BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perubahan pola struktur masyarakat agraris ke masyarakat industri banyak memberi andil terhadap perubahan pola fertilitas, gaya hidup (life style) masyarakat dan sosial ekonomi yang dapat memicu semakin meningkatnya prevalensi penyakit tidak menular. Perubahan pola dari penyakit menular ke penyakit tidak menular lebih dikenal dalam sebutan transisi epidemiologi (Bustan, 2007). Menurut Depkes RI (2001) terjadinya transisi epidemiologi penyakit ditunjukkan dengan adanya kecenderungan perubahan pola kesakitan dan pola penyakit yaitu adanya penurunan prevalensi penyakit infeksi, tetapi terjadi peningkatan prevalensi penyakit non-infeksi atau penyakit tidak menular (Depkes RI, 2001). Penyakit Tidak Menular (PTM) menjadi penyebab utama kematian secara global baik di negara maju dan negara berkembang. Penyakit Tidak Menular(PTM) mendominasi kebutuhan perawatan kesehatan dan pengeluaran di negara maju serta negara-negara berkembang dan miskin. Data WHO menunjukkan bahwa dari 57 juta kematian yang terjadi di dunia pada tahun 2008, sebanyak 36 juta atau hampir dua pertiganya disebabkan oleh Penyakit Tidak Menular, termasuk 14 juta orang meninggal antara usia 30-70 tahun (Buletin Penyakit Tidak Menular, Kemenkes, 2012). 1
2 Penyakit Tidak Menular (PTM) adalah penyebab kematian terbanyak di Indonesia. Keadaan dimana penyakit menular masih merupakan masalah kesehatan penting dan dalam waktu bersamaan morbiditas dan mortalitas PTM makin meningkat merupakan beban ganda dalam pelayanan kesehatan, tantangan yang harus dihadapi dalam pembangunan bidang kesehatan di Indonesia. Proporsi angka kematian akibat PTM meningkat dari 41,7% pada tahun 1995 menjadi 49,9% pada tahun 2001 dan 59,5% pada tahun 2007 (Buletin Penyakit Tidak Menular, Kemenkes, 2012). Menurut Profil PTM WHO tahun 2011, di Indonesia tahun 2008 terdapat 582.300 laki-laki dan 481.700 perempuan meninggal karena PTM.Di Sumatera Utara persentase rawat jalan kasus baru Penyakit Tidak Menular (PTM) tahun 2009 2010 sebesar 63,88% dan 66,85%. Persentase rawat inap kasus baru Penyakit Tidak Menular (PTM) tahun 2009-2010 sebesar 42,96% dan 47,03% (Buletin Penyakit Tidak Menular, Kemenkes, 2012). Salah satu hasil pembangunan kesehatan di Indonesia adalah meningkatnya angka harapan hidup (life expectancy). Dilihat dari sisi ini pembangunan kesehatan di Indonesia sudah cukup berhasil, karena angka harapan hidup telah meningkat secara bermakna. Akan tetapi, di sisi lain dengan meningkatnya angka harapan hidup ini membawa beban bagi masyarakat, karena populasi penduduk usia lanjut (lansia) meningkat. Hal ini berarti kelompok risiko dalam masyarakat menjadi lebih tinggi (Notoatmodjo, 2011).
3 Berdasarkan data BPS, menunjukkan bahwa Angka Harapan Hidup (AHH) di Indonesia pada tahun 2006 dan 2007 sebesar 68,5 tahun dan 68,7 tahun. Angka tersebut kemudian naik menjadi 69 tahun pada tahun 2008. Angka Harapan Hidup (AHH) kembali meningkat menjadi 69,21 pada tahun 2009 dan 70,6 tahun pada 2010, membuat jumlah penduduk lanjut usia juga semakin besar. Angka harapan hidup (AHH) di Sumatera Utara sebesar 69,35 pada tahun 2009(BPS, 2011). Menurut UU No. 13 tahun 1998 Pasal 1 Ayat 2 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia menyatakan bahwa lanjut usia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas. Salah satu ciri kependudukan abad 21 adalah meningkatnya pertumbuhan penduduk lansia yang sangat cerpat. Pada tahun 2000, penduduk usia lanjut di seluruh dunia diperkirakan sebanyak 426 juta atau sekitar 6,8%. Jumlah ini akan meningkat hampir dua kali lipat pada tahun 2025, yaitu menjadi sekitar 828 juta jiwa atau sekitar 9,7% dari total penduduk dunia. Dari jumlah tersebut,sekitar dua pertiga tinggal di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia (Bustan, 2007). Berdasarkan hasil sensus penduduk tahun 2010, secara umum jumlah penduduk lansia di Indonesia sebanyak 18,04 juta orang atau 7,59% dari keseluruhan jumlah penduduk. Jumlah penduduk lansia perempuan (9,75 juta orang) lebih banyak daripada jumlah penduduk lansia laki-laki (8,29 juta orang). Penyebaran penduduk lansia jauh lebih banyak di daerah perdesaan (10,36 juta orang) dibandingkan di daerah perkotaan (7,69 juta orang). Menurut kelompok umur, jumlah penduduk lansia terbagi menjadi lansia muda (60-69 tahun) sebanyak 10,75 juta orang, lansia menengah (70-79 tahun) sebanyak 5,43 juta orang, dan lansia tua (80 tahun ke atas)
4 sebanyak 1,86 juta orang. Proporsi penduduk lansia Indonesia sebesar 7,59% menunjukkan bahwa Indonesia termasuk negara yang memasuki era penduduk berstruktur tua (aging structured population) karena jumlah penduduk yang berusia 60 tahun ke atas telah melebihi angka tujuh persen (BPS, 2011). Hasil sensus penduduk tahun 2010 menunjukkan bahwa Indonesia termasuk lima besar negara dengan jumlah penduduk lansia terbanyak di dunia yakni mencapai 18,04 juta jiwa pada tahun 2010 atau 7,59% dari jumlah penduduk. Sementara itu, Umur Harapan Hidup (UHH) manusia Indonesia semakin meningkat dimana pada RPJMN Kemenkes tahun 2014 diharapkan terjadi peningkatan UHH dari 70,6 tahun pada tahun 2010 menjadi 72 tahun pada tahun 2014 yang akan menyebabkan terjadinya perubahan struktur usia penduduk. Menurut proyeksi Bappenas, jumlah penduduk lansia berusia 60 tahun atau lebih akan meningkat dari 18,04 pada tahun 2010 menjadi dua kali lipat (36 juta) pada tahun 2025 (BPS,2011). Dengan meningkatnya jumlah lanjut usia, tentunya akan diikuti dengan meningkatnya permasalahan kesehatan pada lanjut usia. Pada usia lanjut terjadi kemunduran sel-sel karena proses penuaan yang dapat berakibat pada kelemahan organ, kemunduran fisik, timbulnya berbagai macam penyakit terutama penyakit degeneratif. Proses ketuaan akan berkaitan dengan proses degeneratif tubuh dengan segala penyakit yang terkait, mulai dari gangguan mobilitas alat gerak, peningkatan tekanan darah sampai gangguan jantung. Dengan demikian, golongan lansia ini akan memberikan masalah kesehatan yang khusus yang memerlukan bentuk pelayanan
5 kesehatan tersendiri. Dengan usia lanjut dan sisa kehidupan yang ada, kehidupan lansia terisi dengan 40% masalah kesehatan (Bustan, 2007). Penyakit yang sering dijumpai pada lansia adalah hipertensi, diabetes mellitus, osteoartritis, osteoporosis, penyakit jantung koroner (CHD), penyakit cerebro vascular (CVD), infeksi, gangguan pendengaran dan penglihatan, serta depresi dan demensia (Depkes, 2005). Sejalan dengan bertambahnya usia, tekanan darah meningkat. Data hasil penelitian Framingham menunjukkan bahwa 27% orang di bawah usia 60 tahun bertekanan darah lebih tinggi dari 140/90 mmhg, dan 20% dari mereka menderita hipertensi dengan angka 160/100 mmhg. Di antara manula berusia lebih dari 80 tahun, 75% menderita hipertensi (lebih tinggi dari 140/90 mmhg) dan 60%-nya 160/100 mmhg atau lebih. Hanya 7% dari orang yang berusia lebih dari 80 tahun bertekanan darah normal (Kaplan, 2006). Hipertensi menjadi masalah kesehatan masyarakat yang serius. Hipertensi dapat dikatakan sebagai pembunuh diam-diam atau the silent killer. Hipertensi umumnya terjadi tanpa gejala (asimptomatis). Sebagian besar orang tidak merasakan apa pun, walau tekanan darahnya sudah jauh di atas normal. Hal ini dapat berlangsung bertahun-tahun, sampai akhirnya penderita (yang tidak merasa menderita) jatuh ke dalam kondisi darurat, dan bahkan terkena penyakit jantung, stroke atau rusak ginjalnya. Komplikasi ini yang kemudian banyak berujung pada kematian, sehingga yang tercatat sebagai penyebab kematian adalah komplikasinya (National Cardiovascular Center Harapan Kita, 2011).
6 Hipertensi atau yang lebih dikenal dengan penyakit darah tinggi adalah peningkatan abnormal tekanan darah, baik tekanan darah sistolik maupun tekanan darah diastolik. Menurut Depkes, hipertensi adalah meningkatnya tekanan darah sistolik lebih besar dari 140 mmhg dan atau diastolik lebih besar dari 90 mmhg pada dua kali pengukuran dengan selang waktu 5 menit dalam keadaan cukup istirahat (National Cardiovascular Center Harapan Kita, 2011). Secara global penyakit kardiovaskular menyebabkan sekitar 17 juta kematian per tahun, hampir sepertiga dari total kematian. Dari jumlah tersebut, komplikasi hipertensi menyumbang untuk 9,4 juta kematian di seleruh dunia setiap tahun. Hipertensi bertanggung jawab untuk setidaknya 45% kematian akibat penyakit jantung dan 51% kematian akibat stroke (WHO, 2013). Hipertensi saat ini masih menjadi masalah utama di dunia. Menurut Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment on High Blood Pressure VII (JNC-VII), hampir 1 milyar orang menderita hipertensi di dunia. Menurut laporan Badan Kesehatan Dunia atau WHO, hipertensi merupakan penyebab nomor 1 kematian di dunia. Pada tahun 2008, di seluruh dunia, sekitar 40% dari orang dewasa berusia 25 tahun ke atas telah didiagnosa menderita hipertensi, jumlah orang dengan hipertensi meningkat dari 600 juta kasus pada tahun 1980 menjadi 1 miliar kasus pada tahun 2008. Walaupun sebagian besar dari mereka telah mengetahui bahwa mereka menderita hipertensi dan mengkonsumsi obat penurun tekanan darah, hanya 53,3% yang berhasil mengontrol tekanan darah dalam batas normal (WHO,2013).
7 Berdasarkan data WHO dari 50% penderita hipertensi yang diketahui hanya 25% yang mendapat pengobatan, dan hanya 12,5% yang diobati dengan baik (WHO, 2013). Prevalensi hipertensi atau tekanan darah di Indonesia cukup tinggi. Selain itu, akibat yang ditimbulkannya menjadi masalah kesehatan masyarakat. Hipertensi merupakan penyebab kematian nomor 3 setelah stroke (15,4%) dan tuberkulosis (7,5%), yakni mencapai 6,8% dari populasi kematian pada semua umur di Indonesia (Riskesdas, 2007). Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 yang diselenggarakan Kementerian Kesehatan menunjukkan, prevalensi hipertensi di Indonesia (berdasarkan pengukuran tekanan darah pada usia 18 tahun ke atas) sangat tinggi, yaitu 31,7% dari total penduduk dewasa. Prevalensi ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan Singapura (27,3%), Thailand (22,7%), dan Malaysia (20%). Berdasarkan hasil penelitian Indrawati, dkk (2009), terlihat bahwa variabel umur merupakan faktor risiko kejadian hipertensi. Katagori umur paling tua (75tahun ke atas) mempunyai faktor resiko 17 kali lebih besar dibandingkan katagori umur 15-24 tahun. Risiko menjadi lebih kecil dengan katagori umur 65-74 tahun, 55-64 tahun, 45-54 tahun, 35-44 tahun dan 25-34 tahun sebesar berturut-turut14, 9, 6, 4 dan 2 kali dibandingkan katagori umur15-24 tahun. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian EC Abort (2008) bahwa risiko hipertensi akan semakin meningkat dengan bertambahnya umur seseorang.
8 Dari hasil studi tentang kondisi sosial ekonomi dan kesehatan lanjut usia yang dilaksanakan Komnas Lansia di 10 propinsi tahun 2006, diketahui bahwa penyakit terbanyak yang diderita lansia adalah penyakit sendi (52,3%), dan hipertensi (38,8%), anemia (30,7%) dan katarak (23%). Penyakit-penyakit tersebut merupakan penyebab utama disabilitas pada lansia (Kemsos, 2007). Hasil penelitian Riskesdas (2007), menyebutkan bahwa prevalensi penyakit hipertensi di Indonesia berdasarkan kasus minum obat atau terdiagnosis oleh tenaga kesehatan yakni sebesar 65,2% pada lansia (usia 55 tahun keatas) lebih besar dibandingkan pada usia orang dewasa (usia < 55 tahun) sebesar 22,7%. Menurut data Kementerian Kesehatan RI tahun 2009 menunjukkan bahwa prevalensi hipertensi sebesar 29,6% dan meningkat menjadi 34,1% tahun 2010. Menurut data Kementerian Kesehatan RI tahun 2011 menunjukkan bahwa dari 10 besar penyakit rawat inap di Rumah Sakit tahun 2010, hipertensi menduduki peringkat ke-7 dengan jumlah 19.874 kasus dan CFR 4,81%. Dari 10 besar penyakit rawat jalan di Rumah Sakit tahun 2010, hipertensi menduduki peringkat ke-8 dengan jumlah 277.846 kunjungan kasus dan jumlah kasus baru 80.615 kasus (Profil Data Kesehatan Indonesia Tahun 2011, Kemenkes, 2012). Penyakit hipertensi esensial (primer) menduduki peringkat ke-1 dari 10 besar penyakit tidak menular (PTM) penyebab rawat inap di Rumah Sakit Indonesia pada tahun 2009 dan 2010 dengan proporsi 4,19% dan 4,39%. Dari 10 besar penyakit tidak menular (PTM) penyebab rawat jalan di Rumah Sakit Indonesia pada tahun 2009 dan
9 2010, hipertensi esensial (primer) menduduki peringkat ke-4 dengan proporsi 3,81% dan 3,93% (Buletin Penyakit Tidak Menular, Kemenkes, 2012). Masyarakat pada umumnya masih tidak peduli terhadap kondisi tekanan darahnya. Saat ini diperkirakan terdapat 76% kasus hipertensi di masyarakat yang belum terdiagnosis atau 76% masyarakat belum mengetahui bahwa mereka menderita hipertensi. Ini karena penderita tidak menyadari dirinya mengidap hipertensi (Riskesdas, 2007). Peningkatan prevalensi hipertensi dikaitkan dengan pertumbuhan penduduk, penuaan dan faktor risiko perilaku, seperti pola makan yang tidak sehat, penggunaan alkohol, kurangnya aktivitas fisik, berat badan berlebih dan paparan stress secara terus-menerus (WHO, 2013). Pada studi penelitian usia lanjut tentang gaya hidup lansia dapat mempengaruhi kesehatan. Faktor gaya hidup seperti kurang beraktivitas karena telah lanjut usia dan tidak bekerja lagi, kebiasaan merokok terutama lansia laki-laki, kebiasaan minum kopi, dan stress, merupakan faktor resiko munculnya penyakit hipertensi pada lansia (Kaplan, 2006). Hasil penelitian Budiman,dkk (2007), setelah dilakukan studi pendahuluan kepada 10 orang lansia dengan menggunakan data primer mengukur tekanan darah, menimbang berat badan dan pengisian kuesioner didapatkan hasil dari 10 orang lansia yang menderita hipertensi dengan tekanan darah > 140/90 mmhg sebesar 70%sedangkan tekanan darah < 120/80 mmhg sebesar 30%. Adapun faktor-faktor penyebab hipertensi pada lansia di antaranya faktor berat badan, asupan garam berlebih, merokok, umur, aktifitas fisik. Didapatkan hasil dari faktor-faktor penyebab
10 hipertensi pada lansia diantaranya berat badan sebesar 25%, asupan garam berlebih sebesar 20%, merokok sebesar 10%, umur sebesar 15% dan aktifitas fisik sebesar 10%. Sehingga didapatkan faktor yang sangat mempengaruhi penyakit hipertensi pada lansia adalah berat badan berlebih. Rata-rata lansia yang menderita hipertensi dengan faktor berat badan berlebih yaitu 21,88 lebih tinggi dibandingkan rata-rata lansia yang tidak hipertensi. Menurut penelitian Rahajeng, dkk, 2009, menjelaskan pengaruh risiko faktor perilaku terhadap kejadian hipertensi. Berdasarkan perilaku merokok, proporsi responden yang dulu pernah merokok setiap hari pada kelompok hipertensi ditemukan lebih tinggi (4,9%) daripada kelompok kontrol (2,6%), dan risiko perilaku pernah merokok ini secara bermakna ditemukan sebesar 1,11 kali dibandingkan yang tidak pernah merokok. Berdasarkan perilaku konsumsi alkohol, proporsi mengonsumsi alkohol 1 bulan terakhir ditemukan lebih tinggi pada kelompok hipertensi (4,0%) daripada kontrol (1,8%). Risiko hipertensi bagi mereka yang mengonsumsi alkohol 1 bulan terakhir ditemukan bermakna, yaitu sebesar 1,12 kali. Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 khusus penyakit tidak menular, prevalensi hipertensi di Provinsi Sumatera Utara ada di urutan keempat yaitu sebesar 5,80% setelah sakit persendian, jantung, dan gangguan mental emosional. Berdasarkan penyakit penyebab kematian pasien rawat inap di Rumah Sakit Kabupaten/ Kota Provinsi Sumatera Utara pada tahun 2008, hipertensi
11 menduduki peringkat pertama dengan proporsi kematian sebesar 27,02% (1.162 orang), pada kelompok umur 60 tahun sebesar 20,23%(1.349 orang). Menurut Profil Kesehatan Kabupaten Serdang Bedagai (2012), di kabupaten Serdang Bedagai terdapat penderita hipertensi sebanyak 6.272 orang, dan jumlah penderita hipertensi di wilayah kerja Puskesmas Silinda pada tahun 2012 sebanyak 324 orang. Data jumlah penduduk pada kelompok umur 60 tahun di Kabupaten Serdang Bedagai sebanyak 40.495 jiwa (0,06%) pada tahun 2011. Jumlah penduduk lanjut usia pada kelompok umur 60 tahun di wilayah kerja Puskesmas Silinda pada tahun 2011 sebanyak 629 jiwa. Jumlah penderita hipertensi pada lansia (kelompok umur 60 tahun) di wilayah kerja Puskesmas Silinda pada tahun 2012 sebanyak 262 orang. Hipertensi merupakan masalah yang sering ditemukan pada usia lanjut dan terbukti meningkatkan morbiditas dan mortalitas serta mengurangi tingkat kualitas hidup. Sembilan puluh persen kejadian hipertensi merupakan hipertensi primer (esensial), yaitu yang tidak diketahui penyebabnya sehingga sangat penting untuk mempelajari faktor risiko yang dapat menyebabkan hipertensi, baik sebagai faktor risiko yang dapat dikontrol maupun yang tidak dapat dikontrol (Bustan, 2007). Mengacu pada latar belakang tersebut di atas maka perlu dilakukan penelitian tentang faktor-faktor yang memengaruhi kejadian hipertensi pada lansia di Wilayah Kerja Puskesmas Silinda Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 2013.
12 1.2 Permasalahan Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan permasalahan penelitian ini adalah Faktor-faktor apa saja yang memengaruhi kejadian hipertensi pada lansia di Wilayah Kerja Puskesmas Silinda Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 2013. 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum Menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi kejadian hipertensi pada lansia di Wilayah Kerja Puskesmas Silinda Kecamatan Silinda Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 2013. 1.3.2 Tujuan Khusus a) Mengetahui pengaruh risiko yang tidak dapat diubah (riwayat keluarga/ keturunan) dengan kejadian hipertensi pada lansia di Wilayah Kerja Puskesmas Silinda Kecamatan Silinda Kabupaten Serdang Bedagai. b) Mengetahui pengaruh obesitas dengan kejadian hipertensi pada lansia di Wilayah Kerja Puskesmas Silinda Kecamatan Silinda Kabupaten Serdang Bedagai. c) Mengetahui pengaruh kebiasaan konsumsi makanan asindengan kejadian hipertensi pada lansia di Wilayah Kerja Puskesmas Silinda Kecamatan Silinda Kabupaten Serdang Bedagai. d) Mengetahui pengaruh kebiasaan merokok dengan kejadian hipertensi pada lansia di Wilayah Kerja Puskesmas Silinda Kecamatan Silinda Kabupaten Serdang Bedagai.
13 e) Mengetahui pengaruh stress psikologis dengan kejadian hipertensi pada lansia di Wilayah Kerja Puskesmas Silinda Kecamatan Silinda Kabupaten Serdang Bedagai. f) Mengetahui pengaruh kebiasaan aktivitas fisik dengan kejadian hipertensi pada lansia di Wilayah Kerja Puskesmas Silinda Kecamatan Silinda Kabupaten Serdang Bedagai. g) Mengetahui pengaruh kebiasaan minum alkohol dengan kejadian hipertensi pada lansia di Wilayah Kerja Puskesmas Silinda Kecamatan Silinda Kabupaten Serdang Bedagai. h) Mengetahui pengaruh kebiasaan konsumsi makanan berlemak dengan kejadian hipertensi pada lansia di Wilayah Kerja Puskesmas Silinda Kecamatan Silinda Kabupaten Serdang Bedagai. 1.4 Hipotesis a. Ada pengaruh faktor risiko yang tidak dapat diubah (riwayat keluarga/keturunan) dengan kejadian hipertensi pada lansia di Wilayah Kerja Puskesmas Silinda Kecamatan Silinda Kabupaten Serdang Bedagai. b. Ada pengaruh faktor risiko yang dapat diubah (obesitas, kebiasaan konsumsi makanan asin, kebiasaan merokok, stress psikologis, kebiasaan aktivitas fisik, kebiasaan minum alkohol, dan kebiasaan konsumsi makanan berlemak) dengan kejadian hipertensi pada lansia di Wilayah Kerja Puskesmas Silinda Kecamatan Silinda Kabupaten Serdang Bedagai.
14 1.5 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, antara lain : 1.5.1 Sebagai bahan masukan bagi Puskesmas Silinda tentang penyakit hipertensi, agar dapat mengambil tindakan yang diperlukan untuk mengurangi kejadian hipertensi dengan mengendalikan faktor risiko pada penderita. 1.5.2 Bagi Dinas Kesehatan Serdang Bedagai menjadi masukan untuk menyusun program preventif dan promotif masalah hipertensi pada lansia dan ancaman penyakit degeneratif. 1.5.3 Memberikan informasi bagi keluarga yang memiliki lansia tentang hipertensi, agar dapat segera melakukan tindakan atau pencegahan dini sehingga dampak hipertensi tidak semakin berat bagi kesehatan penderita.