BAB 1 PENDAHULUAN. berkembang dengan baik. Tuntutan hak azasi anak untuk bebas dari penyakit dan

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 1 PENDAHULUAN. diarahkan guna tercapainya kesadaran dan kemampuan untuk hidup sehat bagi setiap

BAB I PENDAHULUAN I.1.

BAB 1 PENDAHULUAN. tanah untuk proses pematangan sehingga terjadi perubahan dari bentuk non-infektif

BAB 1 PENDAHULUAN. masyarakat sehingga perlu dipersiapkan kualitasnya dengan baik. Gizi dibutuhkan

BAB 1 PENDAHULUAN. ditularkan melalui tanah. Penyakit ini dapat menyebabkan penurunan kesehatan,

BAB 1 PENDAHULUAN. rawan terserang berbagai penyakit. (Depkes RI, 2007)

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi Soil Transmitted Helminths (STH) merupakan infeksi cacing yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Di Indonesia masih banyak penyakit yang merupakan masalah kesehatan,

I. PENDAHULUAN. dengan sekitar 4,5 juta kasus di klinik. Secara epidemiologi, infeksi tersebut

BAB I PENDAHULUAN. ditularkan dari orang ke orang. Mereka memiliki durasi panjang dan umumnya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit infeksi cacing usus terutama yang. umum di seluruh dunia. Mereka ditularkan melalui telur

I. PENDAHULUAN. tropis dan subtropis. Berdasarkan data dari World Health Organization

BAB 1 PENDAHULUAN. Pembangunan kesehatan adalah upaya yang dilaksanakan oleh semua

BAB 1 PENDAHULUAN. penyebarannya melalui media tanah masih menjadi masalah di dalam dunia kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. yang menentukan kualitas sumber daya manusia adalah asupan nutrisi pada

BAB 1 PENDAHULUAN. anemia pada masa kehamilan. (Tarwoto dan Wasnidar, 2007)

1. BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Infeksi cacing merupakan salah satu penyakit yang paling umum tersebar dan

BAB 1 PENDAHULUAN. dibutuhkan zat gizi yang lebih banyak, sistem imun masih lemah sehingga lebih mudah terkena

BAB 1 PENDAHULUAN. suatu keadaan yang sehat telah diatur dalam undang-undang pokok kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi parasit usus yaitu cacing dan protozoa. merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang

BAB I PENDAHULUAN. berhubungan dengan kecerdasan anak. Pembentukan kecerdasan pada masa usia

BAB 1 PENDAHULUAN. yang kurang bersih. Infeksi yang sering berkaitan dengan lingkungan yang kurang

BAB 1 PENDAHULUAN. keberhasilan pembangunan bangsa. Untuk itu diselenggarakan pembangunan

Pada siklus tidak langsung larva rabditiform di tanah berubah menjadi cacing jantan dan

BAB I PENDAHULUAN. Kekurangan gizi akan menyebabkan kegagalan pertumbuhan fisik dan. perkembangan kecerdasan, menurunkan produktivitas kerja, dan

BAB I PENDAHULUAN. mencakup dua aspek, yakni kuratif dan rehabilitatif. Sedangkan peningkatan

BAB I PENDAHULUAN. Giardia intestinalis. Penyakit ini menjadi salah satu penyakit diare akibat infeksi

BAB I PENDAHULUAN. negara berkembang termasuk Indonesia (Depkes RI, 2007). dan balita. Di negara berkembang termasuk Indonesia anak-anak menderita

BAB I PENDAHULUAN. keemasan, yang memiliki masa tumbuh kembangnya berbagai organ tubuh. Bila

Kebijakan Penanggulangan Kecacingan Terintegrasi di 100 Kabupaten Stunting

BAB I PENDAHULUAN. mengalami peningkatan dikarenakan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi janin yang

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. infeksi parasit usus merupakan salah satu masalah. kesehatan masyarakat yang diperhatikan dunia global,

BAB 1 PENDAHULUAN. dan kesejahteraan manusia. Gizi seseorang dikatakan baik apabila terdapat

BAB 1 PENDAHULUAN. penyakit tidak menular banyak ditemukan pada usia lanjut (Bustan, 1997).

BAB I PENDAHULUAN. seluruh daerah geografis di dunia. Menurut data World Health Organization

BAB 1 PENDAHULUAN. nematoda yang hidup di usus dan ditularkan melalui tanah. Spesies cacing

BAB I PENDAHULUAN. (Suharno, 1993). Berdasarkan hasil penelitian WHO tahun 2008, diketahui bahwa

BAB I PENDAHULUAN. Proportional Mortality Ratio (PMR) masing-masing sebesar 17-18%. 1

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat di Indonesia, hal ini dapat dilihat dengan meningkatnya angka

BAB I PENDAHULUAN. Transmitted Helminths. Jenis cacing yang sering ditemukan adalah Ascaris

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dunia. Penularan penyakit campak terjadi dari orang ke orang melalui droplet respiration

BAB I PENDAHULUAN. Helminthes (STH) merupakan masalah kesehatan di dunia. Menurut World Health

BAB I PENDAHULUAN. sampai usia lanjut (Depkes RI, 2001). mineral. Menurut Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi VI 1998

BAB 1 PENDAHULUAN. masyarakat yang setinggi-tingginya dapat terwujud. Pembangunan kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. gizi pada ibu hamil dapat menyebabkan Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) dan

BAB I PENDAHULUAN. panca indera manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Penyelenggaraan pembangunan kesehatan di Indonesia akhir-akhir ini

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. masalah gizi di Indonesia, terutama KEP masih lebih tinggi dari pada negara ASEAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Mortalitas pada wanita hamil dan bersalin adalah masalah besar di

BAB 1 PENDAHULUAN. beberapa zat gizi tidak terpenuhi atau zat-zat gizi tersebut hilang dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. sulit diharapkan untuk berhasil membangun bangsa itu sendiri. (Hadi, 2012).

BAB 1 PENDAHULUAN. dengan berat badan normal. Dengan kata lain kualitas bayi yang dilahirkan sangat

BAB 1 PENDAHULUAN. Mewujudkan misi Indonesia sehat 2010 maka ditetapkan empat misi

BAB I PENDAHULUAN. atau calon ibu merupakan kelompok rawan, karena membutuhkan gizi yang cukup

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu tujuan Millenium Development Goals (MDGs) ialah. menurunkan angka kematian anak (Bappenas, 2007). Kurang gizi merupakan

BAB I PENDAHULUAN. energi protein (KEP), gangguan akibat kekurangan yodium. berlanjut hingga dewasa, sehingga tidak mampu tumbuh dan berkembang secara

BAB 1 PENDAHULUAN. (SDM) yang berkualitas, sehat, cerdas, dan produktif (Hadi, 2005). bangsa bagi pembangunan yang berkesinambungan (sustainable

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Kekurangan gizi akan menyebabkan gagalnya pertumbuhan,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Anemia merupakan suatu keadaan dimana kadar Hemoglobin (Hb) ambang menurut umur dan jenis kelamin (WHO, 2001).

BAB I PENDAHULUAN. Kehamilan merupakan permulaan suatu kehidupan baru. pertumbuhan janin pada seorang ibu. Ibu hamil merupakan salah satu

BAB I PENDAHULUAN. (mordibity) dan angka kematian (mortality). ( Darmadi, 2008). Di negara

BAB I PENDAHULUAN. Ketidak cukupan asupan makanan, misalnya karena mual dan muntah atau kurang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. sangat penting. Untuk menilai tumbuh kembang anak banyak pilihan cara. Penilaian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Anemia pada ibu hamil merupakan salah satu masalah yang

SKRIPSI ANALISIS FAKTOR RISIKO KEJADIAN PENYAKIT TUBERKULOSIS PADA ANAK DI BALAI BESAR KESEHATAN PARU MASYARAKAT SURAKARTA

BAB 1 : PENDAHULUAN. kesehatan masyarakat. Kementerian Kesehatan RI (Kemenkes RI) tahun 2010 menyebutkan

BAB 1 PENDAHULUAN. agar peningkatan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya dapat

BAB 1 PENDAHULUAN. akibat PTM mengalami peningkatan dari 42% menjadi 60%. 1

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang. Gizi merupakan faktor penting untuk mewujudkan manusia Indonesia.

BAB 1. Keberhasilan pembangunan nasional suatu bangsa ditentukan oleh. ketersediaan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas, yaitu SDM yang

PERBEDAAN KADAR HEMOGLOBIN SISWI SMA PEDESAAN DAN PERKOTAAN DI KABUPATEN KLATEN

BAB 1 PENDAHULUAN. menular yang banyak menyebabkan kematian. Masalah tersebut menjadi

BAB I PENDAHULUAN. Permasalahan gizi lebih dapat terjadi pada semua tahap usia mulai dari anak -

BAB I PENDAHULUAN. terpenuhi. Anak sekolah yang kekurangan gizi disebabkan oleh kekurangan gizi pada

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Malaria merupakan penyakit kronik yang mengancam keselamatan jiwa yang

BAB I PENDAHULUAN. Soil transmitted helminth (STH) merupakan cacing usus yang dapat. menginfeksi manusia dengan empat spesies utama yaitu Ascaris

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. telah menjadi masalah kesehatan internasional yang terjadi pada daerah tropis dan

BAB I PENDAHULUAN. terjadi sangat pesat. Pada masa ini balita membutuhkan asupan zat gizi yang cukup

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia terbentang antara 6 o garis Lintang Utara sampai 11 o. terletak antara dua benua yaitu benua Asia dan Australia.

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan kerja. Tenaga kerja yang terpapar dengan potensi bahaya lingkungan

BAB 1 PENDAHULUAN. Pembangunan kesehatan adalah upaya yang bertujuan untuk meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I Pendahuluan. I.1. Latar Belakang. Salah satu dari tujuan Millenium Development. Goal(MDGs) adalah menurunkan angka kematian balita

BAB I PENDAHULUAN. TB Paru merupakan penyakit yang disebabkan oleh. Mycobacterium tuberculosis, yaitu kuman aerob yang mudah mati dan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Usia harapan hidup orang Indonesia semakin meningkat seiring

BAB I PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan nasional mengarah kepada peningkatan kulitas sumber

BAB 1 PENDAHULUAN. prevalensi penyakit infeksi (penyakit menular), sedangkan penyakit non infeksi

BAB 1 PENDAHULUAN. kehilangan cairan tubuh sehingga menyebabkan dehidrasi tubuh, hal ini

ABSTRAK. Infeksi kecacingan yang disebabkan oleh Soil Transmitted Helminths (STH)

BAB 1 PENDAHULUAN. transisi epidemiologi. Secara garis besar proses transisi epidemiologi adalah

BAB I PENDAHULUAN. Prioritas pembangunan kesehatan dalam rencana strategis kementerian

Transkripsi:

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Seorang anak membutuhkan bebas dari penyakit agar dapat bertumbuh dan berkembang dengan baik. Tuntutan hak azasi anak untuk bebas dari penyakit dan menjadi sehat seringkali terabaikan, akibat kurangnya perhatian terhadap penyakit yang tidak menimbulkan gejala yang dramatikal, seperti infeksi Soil Transmitted Helminths (STHs) atau infeksi cacing yang ditularkan melalui tanah (WHO, 2003). Anak usia 6-15 tahun adalah penderita terbanyak infeksi STHs. Anak-anak ini berada pada puncak pertumbuhan, sementara infeksi cacing yang terjadi dapat memperburuk tingkat malnutrisi dan anemia yang berpotensi memperlambat pertumbuhan dan menjadi rentan terhadap penyakit lain. Akibatnya pertumbuhan yang terputus tidak terelakkan lagi, dan akan segera dimulai (WHO, 2003). Lebih lanjut Sur (2003) menyatakan, lima puluh sembilan juta atau 5% dari 30% penduduk dunia yang menderita infeksi cacing, termasuk diantaranya 51 juta anak usia kurang dari 15 tahun (86,4%) akan berisiko untuk mengalami gangguan pertumbuhan dan mengalami penurunan kemampuan fisik. Diestimasi 1,5 juta atau 2,5% dari anak-anak tersebut akan mengalami kegagalan pertumbuhan. Efek tersembunyi dari infeksi kronis diestimasi akan terjadi pada 11,5 juta (19,5%) dari anak-anak tersebut.

Awastni et.al, (2003) juga menyatakan infeksi cacing memiliki efek yang tersembunyi pada pertumbuhan dan perkembangan. Efek yang ditimbulkan bersifat kronis dan menginfeksi lebih dari 33,3% penduduk dunia yang akan terinfeksi seumur hidup. Diperkirakan infeksi cacing menimbulkan 12% dari total beban penyakit/disease burden. Menurut Bethony et.al, (2006) infeksi cacing merupakan permasalahan kesehatan masyarakat yang utama di negara miskin atau negara berkembang, dan menempati urutan tertinggi pada angka kesakitan yang ditimbulkan pada anak usia sekolah. Terjadinya infeksi tidak hanya bergantung pada kondisi lingkungan ekologi suatu wilayah saja, tetapi juga bergantung pada standar sosioekonomi masyarakat setempat. Penderita infeksi cacing yang mengalami infeksi yang berat pada akhirnya dapat mengalami defisiensi nutrisi. Di samping itu infeksi cacing juga telah menunjukkan efek negatif pada perkembangan fisik dan kemampuan kognitif anak. Obstruksi intestinal, anemia, malnutrisi, sindrom disentri, demam, dehidrasi, muntah, dan colitis merupakan komplikasi utama akibat infeksi cacing (Bethony et.al, 2006). Menurut WHO tahun 2003, ascariasis dapat menyebabkan malabsorpsi vitamin A, memperburuk tingkat malnutrisi, anemia, dan berkontribusi pada pertumbuhan yang terlambat, berakibat negatif terhadap nafsu makan dan kemampuan fisik anak-anak, mempengaruhi kemampuan kognitif anak-anak, dan aktivasi imun yang tetap dan panjang akibat infeksi cacing menurunkan kapasitas tubuh untuk bertahan terhadap infeksi lainnya.

Anak usia prasekolah sangat mudah mengalami defisiensi akibat infeksi cacing, sementara mereka berada dalam masa perkembangan mental dan fisik yang maksimum/cepat dan terutama sekali sangat membutuhkan vitamin dan mikronutrient yang hilang akibat infeksi cacing (WHO, 2003). Beberapa studi telah menunjukkan terjadi retardasi pertumbuhan dengan derajat berbeda akibat infeksi cacing (Sur, 2003). Terdapat 2 (dua) milyar atau lebih dari 1 / 3 populasi penduduk dunia, terinfeksi STHs, dan 12,5% diantaranya mengalami infeksi berat dengan 50% kasus terjadi pada anak usia sekolah (WHO, 2003). Diperkirakan 1,47 milyar penduduk dunia menderita ascariasis, dengan morbidity rate 23,7% dan mortality rate 0,02%. Penderita trichuriasis diperkirakan 1,3 milyar penduduk dunia, dengan morbidity rate 20,9% dan mortality rate 0,005%, sementara 1,3 milyar penduduk dunia menderita infeksi hookworms dengan morbidity rate 12,3% dan mortality rate 0,04% (Sur, 2003 dan Mascie, 2006). Prevalensi infeksi cacing STHs mencapai 50-75% di banyak negara di Asia (Sur, 2003). Prevalensi infeksi di Indonesia, menurut beberapa penelitian menunjukkan prevalensi yang relatif tinggi, lebih dari 60-70%, dan prevalensi terbesar ditemukan pada anak balita dan anak usia sekolah dasar (Judarwanto, 2005). Hasil survei cacingan di sekolah dasar di beberapa propinsi pada tahun 1986-1991 menunjukkan prevalensi 60-80%, sedangkan untuk semua umur berkisar 40-60%. Hasil survei Subdit Diare Depkes RI pada tahun 2002 dan 2003 pada 40 SD di 10 propinsi menunjukkan prevalensi berkisar antara 2,2-96,3% (Depkes, 2006).

Laporan Broker (2002) menyebutkan distribusi infeksi cacing di Indonesia secara geografis menunjukkan prevalensi yang berbeda. Prevalensi tertinggi di Irian Jaya dan Sumatera Utara, sementara prevalensi terendah ditemukan di Jawa Timur. Hasil penelitian di beberapa SD di Bandung menunjukkan prevalensi infeksi 58,3 96,8% (Bali Post, 2005). Penelitian Wachidanijah (2002) pada anak SD di Kebumen menunjukkan prevalensi 70,6% dan 58,4% diantaranya pada anak berusia 11-13 tahun. Prevalensi ascariasis di Sumatera Utara diperkirakan 50 79,9%, trichuriasis 80-100%, dan infeksi hookworms 50-79,9% (Broker, 2002). Penelitian Sri Alemina, tahun 2002 prevalensi infeksi pada anak SD di Desa Suka Kecamatan Tiga Panah Kabupaten Karo mencapai 70%. Beberapa penelitian di Kabupaten Deli Serdang menunjukkan prevalensi infeksi cacing sebesar 87% (Tiangsa, 1995), sementara prevalensi infeksi berdasarkan cacing yang menginfeksi, yaitu prevalensi ascariasis 76,2%, trichuriasis 77,2%, dan infeksi cacing tambang 10,9% (Alemina, 2002). Prevalensi infeksi cacing yang mencapai 60-80 % di Indonesia, diperkirakan menyebabkan kerugian ratusan miliar rupiah dan miliaran liter darah dalam setahun. Prevalensi ascariasis 70%, diasumsikan menimbulkan kehilangan karbohidrat per hari sekitar 125, 244 ton setara dengan 156,555 ton beras, kerugian yang ditimbulkan per tahun diperkirakan sebesar Rp. 285,8 miliar akibat tercurinya karbohidrat oleh infeksi cacing tersebut, diluar jumlah protein yang ikut tercuri. Prevalensi trichuriasis di Indonesia diperkirakan 75%, diasumsikan selama 5 tahun dapat terjadi kehilangan

darah 77.745.000 liter. Infeksi hookworms di Indonesia diperkirakan 45%, dan dalam 6 tahun diasumsikan terjadi kehilangan darah sebesar 1,7 milyar liter (Mahiswaty, 2005). Terdapat beberapa faktor yang berperan penting dalam tingginya prevalensi infeksi cacing STHs, antara lain faktor sosiodemografi dan faktor tindakan pengobatan yang dilakukan. Faktor geografis suatu wilayah sangat berpengaruh terhadap perbedaan tingkat infeksi, dan secara geografis Sumatera Utara adalah salah satu wilayah dengan distribusi infeksi cacing tertinggi di Indonesia. Perbedaan jenis kelamin, pekerjaan, pengetahuan dan perilaku, serta faktor sosioekonomi juga erat kaitannya dengan prevalensi infeksi cacing. Pekerjaan di bidang pertanian merupakan faktor pendukung terhadap meningkatnya intensitas infeksi. Pengetahuan dan perilaku seorang anak dan orang tua khususnya ibu erat kaitannya dengan tingkat infeksi berhubungan dengan epidemiologi penyakit. Perilaku hidup sehat dan bersih seorang anak sangat berpotensi untuk mencegah terjadinya infeksi cacing. Faktor sosioekonomi sebuah keluarga dapat menjadi faktor pendukung meningkatnya derajat infeksi dalam kaitannya dengan keterbatasan penyediaan sarana dan prasarana yang sehat dan layak yang dimiliki oleh keluarga yang memiliki status sosioekonomi yang rendah. Pengetahuan yang dimiliki seseorang terhadap mekanisme penularan infeksi cacing dapat mendorong untuk mengambil sebuah tindakan atau upaya pencegahan penularan penyakit. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk memutuskan rantai

penularan infeksi cacing adalah melalui tindakan pengobatan. Efek negatif yang ditimbulkan oleh infeksi cacing terhadap pertumbuhan atau satus gizi seorang anak dapat diperbaiki setelah diberikan tindakan pengobatan yang sesuai. 1.2. Permasalahan Tingginya prevalensi infeksi cacing soil transmitted helminths (STHs) di Indonesia khususnya di Sumatera Utara, antara lain di Kabupaten Deli Serdang terutama pada anak usia sekolah dasar, untuk itu perlu diketahui distribusi infeksi cacing STHs pada anak sekolah dasar dan faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian infeksi cacing pada anak SD di Kecamatan Deli Tua Kabupaten Deli Serdang. 1.3. Tujuan Penelitian 1. Untuk menganalisis prevalensi infeksi cacing berdasarkan jenisnya pada anak sekolah dasar di Kecamatan Deli Tua Kabupaten Deli Serdang. 2. Untuk menganalisis hubungan faktor sosiodemografi (jenis kelamin, status gizi anak, personal hygiene anak, tindakan anak, sosioekonomi, sanitasi lingkungan, tindakan ibu, dan pengetahuan ibu) terhadap infeksi cacing pada anak sekolah dasar di Kecamatan Deli Tua Kabupaten Deli Serdang. 3. Untuk menganalisis hubungan faktor tindakan pengobatan terhadap infeksi cacing pada anak sekolah dasar di Kecamatan Deli Tua Kabupaten Deli Serdang.

1.4. Hipotesis Penelitian Adapun hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Ada hubungan faktor sosiodemografi (jenis kelamin, status gizi anak, personal hygiene anak, tindakan anak, sosioekonomi, sanitasi lingkungan, pengetahuan ibu, dan tindakan ibu) dengan infeksi cacing pada anak sekolah dasar di Kecamatan Deli Tua Kabupaten Deli Serdang. 2. Ada hubungan tindakan pengobatan dengan infeksi cacing pada anak sekolah dasar di Kecamatan Deli Tua Kabupaten Deli Serdang. 1.5. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, bagi berbagai pihak sebagai informasi dan bahan pertimbangan dalam menetapkan kebijakan: 1. Bagi Masyarakat Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi pengetahuan kepada masyarakat luas mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan infeksi cacing dan dampaknya terhadap status gizi anak. 2. Bagi Institusi Pendidikan Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi pengetahuan kepada institusi pendidikan sekolah dasar khususnya, sebagai bahan pertimbangan di dalam menetapkan program penanggulangan infeksi cacing di sekolah.

3. Bagi Pemerintah Setempat Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat informasi epidemiologi kepada pemerintah daerah setempat untuk dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan di dalam menetapkan kebijakan penanggulangan infeksi cacing di daerahnya. 4. Bagi Peneliti Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan peneliti, dan sebagai informasi bagi penelitian lebih lanjut.