BAB I PENDAHULUAN. Pada masa sekarang ini dunia dihadapkan pada kemajuan ilmu pengetahuan dan

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. melakukan pengembangan pendidikan, seperti dengan perbaikan kurikulum. seperti dari Inggris, Singapura dan sebagainya.

LAMPIRAN I : KUESIONER KECERDASAN EMOSIONAL. sedang melakukan penelitian mengenai kondisi para dokter muda selama bertugas di

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupannya, keberhasilan seseorang tidak hanya ditentukan oleh

BAB I PENDAHULUAN. dapat meraih hasil belajar yang relatif tinggi (Goleman, 2006).

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki ambang millennium ketiga, masyarakat Indonesia mengalami

BAB I PENDAHULUAN. emosi yang bervariatif dari waktu ke waktu, khususnya pada masa remaja yang

BAB I PENDAHULUAN. ( diselenggarakan pemerintah dan masyarakat yang berfungsi untuk melakukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pengertian kecerdasan emosional

BAB I PENDAHULUAN. Masa sekarang masyarakat dihadapkan pada masalah-masalah kehidupan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG MASALAH. Indonesia,1998), seringkali menjadi tema dari banyak artikel, seminar, dan

PENTINGNYA KECERDASAN EMOSIONAL SAAT BELAJAR. Laelasari 1. Abstrak

BAB I PENDAHULUAN. hidup di zaman yang serba sulit masa kini. Pendidikan dapat dimulai dari

BAB II LANDASAN TEORITIK

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. jiwa, kepribadian serta mental yang sehat dan kuat. Selayaknya pula seorang

BAB I PENDAHULUAN. sengaja, teratur dan berencana dengan maksud mengubah atau. perubahan-perubahan dalam diri seseorang. Untuk mengetahui sampai

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi tidak

BAB I PENDAHULUAN. Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan Sekolah Menengah Atas

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

LAMPIRAN. Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN. dan pendidikan tinggi ( Mengenyam pendidikan pada

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. permasalahan, persoalan-persoalan dalam kehidupan ini akan selalu. pula menurut Siswanto (2007; 47), kurangnya kedewasaan dan

BAB I PENDAHULUAN. individu dengan individu yang lain merupakan usaha manusia dalam

BAB I PENDAHULUAN. sangat mudah untuk diakses dan dibaca oleh masyarakat luas. Dalam menghadapi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kecemasan dapat dialami oleh para siswa, terutama jika dalam

BAB I PENDAHULUAN. pada sisi yang lain hal ini menyebabkan tumbuhnya pengusaha-pengusaha yang

BAB I PENDAHULUAN. Fakultas Psikologi merupakan salah satu fakultas unggulan di Universitas

BAB 1 PENDAHULUAN. individu terutama dalam mewujudkan cita-cita pembangunan bangsa dan negara.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kesuksesan yang dicapai seseorang tidak hanya berdasarkan kecerdasan

BAB I PENDAHULUAN. tuntutan keahlian atau kompetensi tertentu yang harus dimiliki individu agar dapat

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pada hakikatnya manusia pasti mengalami proses perkembangan baik dari

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Harga Diri. Harris, 2009; dalam Gaspard, 2010; dalam Getachew, 2011; dalam Hsu,2013) harga diri

8. Apakah Saudara merasa kesulitan dalam mengajar dan mendidik anak didik terkait dengan berbagai karakteristik khas yang dimiliki anak didik?

BAB I PENDAHULUAN. dipengaruhi oleh kemampuan mahasiswa itu sendiri, karena pada kenyataannya di antara

BAB I PENDAHULUAN. dihasilkan sangat berpengaruh pada minat konsumen untuk memilih dan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Dyah Kusuma Ayu Pradini, 2014

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. merupakan masa yang banyak mengalami perubahan dalam status emosinya,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Sebagai makhul sosial, manusia tidak akan dapat bertahan hidup sendiri. Interaksi

BAB 1 PENDAHULUAN. karena remaja tidak terlepas dari sorotan masyarakat baik dari sikap, tingkah laku, pergaulan

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan emosi manusia terjadi semenjak manusia itu berada. dalam kandungan hingga akhir masa hidupnya. Hal ini sejalan dengan

63 Perpustakaan Unika A. Skala Penelitian

I. PENDAHULUAN. teratur, dan berencana yang berfungsi untuk mengubah atau mengembangkan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam dua dasawarsa terakhir ini, perubahan yang terjadi dalam berbagai

BAB I PENDAHULUAN. perekonomian, teknologi, maupun pendidikan. Perkembangan dunia yang

BAB I PENDAHULUAN. orang lain dan membutuhkan orang lain dalam menjalani kehidupannya. Menurut

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan

BAB I PENDAHULUAN. Bab pendahuluan ini membahas masalah yang berhubungan dengan penelitian

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Kegiatan belajar mengajar pada hakekatnya merupakan serangkaian

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kompetensi yang baik maka seorang guru terutama guru TK dapat memenuhi dan

I. PENDAHULUAN. berbeda-beda baik itu kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, dan

BAB I PENDAHULUAN. tercapainya manusia dan masyarakat berkualitas yang memiliki kecerdasan

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan zaman diabad 21 ini memperlihatkan perubahan yang begitu

BAB I PENDAHULUAN. sosial yang harus hidup di tengah lingkungan sosial. Melalui proses sosialisasi. mengadakan interaksi sosial dalam pergaulannya.

BAB I PENDAHULUAN. Masa anak-anak identik dengan penerimaan berbagai pengetahuan dari

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk sosial yang selalu hidup berkelompok, bersamasama,

BAB I PENDAHULUAN. secara terpadu. UU RI No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

BAB I PENDAHULUAN. membangun bangsa ke arah yang lebih baik. Mahasiswa, adalah seseorang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kekayaan sumber daya alam di masa depan. Karakter positif seperti mandiri,

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan manusia. Pendidikan berfungsi untuk mengembangkan dan membentuk

KARAKTERISTIK GURU SEBAGAI PEMBIMBING DI TAMAN KANAK-KANAK

2015 HUBUNGAN KECERDASAN EMOSIONAL DENGAN KEMAMPUAN MENGENDALIKAN EMOSI DAN MOTIVASI PADA ATLET FUTSAL PUTERI UKM UPI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Manajemen Konflik. tindakan pihak lain. Apabila dua orang individu masing-masing berpegang pada

15 Prinsip dasar Kecerdasan Emosional : Modal Dasar Perawat Profesional

II. TINJAUAN PUSTAKA. Makna kecerdasan emosional oleh psikolog Peter Salovey dan John Mayer

BAB I PENDAHULUAN. Dalam era globalisasi ini peranan sumber daya manusia berkembang semakin

BAB I PENDAHULUAN. sumber daya manusia yang berkualitas tinggi. Masyarakat semakin berkembang

BAB 1 PENDAHULUAN. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 tahun 2009 tentang. Kesehatan menjelaskan bahwa tenaga kesehatan adalah setiap orang yang

KECERDASAN EMOSI PESERTA DIDIK PADA KELAS AKSELERASI DI SMP NEGERI 1 PURWOKERTO

BAB I PENDAHULUAN. Setiap manusia diharapkan memiliki kemampuan untuk beradaptasi

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk sosial; mereka tidak dapat hidup sendiri dan

BAB I PENDAHULUAN. suatu organisasi adalah kualitas sumber daya manusia. As ad (2004) mengatakan

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa yang banyak menarik perhatian karena sifatsifat

BAB I PENDAHULUAN. berhubungan dengan orang lain, atau dengan kata lain manusia mempunyai

I. PENGANTAR Latar Belakang. Kualitas sumber daya manusia yang tinggi sangat dibutuhkan agar manusia

BAB I PENDAHULUAN. Institusi pendidikan sangat berperan penting bagi proses tumbuh kembang

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa transisi. Terjadi pada usia kurang lebih lima

BAB I PENDAHULUAN. semua persyaratan akademik yang ditentukan oleh perguruan tinggi.

BAB I PENDAHULUAN. masa depan dengan segala potensi yang ada. Oleh karena itu hendaknya dikelola baik

BAB I PENDAHULUAN. terutama perguruan tinggi mulai sungguh-sungguh dan berkelanjutan mengadakan

******* Dedicated for God,pap,mum,brother and sister..

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. akan datang. Setiap perusahaan akan melakukan berbagai upaya dalam. sumber daya, seperti modal, material dan mesin.

V. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Informan pertama bernama Prayoga yang usianya 17 tahun. Informan memeluk

BAB I PENDAHULUAN. diharapkan menjadi cerdas, terampil, dan memiliki sikap ketakwaan untuk dapat

BAB I PENDAHULUAN. juga diharapkan dapat memiliki kecerdasan dan mengerti nilai-nilai baik dan

PROFIL KECERDASAN EMOSIONAL PESERTA DIDIK DI SMAN 3 PARIAMAN

BAB I PENDAHULUAN. membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. lainnya untuk mempertahankan kelangsungan hidup. Oleh sebab itu manusia

BAB I PENDAHULUAN. pencapaian target yang akan dicapai secara professional (Ismirani, 2011). pada perasaan tertekan atau stres (Badiah, 2013).

BAB I PENDAHULUAN. Remaja merupakan fase yang disebut Hall sebagai fase storm and stress

PENGARUH KECERDASAN EMOSIONAL TERHADAP PRESTASI BELAJAR MATEMATIKA SISWA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pendidikan bagi anak usia sekolah tidak hanya dalam rangka pengembangan individu, namun juga untuk

EMOTIONAL INTELLIGENCE MENGENALI DAN MENGELOLA EMOSI DIRI SENDIRI DAN ORANG LAIN Hogan Assessment Systems Inc.

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pada masa sekarang ini dunia dihadapkan pada kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk membantu manusia memasuki peradaban dunia baru yang dikenal dengan istilah globalisasi. Era globalisasi adalah era persaingan mutu atau kualitas yang dalam dunia pendidikan harus berbasis pada mutu dengan meningkatkan kualitas sumber daya manusia sebagai persiapan untuk memasuki dunia pendidikan pada jenjang berikutnya ataupun persiapan memasuki dunia kerja. Upaya peningkatan sumber daya manusia di Indonesia mendapat perhatian dari pemerintah seperti terlihat pada GBHN 1999/2004 yang menyebutkan bahwa negara berusaha mengembangkan kualitas sumber daya manusia dengan meningkatkan taraf hidup, kecerdasan dan kesejahteraan yang semakin adil dan merata. Oleh karena itu tidak dapat dipungkiri bahwa era globalisasi menuntut adanya sumber daya manusia yang berkualitas serta mampu bersaing. Salah satu cara untuk memperoleh sumber daya manusia yang berkualitas serta mampu bersaing adalah melalui dunia pendidikan. Dunia pendidikan adalah sarana bagi generasi penerus bangsa untuk dapat mengembangkan potensi yang dimilikinya. Melalui dunia pendidikan diharapkan dapat mencetak generasi-generasi yang berkualitas dan siap bersaing di era globalisasi. Begitu pula halnya dalam dunia 1

2 kedokteran. Kedokteran adalah salah satu fakultas yang paling banyak diminati oleh para calon mahasiswa, terlihat dari banyaknya peminat yang memilih fakultas kedokteran bila dibandingkan fakultas lainnya (Buku Panduan Sistem Penerimaan Mahasiswa Baru, 2005). Belajar di dunia kedokteran tidaklah mudah, hal ini terlihat dari banyaknya mata kuliah yang menuntut konsentrasi yang tinggi dan menuntut kemampuan untuk mengingat dengan tepat semua materi perkuliahan. Selain itu, di fakultas kedokteran juga banyak terdapat mata kuliah praktikum yang harus dimengerti dengan teliti, sebab hal tersebut menyangkut keselamatan jiwa manusia (Pedoman Penyelenggaraan Pendidikan Universitas Padjajaran, 2001). Setelah lulus dari fakultas kedokteran dan menjadi sarjana, mahasiswa fakultas kedokteran tersebut harus mengikuti praktek di rumah sakit dan disebut sebagai dokter muda (co-ass). Di rumah sakit para dokter muda mulai belajar untuk menjalani profesi sebagai dokter yang sesungguhnya yaitu berhadapan langsung dengan para pasien, mulai dari mendiagnosa penyakit, belajar untuk menentukan tindakan preventif serta menentukan jenis obat yang dibutuhkan oleh pasien. Oleh karena itu dunia kedokteran menuntut orang-orang yang cerdas serta pintar secara akademis atau lebih dikenal dengan orang-orang yang memiliki kecerdasan intelektual (IQ) tinggi. Namun ternyata dewasa ini, IQ yang tinggi bukanlah jaminan kesuksesan seseorang, begitu pula halnya bagi seorang dokter muda yang sedang menjalankan praktek di rumah sakit. Berdasarkan wawancara dengan salah seorang dokter didapat bahwa ada keluhan atas pelayanan para dokter muda selama menjalankan

3 praktek,misalnya para dokter muda yang kurang mampu berkomunikasi dengan para pasien dan keluarga pasien, memunculkan kesan kurang peduli sehingga membuat para pasien merasa kurang nyaman. Seorang dokter muda tidak hanya diharapkan pintar serta mampu mendiagnosa penyakit dengan tepat, tetapi juga diharapkan untuk bersikap lebih bersahabat pada orang lain, khususnya pada para pasien. Seorang dokter muda hendaknya dapat berinteraksi dengan baik dan dapat menunjukkan ekspresi wajah yang bersahabat. Hal ini perlu agar orang lain khususnya para pasien dapat merasa nyaman saat sedang ditangani oleh mereka. Selain masalah pelayanan, masalah lain yang sering dihadapi oleh para dokter muda adalah adanya suatu masa di mana mereka mengalami rasa malas dan enggan untuk belajar serta praktek di rumah sakit. Ada juga beberapa dokter muda yang merasa jenuh dan lelah karena harus selalu siap sedia dalam dua puluh empat jam untuk praktek di rumah sakit apabila dibutuhkan. Misalnya, jadwal mereka untuk satu hari telah selesai, namun di saat mereka pulang ke rumah, mereka kembali dipanggil untuk membantu dokter yang bertugas karena ada pasien yang memang membutuhkan pertolongan. Sementara jumlah dokter muda ataupun dokter dan suster yang bertugas tidak mencukupi. Masalah lain adalah di saat mereka mendapat giliran jaga malam dan tidak memungkinkan mereka untuk tidur dengan cukup, keesokan paginya harus sudah berada di rumah sakit kembali di pagi hari. Masalahmasalah ini tentunya akan berpengaruh terhadap kualitas pelayanan dan keterampilan mereka saat praktek di rumah sakit. Oleh karena itu, untuk dapat memberikan pelayanan secara optimal dibutuhkan kemampuan untuk dapat memotivasi diri,

4 mengontrol emosi dan mengatur suasana hati agar dapat bekerja secara maksimal serta kemampuan untuk berempati. Kemampuan ini dapat diperoleh jika para dokter muda memiliki kecerdasan emosional yang cukup tinggi. Kecerdasan emosional adalah kemampuan individu untuk memotivasi diri sendiri, bertahan terhadap frustrasi, mengendalikan dorongan hati, menjaga agar beban stres tidak melumpuhkan kemampuan berpikir, empati dan berdoa dan menggunakan emosi secara efisien untuk mencapai tujuan, membangun hubungan yang produktif dan mencapai keberhasilan (Goleman, 1997). Adapun lima aspek dari kecerdasan emosional tersebut adalah knowing one s emotions (mengenali emosiemosi diri) yaitu dengan mengenali emosi pada saat emosi tersebut muncul, managing emotions (mengelola emosi-emosi diri) yaitu dengan mengelola emosi agar dapat terungkap dengan tepat, motivating one self (memotivasi diri sendiri) yaitu dengan cara memimpin emosi yang muncul agar tujuan dapat tercapai, recognizing emotions in others (mengenali emosi orang lain) yaitu merupakan kemampuan menempatkan diri dan merasakan perasaan orang lain atau empati serta handling relationship (membina hubungan dengan orang lain) yaitu kemampuan membina hubungan dengan orang lain. Konsep kecerdasan emosional dalam dunia pendidikan berhubungan dengan faktor-faktor non inteligensi seperti sikap, motivasi, minat dan faktor perasaan dalam menghadapi tugas belajar. Para mahasiswa diharapkan memiliki disiplin dalam belajar, yang menuntut kemampuan memotivasi dan mengelola emosi agar dapat mencapai hasil studi yang memuaskan. Untuk mengelola emosi dibutuhkan

5 kemampuan dalam mengendalikan emosi tersebut, terutama saat mengalami suasana hati yang buruk (bad mood). Sedangkan untuk menumbuhkan hubungan yang baik dengan orang lain dibutuhkan kemampuan untuk membina hubungan interpersonal dan pengenalan emosi orang/empati (dalam Goleman, 1997: 57). Oleh karena itu tidaklah heran jika saat ini masalah kecerdasan emosional sangat diperhitungkan khususnya dalam dunia pendidikan kedokteran. Kecerdasan emosional dalam dunia kedokteran memiliki pengaruh bagi keberhasilan para mahasiswa juga para dokter muda. Dengan kecerdasan emosional yang tinggi para dokter muda diharapkan dapat memotivasi diri sendiri untuk terus belajar sehingga mencapai nilai akademik yang memuaskan serta dapat selalu siap sedia untuk melakukan praktek di rumah sakit kapanpun mereka dibutuhkan. Para dokter muda juga diharapkan untuk dapat bertahan terhadap frustrasi dan mampu mengatasi berbagai masalah tanpa harus mengorbankan tugas-tugas mereka di rumah sakit. Selain itu para dokter muda juga diharapkan dapat berempati serta menjalin hubungan interpersonal, mampu menjaga beban stres agar tidak menggangu konsentrasi dalam belajar serta pada saat praktek di rumah sakit (Mu tadin dalam www.e-psikologi.com). Berdasarkan wawancara awal dengan 20 orang dokter muda, 25% dari mereka mengatakan bahwa mereka terkadang tidak sadar saat suatu perasaan sedang melanda mereka. Saat mereka merasakan sesuatu hal yang tidak sesuai dengan apa yang mereka harapkan, mereka cenderung tidak tahu bahwa mereka sedang marah. Di saat mereka sedang marah atau murung, mereka tidak dapat cepat pulih dari perasaannya

6 tersebut. Hal ini menyebabkan mereka tidak dapat mengambil keputusan dengan tepat dalam setiap permasalahan yang mereka hadapi. Mereka juga cenderung untuk menjadi cepat tersinggung dan sulit untuk menerima perbedaan pendapat. Hanya ada 10% dokter muda yang dapat menggunakan emosinya dengan baik sehingga mengetahui dengan tepat kapan ia harus menggunakan emosinya. Mereka dapat mengetahui dengan pasti kapan saatnya harus marah sehingga hal tersebut tidak mengganggu aktivitasnya. Sebanyak 35% para dokter muda mengatakan bahwa mereka tidak dapat memotivasi diri mereka saat sedang mengalami masalah dalam materi perkuliahan. Mereka juga cenderung menjadi kurang produktif dalam studi dan praktek mereka di rumah sakit sehingga menimbulkan kesalahan dalam penanganan pasien dan menjadi kurang efektif dalam mengatasi permasalahan sehari-hari. Apabila ditegur oleh dokter pembimbing mereka akan merasa malu dan sedih serta susah untuk membangkitkan kembali rasa percaya diri mereka. Sementara itu terdapat 10% dokter muda yang memiliki motivasi diri yang tinggi. Jika sudah mulai malas untuk belajar dan praktek, mereka tidak mau berdiam diri saja tetapi berusaha untuk terus bangkit dan melawan perasaan malas tersebut. Mereka juga menganggap bahwa teguran dari para dokter pembimbing adalah untuk meningkatkan kinerja mereka di rumah sakit. Oleh karena itu mereka tidak akan merasa malu atau sedih tetapi akan terus berusaha untuk bangkit dan maju dalam pelajaran dan dalam praktek di rumah sakit.

7 Sebanyak 15% dokter muda mengatakan bahwa mereka kurang peduli terhadap apa yang dirasakan orang lain dan kurang dapat menempatkan diri dalam bergaul. Mereka juga kurang dapat membina hubungan yang hangat dan akrab dengan orang lain. Mereka memiliki prioritas untuk menomorsatukan pelajaran dan nilai akademis saja, tanpa perlu menemukan cara bagaimana membuat para pasien merasa nyaman dan senang untuk berobat pada mereka nantinya. Sementara itu terdapat 5% para dokter muda yang mengatakan bahwa selain pintar mereka juga harus dapat bersikap ramah dan dekat terhadap para pasien. Hal ini bertujuan selain dapat membangkitkan rasa percaya diri para pasien untuk segera sembuh dari penyakitnya, juga dapat membuat pasen merasa nyaman. Apabila kedua hal tersebut telah terpenuhi, kemungkinan besar pasien tersebut akan kembali pada mereka apabila terserang penyakit di masa yang akan datang. Berdasarkan fenomena yang terjadi diatas, diketahui bahwa gambaran kecerdasan emosional para dokter muda berbeda-beda. Oleh karena itu peneliti merasa tertarik untuk mengetahui gambaran mengenai kecerdasan emosional secara lebih mendalam pada dokter muda di Universitas X Bandung. 1.2.Identifikasi Penelitian Bagaimanakah gambaran mengenai tingkat kecerdasan emosional pada para dokter muda di Universitas X Bandung?

8 1.3. Maksud dan Tujuan Penelitian 1.3.1. Maksud Penelitian Untuk memperoleh gambaran mengenai tingkat kecerdasan emosional pada para dokter muda di Universitas X Bandung. 1.3.2. Tujuan Penelitian Untuk mengetahui dan menggambarkan secara komprehensif mengenai tingkat kecerdasan emosional dan aspek-aspeknya serta faktor-faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosional pada dokter muda di Universitas X Bandung. 1.4. Kegunaan Penelitian 1.4.1. Kegunaan Teoritis 1. Penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi dan wawasan di bidang Psikologi Pendidikan mengenai kecerdasan emosional dalam dunia pendidikan khususnya dunia kedokteran. 2. Memberi pengetahuan dan gambaran bagi peneliti lain yang berminat untuk meneliti mengenai kecerdasan emosional dalam dunia pendidikan.

9 1.4.2. Kegunaan Praktis 1. Sebagai masukan bagi pihak pengajar/dosen mengenai kecerdasan emosional dalam pengembangan sumber daya manusia. 2. Sebagai masukan bagi para dokter muda mengenai gambaran kecerdasan emosional dalam pengembangan diri demi tercapainya pelayanan secara optimal bagi masyarakat. 3. Sebagai masukan bagi Fakultas Kedokteran Universitas X Bandung mengenai gambaran kecerdasan emosional para dokter muda dalam rangka meningkatkan mutu dan pelayanan di rumah sakit. 1.5. Kerangka Pikir Sebelum seorang mahasiswa siap menjadi seorang dokter dan mengabdi pada masyarakat, mereka terlebih dahulu harus melewati masa praktek di rumah sakit tertentu selama kurang lebih dua tahun. Mereka disebut sebagai dokter muda atau lebih dikenal sebagai co-ass. Menjadi dokter muda dituntut banyak hal, mulai dari kesiapan untuk praktek selama dua puluh empat jam, belajar untuk mendiagnosa pasien secara tepat hingga mampu menciptakan rasa nyaman selama berhadapan dengan para pasien. Salah satu tujuan pendidikan dari program profesi dokter di Fakultas Kedokteran adalah memelihara dan mengembangkan kepribadian dan sikap sebagai seorang akademikus profesional seperti integritas, rasa tanggung jawab, dapat dipercaya serta menaruh perhatian dan penghargaan terhadap sesama manusia, sesuai dengan etika kedokteran (Pedoman Penyelenggaraan Pendidikan Universitas

10 Padjajaran, 2001). Oleh karena itu terlihat bahwa selain harus pintar secara akademis, seorang dokter muda juga harus memiliki kemampuan lain seperti membina hubungan yang baik sehingga para pasien dapat mempercayai mereka, memiliki kemampuan untuk memotivasi diri agar dapat menjadi seorang dokter secara profesional, serta dapat berperilaku sesuai dengan etika kedokteran. Daniel Goleman (1997) mengatakan bahwa kecerdasan orang menangani emosinya sendiri menentukan seberapa besar orang mau berhubungan dengan mereka. Ia juga menyebutkan bahwa kemampuan untuk mengendalikan suasana hati penting demi komunikasi yang baik. Daniel Goleman (1997) menjelaskan lima aspek dari kecerdasan emosional yang digagaskan oleh Peter Salovey. Bagian pertama, Knowing one s emotions (mengenali emosi-emosi diri) merupakan self awareness (kesadaran diri) yaitu kemampuan para dokter muda untuk mengenali perasaan pada saat perasaan itu terjadi. Kemampuan untuk memonitor perasaan dari waktu ke waktu, dimana kemampuan ini merupakan hal penting untuk pemahaman diri bagi para dokter muda. Kemampuan ini sangat penting dalam rangka menjalankan aktivitas mereka di rumah sakit. Selain harus memiliki keterampilan secara akademis dan mampu memberi pelayanan secara maksimal, mereka juga diharapkan memiliki kesadaran saat sedang dilanda suatu perasaan. Misalnya, saat sedang bertugas di rumah sakit mereka mengetahui dengan pasti bagaimana perasaan mereka saat itu, apakah senang, sedih atau bahkan malas untuk bertugas.

11 Selain itu mereka juga diharapkan dapat mengetahui apa penyebab dari perasaan yang timbul tersebut. Apabila mereka sedang marah, mereka mengetahui dengan pasti apa penyebab mereka marah. Mereka juga diharapkan dapat mengenali perbedaan perasaan dan tindakan, misalnya dengan tetap berkonsentrasi menghadapi tugas di rumah sakit meskipun terkadang timbul ketidakcocokan dengan rekan sekerja mereka, baik dengan sesama dokter muda, dengan para perawat ataupun bahkan dengan para dosen/dokter. Apabila seorang dokter muda tidak mampu mengamati perasaannya sendiri maka mereka akan tetap dikuasai oleh perasaan tersebut. Oleh karena itu para dokter muda diharapkan memiliki pengetahuan yang lebih serta kepekaan terhadap perasaan mereka. Hal ini bertujuan agar tidak mengganggu konsentrasi mereka dalam memberikan pelayanan di rumah sakit juga dapat membantu mereka dalam mengambil keputusan dalam setiap permasalahan yang timbul. Bagian kedua, Managing emotions (mengelola emosi-emosi diri) merupakan kemampuan para dokter muda untuk menangani perasaan yang terjadi pada diri mereka agar dapat terungkap dengan tepat. Kemampuan ini adalah kecakapan yang dibangun pada kesadaran diri, untuk menghibur diri, untuk melepaskan kecemasan, menghilangkan kemurungan dan perasaan tersinggung. Para dokter muda diharapkan dapat bertahan terhadap frustrasi terutama saat menghadapi ujian lisan, mampu menghindari diri dari perkelahian fisik antar sesama rekan sekerja, serta tidak melontarkan kata-kata kasar saat perasaan mereka sedang jengkel terhadap orang lain, melainkan dapat mengungkapkan emosinya dengan lebih baik tanpa harus melalui

12 kekerasan. Para dokter muda juga diharapkan untuk tidak merusak diri dengan cara misalnya meminum minuman keras karena gagal dalam ujian lisan, mampu memiliki perasaan yang positif tentang diri sendiri, dapat membuat tantangan yang ada sebagai cara untuk semakin semangat bekerja dan bertugas di rumah sakit. Mereka juga diharapkan memiliki banyak teman terutama dalam bertugas di rumah sakit, sehingga tidak merasa kesepian karena tidak memiliki teman untuk berbagi. Mereka juga diharapkan untuk mampu menangani ketegangan yang terjadi saat sedang bertugas di rumah sakit. Misalnya saat sedang mendiagnosa penyakit pasien, mereka hendaknya mampu untuk meredakan ketegangan agar tidak mengganggu konsentrasi mereka dalam bertugas. Bagi para dokter muda yang kurang terampil dalam kemampuan ini akan terus berusaha melawan perasaan sedih, murung atau tersinggungnya tersebut, sedangkan yang terampil akan cepat pulih kembali perasaannya. Bagian ketiga, Motivating one self (memotivasi diri sendiri) adalah kemampuan para dokter muda untuk menata emosi untuk mencapai satu tujuan tertentu dan mengendalikan dorongan hati. Para dokter muda diharapkan dapat mengatur dorongan hati serta emosi mereka agar tidak mengganggu aktivitas serta tanggungjawab mereka di rumah sakit. Mereka juga diharapkan dapat memusatkan perhatian pada tugas-tugas mereka dan menaruh perhatian untuk memotivasi diri mereka dengan tujuan untuk tetap mampu memberi pelayanan secara optimal bagi para pasien, dapat menguasai diri sendiri dari emosi-emosi yang berlebihan seperti amarah dan kesedihan yang berlebihan. Mereka juga dapat berkreasi dalam arti dapat terus mengasah keterampilan dan kemampuan mereka dalam bidang kedokteran.

13 Mereka dapat terus berprestasi dan meningkatkan kemampuan mereka dalam menangani pasien di rumah sakit. Dengan kemampuan ini, para dokter muda akan lebih produktif dan efektif dalam menangani setiap permasalahan dalam kegiatan sehari-hari mereka di rumah sakit. Bagian keempat, Recognizing emotions in others (mengenali emosi orang lain) merupakan kemampuan menempatkan diri dan merasakan perasaan orang lain atau empati, merupakan kemampuan bergaul dasar. Melalui kemampuan ini para dokter muda diharapkan dapat menerima sudut pandang serta masukan dari orang lain, memiliki kemampuan berempati terhadap perasaan orang lain khususnya terhadap para pasien dengan cara mampu menangkap keadaan emosi mereka dan apa yang dikehendaki oleh mereka. Dengan kemampuan ini juga mereka diharapkan memiliki kemampuan untuk mau mendengarkan pendapat orang lain khususnya dokter muda yang lain misalnya saat sedang mendiskusikan masalah penyakit pasien. Bagian kelima, Handling relationship (membina hubungan dengan orang lain). The art of relationship (seni membina hubungan) adalah keterampilan yang dibutuhkan para dokter muda untuk mengelola emosi orang lain. Merupakan keterampilan yang menunjukkan kepemimpinan dan keberhasilan antar pribadi. Melalui keterampilan ini, mereka akan mampu membina hubungan yang baik dan akrab dengan orang lain khususnya dengan orang-orang yang mereka temui selama mereka bertugas di rumah sakit seperti pasien dan keluarganya, rekan sekerja, perawat serta para dokter. Selain itu mereka juga diharapkan mampu mengetahui dan memahami suatu hubungan, misalnya bahwa tidak setiap orang dapat menjadi teman

14 baik mereka selama bertugas di rumah sakit. Hal ini tentunya perlu dalam membina hubungan dengan sesama dokter muda, dengan dosen serta dengan para pasien sendiri. Melalui keterampilan ini mereka diharapkan dapat menyelesaikan kemungkinan pertikaian yang terjadi diantara sesama dokter muda, terampil dalam berkomunikasi dengan orang lain terutama dengan para pasien serta dapat membina hubungan yang akrab dengan para dokter muda yang lain. Mereka juga diharapkan memberi perhatian terhadap apa yang diinginkan para pasien, memikirkan kepentingan bersama di dalam bertugas dengan cara mau membantu para dokter muda yang lain dalam bertugas, mau bekerjasama serta lebih demokratis dalam bergaul. Misalnya dengan tetap menghargai perbedaan pendapat yang terjadi antara sesama rekan sekerja, baik dengan para dokter muda juga dengan para perawat. Dengan demikian dapat diketahui bahwa orang yang memiliki kecerdasan emosional tinggi adalah orang-orang yang mampu mengenali emosi diri sendiri, mampu mengelola emosi mereka dengan baik, mampu memotivasi diri mereka kearah yang lebih baik, mampu mengenali emosi orang lain serta mampu membina hubungan yang baik dengan orang lain. Sementara itu, orang yang memiliki kecerdasan emosional rendah adalah orang-orang yang kurang mampu mengenali perasaan emosi mereka saat emosi itu terjadi, kurang mampu mengelola emosi mereka dengan baik, kurang mampu memotivasi diri kearah tujuan yang baik, kurang mampu mengenali emosi orang lain serta kurang mampu membina hubungan yang baik dengan orang lain.

15 Goleman (1997) juga menyatakan bahwa terdapat dua faktor yang dapat mempengaruhi kecerdasan emosional yang dimiliki seseorang yaitu faktor lingkungan dan faktor genetis. Faktor lingkungan terdiri dari faktor belajar dan faktor keluarga. Faktor belajar yaitu bahwa kecerdasan emosional diperoleh melalui belajar dari pengalaman para dokter muda sendiri maupun orang lain. Di saat mereka melihat bahwa ada dokter muda lain yang sedang marah di hadapan seorang pasien, maka mereka diharapkan dapat belajar bahwa hal tersebut tidak baik dilakukan di depan para pasien. Para dokter muda juga dapat belajar sendiri bahwa tidak baik untuk terlalu larut dalam perasaan sedih di saat kemampuan mereka lebih rendah dari dokter muda yang lain. Yang perlu dilakukan adalah mencari cara untuk meningkatkan kemampuan dan keterampilan mereka serta cara untuk segera keluar dari perasaan sedih tersebut. Faktor lingkungan berikutnya adalah keluarga. Sebagai lembaga yang terawal dan terutama perkembangan seorang anak, keluarga juga merupakan sekolah bagi pembentukan kecerdasan emosional yang dimungkinkan melalui interaksi sehari-hari setiap anggota keluarganya. Melalui interaksi dengan keluarga, para dokter muda dapat belajar bagaimana merasa tentang dirinya sendiri dan bagaimana orang lain bereaksi terhadapnya. Khusus dalam hubungan orangtua dan anak, Goleman (1997) mengkategorikan tiga tipe gaya mendidik anak, yang pertama adalah orangtua yang sama sekali mengabaikan perasaan anak. Orangtua semacam ini memperlakukan masalah emosional anak sebagai hal kecil. Bagi para dokter muda yang memiliki orangtua seperti ini cenderung untuk tidak terlalu dekat dengan orangtua, merasa

16 diabaikan dan tidak mendapatkan peran serta dalam masalah-masalah keluarga. Yang kedua adalah orangtua yang terlalu membebaskan yaitu orangtua yang peka akan perasaan para dokter muda, tetapi berpendapat bahwa apapun yang dilakukan mereka untuk menangani emosinya sendiri itu adalah baik adanya. Mereka yang memiliki orangtua seperti ini merasa bahwa orangtua mereka akan membantu mereka dalam mengatasi permasalahan emosi mereka misalnya dengan cara memberikan hadiah atau reward untuk mengatasi permasalahan tersebut tanpa berusaha untuk membantu mengatasinya. Yang ketiga adalah orangtua yang menghina, tidak menunjukkan penghargaan terhadap perasaan anak. Orangtua semacam ini biasanya suka mencela, mengecam, dan menghukum keras anaknya. Bagi para dokter muda yang memiliki orangtua seperti ini mengatakan bahwa para orangtua mereka biasanya cukup keras dalam mendidik mereka. Apabila mereka mulai menunjukkan emosi yang berlebihan misalnya marah menurut orangtuanya, tak jarang mereka akan balik dimarahi dengan keras atau bahkan dianggap sebagai anak yang tidak berbakti terhadap orangtua dan hanya dianggap sebagai anak yang dapat membuat orangtua repot, kesal, atau bahkan marah. Hal ini membuat mereka merasa bahwa orangtua mereka tidak menghargai perasaan mereka sebagi seorang anak di keluarga. Sementara itu yang terakhir ada orangtua yang menanggapi perasaan anak dengan serius untuk berupaya memahami apa yang membuat emosi anak muncul dan menolong mereka menamukan cara-cara untuk mengatasinya. Mereka yang memiliki orangtua seperti ini merasa bahwa orangtua mereka akan mendengarkan setiap permasalahan mereka serta berusaha menemukan cara-cara untuk membantu menyelesaikan permasalahan tersebut.

17 Dampak pendidikan keluarga semacam ini sangat luas. Orangtua yang terampil secara emosional memiliki anak-anak yang pergaulannya lebih baik dan menunjukkan kasih sayang kepada orangtuanya bila dibandingkan orangtua yang tidak terampil secara emosional. Selain itu, anak-anak juga lebih terampil menangani emosinya, lebih efektif menangani rasa amarahnya, lebih populer dan lebih disukai teman sebayanya serta pandai bergaul. Faktor kedua yang mempengaruhi tingkat kecerdasan emosional seseorang adalah faktor genetis yaitu temperamen. Kagan (dalam Goleman, 1997) menemukan ada empat dasar tipe temperamen yakni penakut, pemberani, periang dan pemurung. Setiap kali menjumpai situasi baru, terlebih yang relatif mengandung ancaman, para dokter muda yang tergolong penakut atau pemurung cenderung mengembangkan sikap menarik diri untuk melindungi kerentanan emosinya. Sebaliknya, para dokter muda yang tergolong pemberani dan periang jarang merasa terancam sehingga dengan mudah terlibat dalam aktivitas sosialnya. Apabila mereka dapat terlibat dalam aktivitas sosialnya dapat membantu mengembangkan kecerdasan emosional mereka. Bagi para dokter muda yang memiliki temperamen pemberani dan periang dapat lebih berpeluang mengembangkan kecerdasan emosinya dibandingkan para dokter muda yang bertemperamen penakut dan pemurung. Namun, menurut Kagan, orang-orang yang terlahir dengan kecenderungan temperamen penakut dan pemurung, dapat terasah keberanian dan keriangannya melalui proses belajar.

18 Berdasarkan uraian diatas, maka dapat dituangkan dalam bagan berikut: Tuntutan tugas dalam menjalankan profesi: berempati, mampu memotivasi diri, dapat bekerja secara maksimal demi membantu menjaga kesehatan masyarakat Dokter Muda Fakultas Kedokteran Faktor eksternal: faktor belajar, faktor keluarga Kecerdasan emosional: Mengenali emosi diri Mengelola emosi diri Memotivasi diri sendiri Mengenali emosi orang lain Membina hubungan dengan orang lain Tinggi Rendah Faktor internal: tempramen Bagan 1.1. Kerangka Pikir

19 Asumsi : 1. Seorang dokter muda memiliki berbagai tuntutan dalam menjalankan profesinya. Oleh karena itu, mereka membutuhkan kecerdasan emosional. 2. Para dokter muda yang mampu mengenali emosi diri, mampu mengelola emosi diri, mampu memotivasi diri sendiri, mampu mengenali emosi orang lain serta mampu membina hubungan dengan orang lain tergolong memiliki kecerdasan emosional yang tinggi. 3. Para dokter muda yang kurang mampu mengenali emosi diri, kurang mampu mengelola emosi diri, kurang mampu memotivasi diri sendiri, kurang mampu mengenali emosi orang lain serta kurang mampu membina hubungan dengan orang lain tergolong memiliki kecerdasan emosional yang rendah. 4. Kecerdasan emosional dipengaruhi oleh faktor eksternal yaitu faktor belajar dan keluarga, serta faktor internal yaitu temperamen. 5. Setiap dokter muda memiliki tingkat kecerdasan emosional yang berbedabeda.

20