I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tabel 1 Kelompok Bahan Makanan

dokumen-dokumen yang mirip
I. PENDAHULUAN *

I PENDAHULUAN. Aman, dan Halal. [20 Pebruari 2009]

BAB I PENDAHULUAN. Tahun (juta orang)

ANALISIS TATANIAGA KELINCI PADA KAMPOENG KELINCI DESA GUNUNG MULYA KECAMATAN TENJO LAYA KABUPATEN BOGOR

I. PENDAHULUAN. Kebutuhan daging nasional sekitar ton per tahun, namun belum

BAB I PENDAHULUAN. mendapatkan keuntungan dari kegiatan tersebut (Muhammad Rasyaf. 2002).

IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 4.2 Jenis dan Sumber Data 4.3 Metode Pengumpulan Data

PENDAHULUAN. Tabel 1. Perkembangan PDB Hortikultura Tahun Komoditas

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Pertanian merupakan sektor potensial yang memegang peranan penting

I. PENDAHULUAN. dan siap untuk dimakan disebut makanan. Makanan adalah bahan pangan

PENDAHULUAN. Tabel 1. Perkembangan PDB Hortikultura Atas Dasar Harga Berlaku di Indonesia Tahun Kelompok

I. PENDAHULUAN. dalam pembangunan sektor pertanian. Pada tahun 1997, sumbangan Produk

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Tinjauan Komoditas Sejarah Ayam Petelur. Ayam liar atau ayam hutan adalah ayam yang pertama kali dipelihara oleh

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sub sektor peternakan merupakan bagian dari pembangunan

I. PENDAHULUAN. Permintaan produk peternakan terus meningkat sebagai konsekuensi. adanya peningkatan jumlah penduduk, bertambahnya proporsi penduduk

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Kontribusi Tanaman Pangan Terhadap PDB Sektor Pertanian pada Tahun (Miliar Rupiah)

I. PENDAHULUAN. industri dan sektor pertanian saling berkaitan sebab bahan baku dalam proses

BAB I PENDAHULUAN. Potensi usaha peternakan di Indonesia sangat besar. Kondisi geografis

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sektor peternakan merupakan bagian integral dari. pembangunan pertanian dan pembangunan nasional. Sektor peternakan di

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Sebaran Struktur PDB Indonesia Menurut Lapangan Usahanya Tahun

I PENDAHULUAN. 2,89 2,60 2,98 3,35 5,91 6,20 Makanan Tanaman Perkebunan 0,40 2,48 3,79 4,40 3,84 4,03. Peternakan 3,35 3,13 3,35 3,36 3,89 4,08

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara agraris dengan sumberdaya hutan yang

I. PENDAHULUAN. kontribusi positif terhadap pertumbuhan Produk Domestik Bruto Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. Pangan merupakan kebutuhan dasar dan pokok yang dibutuhkan oleh

I. PENDAHULUAN. Sumber : BPS (2009)

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I PENDAHULUAN. terhadap pembangunan perekonomian Indonesia. Kebutuhan protein hewani dari

ANALISIS TATANIAGA KELINCI (Orictolagus, Spp.) DI KABUPATEN KARO ABSTRAK

I. PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang terkenal dengan sebutan negara agraris,

I. PENDAHULUAN. 1 Sapi 0,334 0, Kerbau 0,014 0, Kambing 0,025 0, ,9 4 Babi 0,188 0, Ayam ras 3,050 3, ,7 7

I. PENDAHULUAN. sektor pertanian yang memiliki nilai strategis antara lain dalam memenuhi

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Usaha sektor peternakan merupakan bidang usaha yang memberikan

1 PENDAHULUAN. Sumber : Direktorat Jendral Peternakan 2010

BAB I. PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

I. PENDAHULUAN. industri pertanian, dimana sektor tersebut memiliki nilai strategis dalam

I. PENDAHULUAN. Globalisasi dan liberalisasi perdagangan memberikan peluang sekaligus

BAB I PENDAHULUAN. banyak membutuhkan modal dan tidak memerlukan lahan yang luas serta sebagai

PEMANFAATAN DAN ANALISIS EKONOMI USAHA TERNAK KELINCI DI PEDESAAN

BAB I PENDAHULUAN. dapat berupa melaksanakan produksi, perdagangan dan distribusi produk

I. PENDAHULUAN. Sumber : Direktorat Jenderal Hortikultura (2011)

I. PENDAHULUAN. 1 Kementerian Pertanian Kontribusi Pertanian Terhadap Sektor PDB.

I. PENDAHULUAN. nasional. Pembangunan pertanian memberikan sumbangsih yang cukup besar

BAB I PENDAHULUAN. Pertanian memiliki beberapa sektor seperti peternakan, perikanan, perkebunan,

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Jumlah Tenaga Kerja Usia 15 Tahun ke Atas Menurut Lapangan Pekerjaan Tahun 2011

I. PENDAHULUAN. kontribusi besar dalam pengembangan pertanian di Indonesia. Dalam beberapa

I PENDAHULUAN. Tabel 1. Data Kandungan Nutrisi Serealia per 100 Gram

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai bobot badan antara 1,5-2.8 kg/ekor dan bisa segera

BAB I PENDAHULUAN. Bruto (PDB) Indonesia, dan berperan penting dalam perekonomian nasional

BAB I PENDAHULUAN. Potensi usaha peternakan di Indonesia sangat besar. Dengan kondisi geografis

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki sumber daya melimpah

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kondisi Peternakan Sapi Perah di Indonesia

III. KERANGKA PEMIKIRAN

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB IV METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan di Desa Ciaruten Ilir, Kecamatan Cibungbulang,

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

KERAGAAN PENGEMBANGAN TERNAK SAPI POTONG YANG DIFASILITASI PROGRAM PENYELAMATAN SAPI BETINA PRODUKTIF DI JAWA TENGAH

BAB I. PENDAHULUAN. pembangunan Nasional. Ketersediaan pangan yang cukup, aman, merata, harga

BAB I PENDAHULUAN. mengandung protein dan zat-zat lainnya seperti lemak, mineral, vitamin yang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tabel 1. Hortikultura

PENDAHULUAN. Daging unggas adalah salah jenis produk peternakan yang cukup disukai. Harga yang relatif terjangkau membuat masyarakat atau

I. PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

PENDAHULUAN. akan protein hewani berangsur-angsur dapat ditanggulangi. Beberapa sumber

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan daerah pada hakekatnya merupakan bagian integral dan

I. PENDAHULUAN. Gambar 1 Proyeksi kebutuhan jagung nasional (Sumber : Deptan 2009, diolah)

PENDAHULUAN. setelah beras. Jagung juga berperan sebagai bahan baku industri pangan dan

I. PENDAHULUAN. Jumlah penduduk selalu bertambah dari tahun ke tahun, hal tersebut terus

I. PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati yang sangat besar (mega biodiversity) berupa sumber

I PENDAHULUAN. Sumber: Badan Pusat Statistik 2009

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

POLA PERDAGANGAN MASUKAN DAN KELUARAN USAHA TERNAK AYAM RAS"

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mempunyai potensi untuk dikembangkan. Ternak ini berasal dari keturunan

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN. Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki jumlah penduduk yang

I. PENDAHULUAN. potensi sumber daya alam yang besar untuk dikembangkan terutama dalam

REALISASI PROGRAM DAN KEGIATAN DINAS PETERNAKAN DAN PERIKANAN KABUPATEN BOGOR 2013

I. PENDAHULUAN. pertumbuhan tubuh dan kesehatan manusia. Kebutuhan protein hewani semakin

Bab 4 P E T E R N A K A N

dan produktivitasnya sehingga mampu memenuhi kebutuhan IPS. Usaha

BAB I PENDAHULUAN. disertai dengan laju pertumbuhan penduduk yang cukup pesat. Meningkatnya

I PENDAHULUAN. Tabel 1. Nilai PDB Hortikultura Berdasarkan Harga Berlaku Pada Tahun Kelompok

1. PENDAHULUAN. sangat tinggi. Jumlah penduduk Indonesia di tahun 2008 diperkirakan sebesar

PENDAHULUAN. Populasi ternak sapi di Sumatera Barat sebesar 252

PENDAHULUAN. untuk memenuhi kebutuhan yang tidak dapat dipenuhi oleh pekerjaan utamanya.

I. PENDAHULUAN. Sumber: Badan Pusat Statistik (2009)

I. PENDAHULUAN. Produksi (kg)

I. PENDAHULUAN. pasokan sumber protein hewani terutama daging masih belum dapat mengimbangi

TERNAK KELINCI. Jenis kelinci budidaya

Pengaruh penggunaan tepung azolla microphylla dalam ransum terhadap. jantan. Disusun Oleh : Sigit Anggara W.P H I.

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Prioritas pembangunan di Indonesia diletakkan pada pembangunan bidang

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Data Perkembangan Koperasi tahun Jumlah

I. PENDAHULUAN. Indonesia akan pentingnya protein hewani untuk kesehatan dan kecerdasan

Transkripsi:

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan subsektor peternakan merupakan bagian dari pembangunan sektor pertanian, dimana sektor pertanian memiliki peran strategis dalam memenuhi kebutuhan pangan yang terus meningkat atas bertambahnya jumlah penduduk Indonesia. Keberhasilan pembangunan tersebut ternyata berdampak pada perubahan pola konsumsi masyarakat yang semula lebih banyak mengkonsumsi karbohidrat kearah konsumsi seperti daging, telur dan susu. Perubahan pola konsumsi yang menyertai peningkatan jumlah penduduk Indonesia ini, merupakan penyebab utama terjadinya peningkatan produk peternakan dalam negeri. Menurut Direktorat Jendral Peternakan dan Kesehatan Hewan, nilai PDB subsektor peternakan meningkat sebesar 1,2 triliun dimana pada tahun 2008 PDB subsektor peternakan yaitu sebesar 35,4 triliun dari tahun 2007 yaitu 34,2 triliun (angka tetap). Peningkatan nilai PDB juga meningkatkan konsumsi produk yang dihasilkan oleh subsektor pertanian diantaranya daging, susu dan telur. Tabel 1. Rata-rata Konsumsi Protein Penduduk Indonesia Menurut Kelompok Makanan Tahun 2005-2009 (gram/kapita/hari) No Kelompok Bahan 2005 2006 2007 2008 2009 Makanan 1 Beras 23.42 23.33 22.43 22.75 22.06 2 Makanan Jadi 6.24 5.83 7.33 8.36 8.10 3 Ikan 7.92 7.49 7.77 7.94 7.28 4 Kacang-kacangan 5.78 5.88 6.51 5.49 5.19 5 Telur dan Susu 2.56 2.51 3.23 3.05 2.96 6 Sayuran 2.64 2.66 3.02 3.01 2.58 7 Daging 2.47 1.95 2.62 2.40 2.22 Jumlah 55.29 53.66 57.66 57.49 54.34 Sumber : Statistik Peternakan 2011, Direktorat Jendral Peternakan Berdasarkan Tabel 1 terlihat bahwa rata-rata konsumsi protein dari daging penduduk Indonesia dalam periode tahun 2005-2009 berada pada posisi ketujuh atau terakhir dibawah dari kacang-kacangan, telur dan susu, dan sayuran. Tingkat konsumsi protein daging penduduk Indonesia rata-rata dari tahun 2005-2009 yaitu berkisar antara 2,3 2,4 gram per kapita per hari yang berarti masih dibawah 1

norma gizi yang dianjurkan yaitu sekitar 6 gram per kapita per hari untuk konsumsi protein hewani (Ditjennak, 2012). Daging adalah salah satu bahan pangan asal ternak sumber protein hewani yang sangat diperlukan oleh tubuh manusia, karena bahan pangan ini secara biokhemis serupa dengan manusia, terutama asam amino essensialnya, sehingga daging dapat digunakan sebagai makanan tunggal, disamping itu kaya akan vitamin B kompleks dan mineral besi yang sangat diperlukan oleh tubuh. Meskipun masyarakat mengetahui nilai gizi yang dikandung daging, tetapi hanya mereka yang mampu saja dapat mengkonsumsi daging, karena dibandingkan dengan bahan pangan sumber protein hewani lainnya yaitu ikan, susu dan telur maka daging menduduki peringkat teratas dalam nilai jualnya. Harga daging sapi per kilogram Rp 65.000, harga ikan per kilogram Rp 25.000 dan harga telur Rp 18.000 per kilogram 1). Daging dari ternak unggas dapat diandalkan sebagai penyedia daging, karena mempunyai kapasitas reproduksi yang tinggi dengan tingkat pertumbuhan yang cepat, tetapi membutuhkan pakan yang berkompetisi dengan manusia sehingga perlu dicari jenis ternak lain yang mempunyai potensi biologis tinggi sebagai penghasil daging dengan pemeliharaan yang mudah dan murah. Ternak yang masuk ke dalam kategori ini antara lain Kelinci. Menurut Ryan Masanto dan Ali Agus, kelinci mempunyai potensi biologis yang tinggi yaitu kemampuan reproduksi yang tinggi, cepat berkembang biak, interval kelahiran yang pendek, prolifikasi yang sangat tinggi, mudah pemeliharan dan tidak membutuhkan lahan yang luas. Keuntungan lainnya yaitu pertumbuhan yang cepat, sehingga cocok untuk diternakkan sebagai penghasil daging komersial. Selain sebagai penghasil daging, kelinci juga merupakan hewan hias yang sangat potensial seperti penghasil bulu, fur (kulit dan bulu) atau sebagai ternak hias. Menurut informasi dari Balai Latihan Pegawai Pertanian (BLPP) Ciawi, Bogor, pasar komoditas kelinci semakin meningkat. Peningkatan tersebut terjadi karena kritik yang dikatakan oleh para pencinta alam dan lingkungan seperti Greenpeace, terhadap perburuan dan pembantaian satwa liar. 1) http://www.radar bogor.com [18 januari 2012] 2

Menurut Ryan Masanto dan Ali Agus (2010) tujuan pemeliharaan kelinci di Indonesia cukup beragam, mulai dari sebagai kelinci hias, kelinci penghasil bulu dan kelinci penghasil daging. Kelinci hias adalah jenis kelinci yang dipelihara sebagai hewan kesayangan (pet) yang didasarkan pada bentuk dan ukuran tubuh kecil, lucu serta berbulu indah, tebal dan lembut. Bangsa kelinci hias antara lain angora, lops, yersey woolies, lions, fuzzy dan mini rex. Tujuan pemeliharaan kelinci kedua adalah penghasil kulit dan bulu. Kriteria kelinci ini adalah memiliki bulu-bulu yang eksotis dan indah, menarik serta bernilai tinggi sehingga potensial untuk diekspor dengan mutu kualitas fisik kulit yang tinggi. Kulit dan bulu ini umumnya dimanfaatkan sebagai bahan baku kerajinan interior mobil, boneka, tas dan jaket. Contoh kelinci penghasil kulit bulu adalah Rex dan Satin. Sementara kelinci pedaging memiliki kriteria persentase karkas 50-60 persen, bobot badan mencapai 2 kilogram pada umur 8 minggu dan memiliki laju pertumbuhan tinggi, sekitar 40 gram per ekor per hari. Jawa Barat merupakan provinsi ketiga populasi kelinci terbesar di Indonesia dengan jumlah populasi yaitu pada tahun 2011 mencapai 121.909 ekor. Populasi kelinci terbesar terdapat pada provinsi Jawa Tengah yaitu 346.348 ekor kemudian provinsi Lampung yaitu 301.932 ekor kelinci. Hal ini terlihat bahwa populasi kelinci di Jawa Barat cukup banyak (Ditjennak, 2011). Kelinci merupakan salah satu komoditas hias dan pangan penghasil daging yang mulai dikembangkan di wilayah Bogor. Di wilayah Bogor tingkat pertumbuhan kelinci dari tahun 2007 ke tahun 2008 meningkat sebesar 97,4 persen, kemudian dari tahun 2008 ke tahun 2009 tingkat pertumbuhan kelinci sebesar 24,7 persen, pada tahun 2009 ke tahun 2010 tingkat pertumbuhan kelinci sebesar 78,8 persen, kemudian pada tahun 2010 ke tahun 2011 tingkat pertumbuhan kelinci sebesar 49,6 persen hal ini terlihat pada Tabel 2. 3

Tabel 2. Tingkat Pertumbuhan Kelinci Di Kabupaten Bogor No Tahun Jumlah (Ekor) 1 2007 5.756 2 2008 11.362 3 2009 14.165 4 2010 25.324 5 2011 37.892 Sumber : Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor (2011) Tingginya tingkat pertumbuhan kelinci dikarenakan pemerintah Bogor mulai gencar menggalakan pengembangan ternak kelinci, salah satunya adalah pembentukan Kampoeng Kelinci yang bertempat di Desa Gunung Mulya Kecamatan Tenjo Laya. Pada Tabel 3 dapat dilihat bahwa populasi kelinci tertinggi pada Kabupaten Bogor terdapat pada Kecamatan Tenjo Laya, hal ini karena kecamatan Tenjo Laya di programkan oleh pemerintah sebagai sentra penghasil kelinci di Bogor. Tabel 3. Populasi Kelinci Di Kabupaten Bogor per Kecamatan No Kecamatan Populasi (Ekor) 1 Tenjolaya 9.551 2 Pamijahan 8.026 3 Cibungbulang 3.241 4 Megamendung 2.980 5 Cisarua 2.845 6 Tamansari 1.476 7 Ciawi 1.241 8 Dramaga 1.196 9 Leuwiliang 1.190 Sumber : Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor (2011) Desa Gunung Mulya adalah salah satu desa yang terletak di Kecamatan Tenjo Laya Kabupaten Bogor. Pada tanggal 24 bulan Sepetember Tahun 2011, Desa Gunung Mulya ditetapkan oleh pemerintah dalam hal ini Direktur Budidaya Ternak dan Kesehatan Hewan Departemen Pertanian Republik Indonesia sebagai Kampoeng Kelinci. Penetapan Desa Gunung Mulya Kecamatan Tenjo Laya sebagai Kampoeng Kelinci oleh Ditjennak RI karena desa ini telah memenuhi beberapa persyaratan yang sudah ditetapkan oleh diantaranya memiliki jumlah peternak kelinci 40 persen (jika budidaya dalam musim normal), memiliki potensi untuk dikembangkan, bukan daerah endemik penyakit serta Desa Gunung Mulya 4

sudah membudidayakan dan memasarkan kelinci sejak Tahun 1990-an sampai sekarang (Ditjennak, 2012). Masyarakat Desa Gunung Mulya sudah membudidayakan kelinci secara turun-temurun mulai dari kelinci jenis hias dan kelinci pedaging. Jenis kelinci hias yaitu kelinci hias jenis lokal dan luar serta kelinci jenis pedaging. Selain alasan diatas, penetapan Desa Gunung Mulya Kecamatan Tenjolaya sebagai Kampung Kelinci adalah karena desa ini merupakan desa penghasil kelinci tertinggi dibandingkan dengan desa-desa lainnya yang ada di Kecamatan Tenjo Laya. Hal ini mengindikasikan bahwa jumlah kelinci yang dibudidayakan di Desa Gunung Mulya lebih banyak dibandingkan dengan desa lainnya hal ini terlihat pada Tabel 4. Oleh karena itu sangat penting untuk menganalisis tataniaga kelinci di desa ini agar dapat memberikan alternatif saluran yang efisien bagi peternak tentang tataniaga kelinci baik itu kelinci jenis hias, lokal dan pedaging, karena kegiatan budidaya sangat terkait dengan kegiatan tataniaga (pemasaran). Tabel 4. Populasi Ternak Kelinci Di Desa Gunung Mulya dibandingkan desa lainnya dalam Kecamatan Tenjolaya (Ekor) No Desa Kambing Domba Kelinci 1 Tapos 1 308 444 46 2 Gunung Mulya 300 469 3.199 3 Tapos 2 216 477 123 4 Situ Daun 254 522 360 5 Cibitung tengah 236 349-6 Cimanggu 195 360 - Jumlah 1.509 2.621 3.728 Sumber: Badan Pusat Statistik Bogor (2010) 1.2 Perumusan Masalah Menurut Ditjennak (2012) usaha budidaya ternak kelinci sebagai penghasil daging lebih menguntungkan dibandingkan dengan ternak lain, terutama ruminansia karena kelinci merupakan ternak prolifik, dapat bunting dan menyusui pada waktu yang bersamaan, interval beranak cepat dan dapat tumbuh cepat. Keuntungan ekonomi yang diperoleh pada usaha kecil dan menengah anatara lain : kebutuhan modal tetap dan modal kerja yang relatif kecil, pakan tidak tergantung pada bahan baku impor dan mampu mengkonsumsi hijauan dan tidak bersaing 5

dengan pangan, mudah beradaptasi terhadap lingkungan dan mudah dibudidayakan, tidak membutuhkan lahan luas, menghasilkan beragam produk seperti daging, kulit, kulit-bulu, pupuk organik, kelinci hias, kualitas daging mengandung protein tinggi dan rendah kolesterol. Potensi besar tersebut belum dimanfaatkan secara optimal, sehingga konstribusi dalam peningkatan pendapatan masyarakat secara nasional maupun regional belum nyata. Kecamatan Tenjo Laya oleh pemerintah Kabupaten Bogor dicanangkan sebagai sentra penghasil kelinci di Bogor dan Desa Gunung Mulya di tetapkan sebagi Kampoeng Kelinci yang bertujuan untuk pemenuhan kebutuhan daging. Kelinci yang dibudidayakan di Desa Gunung Mulya terbagi menjadi tiga jenis yaitu kelinci hias jenis lokal, kelinci hias jenis luar dan kelinci pedaging. Permasalahan tataniaga kelinci yang terdapat pada Desa Gunung Mulya adalah harga yang diterima peternak lebih rendah dibandingkan yang dijual kepada konsumen. Berdasarkan hasil pengamatan, dalam seminggu terdapat pembeli yang mendatangi desa ini untuk membeli kelinci hias dan pedaging. Pembeli biasanya adalah para tengkulak, koperasi dan pengecer yang berasal dari dalam dan luar Kota Bogor atau para konsumen. Harga jual per ekor kelinci hias jenis lokal adalah Rp 10.000 per ekor, namun harga yang diterima konsumen mencapai Rp 25.000 per ekor. Begitu pula dengan harga daging kelinci yang dijual oleh peternak Rp 18.500 per kilogram, harga yang diterima konsumen mencapai Rp 70-88.000 per kilogram olahan daging kelinci yaitu nugget kelinci. Hal ini mengindikasikan bahwa margin tataniaga yang tinggi dan bagian yang diterima peternak rendah. Bagian harga yang diterima peternak (farmer s share) yang rendah yaitu misalnya pada kelinci pedaging, bagian yang diterima peternak hanya 21 persen (Rp 18.500 kilogram daging) dari harga yang dibayarkan konsumen (Rp 88.000 kilogram nugget). Hal ini menunjukkan bahwa posisi tawar peternak yang lemah sehingga margin tataniaga semakin besar. Hal ini menunjukkan bahwa belum tercapainya efisiensi dalam tataniaga kelinci. Menurut Limbong dan Sitorus (1985) Pemasaran yang tidak efisien akan mengakibatkan kecilnya bagian yang diterima produsen, dilain pihak konsumen akan membayar dengan harga tinggi. 6

Oleh karena itu penelitian ini penting dilakukan agar dapat memberikan alternatif saluran tataniaga(pemasaran) yang paling baik bagi peternak kelinci baik peternak kelinci hias jenis lokal dan luar serta pedaging dalam menyalurkan produknya sehingga dapat meningkatkan pendapatan yang diterima peternak dan memperkecil margin tataniaga. Berdasarkan uraian di atas, maka perumusan masalahnya adalah : 1. Bagaiman saluran dan fungsi tataniaga kelinci hias jenis lokal, luar dan pedaging yang dilakukan oleh lembaga-lembaga tataniaga kelinci di Desa Gunung Mulya Kecamatan Tenjolaya Kabupaten Bogor? 2. Bagaimana struktur dan perilaku pasar pada masing-masing lembaga tataniaga kelinci di Desa Gunung Mulia Kecamatan Tenjolaya Kabupaten Bogor? 3. Bagaimana margin tataniaga, Farmer s share, rasio keuntungan dan biaya pada tataniaga kelinci hias jenis lokal, luar dan pedaging di Desa Gunung Mulya Kecamatan Tenjolaya Kabupaten Bogor serta bagaimana efisiensi tataniaga dilihat dari ratio keuntungan terhadap biaya? 1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan yang telah tertuang dan diuraikan dalam perumusan masalah, maka tujuan penelitian ini adalah : 1. Mengidentifikasi dan menganalisis saluran dan fungsi tataniaga kelinci hias jenis lokal, luar dan pedaging yang dilakukan oleh lembaga-lembaga tataniaga kelinci di Desa Gunung Mulia Kecamatan Tenjo Laya Kabupaten Bogor. 2. Mengidentifikasi dan menganalisis stuktur dan perilaku pasar pada masingmasing lembaga yang terlibat pada tataniaga kelinci di Desa Gunung Mulia Kecamatan Tenjo Laya Kabupaten Bogor. 3. Menganalisis margin tataniaga, Farmer s share, rasio keuntungan dan biaya pada tataniaga kelinci hias jenis lokal, luar dan pedaging di Desa Gunung Mulya Kecamatan Bogor serta menganalisis efisiensi tataniaga diantara ketiga jenis kelinci berdasarkan ratio keuntungan terhadap biaya. 7

1.4 Manfaat Penelitian Penelitian yang akan dilaksanakan diharapkan dapat memberikan manfaat : 1. Sebagai bahan informasi dan bahan pertimbangan bagi pihak dalam mengambil keputusan untuk melakukan budidaya Kelinci. 2. Sebagai bahan informasi bagi pihak yang ingin mengetahui sistem tataniaga Kelinci Pada Desa Gunung Mulia Kecamatan Tenjolaya kabupaten Bogor. 3. Sebagai bahan informasi bagi pelaku pasar dalam memilih saluran pemasaran serta menjadi bahan pertimbangan bagi pengambil keputusan dalam menetukan kebijakan yang berkenaan dengan tataniaga Kelinci. 4. Sedangkan bagi peneliti sendiri, penelitian ini diharapkan dapat menembah wawasan tentang saluran pemasaran kelinci dalam menerapkan ilmu yang diperoleh. 1.5 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian tentang tataniaga kelinci di Desa Gunung Mulya terbagi menjadi tiga yaitu tataniaga kelinci hias lokal yaitu kelinci hias lokal yang berumur 3-4 minggu, kelinci hias luar yang berumur 3-4 minggu dengan jenis seperti Angora, Rex dan bulu karpet, dan kelinci jenis pedaging dengan usia diatas 3 bulan. 8