BAB VI PENUTUP 6.1 Kesimpulan Berdasarkan pada pembahasan mengenai model pengelolaan dan tingkat keberhasilan desa wisata Krebet dan Tembi, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan: 1. Desa wisata Krebet dan Tembi dikelola berdasarkan Model Partisipasi Masyarakat. Badan pengelola terdiri dari unsur-unsur masyarakat yang dianggap mampu yang terorganisasi dalam wadah yang bernama Kelompok Sadar Wisata dengan dibantu LPMD untuk mengelola desa wisata. 2. Pengelolaan desa wisata Tembi lebih baik daripada Krebet dilihat dari aspek permasalahan dalam organisasi badan pengelola, permasalahan yang berkaitan dengan masyarakat, dan perencanaan dan implementasi program desa wisata. a. Badan Pengelola Pokdarwis Tembi mampu menyelesaikan permasalahan-permasalahan internal organisasi. Hal tersebut terlihat dari kemampuan badan pengelola dalam merespon dan memecahkan setiap permasalahan yang muncul seperti dilakukan rolling pemandu wisata agar semua anggota terlibat dalam kegiatan wisata dan memberikan feedback berupa upah yang sesuai dengan kinerja anggota. Hal tersebut mampu untuk menghindari rasa iri anggota 127
organisasi sehingga manfaat dari kegiatan wisata dapat dirasakan oleh anggota organisasi sendiri. Sedangkan badan pengelola desa wisata Krebet belum mampu mengatasi permasalahan kaitannya dengan keaktifan anggota dalam organisasi. Kurangnya motivasi dan tidak adanya feedback yang diterima anggota menjadikan lemahnya tingkat partisipasi masyarakat Krebet. Hal tersebut juga dikarenakan pelaksanaan organisasi badan pengelola Krebet masih dilandaskan pada prinsip organisasi yang sifatnya gotong royong. b. Permasalahan yang berkaitan dengan masyarakat Tembi mampu dihindari. Hal tersebut terlihat dari kemampuan badan pengelola dalam mengakomodasi kritik dan saran masyarakat yang justru merespon positif pengelolaan desa wisata Tembi. Itu artinya kesadaran masyarakat Tembi juga tinggi. Wujud kesadaran masyarakat yang tinggi lebih terlihat lagi pada partisipasinya dalam mengembangkan homestay dan produk pendukung wisata seperti persewaan sepeda ontel, andhong, becak, rumah makan, kios cindera mata, dan industri kerajinan. Sedangkan masyarakat Krebet dilibatkan dalam kegiatankegiatan tahunan yang sifatnya minim pendapatan seperti merti dusun (bersih dusun), pelaku kesenian tradisional, dan pementasan kesenian saja. c. Perencanaan dan implementasi program desa wisata di Tembi lebih didasarkan pada kegiatan-kegiatan wisata yang bersinggungan langsung dengan aktivitas-aktivitas masyarakat dan saling berkait satu 128
dengan yang lain sehingga dalam pelaksanaannya masyarakat ikut merasakan manfaat dari aktivitas wisata yang ada. Program desa wisata di Tembi diarahkan pada perbaikan pelayanan wisata seperti pelatihan pelayanan homestay, pelatihan kuliner, pengembangan fasilitas homestay AC maupun wifi, pengembangan wisata outbound, pengembangan wisata kerajinan kesenian, peningkatan kebersihan dan keramahan, dan lainnya. Sehingga memunculkan minat kunjungan wisatawan karena produk dan pelayanan wisata Tembi yang memuaskan. Sedangkan untuk desa wisata Krebet, wisata terfokus pada wisata alam Jurang Pulosari sedangkan wisata lain kurang diperhatikan untuk lebih digali dan dipromosikan. 3. Tingkat keberhasilan desa wisata Tembi lebih terlihat daripada desa wisata Krebet. Hal tersebut didasarkan pada aspek terbukanya usaha baru, jumlah kunjungan yang meningkat setiap tahun, terbukanya lapangan kerja dan adanya tingkat pendapatan masyarakat dari aktivitas desa wisata Tembi. 4. Peran fasilitator masih kurang kaitannya dalam pengembangan promosi, pengembangan biro perjalanan wisata, pengembangan penyedia jasa penunjang, dan investor. Hal tersebut terlihat bahwa di Krebet tidak ditemukan adanya bentuk kerjasama dengan stakeholder dalam pengembangan dan pengelolaan desa wisata. Sedangkan di desa wisata Tembi, pelaksanaan promosi justru dikembangkan oleh badan pengelola sendiri dengan pemasaran online dan brosur dengan kemasan produk 129
wisata dan harga paket yang dibuat menarik dengan hitungan per pengunjung. 6.2 SARAN 1. Kaitannya dengan perencanaan dan implementasi program desa wisata, pengelolaan desa wisata Krebet seharusnya tidak menitikberatkan pengembangan dan perbaikan wisata alam saja. Pengelolaan seharusnya diarahkan pada produk wisata secara menyeluruh dan melibatkan masyarakat sebagai target group yang ingin diangkat kesejahteraannya dan dikembangkan secara berkelanjutan. Adanya upaya untuk meningkatkan fasilitas-fasilitas guna meningkatkan daya tarik wisatawan terhadap produk yang dikelola sehingga meningkatkan minat pengunjung dan pendapatan masyarakat. Pengembangan produk wisata harus lebih ditekankan pada produk-produk wisata yang bersinggungan langsung dengan aktivitas masyarakat. Misalnya: Wisata pembelajaran kerajinan batik kayu, wisata pembelajaran kesenian jathilan dan tari, dan pembelajaran alat musik gamelan yang bisa lebih dikemas dengan pemasaran yang menarik dan terlihat murah sehingga mampu menarik wisatawan untuk mempelajari wisata tersebut. Hal ini karena pengelolaan pemasaran produk wisata di Krebet masih didasarkan pada harga paket wisata yang harganya masih terlihat mahal seperti paket 4 jam dan 6 jam dengan harga Rp 85.000,00 per orang dan 115.000,00 per orang. Seharusnya produk wisata dipisahkan dengan harga satuan kegiatan. 130
Misalnya wisata pembelajaran membatik tulis Rp 20.000,00, harga wisata pembelajaran kesenian gamelan Rp 10.000,00 per orang, maupun fasilitas makan siang Rp 10.000,00 per orang, home stay dengan harga satuan Rp 60.000,00 per orang dll. Dengan adanya harga yang relatif murah tentunya akan meningkatkan daya saing yang lebih baik sehingga produk wisata Krebet akan lebih diminati pengunjung dan memberikan manfaat bagi peningkatan pendapatan masyarakat. 2. Kaitannya dengan permasalahan internal organisasi maupun dengan masyarakat, pengelola desa wisata Krebet harus lebih memperhatikan upaya untuk meningkatkan partisipasi masyarakat agar terdorong lebih aktif dalam kegiatan desa wisata seperti pemberian reward berupa upah yang lebih bagi anggota atau masyarakat yang berperan lebih banyak dalam pengelolaan desa wisata. Untuk mengurangi kecemburuan sosial nantinya dapat dilakukan rolling pengelola kegiatan. Misalnya: Pemandu dan pelaku kesenian dan kerajinan yang terlibat dalam kegiatan pembelajaran tidak dilakukan oleh beberapa kelompok orang saja, tetapi dilakukan rolling dengan orang dan kelompok yang berbeda. Sehingga nantinya setiap anggota maupun masyarakat dapat secara merata terlibat dalam kegiatan desa wisata. 3. Peran fasilitator dalam pengelolaan desa wisata masih jauh dari harapan. Pemerintah Kabupaten Bantul yaitu Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Bantul harus lebih aktif dalam membantu desa wisata mempromosikan produk wisata, dan membantu kerjasama dengan 131
stakeholder lain agar jumlah kunjungan meningkat dan pendapatan masyarakat meningkat. Hal ini dikarenakan desa wisata yang ada kurang diperhatikan promosi, pendanaan, dan kerjasama dengan stakeholder pendukung wisata. Seperti halnya di Tembi, pengelolaan promosi justru dilakukan oleh badan pengelola desa wisata dan masyarakat dengan mengemas produk wisata homestay dengan baik diiringi dengan pengembangan produk wisata pendukung homestay seperti outbound, wisata pembelajaran kesenian, kerajinan, dan kuliner yang justru menarik agen-agen wisata untuk datang dan memasarkan produk wisata Tembi. Seharusnya pemerintah dapat meningkatkan minat kunjungan dengan cara memberikan jalan antara pengelola desa wisata dengan agen-agen travel dan tour untuk menyempatkan berwisata pedesaan, maupun mendekatkan investor dengan masyarakat seperti pengadaan pinjaman lunak bagi pengrajin dan pelaku usaha Krebet maupun Tembi sehingga dapat meningkatkan kualitas produk wisata dalam jangka panjang. 4. Pengelola desa wisata Krebet harus bisa menciptakan suasana sosial masyarakat yang kondusif, nyaman, dan ramah terhadap wisatawan sehingga mereka betah berlama-lama dan ingin kembali untuk mengunjungi desa wisata tersebut. Penataan dan perbaikan kawasan wisata perlu dilakukan agar lebih menarik untuk dikunjungi. Penataan tersebut dapat berupa kebersihan lingkungan wisata, penghijauan area kegiatan wisata, perbaikan akses jalan maupun bangunan lokasi kegiatan, maupun 132
melakukan sosialisasi dan pelatihan tentang cara-cara menjamu wisatawan terkait dengan kualitas pelayanan. 133