BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sesuatu yang sangat ironis sering terdengar dari media elektronik ataupun dapat dibaca dari media cetak tentang karakter anak sekarang yang juga merupakan peserta didik. Contohnya seperti yang tertulis dalam media cetak Suara Merdeka (http://www.merdeka.com/. Kamis, 26 Februari 2015) tentang tawuran antar kelompok pelajar yang belum dipastikan oleh pihak polisi dari sekolah mana dan penyebab tawuran tersebut belum diketahui. Tawuran pelajar ini tejadi di Pondok Labu, Jakarta Selatan. Akibat tawuran tersebut, dua siswa terkena bacok. Contoh lain dari media cetak yang sama (http://www.merdeka.com/. Sabtu, 21 Februari 2015) tentang seorang siswi SMP berinisial NY (usia 13 tahun) yang dihamili oleh kakak kelasnya sendiri yang berinisial GN (usia 15 tahun). Diketahui kalau kedua pelajar ini telah menjalin hubungan asmara sejak masih di bangku SD. Setelah kedua orang tua NY mengetahui putrinya telah mengandung 5 bulan, maka NY pun dinikahkan dengan GN, pria yang telah menghamilinya. Contoh lain tertulis dalam media cetak Padang Ekspres (http://www.koran.padek.com/. Rabu, 10 September 2014) tentang tiga orang pelajar SMA dan SMK yang tertangkap ketika sedang menikmati miras oplosan dengan teman-temannya, namun polisi hanya bisa menangkap tiga orang pelajar dan dari kesaksian ketiga pelajar ini kalau lima orang teman mereka berhasil lolos. Ketiga pelajar ini masih berpakaian seragam sekolah ketika ditangkap petugas kepolisian. Walaupun memakai seragam sekolah namun tidak ditemukan lambang sekolah, hanya ditemukan papan nama diseragam sekolah dua pelajar dan yang satunya tidak memiliki papan nama. Ketiga contoh di atas merupakan perwakilan dari banyaknya contoh kasus yang dilakukan oleh peserta didik. Dengan demikian, pemerintah merasa perlu untuk mengatasi masalah-masalah dengan cara implementasi pendidikan karakter di semua jenjang pendidikan. Bertepatan dengan peringatan Hari Pendidikan Nasional 2 Mei 2010, Mendiknas M. Nuh menyampaikan bahwa pendidikan karakter sangatlah penting, beliau mengungkapkan pendidikan karakter sebagai bagian dari upaya membangun karakter bangsa. Untuk mewujudkan manusia yang memiliki karakter yang baik untuk membangun bangsa, maka sarana yang utama yaitu pendidikan. Sehubungan dengan pembentukan karakter, salah satu 1
tujuan pendidikan nasional adalah membentuk karakter peserta didik. Undang-undang nomor 20 tahun 2003, pasal 3 berbunyi, Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Dapat dilihat bahwa diantara tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik untuk memiliki kecerdasan, kepribadian dan akhlak mulia. Amanah undang-undang tersebut bermaksud agar pendidikan tidak hanya membentuk peserta didik yang cerdas, namun juga berkepribadian atau berkarakter, sehingga nantinya akan lahir generasi bangsa yang tumbuh berkembang dengan karakter yang baik. Karakter yang baik juga merupakan syarat lulusan peserta didik setiap jenjang pendidikan yang tertuang dalam Permendiknas nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan (SKL), khususnya pada Standar Kompetensi Lulusan SMP/MTs (lampiran 1). Pendidikan dapat dilakukan dalam keluarga, sekolah dan masyarakat. Seiring makin tingginya tuntutan ekonomi yang menyibukkan orang tua, akibatnya orang tua tidak memiliki waktu yang memadai untuk mendidik dan membentuk karakter anak. Sehingga, orang tua sangat mengandalkan dan mengharapkan para guru di sekolah dapat mewakili mereka mengembangkan karakter pada anak-anaknya. Dengan demikian, peran sekolah untuk turut membangun karakter positif peserta didik semakin besar (Dumiyati, 2011). Maka menurut Koesoema (2010), jika sekolah dijiwai dengan semangat pendidikan karakter akan menjadi tempat yang efektif bagi pembentukkan individu sehingga dapat bertumbuh dengan baik di dalam lingkungannya. Tujuan utama sekolah adalah membentuk manusia yang cerdas dan berkarakter baik. Oleh karena itu, sekolah memiliki tanggung jawab besar dalam pendidikan karakter peserta didiknya. Selain itu tantangan globalisasi menjadikan pendidikan karakter menjadi bagian penting untuk mewujudkan manusia yang berkualitas. Seperti yang termuat dalam Kebijakan Nasional Pendidikan Karakter Bangsa (http://pendikar.dikti.go.id) tentang pembentukan karakter harus diaktualisasikan secara nyata dalam bentuk aksi nasional dalam rangka memantapkan landasan spiritual, moral, dan etika pembangunan bangsa sebagai upaya untuk menjaga jati diri bangsa dan memperkukuh persatuan 2
dan kesatuan bangsa dalam naungan NKRI. Pembentukan karakter bangsa harus dilakukan melalui pendekatan sistematik dan integratif dengan melibatkan keluarga; satuan pendidikan; pemerintah; masyarakat termasuk teman sebaya, generasi muda, lanjut usia, media massa, pramuka, organisasi kemasyarakatan, organisasi politik, organisasi profesi, lembaga swadaya masyarakat; kelompok strategis seperti elite struktural, elite politik, wartawan, budayawan, agamawan, tokoh adat, serta tokoh masyarakat. Adapun strategi pembangunan karakter dapat dilakukan melalui sosialisasi, pendidikan, pemberdayaan, pembudayaan, dan kerja sama dengan memperhatikan kondisi lingkungan dan kebutuhan masyarakat serta pendekatan multidisiplin yang tidak menekankan pada indoktrinasi. Dengan demikian, untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional dan membentuk karakter anak bangsa, maka Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan Nasional mencanangkan bahwa pendidikan karakter sejak tahun 2010 diterapkan di seluruh jenjang pendidikan. Dengan memberikan wewenang kepada masing-masing Dinas Pendidikan Provinsi maupun Dinas Pendidikan Kota untuk menunjuk beberapa sekolah yang dijadikan sebagai sekolah percontohan dalam implementasi pendidikan karakter disetiap jenjang pendidikan yang ada di Indonesia. Sekolah Menengah Pertama Negeri 2 Salatiga merupakan salah satu sekolah yang ditunjuk oleh Dinas Pendidikan Kota Salatiga menjadi sekolah percontohan untuk mengimplementasikan pendidikan karakter. Sejak tahun 2010, SMP Negeri 2 Salatiga telah mengimplementasikan pendidikan karakter ke semua mata pelajaran yang ada dan juga menjadikan pendidikan karakter sebagai budaya sekolah. Pengimplementasian ini dalam bentuk kantin kejujuran, kegiatan-kegiatan yang selalu dilakukan dari hari Senin sampai Sabtu. Seperti, pada setiap hari Senin dilakukan upacara bendera, hari Selasa sampai dengan hari Sabtu pengibaran bendera dan penghormatan bendera tanpa upacara, diucapkan salam ABITA (Aku Bangga Indonesia Tanah Airku) dan menyanyi lagu-lagu nasional. Selain itu, juga dilakukan kegiatan rohani, seperti, pada hari Senin, Selasa, Rabu, Kamis, dan Sabtu bagi siswa dan guru beragama Islam melakukan pembacaan Asma ul usna, dan bagi yang beragama Kristen dilakukan doa pagi. Hari Jumat dilakukan Shalat Jumat bersama dan pembacaan ayat suci Al-quran bagi beragama Islam, bagi beragama Kristen dilakukan persekutuan doa dan melakukan kajian Alkitab. Hari Sabtu pagi diadakan kegiatan bersih-bersih dan olahraga. Dengan 3
demikian, seperti yang dicatat pada media cetak Sindo (7 November 2013) tentang satuan pendidikan di Jawa Tengah terbaik dalam mengimplementasikan nilai-nilai pendidikan karakter di sekolah, maka SMP Negeri 2 Salatiga berada pada juara ketiga. Alasan penulis memilih SMP Negeri 2 Salatiga, karena SMP tersebut telah mengimplementasikan pendidikan karakter ke dalam budaya sekolah, integrasi nilai-nilai pendidikan karakter ke semua mata pelajaran, dan juga ke dalam kegiatan ekstrakurikuler. Maka, penulis berkeinginan untuk mengevaluasi implementasi pendidikan karakter, hasil yang dicapai, serta faktor-faktor yang melatarbelakangi hasil implementasi pendidikan karakter di SMP tersebut. Dengan demikian, model evaluasi yang dipakai penulis adalah model Goal Free Evaluation. Karena, pendidikan karakter di SMP Negeri 2 Salatiga tidak berupa sebuah program yang berdiri sendiri tetapi hanya diintegrasi ke dalam budaya sekolah, mata pelajaran dan kegiatan ekstrakurikuler. Sehingga, dengan model Goal Free Evaluation penulis akan melihat hasil nyata dari implementasi pendidikan karakter tanpa perlu melihat tujuan yang ditetapkan. Dengan latar belakang ini, maka penulis tertarik melakukan penelitian dengan judul, Evaluasi Implementasi Pendidikan Karakter di SMP Negeri 2 Salatiga. 1.2. Masalah Penelitian Bertolak dari latar belakang yang ada dan model evaluasi yang hendak digunakan, maka dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut: 1. Bagaimanakah implementasi pendidikan karakter di SMP Negeri 2 Salatiga? 2. Apa hasil implementasi pendidikan karakter di SMP Negeri 2 Salatiga? 3. Apa saja faktor yang melatarbelakangi hasil implementasi pendidikan karakter di SMP Negeri 2 Salatiga? 1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas maka penelitian ini bertujuan: 1. Mengevaluasi implementasi pendidikan karakter di SMP Negeri 2 Salatiga. 2. Mengevaluasi hasil implementasi pendidikan karakter di SMP Negeri 2 Salatiga. 4
3. Mengevaluasi faktor-faktor yang melatarbelakangi hasil implementasi pendidikan karakter di SMP Negeri 2 Salatiga. 1.4. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun praktis. 1. Manfaat Teoritis Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya ilmu pendidikan di Program Pasca Sarjana Magister Manajemen Pendidikan khususnya pada manajemen kurikulum; memberi gambaran tentang implementasi pendidikan karakter di sekolah. 2. Manfaat Praktis. Secara praktis, penelitian ini dapat bermanfaat bagi: a. Hasil penelitian ini diharapkan menjadi sebuah pertimbangan bagi SMP Negeri 2 Salatiga untuk melanjutkan atau menghentingkan atau melanjutkan dengan perbaikan guna menunjang mutu sekolah. b. Sebagai bahan rekomendasi kepada Dinas Pendidikan Kota Salatiga dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan sekolah-sekolah di Kota Salatiga. 5