BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Karenanya pemerintah pusat menerbitkan Undang-Undang tentang pemerintah

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan salah satu instrumen kebijakan yang dipakai sebagai alat untuk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Mamesah dalam Halim (2007), keuangan daerah daoat diartikan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. seluruh pengeluaran daerah itu. Pendapatan daerah itu bisa berupa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA. kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi. mendasari otonomi daerah adalah sebagai berikut:

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut M. Suparmoko (2001: 18) otonomi daerah adalah kewenangan daerah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. melancarkan jalannya roda pemerintahan. Oleh karena itu tiap-tiap daerah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang telah direvisi menjadi Undang-

II. TINJAUAN PUSTAKA. kemampuan menggali sumber-sumber daya yang ada di setiap daerah untuk

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah adalah salah satu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. dengan kata lain Good Governance, terdapat salah satu aspek di dalamnya yaitu

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan perundangundangan.

BAB I PENDAHULUAN. dikelola dengan baik dan benar untuk mendapatkan hasil yang maksimal.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. daerah dari sumber-sumber dalam wilayahnya sendiri yang dipungut berdasarkan

BAB I PENDAHULUAN. pengelolaan keuangan. Oleh karena itu, daerah harus mampu menggali potensi

Daerah (PAD), khususnya penerimaan pajak-pajak daerah (Saragih,

BAB 2 TINJAUAN TEORETIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS. Menurut Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah

BAB I PENDAHULUAN. Tap MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaran Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG. Dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan nasional,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan peluang dan sekaligus juga sebagai tantangan.

Hubungan Keuangan antara Pemerintah Daerah-Pusat. Marlan Hutahaean

BAB II TINJAUAN TENTANG PEMERINTAH DAERAH DAN PENDAPATAN ASLI DAERAH

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2004 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sedangkan pengertian pajak menurut Marihot P. Siahaan (2010:7) adalah: 1. Yang berhak memungut pajak hanyalah negara.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2004 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. "dengan pemerintahan sendiri" sedangkan "daerah" adalah suatu "wilayah"

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2004 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. mayoritas bersumber dari penerimaan pajak. Tidak hanya itu sumber

BAB I PENDAHULUAN. baik pusat maupun daerah, untuk menciptakan sistem pengelolaan keuangan yang

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia dibagi atas daerah-daerah Provinsi dan daerah-daerah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2004 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH

BAB II LANDASAN TEORI DAN PERUMUSAN HIPOTESIS. kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang

TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2004 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH

BAB 2 TINJAUAN TEORETIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS

BAB II. Tinjauan Pustaka. Puspitasari dkk (2016) menjelaskan bahwa 1. Proses pemungutan Pajak

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi yang terjadi pada bidang politik mulai merambah pada bidang

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Indonesia sedang berada di tengah masa transformasi dalam hubungan antara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB III KEBIJAKAN UMUM DAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH

EFEKTIVITAS PAJAK RESTORAN UNTUK MENINGKATKAN PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) PADA PEMERINTAH DAERAH KOTA KEDIRI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. mengurus keuangannya sendiri dan mempunyai hak untuk mengelola segala. sumber daya daerah untuk kepentingan masyarakat setempat.

BAB 2 TINJAUAN TEORETIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS Sumber Penerimaan Daerah dalam Pelaksanaan Desentralisasi

I. PENDAHULUAN. Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. membentuk watak, kepercayaan atau perbuatan seseorang.

A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya kebijakan ekonomi daerah yang mengatur hubungan pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. yang digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan prinsip

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Anggaran menurut Yuwono (2005:27) adalah rencana terinci yang

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut pasal 1 ayat (h) Undang-undang RI Nomor Tahun 1999 tentang pemerintah

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan harus dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat. Pembangunan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian Pendapatan Asli Daerah berdasarkan Undang-undang Nomor

ANALISIS RASIO UNTUK MENGUKUR KINERJA PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH KABUPATEN BANTUL

LANDASAN TEORI Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 21 tahun 2011 tentang

Analisis Kemampuan Keuangan Daerah Kabupaten Aceh Timur

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan harus dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat. Pembangunan daerah juga

I. PENDAHULUAN. kehidupan baru yang penuh harapan akan terjadinya berbagai langkah-langkah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pelaksanaan otonomi daerah memberikan kewenangan kepada daerah

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. pemerataan yang sebaik mungkin. Untuk mencapai hakekat dan arah dari

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi

BAB I PENDAHULUAN. bersangkutan, sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 32

BAB I PENDAHULUAN. kebijakan daerahnya sendiri, membuat peraturan sendiri (PERDA) beserta

BAB I PENDAHULUAN. Undang Nomor 23Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pengelolaan keuangan daerah sejak tahun 2000 telah mengalami era baru,

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB I PENDAHULUAN. Sejak diberlakukannya Undang-Undang No.32 Tahun 2004 tentang Otonomi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Keuangan pada tahun Pelaksanaan reformasi tersebut diperkuat dengan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. No.22 tahun 1999 dan Undang-undang No.25 tahun 1999 yang. No.33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Sirojuzilam (2005) pengembangan wilayah pada dasarnya

BAB I PENDAHULUAN. menciptakan suatu tatanan masyarakat yang adil dan makmur dalam naungan

BAB I PENDAHULUAN. memberikan proses pemberdayaan dan kemampuan suatu daerah dalam. perekonomian dan partisipasi masyarakat sendiri dalam pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. diharapkan suatu daerah otonom dapat berkembang sesuai dengan kemampuan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Era reformasi memberikan kesempatan untuk melakukan perubahan pada

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem negara kesatuan, pemerintah daerah merupakan bagian yang

BAB I PENDAHULUAN. oleh setiap daerah di Indonesia, terutama Kabupaten dan Kota sebagai unit pelaksana

I. PENDAHULUAN. Di era Otonomi Daerah sasaran dan tujuan pembangunan salah satu diantaranya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. noumus berarti hukum atau peraturan. Menurut UU No.32 Tahun 2004 otonomi

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1 Otonomi Daerah Dalam upaya peningkatan kualitas pelayanan pemerintah kepada masyarakat, pemerintah pusat menyadari bahwa yang paling memiliki pengetahuan tentang permasalahan daerah adalah pemerintah daerahnya sendiri. Karenanya pemerintah pusat menerbitkan Undang-Undang tentang pemerintah daerah yang berisikan kebijakan otonomi daerah. Kebijakan otonomi daerah ini menjadi langkah awal bagi pemerintah daerah untuk memiliki wewenang yang lebih luas mengatur jalannya roda pemerintahan sesuai dengan aspirasi daerahnya sendiri. Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 1 Ayat 5 tentang Pemerintah Daerah mengenai pengertian otonomi daerah adalah sebagai berikut: Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundangundangan. Berdasarkan pengertian diatas maka dengan otonomi daerah ini, pemerintah daerah mendapatkan peningkatan hak dan wewenang yang sejalan dengan peningkatan tanggungjawab atas pengelolaan pemerintahan daerah. Dengan peningkatan wewenang ini, pemerintah daerah diharapkan dapat membuat program kerja yang sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan masyarakat 11

12 daerahnya. Pemerintah daerah juga harus dapat menggali potensi daerah untuk memenuhi kebutuhan belanja atas program kerjanya. Menurut Indra Bastian (2006) menyatakan bahwa ada beberapa asas penting dalam undang-undang otonomi daerah yaitu Asas Desentralisasi, Asas Dekonsentrasi, Tugas Pembatuan, serta Perimbangan Keuangan antar Pemerintah Pusat dan Daerah. Berikut penjelasan asas-asas penting tersebut: 1. Asas Desentralisasi adalah penyerahan wewenang penyelenggaraan pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. 2. Asas Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang dari pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dana atau perangkat pusat di daerah. 3. Tugas Pembantuan adalah penugasan dari pemerintah pusat kepada daerah dan desa dari pemerintah provinsi kabupaten/kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu. Sebagai negara kesatuan yang menetapkan sistem desentralisasi, maka dalam penyelenggaraan pemerintahan, pemerintah daerah berhak mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. 4. Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah merupakan suatu sistem pembiayaan pemerintahan dalam rangka negara kesatuan, yang mencakup pembagian keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah serta pemerataan antar daerah secara proporsional, demokratis, adil, dan transparan dengan memperhatikan potensi, kondisi, serta

13 kebutuhan daerah, sejalan dengan kewajiban dan pembagian kewenangan serta tata cara penyelenggaraan kewenangan tersebut, termasuk pengelolaan dan pengawasan keuangannya. 2.1.2 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dimaksudkan sebagai rencana kerja yang akan dilaksanakan oleh pemerintah dalam tahun anggaran bersangkutan. Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dibagi ke dalam tiga (3) pos yaitu pos pendapatan, pos belanja dan pos pembiayaan. Anggaran pemerintah digunakan sebagai salah satu alat untuk meningkatkan pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat sesuai tujuan otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggung jawab. Dengan demikian anggaran harus benar-benar mencerminkan kebutuhan masyarakat dengan melibatkan potensi dan keanekaragaman daerah. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 Pasal 4 Ayat 1 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dinyatakan bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) adalah rencana keuangan tahunan Pemerintah Daerah yang dibahas dan disetujui bersama oleh Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Suatu anggaran daerah memiliki unsur-unsur sebagai berikut: 1. Rencana kegiatan suatu daerah.

14 2. Adanya sumber penerimaan yang merupakan target minimal untuk menutupi biaya terkait aktivitas tersebut dan merupakan batas pengeluaran yang akan dilaksanakan. 3. Jenis kegiatan dan proyek yang dituangkan dalam bentuk angka. 4. Periode anggaran yang biasanya 1 (satu) tahun. 2.1.3 Pendapatan Daerah Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Ayat 1 Pasal 15 menyatakan bahwa: Pendapatan daerah adalah semua hak daerah yang diakui sebagai penambahan nilai kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan. Menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 Ayat 1 Pasal 13 menyatakan bahwa: Pendapatan daerah adalah hak Pemerintah Daerah yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih dalam periode tahun bersangkutan. Sumber-sumber Pendapatan Daerah sebagai pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 Pasal 5 Ayat 2 terdiri dari: 1. Pendapatan Asli Daerah; 2. Dana Perimbangan; dan 3. Lain-Lain Pendapatan.

15 2.1.3.1 Pendapatan Asli Daerah (PAD) Pendapatan Asli Daerah merupakan semua penerimaan daerah yang berasal dari sumber ekonomi asli daerah. Pendapatan asli daerah dipisahkan menjadi empat jenis pendapatan, yaitu pajak daerah, retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan milik daerah yang dipisahkan, lain-lain pendapatan asli daerah yang sah (Halim, 2012). Menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 Pasal 1 ayat 18, yang dimaksud dengan Pendapatan Asli Daerah adalah sebagai berikut: Pendapatan Asli Daerah selanjutnya disebut PAD adalah pendapatan yang diperoleh Daerah yang dipungut berdasarkan Peraturan Daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pengertian Pendapatan Asli daerah menurut Abdul Halim (2007) adalah sebagai berikut: Pendapatan Asli Daerah adalah penerimaan daerah dari sektor publik Pajak Daerah, Retribusi Daerah, Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan, dan Lain-Lain Pendapatan Asli Daerah yang sah yang dipungut berdasarkan Undang-Undang. Setiap daerah diberikan kewenangan dan tanggung jawab untuk mengali dan memaksimalkan sumber-sumber pendapatan yang ada didaerahnya. Peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) ini menjadi sangat penting dalam era otonomi daerah, karena kemandirian Kemandirian Daerah menjadi salah satu tolak ukur dalam keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah (Halim, 2007). Maka dapat disimpulkan bahwa Pendapatan Asli daerah adalah pendapatan daerah yang berasal dari sumber ekonomi asli daerah. Sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) berdasarkan kepada Undang-Undang Nomor 33

16 Tahun 2004 Pasal 6 Ayat 1 berasal dari Pajak daerah, Retribusi Daerah, Hasil Pengelolaan kekayaan Daerah yang dipisahkan dan Lain-Lain PAD yang sah. 1. Pajak Daerah Kewenangan pemerintah dalam memungut pajak kepada masyarakat ini sesuai dengan pengertian pajak daerah Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Pasal 1 Ayat 10 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah menyatakan bahwa: Pajak Daerah, yang selanjutnya disebut Pajak, adalah Kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesarbesarnya kemakmuran rakyat. Pajak Kabupaten/Kota berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Pasal 2 ayat 2 terdiri atas: a) Pajak Hotel; b) Pajak Restoran; c) Pajak Hiburan; d) Pajak Reklame; e) Pajak Penerangan Jalan; f) Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan; g) Pajak Parkir; h) Pajak Air Tanah; i) Pajak Sarang Burung Walet; j) Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan; dan k) Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.

17 2. Retribusi Daerah Sumber pendapatan lainnya yang dapat dimasukan dalam pos Pendapatan Asli Daerah adalah retribusi daerah. Bila pajak daerah tidak memiliki hubungan timbal balik secara langsung kepada pembayaran pajak, maka retribusi daerah ini memiliki timbal balik langsung kepada pembayarannya. Berdasarkan Undang- Undang Nomor 28 Tahun 2009 Pasal 1 Ayat 64 tentang Jenis Pajak Daerah dan Retribusi Daerah menyatakan bahwa : Retribusi Daerah, yang selanjutnya disebut Retribusi, adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau Badan. Pasal 108 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 menjelaskan Objek Retribusi adalah a) Jasa Umum adalah pelayanan yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau badan. b) Jasa Usaha adalah pelayanan yang disediakan oleh Pemerintah Daerah dengan menganut prinsip komersial yang meliputi: 1. Pelayanan dengan menggunakan/memanfaatkan kekayaan Daerah yang belum dimanfaatkan secara optimal dan/atau 2. Pelayanan oleh Pemerintah Daerah sepanjang belum disediakan secara memadai oleh pihak swasta. c) Perizinan Tertentu adalah pelayanan perizinan tertentu oleh Pemerintah Daerah kepada orang pribadi atau badan yang dimaksudkan untuk pengaturan dan pengawasan atas kegiatan pemanfaatan ruang,

18 penggunaaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana, atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan. 3. Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan Perusahaan daerah adalah semua perusahaan yang didirikan seluruhnya atau sebagian dengan modal daerah. Tujuannya adalah dalam rangka menciptakan laporan kerja atau mendorong perekonomian daerah dan merupakan cara yang efisien dalam melayani masyarakat dan untuk menghasilkan penerimaan daerah. Bagian keuntungan usaha daerah atau laba usaha daerah adalah keuntungan yang menjadi hak pemerintah daerah dari usaha yang dilakukannya. Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 Pasal 26 tentang jenis-jenis hasil pengelolaan kekayaan milik daerah yang dipisahkan meliputi : a) Bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik daerah/bumd. b) Bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik negara/bumn. c) Bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik swasta atau kelompok usaha masyarakat. Jenis penerimaan yang termasuk hasil kekayaan daerah yang dipisahkan antara lain, bagian laba, dividen, dan penjualan saham milik daerah. Hasil kekayaan daerah biasanya berasal dari laba Badan Usaha Milik Daerah, sedangkan jenis usaha yang dikelola pemerintah daerah sangat beraneka ragam. Hal ini tergantung pada kebutuhan dan kemampuan masing-masing daerah. Semakin banyak potensi dan peluang yang dapat dikembangkan maka semakin

19 besar pula kesempatan untuk meningkatkan konstribusi laba untuk usaha daerah terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD). 4. Lain-Lain Pendapatan Asli Daerah yang Sah Lain-Lain Pendapatan Asli Daerah yang sah adalah penerimaan daerah di luar penerimaan yang berasal dari pajak daerah, retribusi daerah, dan bagian laba usaha yang telah diuraikan. Rekening ini disediakan untuk mengakuntansikan penerimaan daerah selain pajak daerah, retribusi daerah, dan bagian laba usaha. Jenis pendapatan ini menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 Pasal 26 meliputi objek pendapatan yang mencakup : a) Hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan; b) Jasa giro; c) Pendapatan bunga; d) Penerimaan atas tuntutan ganti kerugian daerah; e) Penerimaan komisi, potongan ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan dan/atau pengadaan barang dan/atau jasa oleh daerah; f) Penerimaan keuntungan dari selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing; g) Pendapatan denda atas keterlambatan pelaksanaan pekerjaan; h) Pendapatan denda pajak; i) Pendapatan denda retribusi; j) Pendapatan hasil eksekusi atas jaminan; k) Pendapatan dari pengembalian; l) Pendapatan dari pengembalian;

20 m) Fasilitas social dan fasiitas umum; n) Pendapatan dari penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan; dan o) Pendapatan dari angsuran/cicilan penjualan. 2.1.3.2 Dana Perimbangan Pengertian Dana Perimbangan dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 Pasal 1 Ayat 19 tentang Perimbangan antar Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah diartikan sebagai berikut : Dana Perimbangan adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada Daerah berdasarkan angka persentase untuk mendanai kebutuhan Daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi. Peningkatan kebutuhan belanja pemerintah daerah dalam era otonomi memang seharusnya di atasi dengan peningkatan kinerja pemerintah daerah dalam menggali potensi pendapatan yang ada didaerahnya, tetapi kebanyakan daerah memiliki tingkat kemandirian Kemandirian Daerah yang rendah sehingga mengandalkan dana perimbangan ini. Hal ini sejalan dengan tujuan lahirnya dana perimbangan yaitu untuk membantu daerah dalam mendanai kewenangannya juga bertujuan untuk mengurangi ketimpangan sumber pendanaan pemerintah antara pusat dan daerah. Perincian pendapatan yang termasuk kedalam dana perimbangan terdapat dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004, yaitu dana perimbangan terdiri atas :

21 1. Dana Bagi Hasil. Menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 Pasal 1, Dana Bagi Hasil (DBH) merupakan dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional (APBN) yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka persentase untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Pembagian dana bagi hasil ini ditinjau dari kemampuan daerah dalam menghasilkan sumber daya. Daerah yang memiliki potensi sumber daya alam yang banyak akan mendapatkan porsi bagi hasil yang lebih besar sesuai dengan kekayaan alam yang telah digali. Penerimaan pajak yang termasuk dalam komponen pendapatan bagi hasil sesuai dengan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 adalah : 1. Penerimaan Pajak a) Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Penerimaan negara dari pajak bumi dan bangunan dibagi dengan imbalan 10% untuk pemerintah pusat dan 90% untuk daerah. Dana bagi hasil PBB untuk daerah sebesar 90% dengan rincian sebagai berikut: 1) 16,2% untuk daerah provinsi yang bersangkutan 2) 64,8% untuk kabupaten/kota yang bersangkutan 3) 9% untuk biaya pemungutan Selanjutnya 10% penerimaan pajak bumi dan bangunan bagian pemerintah pusat dialokasikan kepada seluruh kebupaten dan kota dengan rincian sebagai berikut:

22 1) 6,5% dibagikan secara merata kepada seluruh kabupaten dan kota 2) 3,5% dibagikan secara intesif kepada kabupaten dan/atau kota yang realisasi penerimaan pajak bumi dan bangunan sektor pedesaan dan perkotaan sebelumnya mencapai/melampaui rencana penerimaan yang ditetapkan b) Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) Penerimaan negara dari bea perolehan ha katas tanah dan bangunan dibagi dengan imbalan 20% untuk pemerintah pusat dan 80% untuk daerah. Dana bagi hasil BPHTB untuk daerah sebesar 80% dengan rincian sebagai berikut: 1) 16% untuk provinsi yang bersangkutan 2) 64% untuk kabupaten/kota yang bersangkutan Selanjutnya bagian pemerintah sebesar 20% dialokasikan dengan porsi yang sama besar untuk seluruh kabupaten dan kota. c) Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan PPh Pasal 21. Dana Bagi Hasil dari Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 dengan rincian sebagai berikut : 1) 60% untuk kabupaten atau kota 2) 40% untuk provinsi

23 2. Penerimaan Bukan Pajak (Sumber Daya Alam) a) Kehutanan Penerimaan kehutanan yang berasal dari Penerimaan Iuran Hak Pengusahaan Hutan (IHPH) dan Provinsi Sumber Daya Hutan (PSDH) yang dihasilkan dari wilayah daerah yang bersangkutan dibagi dengan imbangan 20% untuk pemerintah dan 80% untuk daerah. Penerimaan kehutanan yang berasal dari dana reboisasi dibagi dengan imbangan dana sebesar 60% untuk pemerintah dan 40% untuk daerah. b) Pertambangan umum Penerimaan pertambangan umum yang dihasilkan dari wilayah daerah yang bersangkutan, dibagi dengan imbangan 20% untuk pemerintah dan 80% untuk daerah. c) Perikanan Penerimaan perikanan yang diterima secara nasional, dibagi dengan perimbangan 20% untuk pemerintah pusat dan 80% untuk daerah. d) Pertambangan minyak bumi Penerimaan pertambangan minyak bumi yang dihasilkan dari wilayah daerah yang bersangkutan setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya sesuai dengan peraturan perundangundangan, dibagi dengan imbangan 84,5% untuk pemerintah pusat dan 15,5% untuk daerah.

24 e) Pertambangan gas bumi Penerimaan pertambangan minyak bumi yang dihasilkan dari wilayah daerah yang bersangkutan setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya sesuai dengan peraturan perundangundangan, dibagi dengan imbangan 69,5% untuk pemerintah pusat dan 30,5% untuk daerah. f) Pertambangan panas bumi Pertambangan panas bumi yang dihasilkan dari wilayah daerah yang bersangkutan merupakan penerimaan negara bukan pajak, dibagi dengan imbangan 20% untuk pemerintah pusat dan 80% untuk pemerintah daerah. 2. Dana Alokasi Umum. Dana Alokasi Umum adalah dana yang berasal dari APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerh untuk membiayai kebutuhan pengeluarannya dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 Pasal 29 Proporsi Dana Alokasi Umum antar Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota ditetapkan berdasarkan imbangan kewenangan antara Provinsi dan Kabupaten/Kota. Menurut Abdul Halim (2007) transfer dana alokasi umum adalah : Dana Alokasi Umum Transfer merupakan konsekuensi dari tidak meratanya keuangan dan ekonomi daerah. Selain itu tujuan dana ALokasi Umum adalah mengurangi kesenjangan keuangan horizontal antar-daerah, dan menggurangi kesenjangan vertical pusat-daerah mengatasi persoalan efek pelayanan publik antar-daerah, dan untuk menciptakan stabilitas aktivitas perekonomian di daerah.

25 Dana Alokasi Umum untuk suatu daerah dialokasikan dengan dasar celah fiscal dan alokasi dasar. Celah fiscal yang dimaksudkan adalah kebutuhan fiscal dikurang dengan kapasitas fiscal daerah. Kebutuhan fiscal digunakan untuk melaksanakan fungsi dasar layanan umum sedangkan kapasitas fiscal merupakan sumber pendanaan daerah yang bersumber dari Pendapatan Asli Daerah dan Dana Bagi Hasil. 3. Dana Alokasi Khusus. Dana alokasi khusus adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang sesuai dengan prioritas nasional. Kegiatan khusus yang dimaksudkan sesuai dengan fungsi yang telah ditetapkan di dalam APBN. Pemerintah mempunyai kriteria Dana Alokasi Khusus yang meliputi kriteria umum, kriteria khusus dan kriteria teknis, dengan penjelasannya sebagai berikut: 1) Kriteria umum ditetapkan dengan mempertimbangkan kemampuan Kemandirian Daerah dalam APBD. 2) Kriteria khusus ditetapkan dengan memperhatikan dan mempertimbangkan perundang-undangan dan karakteristik daerah. 3) Kriteria teknis ditetapkan oleh departemen teknis. 2.1.3.3 Lain-Lain Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang Sah

26 Sumber Pendapatana Asli Daerah (PAD) yang terakhir adalah Lain-Lain Pendapatan Asli Daerah yang Sah. Pengertian Lain-Lain Pendapatan Asli Daerah yang Sah menurut Abdul Halim (2007), yaitu Pendapatan yang merupakan penerimaan daerah yang berasal dari lainlain milik pemerintah daerah. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 Lain-Lain Pendapatan Asli Daerah yang Sah meliputi : 1) Hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan 2) Jasa giro 3) Pendapatan bunga 4) Keuntungan selisih nilai rupiah terhadap mata uang asing 5) Komisi, potongan ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan dan/atau pengadaan barang da/atau jasa oleh daerah. Kewenangan pemerintah daerah dalam pelaksanaan kebijaksanaan sebagai otonomi sangat dipengaruhi oleh kemampuan daerah tersebut dalam menghasilkan pendapatan daerah. Semakin besar Pendapatan Asli Daerah yang diterima, maka semakin besar pula kewenangan pemerintah daerah tersebut dalam melaksanakan kebijakannya (Mardiasmo, 2011). 2.1.4 Kinerja dan Pengukuran Kinerja Keuangan Pemerintah 2.1.4.1 Pengertian Kinerja

27 Pengukuran kinerja keuangan pemerintah daerah dapat diukur dengan menilai efisiensi atas realisasi dari alokasi yang dilakukan pemerintah terhadap suatu anggaran. Pengertian kinerja menurut Moeheriono (2012) adalah Hasil kinerja yang dapat dicapai oleh seseorang atau kelompok orang dalam suatu organisasi baik secara kualitatif maupun secara kuentitatif, sesuai dengan kewewenangan, tugas dan tanggung jawab masing-masing dalam upaya mencapai tujuan organisasi bersangkutan secara legal, tidak melanggar hukum dan sesuai dengan moral ataupun etika. Menurut Indra Bastian (2006) pengertian kinerja adalah Gambaran mengenai tingkat pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan/program/kebijakan dalam mewujudkan sasaran, tujuan, misi dan visi organisasi yang tertuang dalam perumusan skema strategis suatu organisasi. Menurut Anwar Prabu Mangkunegara (2009) pengertian kinerja adalah Hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Sedangkan menurut Sedarmayanti (2011) mengemukakan sebagai berikut Kinerja merupakan terjemahan dari performa yang berarti hasil kerja seorang pekerja, sebuah proses manajemen atau suatu organisasi secara keseluruhan, dimana hasil kerja tersebut harus dapat ditunjukkan buktinya secara kongkrit dan dapat diukur. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kinerja merupakan kemampuan atau prestasi yang dicapai dalam melaksanakan suatu aktivitas tertentu. 2.1.4.2 Pengertian Kinerja Keuangan Pengertian Kinerja Keuangan menurut Irham Fahmi (2012) adalah

28 Kinerja keuangan adalah suatu analisis yang dilakukan untuk melihat sejauh mana suatu perusahaan telah melaksanakan dengan menggunakan aturan-aturan pelaksanaan keuangan secara baik dan benar. Sedangkan menurut Jumingan (2011) mengemukakan pengertian kinerja keuangan adalah Kinerja keuangan merupakan gambaran kondisi keuangan perusahaan pada suatu periode tertentu menyangkut aspek penghimpunan dana meupun penyaluran dana, yang biasanya diukur dengan indikator kecukupan modal, likuiditas, dan profitabilitas. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pengertian kinerja keuangan merupakan gambaran dari pencapaian keberhasilan yang telah dilakukan melalui berbagai aktivitas. 2.1.4.3 Pengertian Pengukuran Kinerja Pengertian pengukuran kinerja menurut Mardiasmo (2007) adalah Pengukuran kinerja sektor publik adalah suatu sistem yang bertujuan untuk membantu manajer publik menilai pencapaian suatu strategi melalui alat ukur finansial dan nonfinansial. Menurut Mulyadi (2014) pengertian penilai kinerja adalah sebagai berikut Penilaian kinerja adalah penentuan secara periodic efektivitas operasional suatu organisasi, dan karyawan berdasarkan sasaran, standard an kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya. kinerja adalah Selain itu Mahmudi (2010) juga mengemukakan pengertian pengukuran Suatu proses penilaian kemajuan pekerjaan terhadap tujuan dan sasaran yang telah ditentukan sebelumnya, termasuk informasi atas: efisiensi penggunaan sumber daya dalam menghasilkan barang dan jasa; kualitas barang dan jasa (seberaoa baik barang dan jasa diserahkan kepada

29 pelanggan dan sampai berapa jauh pelanggan terpuaskan); hasil kegiatan dibandingkan dengan maksud yang diinginkan; dan efektivitas tindakan dalam mencapai tujuan. Sedangkan menurut Raharjo Adisasmita (2011) pengukuran kinerja adalah Pengukuran kinerja merupakan suatu alat manajemen yang digunakan untuk meningkatkan kualitas pengambilan keputusan dan akuntabilitas. Jadi dapat disimpulkan kinerja merupakan suatu metode atau alat yang sangat penting untuk mencatat dan menilai pencapaian pelaksanaan kegiatan, prestasi manajer dan unit organisasi serta akuntabilitas dalam menghasilkan pelayanan publik yang lebih baik berdasarkan tujuan, sasaran, dan strategi sehingga dapat diketahui kemajuan organisasi tidak hanya sekedar kemampuan menunjukkan bahwa uang publik tersebut digunakan secara ekonomis, efisien, dan efektif serta sesuai anggaran yang telah dibuat. 2.1.4.4 Tujuan dan Manfaat Pengukuran Kinerja Pemerintah Prestasi pelaksanaan program yang dapat diukur akan mendorong pencapaian suatu potensi. Pengukuran prestasi yang dilakukan secara berkelanjutan memberikan umpan balik untuk upaya perbaikan secara terus menerus dan pencapaian di masa mendatang. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Penilaian Prestasi Kerja Pegawai Negeri Sipil memiliki indikator kinerja pegawai yaitu dalam indikator tersebut adalah

30 1) Kesetiaan, yaitu tekat dan kesangguoan untuk mentaati, melaksanakan, dan mengamalkan sasuatu yang ditaati dengan penuh kesabaran dan tanggungjawab. 2) Prestasi kerja, yaitu hasil kerja yang dicapai pegawai dalam melaksanakan tugas yang diberikan kepadanya. 3) Tanggungjawab, yaitu kesanggupan pegawai dalam melakukan pekerjaan yang diserahkan kepadanya dengan sebaik-baiknya dan tepat waktu, serta berani menanggung resiko atas keputusan yang telah diambil. 4) Ketaatan, yaitu kesanggupan pegawai untuk mentaati segala peraturan perundang-undnagan dan peraturan kedinasan yan g berlaku. 5) Kejujuran, yaitu kesanggupan pegawai dalam melaksanakan dan kemampuan untuk tidak menyalahgunakan wewenang yang diembannya. 6) Kerjasama, yaitu kemampuan pegawai untuk bekerjasama dengan orang lain dalam melakukan tugasnya. 7) Prakarsa, yaitu kemampuan pegawai untuk mengambil keputusan langkahlangkah atau melaksanakan semua tindakan yang diperlukan dalam melaksanakan tugas pokok tanpa menunggu perintah dari atasan. 8) Kepemimpinan, yaitu kemampuan untuk mempengaruhi orang lain sehingga dapat diarahkan secara maksimal untu melaksanakan tugas. Sedangkan menurut Mardiasmo (2011) secara umum tujuan pengukuran kinerja adalah sebagai berikut 1) Mengkomunikasikan strategi secara lebih baik.

31 2) Mengukur kinerja finansial dan nonfinansial secara berimbang sehingga dapat ditelusuri perkembangan pencapaian strategi. 3) Mengakomodasi pemahaman kepentingan manajer level menengah dan bawah serta memotivasi untuk mencapai tujuan. 4) Sebagai alat untuk mencapai kepuasan berdasarkan pendekatan individual dan kemampuan kolektif yang rasional. Selain itu manfaat pengukuran kinerja adalah 1) Memberikan pemahaman mengenai ukuran yang digunakan untuk menilai kinerja manajemen. 2) Memberikan arah untuk mencapai target kinerja yang telah ditetapkan. 3) Sebagai media monitor, evaluasi, dan koreksi atas pencapaian kinerja. 4) Sebagai dasar untuk memberikan penghargaan dan hukuman (reward and punishment) secara obyektif. 5) Sebagai alat komunikasi antara bawahan dan pimpinan. 6) Mengidentifikasi tingkat kepuasan pelanggan. 7) Membantu memahami proses kegiatan intansi pemerintah. 8) Memastikan bahwa pengambilan keputusan dilakukan secara obyektif. Sehingga dapat disimpulkan bahwa dengan adanya penilaian kinerja diharapkan dapat menegakkan perilaku yang semestinya, melalui umpan balik hasil kinerja pada waktunya serta penghargaan, baik yang bersifat internal maupun eksternal.

32 2.1.4.5 Analisis Rasio Keuangan sebagai Pengukuran Kinerja Pemerintah Daerah Pemerintah daerah sebagai pihak yang diserahi tugas menjalankan roda pemerintahan, pembangunan, dan layanan sosial masyarakat wajib menyampaikan laporan pertanggungjawaban Kemandirian Daerahnya untuk dinilai apakah pemerintah berhasil menjalankan tugasnya dengan baik atau tidak. Kinerja pemerintah dapat dilihat dari sisi finansial dan nonfinansial dengan menillai kinerja finansial pemerintah daerah dapat diketahui bagaimana pemerintah daerah mengelola Kemandirian Daerahnya, sedangkan dengan menilai kinerja nonfinansial dapat diketahui semua kinerja pemerintah daerah dalam menjalankan tugas dan fungsi pokoknya di luar kinerja finansial tersebut. Hal ini sejalan dengan yang dikatakan oleh Josef Riwu Kaho (2007) bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi pelaksanaan otonomi daerah adalah faktor finansial. Salah satu alat untuk menganalisis kinerja pemerintah daerah adalah dengan melakukan analisis rasio keuangan terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang telah ditetapkan dan dilaksanakan. Abdul Halim (2007) menyebutkan penggunaan analisis rasio keuangan sebagai alat analisis kinerja keuangan secara luas telah ditetapkan pada lembaga perusahaan yang bersifat komersial, sedangkan pada lembaga publik khususnya pemerintah daerah masih sangat terbatas sehingga secara teoritas belum ada kesepakatan yang bulat mengenai nama dan kaidah pengukurannya. Analisis rasio keuangan pada APBD dilaksanakan dengan cara mambandingkan hasil yang

33 dicapai dari suatu periode dengan periode sebelumnya sehingga dapat diketahui bagaimana kecenderungan yang terjadi. Menurut Abdul Halim (2007) analisis rasio keuangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah terdiri: 1. Rasio Kemandirian Kemandirian Daerah. Kemandirian Kemandirian Daerah menunjukkan kemampuan pemerintah daerah dalam membiayai sendiri kegiatan pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan kepada masyarakat yang telah membayar pajak dan retribusi sebagai sumber pendaparan yang diperlukan daerah. Rasio Kemandirian Kemandirian Daerah = 2. Rasio Efektivitas. Rasio efektivitas menggambarkan kemampuan pemerintah daerah dalam merealisasikan Pendapatan Asli daerah yang direncanakan dibandingkan dengan target yang ditetapkan berdasarkan potensi riil daerah. Rasio Efektivitas = 3. Rasio Efisiensi Pendapatan Asli Daerah. Rasio efesiensi merupakan rasio yang menggambarkan perbandingan antara besarnya biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh pendapatan dengan realisasi pendapatan yang diterima. Rasio Efisiensi =

34 4. Rasio Aktivitas/Keserasian. Rasio ini terdiri dari Rasio Belanja Langsung terhadap APBD dan Rasio Belanja Tidak Langsung terhadap APBD. Rasio ini menggambarkan bagaimana pemerintah daerah memprioritaskan alokasi dananya pada belanja langsung dan tidak langsung secara optimal. Rasio Belanja Langsung = Rasio Efisiensi = 2.2 Kerangka Pemikiran a. Pengaruh Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap Kemandirian Daerah. Menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 Pasal 1 Ayat 18, yang dimaksud dengan Pendapatan Asli Daerah adalah: Pendapatan Asli Daerah, selanjutnya disebut PAD adalah pendapatan yang diperoleh daerah yang dipungut berdasarkan Peraturan Daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan akses dari pertumbuhan ekonomi (Saragih, 2010). Daerah yang pertumbuhan ekonominya posistif mempunyai kemungkinan mendapatkan kenaikan pendapatan per kapita yang lebih baik (Haryanto, Sahmuddin dan Arifuddin, 2007). Oleh sebab itu seharusnya pemerintah daerah lebih berkonsentrasi terhadap pemberdayaan

35 ekonomi daerah untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi daripada sekedar mengeluarkan produk perundangan terkait dengan pajak atau retribusi. Selisih anggaran dan realisasi Pendapatan Asli Daerah (PAD) sangat mempengaruhi kinerja keuangan Pemerintah Daerah. Bila selisih PAD suatu daerah tidak menguntungkan (unfavorable) yang artinya realisasi lebih kecil daripada yang dianggarkan maka persentase PAD untuk membiayai pelayanan pembangunan rendah, sehingga persentase kemandirian daerah tersebut rendah dan sebaliknya jika selisih suatu daerah menguntungkan (favorable) yang artinya realisasi PAD lebih besar daripada yang dianggarkan maka persentase PAD untuk membiayai pelayanan pembangunan itu tinggi sehingga persentase kemandirian daerah tersebut tinggi. b. Pengaruh Dana Perimbangan terhadap Kemandirian Daerah. Menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 Pasal 1 Ayat 19 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dinyatakan bahwa: Dana Perimbangan adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam pelaksanaan desentralisasi. Realisasi pendapatan daerah lebih tinggi daripada pendapatan daerah maka akan terjadi defisit. Oleh karena itu menutupi kekurangan belanja daerah maka pemerintah pusat mentransfer dana dalam bentuk Dana Perimbangan kepada pemerintah daerah. Semakin besar Dana Perimbangan yang diterima dari pemerintah pusat akan memperlihatkan semakin kuat pemerintah daerah bergantung kepada pemerintah pusat untuk memenuhi kebutuuhan daerahnya.

36 Semakin menguntungkan (favorable) selisih anggaran dan realisasi dana perimbangan yang diterima oleh pemerintah maka pemerintah daerah semakin bergantung kepada pemerintah pusat sehingga membuat kinerja pemerintah menurun. Jika realisasi PAD lebih rendah makan akan terjadi deficit. Oleh karena itu untuk menutupi deficit pemerintah pusat mentransfer dana dalam bentuk dana perimbangan kepada pemerintah daerah, hal-hal yang diperbaiki oleh pemerintah adalah peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik yang berpengaruh terhadap kinerja (Haryanto, Sahmuddin dan Arifuddin, 2007). c. Pengaruh Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Dana Perimbangan terhadap Kemandirian Daerah. Menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 Pasal Ayat, Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah Pendapatan Asli Daerah, selanjutnya disebut PAD adalah pendapatan yang diperoleh daerah yang dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sedangkan Dana Perimbangan antar Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 Pasal 1 Ayat 19 adalah Dana Perimbangan adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada Daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam pelaksanaan desentralisasi. Untuk dapat menilai kinerja keuangan pemerintah yang efisien maka dapat dilihat dari seberapa besar Pendapatan Asli Daerah (PAD) di Daerah tersebut

37 dibandingkan dengan dana transferan dari Pemerintah Pusat (Dana Perimbangan). Jika Pendapatan Asli Daerah (PAD) lebih besar daripada Dana Perimbangan maka dapat dikatakan daerah tersebut Kinerja Keuangan efisien, karena tidak hanya mengandalkan Dana Perimbangan saja akan tetapi daerah tersebut dapat mengoptimalkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) (Haryanto, Sahmuddin dan Arifuddin, 2007) Pendapatan Asli Daerah (PAD) Dana Perimbangan H1 H3 H2 Kemandirian Daerah Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran 2.3 Hipotesis Penelitian Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian, dimana rumusan masalah penelitian telah dinyatakan dalam bentuk kalimat pertanyaan. Dikatakan sementara, karena jawaban yang diberikan baru berdasarkan pada fakta-fakta empiris yang diperoleh melalui pengumpulan data. Menurut Erwan Agus dan Dyah Ratih Sulistrastuti (2007), hipotesis adalah

38 pernyataan atau dugaan yang bersifat sementara terhadap suatu masalah penelitian yang kebenarannya masih lemah (belum tentu kebenarannya) sehingga harus diuji secara empiris. Berdasarkan kerangka pemikiran diatas, hipotesis yang akan disajikan dalam penelitian ini sebagai berikut: H 1 : Pendapatan Asli Daerah (PAD) berpengaruh terhadap Kemandirian Daerah. H 2 : H 3 : Dana Perimbangan berpengaruh terhadap Kemandirian Daerah. Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Dana Perimbangan berpengaruh secara simultan terhadap Kemandirian Daerah.uji