PENDAHULUAN Latar Belakang Sukun (Artocarpus altilis) merupakan salah satu tanaman penghijauan yang tersebar merata di seluruh wilayah Indonesia. Prediksi hasil panen sukun dari bibit sukun yang dibagikan oleh Departemen Kehutanan mulai tahun 2010 hingga 2014 (dengan asumsi pohon sukun berbuah setelah 5 tahun) adalah 22 483 574 ton buah sukun atau setara dengan 5 620 893 ton tepung sukun (dengan asumsi produksi tepung sukun setara dengan 25% dari berat panen) (Ditjen RLPS 2009). Potensi sukun yang sangat besar tersebut dapat digunakan sebagai sarana diversifikasi pangan pokok sumber karbohidrat berbahan baku lokal. Buah sukun mengandung karbohidrat dalam jumlah cukup tinggi (28.2%, Prabawati & Suismono 2009) dan beberapa zat gizi lainnya seperti mineral, vitamin, lemak dan asam amino. Bila dibandingkan dengan beras, sukun memiliki kandungan vitamin dan mineral yang lebih lengkap (Widowati 2003), sehingga sangat potensial dimanfaatkan sebagai pengganti beras. Di Indonesia, buah sukun umumnya dikonsumsi setelah digoreng, direbus atau dibuat keripik. Diversifikasi produk dari sukun masih sangat terbatas karena pola konsumsi pangan pokok masyarakat Indonesia masih mengarah pada beras dan bahan pangan berbasis tepung terigu yang merupakan komoditas impor. Salah satu bentuk diversifikasi sukun adalah tepung sukun. Tepung merupakan salah satu bentuk alternatif produk setengah jadi yang dianjurkan, karena lebih tahan disimpan, mudah dicampur (dibuat komposit), diperkaya zat gizi (difortifikasi), dibentuk, dan lebih cepat dimasak sesuai tuntutan kehidupan modern yang serba praktis (Winarno 2000). Sifat tepung sukun cukup bervariasi, diantaranya dipengaruhi oleh varietas, lokasi tempat pembudidayaan tanaman sukun, tingkat kemasakan dan lama penyimpanan pasca panen buah sukun (Syah & Nazarudin 1994). Bagian terbesar dari tepung sukun adalah pati (69%, Graham & de Bravo 1981), yang memiliki karakteristik unik dan banyak berperan penting dalam sistem pangan. Pati sukun memiliki derajat pembengkakan yang tinggi yang disebabkan oleh
2 rendahnya derajat asosiasi intermolekulernya (Tian et al. 1991 di dalam Akanbi et al. 2009). Berdasarkan hasil analisis terhadap sifat amilografinya, pati sukun memiliki puncak viskositas sedang dan selama periode holding time viskositasnya cenderung meningkat. Hal ini mengindikasikan bahwa pati sukun lebih mampu menjaga integritas strukturnya pada kondisi perlakuan panas dan pengadukan, sehingga cocok untuk diaplikasikan pada produk pangan yang membutuhkan pemanasan. Sifat fungsional pati sukun lain adalah kecenderungannya untuk mengalami retrogradasi selama pendinginan (Rincón & Padilla 2004). Berdasarkan karakteristik pati sukun tersebut, maka produk berbasis tepung sukun yang potensial untuk dikembangkan adalah bihun. Bihun termasuk jenis mie yang populer di Asia dan pada umumnya berbahan baku tepung beras. Bihun merupakan bahan pangan alternatif di samping mie berbahan dasar gandum, terutama bagi para penderita gluten intolerance, karena memiliki rasa yang netral dan bebas dari gluten. Untuk menghasilkan bihun dengan kualitas yang baik diperlukan bahan baku dengan karakteristik yang sesuai untuk produk bihun. Pati yang ideal untuk bahan baku bihun adalah pati yang memiliki ukuran granula kecil (Singh et al. 2002), kandungan amilosa tinggi, derajat pembengkakan dan kelarutan terbatas serta kurva Brabender tipe C (tidak memiliki puncak viskositas namun viskositas cenderung tinggi dan tidak mengalami penurunan selama proses pemanasan dan pengadukan) (Lii & Chang 1981). Pati dengan kriteria tersebut lebih tahan terhadap pemanasan maupun pengadukan, sehingga pada saat tergelatinisasi hanya mengalami peningkatan viskositas yang terbatas sebagai konsekwensi dari pembengkakan granula yang terbatas. Terbatasnya pembengkakan granula mengakibatkan granula tidak mudah pecah dan amilosa tidak mudah keluar dari granula. Apabila pati tersebut digunakan sebagai bahan baku bihun maka untaian bihun yang dihasilkan tidak lengket dan pada saat dimasak memiliki berat rehidrasi terbatas serta hanya mengalami sedikit kehilangan padatan. Pati sukun memenuhi syarat untuk menjadi bahan baku bihun yang berkualitas berdasarkan sifat amilografinya. Untuk memenuhi persyaratan lain, maka dilakukan usaha untuk memperbaiki karakteristik pati sukun, diantaranya melalui penggunaan tepung campuran dan bahan tambahan pangan (BTP).
3 Penggunaan tepung campuran dalam produksi mie/bihun telah banyak dilakukan dan diteliti pengaruhnya terhadap kualitas produk yang dihasilkan. Dalam sebuah studi yang dilakukan oleh Sandhu et al. (2010), substitusi parsial pati kentang dengan pati beras pada proses produksi mie berbahan baku pati kentang sangat mempengaruhi karakteristik sensori dan kualitas pemasakan mie yang dihasilkan. Sementara Charles et al. (2006) menyatakan bahwa pencampuran tapioka pada produksi mie berbahan baku terigu menghasilkan warna dan tekstur yang lebih baik dibandingkan mie yang diproduksi tanpa adanya penambahan tapioka. Hasil penelitian lain melaporkan bahwa penambahan pati jagung pada proses produksi bihun beras akan menurunkan kekerasan bihun dan meningkatkan kelicinan (slipperiness) serta transparansi bihun (Wang et al. 2000). Oleh karena itu, untuk memodifikasi karakteristik pati sukun agar dapat menghasilkan bihun sukun berkualitas baik, maka dilakukan substitusi sebagian kecil tepung sukun dengan tepung beras. Pemilihan tepung beras didasarkan pada kenyataan bahwa bihun komersial umumnya diproduksi dari bahan baku tepung beras. Selain itu, substitusi parsial pati beras pada mie kentang dapat meningkatkan ketahanan mie terhadap panas (Sandhu et al. 2010). Berdasarkan hal tersebut, substitusi parsial tepung beras pada bihun sukun diharapkan menimbulkan efek yang sama. Penggunaan tepung beras juga diharapkan dapat meningkatkan nilai kekerasan bihun sukun seperti yang dilaporkan oleh Wang et al. (2000) dalam studinya mengenai substitusi parsial pati jagung pada bihun beras. Bahan tambahan pangan yang banyak digunakan dalam produk pangan berbahan dasar pati adalah hidrokoloid. Fu (2007) menyatakan bahwa hidrokoloid seperti guar gum banyak digunakan dalam proses produksi mie instan karena bersifat sangat hidrofilik dan memiliki kapasitas pengikatan air yang besar. Penambahan gum dalam jumlah kecil (0.2 0.5%) dapat memperbaiki karakteristik rehidrasi mie/bihun selama pemasakan dan memodifikasi tekstur serta keseluruhan mouth-feel dari produk akhir. Interaksi pati dan hidrokoloid dalam bahan pangan bersifat unik dan menguntungkan karena dapat memodifikasi tekstur dan reologi dari bahan pangan tersebut. Beberapa karakteristik bahan pangan seperti rasa atau tekstur yang tidak
4 diinginkan dapat diatasi dengan melakukan substitusi sebagian kecil pati dengan hidrokoloid seperti xanthan, guar, carboxymethyl cellulose (CMC) dan lain-lain. Hidrokoloid-hidrokoloid tersebut diketahui memiliki kemampuan dalam mempengaruhi karakteristik gelatinisasi pati, menghambat sineresis gel (Sudhakar et al. 1996), mengontrol mobilitas air, dan menjaga kualitas produk selama penyimpanan (Viturawong et al. 2008). Dalam penelitian ini digunakan dua jenis hidrokoloid yang dilihat pengaruhnya terhadap karakteristik pati sukun. Kedua jenis hidrokoloid tersebut adalah guar gum dan iles-iles. Pemilihan guar gum didasarkan pada hasil penelitian Fu (2007) yang menyatakan guar gum banyak digunakan dalam proses produksi mie instan karena bersifat sangat hidrofilik dan memiliki kapasitas pengikatan air yang besar. Selain itu guar gum juga memiliki kemampuan untuk mengatur tekstur pada produk pangan berpati seperti yang dinyatakan oleh Funami et al. (2005b). Sementara iles-iles dipilih berdasarkan kemampuannya dalam meningkatkan kapasitas pengikatan air dari pati jagung (Yoshimura et al. 1998). Dalam suatu sistem pangan, pati dan hidrokoloid pada umumnya berinteraksi dengan ingredient lain, misalnya garam. Garam memiliki efek signifikan terhadap karakteristik gelatinisasi dan reologi dari berbagai jenis pati. Oosten (1983) seperti yang dikutip oleh Sudhakar et al. (1996) menyatakan bahwa keberadaan garam pada sistem pati dapat mengontrol pengembangan granula. Kemampuan garam dalam mempengaruhi karakteristik pati sangat tergantung pada jenis garam yang digunakan dan konsentrasinya dalam sistem pangan tersebut (Eliasson & Gudmundsson 2006). Garam juga mempengaruhi karakteristik hidrokoloid, bahkan ion-ion logam pada konsentrasi normal yang sering ditemukan dalam sistem air alami memiliki pengaruh spesifik dan seringkali tidak terduga terhadap stabilitas hidrokoloid dalam larutan (Sudhakar et al. 1996). Kenyataan tersebut menunjukkan perlunya dilakukan penelitian untuk mempelajari interaksi pati sukun, hidrokoloid dan garam, serta pengaruhnya terhadap kualitas bihun sukun. Informasi yang diperoleh diharapkan dapat menjadi dasar untuk melakukan pengembangan produksi bihun sukun.
5 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mengetahui pengaruh pencampuran tepung beras terhadap karakteristik gelatinisasi bahan baku bihun sukun. 2. Mempelajari pengaruh penambahan hidrokoloid dan CaCl 2 terhadap profil gelatinisasi bahan baku bihun sukun. 3. Mengetahui hubungan antara profil gelatinisasi bahan baku dengan karakteristik produk bihun sukun yang dihasilkan. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut: 1. Informasi karakteristik gelatinisasi tepung sukun yang disubstitusi parsial dengan tepung beras dapat digunakan sebagai dasar untuk pengembangan produk bihun sukun dan memperkirakan potensi penggunaannya pada berbagai produk pangan. 2. Informasi profil gelatinisasi dan kualitas bihun sukun yang dihasilkan dari interaksi campuran tepung, hidrokoloid dan CaCl 2 dapat digunakan sebagai dasar untuk pengembangan bihun sukun. Hipotesis Penelitian ini dilakukan berdasarkan hipotesis berikut: 1. Pencampuran tepung beras pada konsentrasi berbeda terhadap tepung sukun menghasilkan karakteristik gelatinisasi campuran tepung yang berbeda. 2. Interaksi antara tepung sukun/campuran tepung sukun dan tepung beras, hidrokoloid dan garam CaCl 2 memberikan karakteristik gelatinisasi yang berbeda dan menghasilkan bihun sukun dengan karakteristik fisik dan sensori yang berbeda pula.