BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. produksi yang dimiliki peternak (Firman, 2010).

dokumen-dokumen yang mirip
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kondisi Peternakan Sapi Perah di Indonesia

I. PENDAHULUAN. Sumber : BPS (2009)

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Usaha Peternakan Sapi Perah

dan produktivitasnya sehingga mampu memenuhi kebutuhan IPS. Usaha

III. KERANGKA PEMIKIRAN. usahatani, pendapatan usahatani, dan rasio penerimaan dan biaya (R-C rasio).

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Ternak perah merupakan ternak yang mempunyai fungsi sebagai penghasil

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Undang-undang No. 25 tahun 1992 tentang Perkoperasian pasal 2

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

III KERANGKA PEMIKIRAN

II. KERANGKA PENDEKATAN TEORI. Koperasi berasal dari kata ( co = bersama, operation = usaha) yang secara

PENGKAJIAN POTENSI PENGEMBANGAN USAHA SAPI PERAH RAKYAT DI KABUPATEN TRENGGALEK

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Potret Kluster Industri Boneka di Kelurahan Cijerah Kota Bandung

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. atau pemasaran hasil pertanian. Padahal pengertian agribisnis tersebut masih jauh dari

PERSUSUAN INDONESIA: KONDISI, PERMASALAHAN DAN ARAH KEBIJAKAN

PENDAHULUAN. produksi yang dihasilkan oleh peternak rakyat rendah. Peternakan dan Kesehatan Hewan (2012), produksi susu dalam negeri hanya

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Pola kemitraan ayam broiler adalah sebagai suatu kerjasama yang

TINJAUAN PUSTAKA. manusia. Kegiatan usaha ini harus diiringi oleh perhatian terhadap keseimbangan

BAB III. AKUNTABILITAS KINERJA. Berikut ini merupakan gambaran umum pencapaian kinerja Dinas Peternakan Provinsi Jawa Timur :

CONTRACT FARMING SEBAGAI SUMBER PERTUMBUHAN BARU DALAM BIDANG PETERNAKAN

PENDAHULUAN. begitu ekonomi riil Indonesia belum benar-benar pulih, kemudian terjadi lagi

BAB I. PENDAHULUAN. [Januari, 2010] Jumlah Penduduk Indonesia 2009.

PENGANTAR. guna memenuhi kebutuhan masyarakat yang cenderung bertambah dari tahun

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber daya alam dengan

X. REKOMENDASI KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KAWASAN AGROPOLITAN BERKELANJUTAN BERBASIS PETERNAKAN SAPI POTONG TERPADU DI KABUPATEN SITUBONDO

PENDAHULUAN. Sapi perah merupakan sumber penghasil susu terbanyak dibandingkan

I. PENDAHULUAN. khususnya bagi sektor pertanian dan perekonomian nasional pada umumnya. Pada

PENDAHULUAN. Keberhasilan usaha ternak sapi bergantung pada tiga unsur yaitu bibit, pakan, dan

20.1. Mengembangkan Potensi Peternakan Ruminansia Menerapkan Tingkah laku Ternak Ruminansia Menerapkan Penanganan Ternak ruminansia

Lampiran 1. Kuisioner Penelitian Desa : Kelompok : I. IDENTITAS RESPONDEN 1. Nama : Umur :...tahun 3. Alamat Tempat Tinggal :......

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Usaha sektor peternakan merupakan bidang usaha yang memberikan

2013, No.6 2 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini, yang dimaksud dengan: 1. Pemberdayaan Peternak adalah segala upaya yang dila

KAJIAN KEPUSTAKAAN. diselenggarakan secara teratur dan terus menerus pada suatu tempat dan dalam

BAB I PENDAHULUAN. disertai dengan laju pertumbuhan penduduk yang cukup pesat. Meningkatnya

BAB I PENDAHULUAN. Potensi usaha peternakan di Indonesia sangat besar. Dengan kondisi geografis

I. PENDAHULUAN. untuk memenuhi kebutuhan protein hewani adalah sapi perah dengan produk

7.2. PENDEKATAN MASALAH

I. PENDAHULUAN. kehidupan manusia dan merupakan salah satu sumber protein hewani yang

I. PENDAHULUAN. menghadapi krisis ekonomi di Indonesia. Salah satu sub sektor dalam pertanian

I. PENDAHULUAN. Industri susu di Indonesia merupakan salah satu industri pangan yang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN. kebutuhan susu nasional mengalami peningkatan setiap tahunnya.

PENDAHULUAN. pangan hewani. Sapi perah merupakan salah satu penghasil pangan hewani, yang

IV. METODE PENELITIAN

VII ANALISIS ASPEK FINANSIAL

VII. RANCANGAN SISTEM PENGEMBANGAN KLASTER AGROINDUSTRI AREN

V. PENDEKATAN SISTEM 5.1. Analisis Kebutuhan Pengguna 1.) Petani

BAB I PENDAHULUAN. Tahun (juta orang)

KOMPONEN AGRIBISNIS. Rikky Herdiyansyah SP., MSc

AKTIVITAS EKONOMI HULU-HILIR DI PERBATASAN. ARIS SUBAGIYO Halama n

III. KERANGKA PEMIKIRAN

AGRIBISNIS. Sessi 3 MK PIP. Prof. Rudi Febriamansyah

BAB I PENDAHULUAN. sangat mendukung berkembangnya sektor pertanian dan peternakan.

ALUR PIKIR DAN ENAM PILAR PENGEMBANGAN HORTIKULTURA

III KERANGKA PEMIKIRAN

I. PENDAHULUAN. pasokan sumber protein hewani terutama daging masih belum dapat mengimbangi

BAB I PENDAHULUAN. efetivitas rantai pemasok. Menurut Wulandari (2009), faktor-faktor yang

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2013 TENTANG PEMBERDAYAAN PETERNAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2013 TENTANG PEMBERDAYAAN PETERNAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III KERANGKA PEMIKIRAN

III KERANGKA PEMIKIRAN

I. PENDAHULUAN. bermata pencaharian sebagai petani. Tercatat bahwa dari 38,29 juta orang

I. PENDAHULUAN. Perkembangan zaman dengan kemajuan teknologi membawa pengaruh pada

PERAN STAKEHOLDER DALAM UPAYA PENCIPTAAN EFISIENSI KOLEKTIF PADA KLASTER JAMBU AIR MERAH DELIMA DI KABUPATEN DEMAK TUGAS AKHIR

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA Peternakan Sapi Potong di Indonesia

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sub sektor peternakan merupakan bagian dari pembangunan

I. PENDAHULUAN. kontribusi positif terhadap pertumbuhan Produk Domestik Bruto Indonesia.

I. PENDAHULUAN. yang keduanya tidak bisa dilepaskan, bahkan yang saling melengkapi.

PENDAHULUAN. dimiliki oleh petani masih dalam jumlah yang sangat terbatas.

KAJIAN KEPUSTAKAAN. kebutuhan konsumsi bagi manusia. Sapi Friesien Holstein (FH) berasal dari

VII. SISTEM PENGELOLAAN USAHA TERNAK SAPI MANDIRI CISURUPAN. 7.1 Struktur Organisasi dan Pengambilan Keputusan

III KERANGKA PEMIKIRAN

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Pendapatan Rata-Rata Peternak Sapi Perah Per Ekor/Bulan

AGRIBISNIS DAN AGROINDUSTRI

I. PENDAHULUAN. Salah satu tujuan pembangunan pertanian di Indonesia adalah

III. KERANGKA PEMIKIRAN

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

STUDI KELAYAKAN USAHA TERNAK SAPI PERAH RAKYAT DI WILAYAH KABUPATEN BOGOR OLEH AGITA KIRANA PUTRI H

III. KERANGKA PEMIKIRAN

RENCANA UMUM PENGADAAN DINAS PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN KABUPATEN MALANG TAHUN ANGGARAN 2013

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dimanfaatkan sebagai produk utama (Sutarto dan Sutarto, 1998). Produktivitas

I. PENDAHULUAN. Pertanian merupakan sektor potensial yang memegang peranan penting

III. KERANGKA PEMIKIRAN

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian di Indonesia saat ini sudah semakin maju. Dilihat dari

I. PENDAHULUAN. Sapi perah merupakan salah satu penghasil protein hewani, yang dalam

Reny Debora Tambunan, Reli Hevrizen dan Akhmad Prabowo. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Lampung ABSTRAK

Bab XIII STUDI KELAYAKAN

I. PENDAHULUAN. Pasar bebas bukan saja merupakan peluang namun juga ancaman. yang harus dihadapi oleh industri yang berkeinginan untuk terus maju dan

BAB I PENDAHULUAN. bentuk negara yang berpulau-pulau menjadikan negeri ini memiliki sumber

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III KERANGKA PEMIKIRAN

HASIL DAN PEMBAHASAN. (BBPTU-HPT) Baturraden merupakan pusat pembibitan sapi perah nasional yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, sumber daya alam hayati yang didominasi oleh pepohonan dalam

II. TINJAUAN PUSTAKA. Perekonomian padi dan beras merupakan pendukung pesatnya

V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang

Transkripsi:

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Usaha Peternakan Sapi perah Suatu usaha peternakan sapi perah adalah usaha yang mempunyai sifat maju, yang secara selektif menggunakan masukan teknologi sehingga secara proporsional mampu meningkatkan produksi. Akan tetapi dalam praktek peternak tidak sepenuhnya memahami penggunaan teknologi tersebut. Pemeliharaan sapi perah pada peternak rakyat masih menggunakan teknologi yang bersifat sederhana dalam pemeliharaan sapi perah, yaitu pengetahuan pemeliharaan sapi perah masih diperoleh secara turun-temurun dan merupakan usaha sampingan. Setiap usaha mengharapkan keuntungan yang dapat diperoleh dengan menggunakan fakorfaktor produksi yang dimiliki peternak (Firman, 2010). Usaha sapi perah yang ada dapat dibagi menjadi 2 bagian, yaitu usaha peternakan komersial dan semikomersial. Petenakan komersial berarti usaha sapi perah ini dikhususkan produk utamanya adalah susu. Peternakan semikomersial, berarti usaha sapi perah ini selain menghasilkan susu sebagai hasil utama, juga mempergunakan sapi tersebut sebagai alat dalam bidang pertanian, yaitu menggunakan tenaga sapi ini untuk mengerjakan sawah. Metode ini dipakai oleh masyarakat desa yang memelihara sapi dengan menggunakan cara-cara tradisonal. Usaha peternakan sapi perah tidak memerlukan sapi yang banyak, hanya cukup beberapa ekor (Mulyana, 2006). Menurut Susilorini (2008), kondisi peternakan sapi perah di Indonesia saat ini, yaitu : 1) Skala usahanya kecil (2-5 ekor), motif produksinya adalah rumah tangga, dilakukan sebagai usaha sampingan tanpa memperhatikan laba rugi dan masih 6

7 jauh dari teknologi serta didukung oleh manajemen usaha dan permodalan yang masih lemah, dan kualitas secara umum bervariasi dan bersifat padat karya. 2) Secara klimatologis Indonesia beriklim tropis dan kurang cocok bagi perkembangan sapi perah yang berasal dari daerah beriklim sub-tropis. 3) Pemasaran susu yang terbesar adalah industri pengolahan susu dan hanya beberapa peternak yang mampu menciptakan pasar langsung ke konsumen. 4) Kualitas sumberdaya manusia yang masih rendah. Indonesia saat ini berada pada posisi sebagai net-consumer dalam peta perdagangan internasional produk-produk susu. Sampai saat ini industri pengolah susu nasional masih sangat bergantung pada impor bahan baku susu. Indonesia akan terus menjadi negara pengimpor hasil ternak khususnya susu sapi jika kondisi ini tidak diperbaiki dengan membangun sistem agribisnis yang berbasis peternakan (Daryanto, 2012). Peternakan sapi perah di Indonesia seharusnya mampu memberikan banyak keuntungan seperti peningkatan pendapatan peternak, meningkatkan kesuburan lahan, serta penyerapan tenaga kerja. Perkembangan tersebut masih harus terkendala terutama oleh lemahnya permodalan, rendahnya keuntungan peternak, lemahnya posisi tawar peternak terhadap Industri Pengolahan Susu ( IPS) serta kendala dalam pemasaran hasil. 2.2 Faktor-faktor Yang Memengaruhi Produksi Susu Menurut Heriyatno (2009) faktor-faktor yang berpengaruh terhadap produksi susu sapi perah adalah jumlah pakan konsentrat, jumlah pakan hijauan dan masa laktasi sapi berpengaruh nyata peternak, sedangkan faktor besarnya biaya terhadap produktivitas sapi perah usaha tidak berpengaruh nyata.

8 Sedangkan Pasaribu dkk., (2015) mengatakan jumlah pakan, jumlah air minum, umur ternak, interval pemerahan dan luas kandang memengaruhi tingkat produksi susu sapi perah. Alfarisi (2006) berpendapat bahwa ada empat faktor yang mempengaruhi produksi susu dan komposisi susu diantaranya 1) faktor genetik pada ternak, genetik dapat menentukan tinggi rendahnya produksi susu, jadi jelas bahwa komposisi susu dapat diubah dengan cara seleksi. 2) keadaan laktasi yaitu lama laktasi pada sapi perah juga mempengaruhi terhadap komposisi susu. 3) pakan apabila yang diberikan kurang tidak mencukupi kebutuhan hidup ternak hal ini akan mempengaruhi terhadap produksi susu. 4) faktor lain yaitu umur sapi, penyakit, dan obat-obatan. Suhu lingkungan yang tinggi akan berpengaruh terhadap produksi susu, jika suhu lingkungan tinggi maka dalam tubuh ternak akan menyerap panas. Lingkungan yang panas merupakan kondisi kurang baik dari segi produktivitas hewan ternak tersebut, karena produksi ternak merupakan hasil dari interaksi antara lingkungan dan genetik. 2.3 Pendapatan Usaha Ternak Menurut Soekardono (2009) berikut beberapa konsep pendapatan usaha tani, yaitu: 1. Pendapatan kotor usaha tani Pendapatan kotor usaha tani merupakan nilai produksi total usahatani dalam jangka waktu tertentu, baik yang dijual maupun yang tidak dijual. Pendapatan kotor usaha tani meliputi produk yang dijual, dikonsumsi rumah tangga petani, digunakan dalam usaha tani untuk bibit atau makanan ternak,

9 digunakan untuk pembayaran dan disimpan atau ada di gudang pada akhir tahun. Pada usaha peternakan, perhitungan pendapatan kotor lebih kompleks jika dibandingkan usaha tani 10 tanaman pangan, karena variabel-variabel yang menentukan produksi dan pendapatan usaha peternakan lebih kompleks. Pendapatan kotor usaha ternak terdiri dari penerimaan tunai dari hasil penjualan dan nilai dari komponen-komponen bukan tunai seperti nilai-nilai perubahan inventaris, ternak dan produk ternak yang dikonsumsi sendiri dan atau yang digunakan untuk pembayaran. Termasuk dalam perubahan inventaris adalah peningkatan nilai ternak karena pertambahan berat badan ternak dan penurunan nilai ternak karena semakin tua umur ternak dan sebagainya. 2. Pendapatan bersih usaha tani Pendapatan bersih usaha tani adalah selisih antara pendapatan kotor usaha tani dan pengeluaran total usaha tani. Pengeluaran total usaha tani adalah nilai semua masukan yang habis terpakai atau dikeluarkan di dalam proses produksi. Usaha tani non-komersial, tenaga kerja keluarga petani tidak dimasukan dalam pengeluaran. Pengeluaran mencakup pengeluaran tunai dan tidak tunai. Pendapatan ini mengukur imbalan yang diperoleh keluarga petani dari penggunaan faktor faktor produksi kerja, pengelolaan, dan modal baik modal milik sendiri maupun modal pinjaman yang diinvestasikan ke dalam usaha tani. Pratiwi dkk., (2014) mengatakan bahwa permintaan susu sapi di berbagai daerah juga sangat berkembang pesat dari tahun ke tahun, contohnya pada Kabupaten Jember yang terlihat pada usaha susu sapi perah pada koperasi peternak Galur Murni. Peningkatan permintaan produksi susu sapi tersebut akan

10 berdampak pada pendapatan, kelayakan finansial dan strategi pengembangannya pada usaha susu sapi perah. Biaya usaha ternak sapi perah terdiri dari biaya tunai dan biaya tidak tunai. Biaya tunai usaha ternak sapi perah terdiri dari biaya pakan konsentrat, biaya pakan, hijauan, biaya susu pakan pedet yang belum disapih, biaya tenaga kerja, biaya obat, vitamin dan inseminasi buatan. Biaya tidak tunai dalam usaha ternak sapi perah terdiri dari biaya sewa lahan, biaya penyusutan kandang, biaya penyusutan peralatan dan biaya keanggotaan koperasi. Biaya keanggotaan koperasi tersebut terdiri dari biaya sipanan wajib, simpanan pokok, simpanan sukarela, dana tunjangan kesehatan anggota dan dana tunjangan kesehatan ternak (Mandaka, 2005) Penelitian yang telah dilakukan Yoga (2007) dari Sidhikah (2014) mengatakan bahwa pendapatan rata-rata peternak sapi di desa Wonokerto, Kecamatan Bantur, Kabupaten malang dengan pemilikan 1-5 ST, selama satu tahun ialah sebesar Rp 13.025.414,96 sedangkan pendapatan peternak dengan pemilikan 5-10 ST selama satu tahun ialah Rp 29.637.331,18 dan pendapatan peternak dengan pemilikan 10-15 ST selama satu tahun ialah Rp 57.113.422,67, dari penelitian ini disimpulkan bahwa semakin besar skala usaha maka semakin besar pendapatan yang diterima peternak. Sumber penerimaan paling besar dalam usaha sapi perah adalah penjualan susu. Penerimaan yang berasal dari penjualan susu dipengaruhi oleh jumlah ternak yang dimiliki. Semakin banyak ternak yang dimiliki maka produksi susu yang dihasilkan semakin banyak dan berpengaruh terhadap penjualan susu. Penjualan

11 susu yang semakin banyak akan berpengaruh terhadap penerimaan (Londa dkk., 2013). 2.4 Klaster Industri Secara umum, Michael Porter mendefinisikan klaster industri sebagai konsentrasi geografis dari beberapa perusahaan yang saling berhubungan dan lembaga pada bidang tertentu. Hal ini menjelaskan bahwa, dalam sebuah klater industri tidak hanya terdiri dari perusahaan, namunnya juga di dukung oleh adanya institusi-institusi lainnya. Jadi, dapat dikatakan pula bahwa klaster industri merupakan sekumpulan perusahaan dan lembaga-lembaga terkait di bidang tertentu yang berdekatan secara geografis dan saling terkait karena kebersamaan (commonalities) dan komplementaritas (Porter, 2000). Klaster industri didefinisikan sebagai jaringan dari sekumpulan industri yang saling terkait sampai pada level pembeli atau konsumen yang dihubungkan satu dengan lainnya dalam rantai proses peningkatan nilai (value adding production chain). Lima faktor yang berperan dalam value chain adalah input, aktivitas produksi, prosesing, distribusi, dan konsumsi (Nguyen et al, 2014). Klaster dapat memberikan manfaat yang lebih besar bagi dunia usaha dan ekonomi di wilayah yang bersangkutan, antara lain : 1) Meningkatkan keahlian pelaku usaha melalui proses pembelajaran bersama antar perusahaan potensial yang ada dalam klaster, 2) Perusahaan-perusahaan yang ada dalam klaster secara bersama-sama akan mendapatkan keahlian komplemen yang tidak akan didapatkan jika perusahaan-perusahaan tersebut bertindak sendiri-sendiri, 3) Setiap perusahaan yang ada dalam klaster memperoleh potensi economic of scale dengan adanya spesialisasi produksi serta dengan adanya pasar bersama atau

12 melalui pembelian bahan mentah bersama sehingga bisa mendapatkan diskon besar, 4) Memperkuat hubungan sosial dan hubungan informal lainnya yang dapat menumbuhkan penciptaan ide dan bisnis baru, 5) Memperbaiki arus informasi dalam klaster, misalnya memungkinkan penyedia finansial (perbankan) dalam menentukan pengusaha yang layak pinjam, dan bagi pelaku bisnis untuk mencari penyedia jasa yang baik, dan 6) Membangun infrastruktur profesional, legal, finansial dan jasa spesialis lain (Bappenas, 2005). Salah satu strategi peningkatan daya saing industri bioenergi yang mulai dijalankan saat ini adalah pengembangan kawasan klaster industri. Pemerintah melalui Peraturan Nomor 24 Tahun 2009 menegaskan bahwa, pembangunan kawasan industri bertujuan untuk mengendalikan pemanfaatan ruang wilayah dan sekaligus meningkatkan daya saing industri dan investasi serta memberikan kepastian lokasi dalam perencanaan dan pembangunan infrastruktur yang terkoordinasi antar sektor (Tambunan, 2013). Melalui pengembangan klaster industri, pada suatu kawasan tertentu, diharapkan pula akan mengurangi biaya transportasi dan transaksi, terjadinya peningkatan efisiensi, penciptaan aset secara kolektif, serta mendorong terciptanya inovasi (Hambali E, 2005).