BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Filariasis (penyakit kaki gajah) adalah penyakit menular menahun yang disebabkan oleh cacing filaria yang menyerang saluran dan kelenjar getah bening. Penyakit ini dapat merusak sistem limfe, menimbulkan pembengkakan pada tangan, kaki, glandula mammae, dan scrotum, menimbulkan cacat sumur hidup serta stigma sosial bagi penderita dan keluarganya. Selain itu jika penderita filariasis tidak mendapat pengobatan dengan baik dapat menimbulkan hambatan psikososial dan penurunan produktifitas kerja individu, keluarga dan masyarakat sehingga menimbulkan kerugian ekonomi yang besar (Depkes RI, 2006). Species cacing filaria yang sering menginfeksi manusia di Indonesia adalah Wunchereria bancrofti, brugia malayi dan brugia timori. Daerah-daerah endemis filariasis membentuk kantong-kantong filariasis di tengah masyarakat dan merupakan suatu kesatuan ekologis/epidemiologis yang khas bagi penyebaran penyakit filariasis. Manusia merupakan hospes defenitif utama. Selain manusia, kera, kucing dapat juga menjadi hospes defenitif pada filariasis pada filariasis malayi (Depkes RI, 2006). Pada tahun 2004, filariasis telah menginfeksi 120 juta penduduk di 83 negara di seluruh dunia, terutama negara-negara di daerah tropis dan beberapa daerah subtropis seperti India, Banglades, Taiwan, China, Philipina, Africa, Amerika Latin, daerah pasifik dan negara-negara di Asia Tenggara. Di Indonesia, berdasarkan survai yang dilaksanakan pada tahun 2000-2004, terdapat lebih dari 8000 orang menderita
klinis kronis filariasis (elepantiasis) yang tersebar di seluruh propinsi. Secara epidemiologi, data ini mengidentifikasikan lebih dari 60 juta penduduk Indonesia berada di daerah yang beresiko tinggi tertular filariasis, dengan 6 juta penduduk diantaranya telah terinfeksi (Depkes RI, 2007). Menurut Depkes sampai Mei tahun 2007 tercatat 11.189 kasus kronis filariasis yang dilaporkan daerah yang tersebar di 378 kabupaten/kota. Berdasarkan survai darah jari dan epidemiologi 72,78% kabupaten/kota di Indonesia tergolong daerah endemis filariasis. Dan jumlah penduduk di daerah endemis yang beresiko tertular filariasis 150 juta jiwa. Survai kerugian ekonomi tahun 2000 oleh FKM UI, total kerugian ekonomi di daerah endemis filariasis diperkirakan mencapai Rp. 20,9 triliun (Depkes RI, 2007). Pelaksanaan program eliminasi filariasis di Indonesia dimulai tahun 2001 dan tahun 2002 merupakan pelaksanaan tahap pertama eliminasi filariasis di 5 (lima) kabupaten, 5 (lima) Propinsi sebagai daerah panduan yaitu Kabupaten Tanjung Jaung Timur (Jambi), Kabupaten Banyuasin (Sumatera Selatan), Kabupaten Pasir (Kalimantan Timur), Kabupaten Buton (Sulawesi Tenggara) dan Kabupaten Alor (Nusa Tenggara Timur). Secara umum hasil cakupan pengobatan massal adalah sebesar 85,5% dari 220 desa (322.250 kasus) (Depkes RI, 2006). Kabupaten Tapanuli Selatan merupakan daerah endemis filariasis dimana mulai dari tahun 2000 di peroleh MF Rate 1%, tahun 2003 >7%, 2004>3%, 2005>1% dan ditahun 2008 dengan ditemukannya kasus klinis kronis (8 kasus) di Muara Batangtoru. Dari hasil tersebut dilanjutkan dengan melakukan Survai Darah Jari
(SDJ) pada 500 orang penduduk di 4 (empat) desa yang ditemukan ada penderita yaitu : Rianiate I, Rianiate II, Pardamean dan Hutaraja pada tanggal 8 s/d 9 april 2008 dan hasil MF Ratenya 1,01 %. Sedangkan asumsi kerugian ekonomi akibat filariasis di Kabupaten Tapanuli Selatan menurut UMP Sumut tahun 2008 berkisar 13.818.017.640/tahun (Suhardiono, SKM, M.Kes). Bila dilihat dari keputusan Menteri Kesehatan R.I No.1582/Menkes/SK/XI/2005 tentang Pedoman Pengendalian Filariasis (Penyakit kaki gajah) pada lampirannya dikatakan Kabupaten/kota yang memiliki kasus kronis filariasis, melaksanakan survai microfilaria (survai darah jari) di desa dengan jumlah kasus kronis terbanyak microfilaria rate 1% atau lebih merupakan Indikator sebagai Kabupaten/Kota Endemis Filariasis (Depkes RI, 2008). Beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya penyakit filariasis antara lain tingginya populasi nyamuk culex, anopheles dan perantara lainnya, serta adanya hospes defenitif (hewan), selain itu juga disebabkan oleh faktor lingkungan yaitu sanitasi perumahan, kebersihan diri, serta pengetahuan masyarakat tentang penyakit filariasis (Khairuddin, 2005). Salah satu yang penting menurut Sadjimin (2000), infestasi cacing pada manusia berhubungan dengan perilaku yang mencakup pengetahuan, sikap dan tindakan masyarakat di sekitar tempat tinggal dan manipulasinya terhadap lingkungan, penyakit banyak ditemukan pada daerah dengan kelembaban yang tinggi, dan terutama pada masyarakat yang hygiene sanitasinya kurang. Pengetahuan, sikap dan tindakan merupakan salah satu factor terwujudnya derajat kesehatan. Perilaku masyarakat yang jelek tentang sanitasi, terutama dalam
memahami bagaimana penyebaran penyakit filariasis, cara pengendalian vektor penyebab filariasis yang dapat menurunkan derajat kesehatan masyarakat itu sendiri, sehingga dapat menimbulkan terjadinya penyakit filariasis. Desa Pardamean merupakan salah satu daerah endemis filariasis di Kecamatan Muara Batang Toru. Berdasarkan pemeriksaan telah ditemukan 8 kasus kronis di Kecamatan Muara Batang Toru, diantaranya 5 kasus kronis tersebut terdapat di desa Pardamean. Masyarakat Desa Pardamean memiliki mata pencaharian sebagai petani, buruh perkebunan sehingga besar kemungkinan masyarakat tersebut kontak dengan vektor apalagi jika di lihat lingkungan sekitar Desa Pardamean memiliki areal pertanian dan perkebunan karet dan kelapa sawit serta aliran sungai. Lingkungan ini sangat tepat sebagai tempat perindukan vektor filariasis (Profil Puskesmas Desa Hutaraja Kecamatan Muara Batangtoru, 2008). Berdasarkan survai di lapangan terlihat bahwa ada perilaku masyarakat yang kurang mengetahui cara-cara pencegahan penyakit filariasis, bagaimana penularan penyakit filariasis, serta masyarakat belum mengetahui bagaimana cara pengobatantan filariasis. Sedangkan dilihat dari tingkat pendidikannya, penduduk yang berumur 10 tahun ke atas yang melek huruf berjumlah 41,7%,jumlah penduduk yang tidak/belum pernah sekolah di Desa Perdamean yaitu sekitar 34%, tidak atau belum tamat SD berjumlah 26%, tamat SD berjumlah 40%, tamat SMP 57%, tamat SLTA 59%, tamat akademi/diploma 0,3%, tamat universitas 0% (Profil Puskesmas Desa Hutaraja Kecamatan Muara Batangtoru, 2008).
Berdasarkan latar belakang diatas, penulis tertarik untuk meneliti tentang Hubungan pengetahuan, sikap dan tindakan masyarakat dengan kejadian filariasis di Desa Pardamean, Kecamatan Muara Batangtoru, Kabupaten Tapanuli Selatan, tahun 2009. 1.2. Perumusan Masalah Desa Pardamean merupakan salah satu daerah endemis penyakit filariasis, dengan angka microfilaria > 1%. Berdasarkan hal ini dibuat perumusan masalah sebagai berikut : belum diketahui bagaimana Hubungan Pengetahuan, Sikap dan Tindakan Masyarakat Terhadap Kejadian Filariasis di Desa Pardamean Kabupaten Tapanuli Selatan. 1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum Untuk mengetahui hubungan pengetahuan, sikap dan tindakan masyarakat terhadap kejadian filariasis di Desa Pardamean Kecamatan Muara Batang Toru Kabupaten Tapanuli Selatan tahun 2009. 1.3.2. Tujuan Khusus 1. Untuk mengetahui karakteristik responden (pekerjaan, lama bekerja, penghasilan dan daerah asal) dengan kejadian filariasis di Desa Pardamean Kecamatan Muara Batangtoru Kabupaten Tapanuli Selatan tahun 2009.
2. Untuk mengetahui hubungan pengetahuan masyarakat terhadap kejadian filariasis di Desa Pardamean Kecamatan Muara Batang Toru Kabupaten Tapanuli Selatan tahun 2009. 3. Untuk mengetahui hubungan sikap masyarakat terhadap kejadian filariasis di Desa Pardamean Kecamatan Muara Batang Toru Kabupaten Tapanuli Selatan tahun 2009. 4. Untuk mengetahui hubungan tindakan masyarakat terhadap kejadian filariasis di Desa Pardamean Kecamatan Muara Batang Toru Kabupaten Tapanuli Selatan Tahun 2009. 1.4. Manfaat Penelitian 1. Sebagai bahan masukan bagi pihak pengelola program eliminasi filariasis di Desa Pardamean Kecamatan Muara Batang Toru Kabupaten Tapanuli Selatan. 2. Sebagai bahan dalam menyusun rencana kegiatan/proyek eliminasi filariasis di Desa Pardamean Kecamatan Muara Batang Toru Kabupaten Tapanuli Selatan. 3. Dapat dimanfaatkan oleh masyarakat dan pemerintah sebagai bahan masukan khususnya mengenai filariasis di Desa Pardamean Kecamatan Muara Batang Toru Kabupaten Tapanuli Selatan. 4. Menambah wawasan ilmu pengetahuan penulis tentang masalah filariasis. 5. Sebagai sumber informasi kepada peneliti lain untuk melaksanakan penelitian selanjutnya.