BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berdasarkan data World Health Organitation (2010), setiap tahunnya terdapat 15 juta orang di seluruh dunia menderita stroke. Diantaranya ditemukan jumlah kematian sebanyak 5 juta orang dan 5 juta orang lainnya mengalami kecacatan yang permanen. Penyakit stroke telah menjadi masalah kesehatan yang menjadi penyebab utama kecacatan pada usia dewasa dan merupakan salah satu penyebab terbanyak di dunia. Prevalensi penyakit stroke di Indonesia semakin meningkat seiring bertambahnya umur. Kasus stroke tertinggi yang terdiagnosis tenaga kesehatan adalah usia 75 tahun keatas (43,1%) dan terendah pada kelompok usia 15-24 tahun yaitu sebesar 0,2%. Prevalensi stroke berdasarkan jenis kelamin lebih banyak laki-laki (7,15%) di bandingkan dengan perempuan (6,8%). Berdasarkan tempat tinggal, prevalensi stroke di perkotaan lebih tinggi (8,2%) dibandingkan dengan daerah pedesaan (5,7%) (Riskesdas, 2013). Data yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Jawa Tengah tahun 2012, prevalensi stroke hemoragik di Jawa Tengah tahun 2012 adalah 0,07% lebih tinggi dari tahun 2011 (0,03%). Pada tahun 2012 prevelensi penderita stroke hemoragik yang tertinggi di Jawa Tengah adalah Kabupaten Kudus sebesar (1,84%) (Profil Dinkes, 2012). 1
2 Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Kabupaten Banyumas pada tahun 2013, penderita stroke sebanyak 330 orang penderita. Data yang diperoleh dari Puskesmas Kalibagor tahun 2014 didapatkan hanya jumlah penderita Hipertensi yang beresiko mengalami stroke pada tahun 2014 sebanyak 426 orang penderita hipertensi yang beresiko mengalami stroke. Sedangkan data yang diperoleh dari Kesehatan Desa Srowot pada tahun 2016, penderita stroke hanya 1 orang penderita. Sebanyak 52% pasien stroke mengalami kecacatan permanen, sebanyak 23%, mengalami kecacatan ringan dan sebanyak 25% dapat menghindari dari kecacatan setelah melakukan rehabilitasi untuk menghindari kecacatan pada pasien stroke langkah utama untuk mencegahnya adalah dengan melakukan rehablitasi (Fadilah, 2009). Salah satu rehabilitasi yang dapat diberikan pada pasien stroke adalah dengan latihan rentang gerak atau di sebut dengan Latihan ROM (Range of motion), yang dilakukan dengan cara klien menggunakan lengan atau tungkai yang berlawanan dan lebih kuat untuk menggerakkan setiap sendi pada ekstremitas yang tidak mampu bergerak aktif (Berman, 2009) Latihan ROM adalah latihan gerakan sendi yang memungkinkan terjadinya kontraksi dan peregangan otot, di mana klien menggerakkan masing-masing persendiannya sesuai gerakan normal baik secara aktif ataupun pasif. Melakukan mobilisasi persendian dengan latihan ROM aktif (Active Range Of Motion) dapat mencegah berbagai komplikasi seperti infeksi saluran perkemihan, pneumonia aspirasi, nyeri karena tekanan,
3 kontrakur, tromboplebitis, dekubitus, sehingga mobilitas dini penting dilakukan secara rutin dan kontinue. Memberikan latihan ROM aktif (Active Range Of Motion) secara dini dapat meningkatkan kekuatan otot dapat menstimulasi gerak sendi. Latihan ROM aktif (Active Range Of Motion) sangat penting dilakukan pada pasien yang mengalami stroke, di antaranya yaitu untuk meningkatkan kekuatan otot, menentukan nilai kemampuan sendi tulang dan otot dalam melakukan pergerakan, memperbaiki tonus otot, memperbaiki toleransi otot untuk latihan, mencegah terjadinya kekakuan sendi, serta memperlancar sirkulasi darah (Potter & Perry 2006). Kekuatan otot merupakan kemampuan otot untuk berkontraksi dan menghasilkan gaya. Ada banyak hal yang bisa mempengaruhi kekuatan otot, seperti cedera, operasi, atau penyakit tertentu. Malas berolahrga juga dapat menurunkan kekuatan otot yang dapat membuat seseorang rentan mengalami cedera saat beraktivfitas (Carpenito, 2009). Penelitian yang dilakukan oleh Marlina (2011), dengan judul pengaruh latihan ROM (range of motion) terhadap peningkatan kekuatan otot pada pasien stroke iskemik yang melibatkan 50 responden pasien stroke iskemik yang terdiri dari 24 grup control dan 25 grup intervensi yang dilaksanakan di ruang staf RSUD Dr Zaenal Abidin Banda Aceh menunjukkan nilai rata-rata kekuatan otot responden pada latihan ROM sebelum intervensi didapat rata-rata 4,60 dengan standar devisiasi 0,81. Dari penelitian yang sudah di lakukan oleh Marlina dapat disimpulkan
4 bahwa ada pengaruh yang bermakna kekuatan otot sebelum dan sesudah tindakan ROM pada pasien stroke iskemik. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang dipaparkan mengenai kasus pada penyakit stroke, rumusan masalah yang dapat di temukan adalah : 1. Bagaimana gambaran asuhan keperawatan pada pasien dengan penyakit stroke? 2. Apakah penerapan latihan ROM (Range Of Motion) pada pasien stroke dapat meningkatkan kekuatan otot. C. Tujuan Studi Kasus Tujuan studi kasus yang diharapkan berdasarkan rumusan masalah yang ada yakni : 1. Menggambarkan asuhan keperawatan pada pasien penyakit stroke dengan kelemahan otot ekstremitas. 2. Mengetahui peningkatan kekuatan otot pada pasien stroke dengan diberikan latihan ROM (Range Of Motion). 3. Mengetahui peningkatan kekuatan genggam tangan pada pasien dengan penyakit stroke dengan diberikan latihan genggam tangan. D. Manfaat Studi Kasus 1. Bagi Masyarakat Membantu penerapan latihan ROM aktif (Active Range Of Motion) pada pasien stroke untuk mencegah adanya kekakuan dan kelemahan otot.
5 2. Bagi Pengembang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Keperawatan Menambah keluasan ilmu yang diterapkan dalam tindakan keperawatan dengan menerapkan latihan ROM aktif (Active Range Of Motion) pada pasien stroke. 3. Bagi Penulis Menambah wawasan serta pengetahuan tentang penyakit stroke dengan mengaplikasikan tindakan proses keperawatan yang berbasis ilmu keperawatan dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien dengan hambatan mobilitas fisik untuk meningkatkan kekuatan dan kelemahan otot melalui latihan ROM aktif (Active Range Of Motion).