mencapai kesuksesan. C. Hasil Penelitian dan Pembahasan Gambar 1. Diagram Kategorisasi School Engagement Pada Gambar 1. dapat diketahui dari 172 siswa, diperoleh hasil bahwa siswa yang memiliki school engagement yang tinggi yaitu sebanyak 140 siswa, dengan presentase sebesar 81%. Sedangkan siswa yang memiliki school engagement yang rendah sebanyak 32 siswa, dengan presentase sebesar 19%. Dengan demikian responden cenderung memiliki school engagement yang tinggi. Siswa yang memiliki school engagement tinggi akan menunjukkan perilaku terlibat dalam proses pembelajaran akademik maupun non akademik. Sedangkan siswa yang memiliki school engagement rendah tidak akan terlibat dalam pembelajaran akademik dan non akademik. Siswa tidak akan menunjukkan usaha dan partisipasi dalam proses pembelajaran dikelas dan juga dalam kegiatankegiatan yang diadakan oleh sekolah. Siswa dengan school engagement tinggi, pada aspek behavioral engagement siswa akan menunjukkan perilaku mematuhi aturan dan norma kelas, terlibat dalam pembelajaran akademis. Siswa ikut serta dalam kegiatan-kegiatan sekolah. Pada aspek emotional engagement yang merupakan reaksi afektif siswa dikelas baik secara positif maupun negatif serta reaksi emosi siswa terhadap sekolah dan guru. Pada aspek emotional engagment berdasarkan hasil kuisioner, bahwa sebagian besar siswa memilih item yang menunjukkan bahwa siswa selalu menghadiri upacara tepat waktu. Hal ini menunjukkan bahwa siswa merasa menjadi bagian penting dari sekolah, dengan melibatkan diri dalam kegiatan sekolah secara tepat waktu. Aspek cognitive engagement adalah tindakan siswa berupa investasi dalam pembelajaran seperti misalnya berfikir dan bersedia mengerahkan usaha yang diperlukan untuk memahami ide yang kompleks dan untuk menguasai keterampilan yang sulit. Berdasarkan hasil kuisioner, sebagian besar siswa mengungkapkan bahwa siswa-siswa tersebut seringkali mengikuti belajar kelompok dengan siswa lain. Hal ini menunjukkan bahwa siswa bersedia mengerahkan usaha untuk memahami materi yang belum dipahaminya. Siswa dengan school engagement rendah, pada aspek behavioral engagement akan menunjukkan perilaku siswa tidak terlibat pembelajaran dikelas dengan mengobrol atau bermain smartphone dan siswa tidak hadir pada kegiatan sekolah seperti ekstrakulikuler dan perlombaan-perlombaan. Perilaku yang menunjukkan emotional engagement rendah yaitu, siswa terlihat bosan dan tampak tidak tertarik dengan pembelajaran di kelas dan dan juga merasa tidak tertarik atau untuk mengikuti kegiatan-kegiata sekolah seperti upacara dan ekstrakulikuler. Kemudian pada cognitive engagement Volume 5, No. 1, Tahun 2019

Faktor Individual Needs dalam School Engagement... 179 yang rendah, siswa menunjukan perilaku tidak memiliki jadwal belajar yang rutin, serta menolak untuk latihan persiapan lomba dikarenakan tidak ingin meluangkan waktu dan malas. Siswa memiliki school engagement tinggi karena merasa jika guru peduli pada siswanya. Guru dikelas begitu memperhatikan siswanya seperti misalnya, guru dikelas akan dengan perlahan menjelaskan kembali materi yang belum dipahami siswanya. Seringkali siswa diberikan ucapanucapan yang mengandung dukungan dan nasihat pada siswanya supaya lebih memperhatikan pembelajaran. Hal ini sesuai dengan teori yang diungkapkan oleh Fredricks (2004) bahwa didalam kelas guru dapat menciptakan lingkungan yang mendukung siswanya, bagaimana guru dapat mendorong siswa agar dapat memahami pembelajaran, sebagai seseorang yang memberi dukungan dan bagaimana menyusun strategi belajar untuk siswa sehingga akan membuat siswa terlibat dalam pembelajaran dikelas. Sesuai dengan faktor need for relatedness. Siswa terlibat aktif dikarenakan kemauan siswa itu sendiri. Siswa merasa bahwa dirinya tidak bisa menjadi pasif saat dikelas, dikarenakan ia merasa bahwa aktif sudah menjadi bagian dari dirninya dan siswa tersebut juga mengatakan bahwa ia merasa tidak nyaman jika tidak terlibat aktif dalam pembelajaran dikelas. Menurut Fredricks (2004) individu memiliki keinginan melakukan sesuatu dengan suatu alasan pribadi dibaliknya, daripada melakukan sesuatu karena mereka dikendalikan oleh orang lain atau yang disebut sebagai need for autonomy. Menurut Macaskill dan Taylor (2010, dalam Faturochman, 2018) menyebutkan bahwa student autonomy merupakan kemampuan siswa untuk mendapatkan pengetahuan atau keterampilan nilai secara mandiri oleh proses yang dia tentukan. Student autonomy juga didefinisikan sebagai karakteristik psikologis individu yang mampu mengarahkan langsung pembelajaran mereka secara mandiri. Seperti yang ditemukan dalam hasil penelitian ini, siswa memiliki kemauan secara mandiri untuk mendapatkan pengetahuan atau keterampilan nilai. Siswa memiliki ketentuan untuk mendapatkan pengetahuan dan keterampilan yang diinginkannya. Selain itu siswa juga memiliki keinginan untuk berada di peringkat tertentu dikelas, membuat jadwal belajar, mengikuti bimbingan belajar tambahan, serta rutin untuk berlatih di sekolah dan juga di rumah. Hal ini dapat dikatakan jika siswa memiliki stategi dan memiliki kebutuhan untuk berkompetensi, sehingga siswa dapat menentukan kesuksesan mereka dan mengerti apa yang harus dilakukan untuk mencapai kesuksesan sesuai dengan faktor need for competence yang diungkapkan Fredricks (2004). D. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut, faktor individual needs merupakan faktor yang mempengaruhi school engagement. Faktor yang terdiri dari need for relatedness, need for autonomy dan need for competence. Hal ini menentukan school engagement siswa menjadi tinggi atau rendah. Sesuai dengan pengaruh individual needs terhadap behavioral engagement, emotional engagement dan cognitive engagement. E. Saran Bagi siswa diharapkan dapat memahami bahwa kebutuhan individu itu merupakan hal yang mempengaruhi Psikologi

180 Muggi Suci Prasetyo, et al. pembelajaran sekolahnya baik akademik maupun non akademik. Sehingga siswa dapat meningkatkan keterlibatannya terhadap sekolah. Sehingga siswa bisa menentukkan suatu target prestasi, membuat strategi untuk melaksanakannya agar bisa yakin untuk meraik kesuksesan prestasi. Daftar Pustaka Faturochman, Regyna Shaumi. (2018). Hubungan antara Student Autonomy dengan Student Engagement Kelas XI SMK X Bandung. Jurnal UNISBA Fredericks, J.A., Blumenfeld,P, & Paris, A. (2004). School Engagement : Potential of the Concept, State of the Evidence. Review of Educational Research. Dalam http://gtnpd46.ncdpi.wikispaces. net/file/view/fredericks%2c%2 0Blumfield%2C%20paris.pdf/53 8416770/Fredericks%2C%20Blu mfield%2c%20paris.pdf Volume 5, No. 1, Tahun 2019