1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia ini banyak sekali orang yang kurang bisa memperhatikan tentang kesehatan tubuhnya. Kebiasaan orang-orang, yaitu menjalankan aktivitas seperti bekerja dan sekolah. Kebanyakan orang menghabiskan waktu dan tenaganya untuk melakukan aktivitas tersebut. Ketika dalam kondisi sehat orang dapat melakukan segala aktivitas sedangkan ketika dalam kondisi tidak sehat akan menimbulkan perasaan tidak nyaman dalam melakukan aktivitas, hal itu bisa disebabkan karena waktu istirahat berkurang, jarang melakukan olahraga dan pola makan kesehariannya kurang diperhatikan dengan baik, sehingga dapat memicu terjadinya suatu penyakit. Orang yang terkena penyakit tidak melihat umur entah usia muda ataupun tua, semua orang bisa terkena penyakit. Jenis penyakit bermacam-macam yang disebabkan oleh gaya hidup yang tidak baik dan tidak sehat seperti, jantung, diabetes melitus (DM), hipertensi dan lainnya. Menurut Martuti (2009), gaya hidup yang kurang baik dapat memicu hipertensi. Kebiasaan mengkonsumsi makanan cepat saji dan makanan olahan dengan kandungan garam yang tinggi memicu naiknya tekanan darah. Gaya hidup seperti kebiasan merokok, minum-minuman beralkohol, dan kurang olahraga dapat mempengaruhi peningkatan tekanan darah. Tekanan darah menurut Khasanah (2012) adalah dorongan yang ditimbulkan jantung untuk mendorong agar darah terus mengalir ke seluruh 1
2 tubuh melalui pembuluh darah. Tanpa adanya kekuatan untuk memompa secara terus-menerus dalam sistem peredaran darah, darah segar tidak dapat terbawa ke otak dan seluruh jaringan tubuh. Menurut Khasanah (2012) tekanan darah dapat dibagi menjadi dua yaitu tekanan darah tinggi dan rendah. Bayi dan anak-anak secara normal memiliki tekanan darah yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan orang dewasa. Tekanan darah biasanya dipengaruhi oleh aktivitas fisik. Tekanan darah akan lebih tinggi pada saat melakukan aktivitas fisik yaitu pada pagi hari dan akan lebih rendah ketika seseorang sedang beristirahat yaitu di waktu malam hari. Tekanan darah yang tinggi akan menimbulkan penyakit hipertensi. Menurut Khasanah (2012), penyakit hipertensi adalah gejala peningkatan tekanan darah yang mengakibatkan persediaan oksigen dan nutrisi yang dibawa oleh darah terhambat sampai ke jaringan tubuh yang membutuhkan. Penyakit hipertensi lebih banyak menyerang orang-orang pada usia setengah baya yaitu pada golongan usia 55-64 tahun. Klasifikasi tekanan darah pada Dewasa menurut JNC VII yaitu normal <120/<80 mmhg, pre-hipertensi 120-139/80-89 mmhg, stadium 1 140-159/90-99 mmhg, stadium II 160/ 100 mmhg (https://obatalamidarahtinggi94.wordpress.com/2014/12/25/klasifikasi-tekanandarah-tinggi-menurut-jnc-vii/). Hipertensi di Asia, pada tahun 1997, diperkirakan telah mencapai 8-18%. Bahkan, di negara berkembang dari 50% orang yang diketahui mengalami hipertensi, hanya 25% yang mendapat pengobatan dan dari 25% tersebut hanya 12,5% yang mendapat perawatan atau pengobatan dengan baik (Boedhi, 1993).
3 Menurut data WHO (World Health Organization) pada tahun 2012 jumlah kasus hipertensi ada 839 juta kasus. Kasus ini diperkirakan akan semakin tinggi pada tahun 2025 dengan jumlah 1,15 milyar kasus atau sekitar 29% dari total penduduk dunia. Berdasarkan studi pendahuluan yang telah dilakukan di Puskesmas 1 Purwokerto Timur, peneliti memperoleh data hipertensi yang sedang melakukan rawat jalan pada Tahun 2017, dari bulan September. Dengan rata-rata usia 45-64 tahun, data yang diperoleh sebanyak 76 pasien. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan, subjek ER, telah mengalami hipertensi selama 3 Tahun, subjek memiliki riwayat dari keluarganya yaitu ayah dan kakaknya yang mengalami hipertensi, ketika subjek sedang mengalami banyak permasalahan maka tekanan darahnya akan naik. Subjek merasa pusing, pundak seperti kram, dan sulit tidur. Ketika tekanan darah sedang tinggi subjek lebih sering marah, mudah tersinggung pada hal-hal yang tidak disukai olehnya. Ketika subjek dihadapkan pada permasalahan yang banyak, subjek sering merasa cemas dan khawatir. Subjek bercerita bahwa sekarang sedang mengalami banyak permasalahan yang menyangkut keluarganya dan sulit membagi waktu untuk menyelesaikannya. Ketika subjek sedang bekerja subjek merasa tidak tenang, sehingga tidak fokus dan menyebabkan pekerjaannya berantakan. Sehingga dianjurkan oleh dokter agar tidak melakukan aktivitas secara berlebihan, istirahat yang cukup dan terutama mengatur pola makan. Kemudian wawancara subjek SA, subjek sudah mengalami hipertensi selama kurang lebih 5 Tahun, yang sering subjek rasakan yaitu merasa sering
4 pusing, terkadang jantungnya berdebar dan pundak seperti kesemutan. Ketika subjek dihadapkan dalam suatu permasalahan yang sulit, subjek terkadang masih menahan emosi, memilih untuk diam dan tidak mengungkapkan, sampai keadaan itu mereda dengan sendirinya. Subjek biasanya dalam menyelesaikan suatu masalah, tidak terburu-buru dan mencoba untuk tenang dalam menyelesaikannya. Dan ketika merasa kesal terhadap sesuatu, subjek lebih suka menonton tv atau melakukan hal lain yang membuat subjek merasa sedikit tenang. Wawancara dengan subjek SH, subjek mengatakan bahwa tidak ada faktor keturunan keluarga yang menderita hipertensi, hanya saja subjek kurang bisa mengontrol pola makannya. Subjek mudah marah pada hal-hal yang tidak disukai dan subjek langsung melontarkan kata-kata yang tidak subjek sukai. Subjek sering merasa khawatir apabila tekanan darahnya tidak kunjung turun. Beberapa bahaya atau dampak buruk (http://halosehat.com/ penyakit/darah-tinggi/bahaya-darah-tinggi) yang dapat di timbulkan karena darah tinggi atau hipertensi seperti :1) stroke, 2) retinopati hipertensif, 3) pembuluh darah arteri, 4) gangguan pada ginjal, 5) serangan jantung, 6) sindrom metabolic, 7) menyebabkan kelelahan, 8) rasa nyeri pada bagian dada, 9) sakit kepala dan pusing, 10) denyut nadi dan jantung yang tidak teratur, dan 11) menjadi mudah marah, yaitu menjadi salah satu dampak buruk yang sudah terbukti dan sering dialami orang yang mempunyai penyakit hipertensi yaitu mudah marah atau memiliki emosi yang tidak stabil hal itu terjadi ketika tekanan darahnya sedang tinggi-tingginya. Hal ini akan membuat penderita mudah marah
5 dan merasa bahwa segala sesuatu yang ada di sekitarnya adalah sesuatu yang sangat mengganggu bagi dirinya. Menurut Hartanti (2015), menyebutkan beberapa faktor yang mempengaruhi penyakit hipertensi yaitu faktor usia yang merupakan bagian dari penyebab peningkatan tekanan darah. Menurut Martuti (2009), tekanan darah seseorang akan meningkat seiring bertambahnya usia. semakin tua usianya, maka semakin besar kemungkinan menderita hipertensi. Selain itu faktor lainnya seperti jenis kelamin, latihan fisik, makanan, stress emosional, obesitas, serta kondisi pembuluh darah juga tidak luput dari faktor yang mempengaruhi peningkatan tekanan darah. Berdasarkan beberapa faktor yang disebutkan di atas, terkait dengan faktor stress emosional yang dapat meningkatkan tekanan darah khususnya dalam penelitian yang dilakukan oleh Prasetyorini dan Praweti (2012) bahwa salah satu penyebab peningkatan darah pada pasien hipertensi adalah stress emosional. Menurut James A McCubbin, seorang Profesor Psikologi dari Clemson University Amerika Serikat dan koleganya telah membuktikan bahwa penderita hipertensi cenderung mengalami penurunan kemampuan dalam mengenali emosi negative seperti rasa marah, takut, sedih, dan ekspresi wajah (http://terapiemosi.com). Menurut Safaria & Saputra (dalam Hartanti, 2015) jenis emosi terdiri dari emosi positif (senang, gembira, santai, haru, tenang) dan emosi negative (kecewa, putus asa, marah, dendam, tidak berdaya, depresi dll) yang pada proses kemunculan emosi tersebut tidak hanya melibatkan faktor psikologis, namun juga faktor fisiologis.
6 Sikap individu diatas ketika telah mengetahui tekanan darah tinggi yang di alami terdapat kecenderungan rasa takut untuk mengecek tensi darah karena telah memiliki penilaian sendiri dengan kondisi tersebut maka perubahan pada saat di cek akan jelas terlihat dan terdapat faktor emosional yang dapat mempengaruhi peningkatan penyakit hipertensi individu. Namun, berbeda saat merasakan emosi positif dimana kondisi tubuh lebih santai (dalam Hartanti, 2015). Menurut Gerungan (dalam Dewi, 2010) bahwa stabilitas emosi atau kematangan emosi adalah kematangan atau kemantapan untuk mengintegrasikan keinginan, cita-cita, kebutuhan atau perasaan ke dalam kepribadian yang pada dasarnya bulat dan harmonis. Dijelaskan pula oleh Hurlock (dalam Dewi, 2010) bahwa kematangan emosi adalah individu mampu memiliki situasi secara kritis terlebih dahulu sebelum bereaksi secara emosional, pada emosi yang matang memberikan reaksi emosional yang stabil. Morgan dan King (dalam Ekawati, 2001), mengemukakan beberapa faktor kestabilan emosi seseorang yaitu : a) kondisi fisik, b) pembawaan, dan c) steaming atau suasana hati. Selain itu, menurut Young (dalam Ekawati, 2001), faktor-faktor yang mempengaruhi kestabilan emosi yaitu faktor lingkungan, pengalaman, dan faktor individu. Schneider (dalam Dewi, 2010) mengemukakan bahwa stabilitas emosi didukung oleh kesehatan emosi serta penyesuaian emosi yang terdiri tiga aspek yaitu: 1) Adekuasi emosi yang berhubungan dengan respon emosi, 2) kematangan emosi merupakan kemampuan seseorang untuk melakukan reaksi emosi sesuai dengan tingkat perkembangan pribadi dan, 3) kontrol emosi, ini meliputi pengaturan emosi dan perasaan sesuai dengan
7 tuntutan lingkungan atau situasi dan standar dalam diri individu yang berhubungan dengan nilai-nilai, cita-cita serta prinsip. Berdasarkan penelitian Yunita dan Kusromaniah (2009), penderita hipertensi mengalami kecemasan dari situasi buruk yang terjadi dari dalam dan luar dirinya, pada setiap kejadian entah terjadi kecelakaan atau musibah yang disusul dengan persepsi yang manifestasinya berupa rasa takut, gelisah, dan perasaan tak menentu. Dalam penelitian hipertensi oleh Alexander (dalam Genest Jacques, dkk. 1983) membuat sebagian besar fakta bahwa pasien hipertensi adalah seorang individu dengan kemarahan dan permusuhan yang rendah, yang tidak mampu mengekspresikan emosi ini secara terbuka, dan akan menyebabkan penyempitan pembuluh darah dan kerusakan pada saraf pemasok. Dan ketika dipelajari dengan seksama, sering tampak seseorang yang ragu dalam mengekspresikan emosi batinnya, khususnya kemarahan. Berdasarkan hasil penelitian Risal (2013) menyebutkan bahwa aktivitas fisik memiliki hubungan yang cukup kuat dengan stabilitas emosi, yaitu semakin tinggi aktivitas fisik maka semakin bagus stabilitas emosinya. Aktivitas fisik yang dimaksudkan seperti beristirahat dan tidur dengan lebih baik dan bisa mengelola tekanan dengan baik. Dan mengelola tekanan dengan baik bisa dengan cara kontrol emosi. Dengan kontrol emosi seseorang akan dapat menghadapi situasi dengan sikap rasional, mampu memberikan respon dan mengartikan situasi dengan tepat dan tidak berlebihan, sehingga terbentuk perilaku yang kuat. Oleh karena itu, dengan kontrol emosi ini dapat menyebabkan stabilitas emosi seseorang meningkat, yaitu dengan kontrol emosi yang dilakukan meliputi kontrol emosi positif (marah, sedih, takut, cemas, malu, benci, rasa bersalah, muak). Selain itu kontrol emosi merupakan fase khusus
8 dari kontrol diri yang sangat penting bagi tercapainya kematangan, penyesuaian dan kesehatan mental. Dan pengertian kontrol diri adalah benteng untuk mencegah seseorang dari kesalahan-kesalahan untuk ikut terlibat dari masalah. Sifat yang mampu mengendalikan kemarahan dan tergesa-gesaan. Memungkinkan seseorang untuk bepikir sebelum mengambil tindakan, bukan bertindak dahulu baru berpikir. Dan pengertian kontrol diri (Gufron dan Risnawita, 2016) yaitu berkaitan dengan bagaimana individu mengendalikan emosi serta dorongan-dorongan dari dalam dirinya. Menurut Averiil (dalam Dewi, 2010) terdapat empat aspek kontrol diri, yaitu : a) kontrol perilaku, 2) kontrol kognisi, 3) kontrol keputusan dan 4) Kontrol emosi yang mampu memberikan respon dan mengartikan situasi secara tepat dan tidak berlebihan, sehingga terbentuk perilaku yang kuat. Kontrol emosi yang dilakukan meliputi kontrol emosi positif (marah, sedih, takut, cemas, malu, benci, rasa bersalah, muak). Dalam Rofakcy dan Aini (2015), hipertensi dapat berakibat fatal jika tidak dikontrol dengan baik atau biasa disebut dengan komplikasi. Komplikasi hipertensi terjadi karena kerusakan organ yang diakibatkan peningkatan tekanan darah sangat tinggi dalam waktu lama. Tingginya tekanan darah yang lama tentu saja akan merusak pembuluh darah di seluruh tubuh, yang paling jelas pada mata, jantung, ginjal dan otak. Selain itu jantung membesar karena dipaksa meningkatkan beban kerja karena saat memompa melawan tingginya tekanan darah, penanganan hipertensi secara umum yaitu secara farmakologis dan non farmakologis.
9 Berdasarkan fenomena di atas peneliti tertarik untuk meneliti tentang hubungan antara kontrol diri (self control) dengan stabilitas emosi pada penderita hipertensi di puskesmas I Purwokerto Timur. B. Rumusan Masalah Berdasarkan perumusan diatas, apakah ada hubungan antara kontrol diri (self control) dengan stabilitas emosi pada penderita hipertensi di Puskesmas I Purwokerto Timur. C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah ada hubungan antara kontrol diri (self control) dengan stabilitas emosi pada penderita hipertensi di Puskesmas I Purwokerto Timur. D. Manfaat Penelitian Peneliti ini di harapkan dapat memberi beberapa manfaat, antara lain : 1. Secara teoritis Di harapkan penelitian ini dapat menambah wawasan dan wacana bagi perkembangan ilmu psikologi klinis dan psikologi perkembangan khususnya mengenai hubungan antara kontrol diri (self control) dengan stabilitas emosi pada penderita hipertensi di Puskesmas Purwokerto Timur. 2. Secara praktis Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan bagi masyarakat terutama pada penderita hipertensi.