BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan salah satu sunnatullah yang berlaku untuk semua

BAB I PENDAHULUAN. sendiri, tetapi belakangan ini budaya Indonesia semakin menurun dari sosialisasi

BAB I PENDAHULUAN. dan perilaku hidup serta perwujudannya yang khas pada suatu masyarakat. Hal itu

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA. Perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Perkawinan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. pengaturan-nya. Namun berbeda dengan mahluk Tuhan lainnya, demi menjaga

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Negara Indonesia merupakan negara hukum yang berasaskan Pancasila

BAB I PENDAHULUAN. pulau dan bersifat majemuk. Kemajemukan itu berupa keanekaragaman ras,

BAB IV SISTEM PERNIKAHAN ADAT MASYARAKAT SAD SETELAH BERLAKUNYA UU NO. 1 TAHUN A. Pelaksanaan Pernikahan SAD Sebelum dan Sedudah UU NO.

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan kebutuhan kodrat manusia, setiap manusia

I. PENDAHULUAN. sebagaimana yang telah diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945

BAB I PENDAHULUAN. terkecil, hidup bersama itu dimulai dengan adanya sebuah keluarga,

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perempuan pastilah yang terbaik untuk mendampingi lelaki, sebagaimana

BAB I PENDAHULUAN. jalan pernikahan. Sebagai umat Islam pernikahan adalah syariat Islam yang harus

I. PENDAHULUAN. Sebagai makhluk sosial, manusia akan selalu membutuhkan orang lain untuk

BAB I PENDAHULUAN. melangsungkan pernikahan dalam bentuk Ijab dan Qabul. Dalam pernikahan yang

TINJAUAN YURIDIS DAMPAK PERKAWINAN BAWAH TANGAN BAGI PEREMPUAN OLEH RIKA LESTARI, SH., M.HUM 1. Abstrak

BAB I PENDAHULUAN. perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama

I. PENDAHULUAN. Suku Lampung terbagi atas dua golongan besar yaitu Lampung Jurai Saibatin dan

b. Hutang-hutang yang timbul selama perkawinan berlangsung kecuali yang merupakan harta pribadi masing-masing suami isteri; dan

TINJAUAN TEORITIS ASAS MONOGAMI TIDAK MUTLAK DALAM PERKAWINAN. Dahlan Hasyim *

beragam adat budaya dan hukum adatnya. Suku-suku tersebut memiliki corak tersendiri

BAB 1 PENDAHULUAN. menimbulkan akibat lahir maupun batin baik terhadap keluarga masing-masing

BAB I PENDAHULUAN. mahluk Allah SWT, tanpa perkawinan manusia tidak akan melanjutkan sejarah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berhubungan dengan manusia lain. Timbulnya hubungan ini didukung oleh

BAB I PENDAHULUAN. kelaminnya (laki-laki dan perempuan), secara alamiah mempunyai daya tarikmenarik

Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 Terhadap Ketentuan Pasal 2 Ayat (2) Undang-Undang Perkawinan.

BAB I PENDAHULUAN. hubungan biologis antara laki-laki dan perempuan untuk meneruskan keturunan. Hal

I. PENDAHULUAN. mempunyai tata cara dan aspek-aspek kehidupan yang berbeda-beda. Oleh

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan merupakan suatu ikatan yang sah untuk membina rumah tangga dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. keluarga yang bahagia dan kekal sesuai dengan Undang-undang Perkawinan. Sudah

BAB5 PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG PERKAWINAN NOMOR 1 TAHUN 1974.

BAB 1 PENDAHULUAN. kehidupan masyarakat Batak Simalungun. Soerbakti (2000:65) mengatakan,

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Perkawinan ini menjadi sebuah ikatan antara seorang laki-laki dan seorang

BAB 1 PENDAHULUAN. dan perempuan dari kedua jenis tersebut Allah menjadikan mereka saling

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan manusia. Dasar-dasar perkawinan dibentuk oleh unsur-unsur alami dari

BAB I PENDAHULUAN. perkawinan di atas adalah merupakan rumusan dari Bab I Dasar Perkawinan pasal

BAB 1 PENDAHULUAN. sejak jaman dahulu hingga saat ini. Karena perkawinan merupakan suatu

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.

BAB I PENDAHULUAN. Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang majemuk yang. terdiri dari ribuan pulau-pulau dimana masing-masing penduduk dan suku

BAB I PENDAHULUAN. Manusia diciptakan Tuhan Yang Maha Esa secara berpasangpasangan. yaitu laki-laki dan perempuan. Sebagai makhluk sosial, manusia

BAB II PERKAWINAN DAN PUTUSNYA PERKAWINAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. aturan agama dan undang-undang yang berlaku.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia sebagai salah satu negara yang sangat luas dan memiliki

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan pada hakikatnya secara sederhana merupakan bentuk

BAB I PENDAHULUAN. mana masyarakat itu berada serta pergaulan masyarakatnya. 2 Kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia dalam setiap perjalanan hidupnya, sudah pasti memiliki

BAB 1 PENDAHULUAN. Sistem perkawinan exogami merupakan sistem yang dianut oleh

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN. 1. Pengertian perkawinan menurut Undang-Undang Perkawinan

Nikah Sirri Menurut UU RI Nomor 1 Tahun 1974 Wahyu Widodo*

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang

BAB II KONSEP PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN sembarangan. Islam tidak melarangnya, membunuh atau mematikan nafsu

BAB I PENDAHULUAN. Hukum Perdata dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

2002), hlm Ibid. hlm Komariah, Hukum Perdata (Malang; UPT Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang,

H.M.A Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h.6

BAB I PENDAHULUAN. Hidup bersama di dalam bentuknya yang terkecil itu dimulai dengan adanya

BAB I PENDAHULUAN. yang ditakdirkan untuk saling berpasangan dan saling membutuhkan 1. Hal

Oleh : TIM DOSEN SPAI

BAB I PENDAHULUAN. keanekaragaman adat istiadat dalam pelaksanaan perkawinan. Di negara. serta dibudayakan dalam pelaksanaan perkawinan maupun upacara

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. Agama Republik Indonesia (1975:2) menyatakan bahwa : maka dilakukan perkawinan melalui akad nikah, lambang kesucian dan

I. PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan kebutuhan hidup seluruh umat manusia sejak zaman. dibicarakan di dalam maupun di luar peraturan hukum.

BAB I PENDAHULUAN. Aristoteles, seorang filsuf yunani yang terkemuka pernah berkata bahwa

BAB I PENDAHULUAN. satu dengan yang lainnya untuk dapat hidup bersama, atau secara logis

BAB III KONSEP MAQASID ASY-SYARI AH DAN PENCEGAHAN TERHADAP NIKAH DI BAWAH TANGAN

BAB V PENUTUP. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai perkawinan poligami

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Maha Esa kepada setiap makhluknya. Kelahiran, perkawinan, serta kematian

TINJAUAN HUKUM TERHADAP HAK DAN KEWAJIBAN ANAK DAN ORANG TUA DILIHAT DARI UNDANG UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN HUKUM ISLAM

BAB I PENDAHULUAN. oleh karena itu manusia wajib berdoa dan berusaha, salah satunya dengan jalan

BAB I PENDAHULUAN. Allah menciptakan makhluk-nya di dunia ini berpasang-pasangan agar mereka bisa

SKRIPSI PERTIMBANGAN HAKIM MENETAPKAN WALI ADHAL DALAM PERKAWINAN BAGI PARA PIHAK DI PENGADILAN AGAMA KELAS 1A PADANG

BAB I PENDAHULUAN. umat manusia untuk menikah, karena menikah merupakan gharizah insaniyah (naluri

BAB I PENDAHULUAN. merupakan hak asasi bagi setiap orang, oleh karena itu bagi suatu Negara dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Keluarga mempunyai peranan yang penting dalam kehidupan manusia

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, suami istri memikul suatu tanggung jawab dan kewajiban.

BAB I PENDAHULUAN. Manusia didalam perjalanannya di dunia mengalami tiga peristiwa

BAB I PENDAHULUAN. Pernikahan merupakan suatu institusi sosial yang diakui disetiap kebudayaan

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 1 TAHUN 1974 (1/1974) Tanggal: 2 JANUARI 1974 (JAKARTA)

BAB I PENDAHULAUAN. budaya yang mewarnai kehidupan bangsa ini. Dalam mengembangkan kebudayaan di

BAB IV ANALISIS HUKUM TERHADAP PERKAWINAN DI BAWAH UMUR TANPA DISPENSASI KAWIN PENGADILAN AGAMA

PELAKSANAAN PERKAWINAN DENGAN WALI HAKIM DI KANTOR URUSAN AGAMA KECAMATAN GROGOL KABUPATEN SUKOHARJO

IMPLIKASI PERKAWINAN DI BAWAH TANGAN DALAM PRESFEKTIF HUKUM ISLAM DAN UU NO. 1 TAHUN 1974

IMPLEMENTASI PENGENAAN TARIF AKAD NIKAH NASKAH PUBLIKASI. derajat S-I Program Studi Pendidikan. Pancasila dan Kewarganegaraan

BAB I PENDAHULUAN. Untuk menjaga kedudukan manusia sebagai makhluk yang terhormat maka diberikan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Permasalahan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Berdasarkan Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian perkawinan menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata,

BAB I PENDAHULUAN. Demikian menurut pasal 1 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang. manusia dalam kehidupannya di dunia ini. 1

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1. Pendahuluan. kepada manusia lainnya. Karena itu, manusia disebut sebagai makhluk sosial. Manusia

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1974 Tentang perkawinan BAB I DASAR PERKAWINAN. Pasal 1. Pasal 2

PUTUSAN FASAKH ATAS CERAI GUGAT KARENA SUAMI MURTAD (Studi Kasus di Pengadilan Agama Klaten)

TINJAUAN YURIDIS ANAK DILUAR NIKAH DALAM MENDAPATKAN WARISAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan Negara yang mempunyai banyak pulau serta keragaman

BAB I PENDAHULUAN. Manusia pada kodratnya adalah sebagai makhluk sosial (zoon politicon)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

MENGENAL PERKAWINAN ISLAM DI INDONESIA Oleh: Marzuki

I. PENDAHULUAN. satu suku di Indonesia yang bertempat tinggal di ujung selatan Pulau Sumatera.

FH UNIVERSITAS BRAWIJAYA

BAB 1 PENDAHULUAN. 1960), hal Sayuti Thalib, Hukum Keluarga Indonesia, Cet. 5, (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1986), hal. 48.

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan merupakan suatu ikatan yang sah untuk membina rumah tangga dan keluarga sejahtera yang bahagia di mana kedua suami istri memikul amanah dan tanggung jawab. Berdasarkan Undang-undang No.1 Tahun 1974 dikatakan bahwa perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Berlakunya Undang-undang No.1 Tahun 1974, menimbulkan unifikasi hukum dalam perkawinan di Indonesia, dimana perkawinan mempunyai hubungan yang sangat erat dengan agama atau kerohanian karena perkawinan bukan saja mengutamakan unsur jasmani tetapi unsur rohani juga memegang peranan penting. Tujuan perkawinan dalam Undang-undang No.1 Tahun 1974 adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Oleh karena itu suami istri perlu saling membantu dan melengkapi, agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya serta membantu mencapai kesejahteraan spiritual dan material (Prakoso dan Murtika, 1987:13). Sadnyini (2015) dalam jurnalnya yang berjudul Woman Marriage with Keris in Three Dimension Approaches, mengemukakan bahwa Perkawinan sebagai salah satu tahapan penting dalam kehidupan manusia memiliki landasan filosofis, yuridis, dan sosiologis. Tiga komponen menjadi dasar untuk pelaksanaan perkawinan hukum adat, dengan tujuan agar pelaksanaan perkawinan seperti yang diharapkan. Landasan filosofis pernikahan didasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan nilai-nilai agama, sebagai penerapan landasan filosofis, perkawinan sah jika dilakukan sesuai agama dan kepercayaan. Dasar yuridis adalah Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, hukum peradilan formal yang berlaku adalah hukum masing-masing agama dan keyakinan untuk masing-masing pengikutnya. Peraturan lain yang mengatur pernikahan yang sejauh ini diatur dalam Undang-undang No.1 Tahun 1974 dinyatakan batal demi hukum. Tujuan dari peraturan lainnya adalah ketentuan adat, sehingga ketentuan yang tidak sesuai 1

2 dengan Undang-undang No.1 Tahun 1974 menjadi nol, tidak lagi berlaku. Asumsi seperti itu hanya terkait dengan ketentuan yuridis formal, sosiologis, adat yang tidak sesuai masih berlaku di masyarakat. Tetapi hukum adat sesuai dengan Undangundang No.1 Tahun 1974 diizinkan hidup sebagai nilai-nilai kearifan lokal. Dasar sosiologis perkawinan hukum adat menerima pengakuan dari komunitas Sahnya suatu perkawinan ditinjau dari Undang-undang Perkawinan Nasional yaitu Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Sahnya suatu perkawinan itu ditentukan oleh aturan agama dan kepercayaan mereka yang melakukan perkawinan, apabila suatu perkawinan yang dilakukan bertentangan dengan ketentuan agama dan kepercayaannya, dengan sendirinya menurut hukum perkawinan belum sah dan tidak mempunyai akibat hukum sebagai ikatan perkawinan. Sahnya perkawinan menurut Undang-undang No.1 Tahun 1974 pasal 2 berbunyi 1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. 2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Penjelasan pasal 2 ayat (1) dikatakan bahwa tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu, sesuai dengan Undangundang Dasar 1945. Hukum masing-masing agama dan kepercayaannya yang dimaksud itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak ditentukan lain dalam Undangundang tersebut. Undang-undang Perkawinan telah menetapkan dasar dan syarat yang harus dipenuhi dan merupakan pencapaian esensi dari suatu perkawinan. Salah satunya yaitu tercantum dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang berbunyi: Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita mencapai umur 16 (enam belas) tahun. Standar paling utama dalam pemilihan pasangan pernikahan adalah bahwa calon pasangan harus Muslim, apakah sebelumnya mereka berasal dari agama lain atau tidak. Di Indonesia, ada perbedaan pendapat tentang apakah pernikahan dengan orang yang berkonversi diperbolehkan atau tidak. Beberapa orang menganggap bahwa tidak peduli apa agama sebelumnya, pernikahan dilarang. Orang

3 lain menganggap bahwa selama non-muslim masuk Islam, pernikahan diperbolehkan (Idrus, 2004:3). Syarat sahnya perkawinan menurut Undang-undang No.1 Tahun 1974 dalam pasal 6 berbunyi: 1. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai. 2. Untuk melangsungkan perkawinan seorang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat ijin kedua orang tua. 3. Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka ijin dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya. 4. Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka ijin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturuna lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya. 5. Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam ayat (2), (3), dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan ijin setelah lebih dulu mendengar orang-orang tersebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini. 6. Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain. Perkawinan menurut hukum adat di Indonesia bukan hanya berarti sebagai perikatan perdata, tetapi juga merupakan perikatan adat sekaligus merupakan perikatan kekerabatan dan ketetanggaan. Terjadinya suatu ikatan perwakinan bukan semata-mata membawa akibat terhadap hubungan keperdataan, seperti hak dan kewajiban suami istri, harta bersama, kedudukan anak, hak dan kewajiban orang tua, tetapi juga menyangkut hubungan adat istiadat kewarisan, kekeluargaan, kekerabatan, ketetanggan serta menyangkut upacara-upacara adat dan keagamaan. Perkawinan juga menyangkut kewajiban mentaati perintah dan larangan keagamaan, baik dalam hubungan manusia dengan Tuhannya (ibadah) maupun hubungan dengan sesama manusia (muamalah) dalam pergaulan hidup agar selamat di dunia dan akhirat (Hadikusuma, 1990:8-9).

4 Perkawinan dalam arti perikatan adat ialah perkawinan yang mempunyai akibat hukum terhadap hukum adat yang berlaku dalam masyarakat bersangkutan. Akibat hukum ini telah ada sebelum perkawinan terjadi, yaitu misalnya dengan adanya hubungan pelamaran yang merupakan rasan sanak (hubungan anak anak, anak bujang dan gadis) dan rasan tuha (hubungan antara orang tua keluarga dari para calon suami istri). Menurut hukum adat di Indonesia perkawinan itu berbentuk dan bersistem. Berikut adalah bentuk-bentuk perkawianan di Indonesia pada umumnya. Pertama, perkawinan jujur dimana pelamaran dilakukan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan dan setelah perkawinan istri mengikuti tempat kedudukan dan kediaman suami (Batak, Lampung Bali). Kedua, perkawinan semanda dimana pelamaran dilakukan oleh pihak perempuan kepada pihak laki-laki dan setelah perkawinan suami mengikuti tempat kedudukan dan kediaman istri (Minangkabau, Semendo, Sumatera Selatan). Ketiga, perkawinan bebas (Jawa) dimana pelamaran dilakukan oleh pihak pria dan setelah perkawinan kedua suami istri bebas menentukan tempat kedudukan dan kediaman atas kehendak mereka (Hadikusuma, 1990:9-10). Indonesia merupakan negara majemuk yang terdiri dari beragam ras, suku, etnis, agama, maupun kebudayaan khususnya budaya perkawinan. Hampir setiap daerah di seluruh Indonesia memiliki tata cara adat perkawinan yang berbeda antara masyarakat adat satu berbeda dengan masyarakat adat lain, antara suku bangsa satu berbeda dengan suku bangsa yang lain. Budaya perkawinan dan aturan yang berlaku pada suatu masyarakat atau bangsa tidak terlepas dari pengaruh budaya dan lingkungan dimana masyarakat itu berada. Ia dipengaruhi oleh pengetahuan, pengalaman, kepercayaan dan agama yang dianut oleh masyarakat yang bersangkutan. Salah satunya ialah budaya perkawinan yang ada pada Suku Sasak Dusun Sade Desa Rembitan Kecamatan Pujut Kabupaten Lombok Tengah. Menurut Soepomo (1987:68) dalam jurnal yang berjudul Dynamics of Ownership Rights of Land Indigenous/Marga in the Community Batak Toba, menyatakan bahwa adanya pemberlakuan nilai-nilai hukum adat dalam sistem hukum Indonesia dapat dilihat dari dua hal, yaitu pengakuan negara untuk berlakunya hukum adat dan realitas masyarakat yang masih berpegang pada tradisional suasana yang berlaku di

5 masyarakat. Secara umum, hidup bersama dalam masyarakat adat agama, komunitas, otoritas dan penunjukan pemerintahan oleh rakyat. Tradisi perkawinan pada Suku Sasak Dusun Sade Desa Rembitan Kecamatan Pujut Kabupaten Lombok Tengah berbeda dengan tradisi perkawinan pada umumnya. Terdapat 2 (dua) jenis perkawinan nyongkolan yang ada pada masyarakat Suku sasak dusun sade yakni kawin culik dan kawin lari merariq. Apabila pada daerah lain dikenal dengan prosesi peminangan atau melamar sebelum menikahi calon istri maupun suami, maka hal tersebut tidak berlaku pada masyarakat Suku Sasak Dusun Sade. Meminang atau melamar bakal calon istri dianggap sebagai sebuah penghinaan terhadap keluarga calon istri. Teruna (laki-laki) apabila ingin menikahi dedara (perempuan) maka kewajibannya yaitu harus menculik dan/atau membawa lari si gadis dengan syarat yang bisa dikatakan mudah yaitu gadis tersebut harus sudah bisa menenun, seperti dikatakan Platt dalam jurnalnya yang berjudul Marriage, Gender, and Islam in Indonesia (Woman Negotiating Informal Marriage, Divorce, and Desire) bahwasannya tidaklah mengherankan bahwa orang Indonesia khususnya wilayah Lombok, yang terletak di provinsi Nusa Tenggara Barat perkawinan dini khususnya pihak perempuan menjadi sangat wajar terjadi terutama di daerah pedesaan, hal itu dikarenakan adanya anggapan bahwa perempuan hanya berperan sebagai istri dan ibu, jadi tidak perlu usia yang cukup serta berpendidikan ketika akan melangsungkan perkawinan. Upacara maupun tahapan-tahapan sebelum perkawinan maupun pada saat perkawinan semua murni dilakukan berdasarkan ketentuan adat. Sahnya suatu perkawinan ditinjau dari hukum perdata, apabila perkawinan itu sudah dicatat atau didaftarkan pada kantor Catatan Sipil. Selama perkawinan itu belum terdafatar, maka perkawinan itu belum dianggap sah menurut hukum, walaupun telah memenuhi prosedur atau ketentuan agama. Apabila ditinjau dari segi agama, pencatatan perkawinan hanyalah sebuah perbuatan administrasi dan tidak menentukan sah atau tidaknya sebuah perkawinan. Masyarakat Suku Sasak Dusun Sade Desa Rembitan Kecamatan Pujut Kabupaten Lombok Tengah tidak mengenal adanya pencatatan perkawinan. Apabila ada seseorang yang mau menikah hanya memberi tahu kepada kepala adat kemudian segala proses dilakukan sesuai dengan

6 ketentuan adat yang berlaku. Hal tersebut bukanlah semata-mata dikatakan melanggar hukum karena sahnya suatu perkawinan, sebagaimana dengan tegas dinyatakan oleh Undang-undang No.1 tahun 1974 pada pasal 2 bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut masing-masing agama dan kepercayaan itu (Prakoso dan Murtika,1987:21). Masyarakat Suku Sasak Dusun Sade Desa Rembitan Kecamatan Pujut Kabupaten Lombok Tengah seluruhnya memeluk agama islam, tidak jarang tradisitradisi yang dilakukan oleh Suku Sasak ini cenderung bertolak belakang dengan aturan yang ada pada hukum islam. Salah satunya yaitu perkawinan yang ada pada Suku Sasak Sade. Berdasarkan hukum islam perkawinan dikatakan sah apabila dilakukan menurut perkawinan islam. Suatu akad perkawinan itu harus memenuhi rukun dan syarat perkawinan yaitu adanya calon mempelai laki dan perempuan, wali, dua orang saksi laki-laki dan ijab qabul. Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam, setiap perkawinan haruslah dicatat. Pencatatan perkawinan tersebut dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah (PPN), yang selanjutnya diberi akta nikah sebagai bukti adanya perkwainan. Namun, hal tersebut tidak berlaku bagi masyarakat Suku Sasak Sade Desa Rembitan Kecamatan Pujut Kabupaten Lombok. Hukum perkawinan pada Suku Sasak Dusun Sade Desa Rembitan Kecamatan Pujut Kabupaten Lombok Tengah merupakan masalah aktual yang tidak hentihentinya diperbincangkan dan dipersoalkan. Sejak dahulu hingga sekarang meskipun seluruh masyarakatnya beragama islam namun yang berlaku atau hukum pokoknya adalah berdasarkan adat. Beragamnya sistem perkawinan di Indonesia menimbulkan akibat yang berbeda pula. Intinya hukum perkawinan disesuaikan dengan adat dan kebudayaan masing-masing daerah dengan kelebihan dan kekurangan masingmasing. Perkawinan sangat erat kaitannya dengan salah satu mata kuliah pada Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Surakarta yaitu hukum adat yang juga sebagai pengantar dalam memahami berbagai sistem kebudayaan serta adat yang berlaku pada masyarakat di seluruh Indonesia. Berdasarkan uraian tersebut penulis tertarik untuk mengkaji dan menganalisa lebih rinci mengenai tradisi kawin culik dan

7 kawin lari pada Suku Sasak Dusun Sade Desa Rembitan Kecamatan Pujut Kabupaten Lombok Tengah ke dalam bentuk skripsi untuk memenuhi tugas akhir kuliah dengan judul Tradisi Kawin Culik dan Kawin Lari pada Suku Sasak Dusun Sade Desa Rembitan Kecamatan Pujut Kabupaten Lombok. B. Perumusan Masalah Perumusan masalah merupakan bagian terpenting yang harus ada dalam penelitian. Setiap peneliti sebelum melakukan penelitian harus mengetahui terlebih dahulu pokok permasalahan yang ada. Dengan adanya perumusan masalah diharapkan proses pemecahan permasalahan dapat terinci secara jelas, lebih terarah, dan terfokus. Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas maka dapat dirumuskan suatu permasalahan sebagai berikut. 1. Faktor apa yang melatarbelakangi adanya kawin culik pada Suku Sasak Dusun Sade Desa Rembitan Kecamatan Pujut Kabupaten Lombok Tengah? 2. Faktor apa yang melatarbelakangi adanya kawin lari pada Suku Sasak Dusun Sade Desa Rembitan Kecamatan Pujut Kabupaten Lombok Tengah? 3. Mengapa tradisi kawin culik pada Suku Sasak Dusun Sade Desa Rembitan Kecamatan Pujut Kabupaten Lombok Tengah masih dipertahankan di tengah era globalisasi seperti saat ini? 4. Mengapa tradisi kawin lari pada Suku Sasak Dusun Sade Desa Rembitan Kecamatan Pujut Kabupaten Lombok Tengah masih dipertahankan di tengah era globalisasi seperti saat ini? C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian merupakan titik pijak dalam merealisasikan aktivitas yang akan dilaksanakan, sehingga harus dirumuskan secara jelas. Tujuan penelitian berfungsi sebagai acuan pokok terhadap masalah yang akan diteliti. Dengan adanya tujuan penelitian, maka suatu masalah yang akan diteliti dapat dirumuskan secara jelas dan terarah serta akan mempermudah dalam mencari data sampai pada langkah pemecahan permasalahannya. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

8 1. Untuk menganalisa dan mengidentifikasi latar belakang adanya kawin pada Suku Sasak Dusun Sade Desa Rembitan Kecamatan Pujut Kabupaten Lombok Tengah. 2. Untuk menganalisa dan mengidentifikasi latar belakang adanya kawin lari pada Suku Sasak Dusun Sade Desa Rembitan Kecamatan Pujut Kabupaten Lombok Tengah. 3. Untuk mengkaji tradisi kawin culik pada Suku Sasak Dusun Sade Desa Rembitan Kecamatan Pujut Kabupaten Lombok Tengah masih dipertahankan di tengah era globalisasi seperti saat ini. 4. Untuk mengkaji tradisi kawin lari pada Suku Sasak Dusun Sade Desa Rembitan Kecamatan Pujut Kabupaten Lombok Tengah masih dipertahankan di tengah era globalisasi seperti saat ini. D. Manfaat atau Kegunaan Penelitian Dalam penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun praktis sebagai berikut. 1. Manfaat Teoritis Hasil penelitian mengenai tradisi kawin culik dan kawin lari Suku Sasak Dusun Sade Desa Rembitan Kecamatan Pujut Kabupaten Lombok Tengah dapat menambah informasi serta pengetahuan masyarakat. 2. Manfaat Praktis a. Menjelaskan tradisi kawin culik dan kawin lari Suku Sasak Dusun Sade Desa Rembitan Kecamatan Pujut Kabupaten Lombok Tengah. b. Menjelaskan mengenai latar belakang adanya kawin culik dan kawin lari Suku Sasak Dusun Sade Desa Rembitan Kecamatan Pujut Kabupaten Lombok Tengah. c. Memberi gambaran mengenai dipertahankannya tradisi kawin culik dan kawin lari Suku Sasak Dusun Sade Desa Rembitan Kecamatan Pujut Kabupaten Lombok Tengah