Menimbang:

dokumen-dokumen yang mirip
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 65 TAHUN 1958 TENTANG PEMBERIAN TANDA-TANDA KEHORMATAN BINTANG SAKTI DAN BINTANG DARMA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 65 TAHUN 1958 TENTANG PEMBERIAN TANDA-TANDA KEHORMATAN BINTANG SAKTI DAN BINTANG DARMA

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 65 TAHUN 1958 (65/1958) Tanggal: 11 AGUSTUS 1958 (JAKARTA)

UNDANG-UNDANG DARURAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 1958 TENTANG TANDA-TANDA PENGHARGAAN UNTUK ANGGOTA ANGKATAN PERANG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1959

Dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat; MEMUTUSKAN :

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 70 TAHUN 1958 (70/1958) Tanggal: 4 SEPTEMBER 1958 (JAKARTA)

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG DARURAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 1958 TENTANG TANDA-TANDA PENGHARGAAN UNTUK ANGGOTA ANGKATAN PERANG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1968 TENTANG TANDA KEHORMATAN BINTANG "JALASENA" PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Tentang: TANDA KEHORMATAN SEWINDU ANGKATAN PERANG REPUBLIK INDONESIA. Indeks: TANDA KEHORMATAN SEWINDU ANGKATAN PERANG REPUBLIK INDONESIA.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1961 TENTANG TANDA KEHORMATAN BINTANG BHAYANGKARA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1954 TENTANG TANDA KEHORMATAN SEWINDU ANGKATAN PERANG REPUBLIK INDONESIA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1968 TENTANG TANDA KEHORMATAN BINTANG KARTIKA EKA PAKCI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG DARURAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 1959 TENTANG PEMBERIAN TANDA KEHORMATAN BINTANG GARUDA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PEMBERIAN TANDA KEHORMATAN BINTANG GARUDA Undang-Undang Darurat Nomor 2 Tahun 1959 Tanggal 16 April 1959 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 1968 TENTANG TANDA KEHORMATAN BINTANG SWA BHUWANA PAKSA DENGAN RAKHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2003 TENTANG TANDA KEHORMATAN SATYALANCANA DHARMA NUSA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2003 TENTANG TANDA KEHORMATAN SATYALANCANA DHARMA NUSA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

SATYALANCANA "SEROJA" Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 1978 Tanggal 6 Pebruari 1978 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 59 TAHUN 1958 TENTANG SATYALENCANA PERISTIWA GERAKAN OPERASI MILITER PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1963 TENTANG TANDA KEHORMATAN BINTANG JASA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1959 TENTANG TANDA KEHORMATAN SATYALANCANA PEMBANGUNAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 203 TAHUN 1961 TENTANG SATYALANCANA "SATYA DASAWARSA" BAGI PARA ANGGOTA-ANGGOTA KEPOLISIAN NEGARA

DENGAN RACHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

3.Undang-undang Nomor 70 tahun 1958 (Lembaran-Negara tahun 1958 Nomor 124) tentang Tanda-tanda Penghargaan untuk Anggota-Angkatan Perang.

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 5 TAHUN 1963 (5/1963) Tanggal: 22 JULI 1963 (JAKARTA)

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 1971 TENTANG TANDA KEHORMATAN BINTANG YUDHA DHARMA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2003 TENTANG TANDA KEHORMATAN SATYALANCANA DHARMA NUSA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

NOMOR 10 TAHUN 1980 TENTANG TANDA KEHORMATAN BINTANG BUDAYA PARAMA DHARMA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1963 TENTANG TANDA KEHORMATAN BINTANG JASA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2003 TENTANG TANDA KEHORMATAN SATYALANCANA DHARMA NUSA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1959 TENTANG TANDA KEHORMATAN SATYALANCANA KEBAKTIAN SOSIAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1959 TENTANG TANDA KEHORMATAN SATYALANCANA KEBAKTIAN SOSIAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 1959 TENTANG TANDA KEHORMATAN SATYALANCANA PERINGATAN PERJUANGAN KEMERDEKAAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1958 TENTANG PEMBERHENTIAN MILITER SUKARELA DARI DINAS TENTARA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 221 TAHUN 1961 TENTANG SATYALANCANA KEAMANAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 221 TAHUN 1961 TENTANG SATYALANCANA KEAMANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 1959 TENTANG TANDA KEHORMATAN SATYALANCANA PERINTIS PERGERAKAN KEMERDEKAAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 1959 TENTANG TANDA KEHORMATAN SATYALANCANA PERINTIS PERGERAKAN KEMERDEKAAN

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG DARURAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1959 TENTANG TANDA KEHORMATAN BINTANG MAHAPUTERA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 13 TAHUN 1971 (13/1971) Tanggal: 11 DESEMBER 1971 (JAKARTA)

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 1994 TENTANG TANDA KEHORMATAN SATYALANCANA KARYA SATYA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Tentang: VETERAN PEJUANG KEMERDEKAAN REPUBLIK INDONESIA *) VETERAN PEJUANG KEMERDEKAAN REPUBLIK INDONESIA.

2017, No Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan Le

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 1960 TENTANG SATYA LENCANA JASADARMA ANGKATAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG DARURAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 1959 TENTANG KETENTUAN-KETENTUAN UMUM MENGENAI TANDA-TANDA KEHORMATAN

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 1964 TENTANG PENETAPAN, PENGHARGAAN DAN PEMBINAAN TERHADAP PAHLAWAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 6 TAHUN 2012 TENTANG GELAR KEHORMATAN, WARGA KEHORMATAN, DAN PENGHARGAAN DAERAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 1994 TENTANG TANDA KEHORMATAN SATYALANCANA KARYA SATYA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Indeks: ANGKATAN PERANG. IKATAN DINAS SUKARELA (MILITER SUKARELA). ANGGOTA.

PP 25/1994, TANDA KEHORMATAN SATYALANCANA KARYA SATYA... Bentuk: PERATURAN PEMERINTAH (PP) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 1964 TENTANG PENETAPAN, PENGHARGAAN DAN PEMBINAAN TERHADAP PAHLAWAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 1959 TENTANG PANGKAT-PANGKAT MILITER KHUSUS, TITULER DAN KEHORMATAN

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG GELAR, TANDA JASA, DAN TANDA KEHORMATAN

TANDA-TANDA KEHORMATAN UNDANG UNDANG. NOMOR 4 Drt. TAHUN 1959 TENTANG KETENTUAN-KETENTUAN UMUM MENGENAI TANDA-TANDA KEHORMATAN

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat; Memutuskan :

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55 TAHUN 2003 TENTANG TANDA KEHORMATAN SATYALANCANA PENDIDIKAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG DARURAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1959 TENTANG TANDA KEHORMATAN BINTANG REPUBLIK INDONESIA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

2016, No tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 43, Tambahan Lembaran Negara Repu

TATA CARA PENGUSULAN DAN PEMAKAIAN TANDA KEHORMATAN RI Kamis, 26 Februari 2009

Web site SETNEG RI, Kamis, 26 Februari 2009

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 75 TAHUN 1957 TENTANG VETERAN PEJUANG KEMERDEKAAN REPUBLIK INDONESIA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55 TAHUN 2003 TENTANG TANDA KEHORMATAN SATYALANCANA PENDIDIKAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 1968 TENTANG SATYALENCANA WIDYA SISTHA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

SATYALANCANA PERISTIWA GERAKAN OPERASI MILITER VIII "DHARMA PHALA" Peraturan Pemerintah Nomor: 19 Tahun 1968 Tanggal: 25 Juni 1968

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Oleh:PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor:23 TAHUN 1968 (23/1968) Tanggal:27 DESEMBER 1968 (JAKARTA)

Bintang Jasa. B. Dasar Hukum Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan

2015, No Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2009 tentang Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55 TAHUN 2003 TENTANG TANDA KEHORMATAN SATYALANCANA PENDIDIKAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN MENTERI PERTAHANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2012 TENTANG

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1959 TENTANG TANDA KEHORMATAN SATYALANCANA KARYA SATYA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

MEMUTUSKAN : BAB I KETENTUAN UMUM

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 204 TAHUN 1961 TENTANG TANDA-TANDA KEHORMATAN/PENGHARGAAN UNTUK KEPOLISIAN NEGARA

Indeks: PERATURAN GAJI MILITER PENETAPAN SEBAGAI UNDANG-UNDANG.

UNDANG-UNDANG DARURAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 1957 TENTANG ANGGOTA ANGKATAN PERANG BERDASARKAN IKATAN DINAS SUKARELA (MILITER SUKARELA)

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35 TAHUN 2010 TENTANG

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35 TAHUN 2010 TENTANG

UNDANG-UNDANG NO.7 TAHUN 1967 TENTANG VETERAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PJ. PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2012 TENTANG VETERAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA Nomor 62 TAHUN 1958 Tentang KEWARGA-NEGARAAN REPUBLIK INDONESIA. Presiden Republik Indonesia,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 38 TAHUN 1959 TENTANG TANDA KEHORMATAN SATYALANCANA KEBUDAYAAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG KOMPONEN CADANGAN PERTAHANAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

NOMOR 56 TAHUN 1999 TENTANG RAKYAT TERLATIH

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 56 TAHUN 1999 TENTANG RAKYAT TERLATIH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Transkripsi:

Menimbang: UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 65 TAHUN 1958 TENTANG PEMBERIAN TANDA-TANDA KEHORMATAN BINTANG SAKTI DAN BINTANG DARMA *) Presiden Republik Indonesia, a. bahwa sering terjadi seorang anggota Angkatan Perang dalam melaksanakan tugasnya baik di dalam maupun di luar pertempuran menunjukkan sifat-sifat kepahlawanan melebihi dan melampaui panggilan kewajiban, sifat-sifat mana merupakan sifat-sifat istimewa yang menjadi kebanggaan bagi seluruh Angkatan Perang; b. bahwa adakalanya pula terjadi seorang anggota Angkatan Perang menyumbangkan jasa baktinya melebihi panggilan kewajiban sehingga oleh karenanya memberikan keuntungan- keuntungan luar biasa untuk kemajuan Angkatan Perang; c. bahwa sering juga seorang warga-negara Indonesia bukan anggota Angkatan Perang dapat melakukan tindakan-tindakan yang tersebut pada sub a di atas sehingga perlu mendapat penghargaan yang wajar dari Negara; d. bahwa sifat-sifat dan jasa bakti tersebut di atas mereka ditunjukkan semata-mata terdorong oleh keinsyafan berbakti kepada Negara disertai dengan keikhlasan pengorbanan yang sebesar- besarnya dan oleh karena itu perlu diberikan pengakuan dan penghargaan yang sewajarnya berupa pemberian tanda-tanda kehormatan; e. bahwa tanda-tanda kehormatan tersebut akan merupakan pula suatu dorongan untuk membangkitkan dan memupuk sifat-sifat kepahlawanan dan keinsyafan berbakti dari tiap-tiap anggota Angkatan Perang dalam membela dan mengabdi kepada Nusa dan Bangsa.

Mengingat: a pasal 87 dan pasal 89 Undang-undang Dasar Sementara Republik Indonesia; b. Undang-undang Darurat No. 2 tahun 1958; Menetapkan: Dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat; Memutuskan : Undang-undang tentang Pemberian Tanda-tanda Kehormatan Bintang Sakti dan Bintang Darma. BAB I KETENTUAN UMUM. Pasal 1. Kepada anggota Angkatan Perang yang memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam Undang-undang ini diberikan anugerah kehormatan berupa Bintang Sakti untuk sifat-sifat kepahlawanan atu Bintang Darma untuk jasa bakti. BAB II BINTANG SAKTI. Pasal 2. Kepada anggota Angkatan Perang yang menunjukkan keberanian dan ketabahan tekad melampaui dan melebihi panggilan kewajiban dalam pelaksanaan tugas militer di dalam maupun di luar pertempuran tanpa merugikan tugas pokok diberikan anugerah tanda kehormatan berupa suatu bintang kepahlawanan bernama "Bintang Sakti". Pasal 3. Bintang Sakti dianugerahkan juga kepada warga-negara Indonesia bukan anggota Angkatan Perang yang menjalankan tugas kemiliteran dan memenuhi ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam pasal 2 dan pasal 4. Bintang Sakti terdiri dari: Pasal 4. a. "Bintang Sakti" yang dianugerahkan dalam hal sifat-sifat kepahlawanan seperti tersebut dalam pasal 2 ditunjukkan dalam pertempuran berhadapan langsung dengan musuh bersenjata. b. "Bintang Sakti" yang dianugerahkan dalam hal sifat-sifat

kepahlawanan seperti tersebut dalam pasal 2 ditunjukkan diluar keadaan yang dimaksud dalam huruf a. Pasal 5. (1) Bintang Sakti berbentuk seperti dilukiskan dalam daftar lampiran, ialah sebuah bintang bersudut tujuh dibuat dari logam berwarna perak dengan garis tengah 35 milimeter, di sebelah muka dilukiskan tulisan "Mahawira" dan di sebelah belakang dilukiskan tulisan "Republik Indonesia". (2) Pita dari Bintang Sakti bercorak seperti dilukiskan dalam daftar lampiran, berukuran lebar 25 milimeter, panjang 35 milimeter dan berwarna dasar kuning dengan 5 strip-tegak-merah, lebar 1 milimeter, yang membaginya dalam bagian-bagian yang sama, dengan ketentuan bahwa pada tengah-tengah pita dari Bintang Sakti yang dimaksud dalam pasal 4 huruf a ditempatkan suatu tanda berupa kuncup melati dibuat dari logam berwarna perak. Pasal 6. Dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan tersebut pada pasal 2 dan pasal 3 maka Bintang Sakti dianugerahi juga secara anumerta kepada anggota Angkatan Perang dan warga-negara Indonesia bukan anggota Angkatan Perang yang gugur atau meninggal dunia sebagai akibat langsung dari perbuatan-perbautannya seperti tersebut di pasal 4. BAB III BINTANG DARMA. Pasal 7. Kepada anggota Angkatan Perang yang menyumbangkan jasa bakti dengan melebihi dan melampaui panggilan kewajiban dalam pelaksanaan tugas militer sehingga memberikan keuntungan luar biasa untuk kemajuan Angkatan Perang dan Negara diberikan anugerah tanda kehormatan berupa suatu bintang jasa yang bernama "Bintang Darma". Pasal 8. (1) Bintang Darma berbentuk seperti dilukiskan dalam daftar lampiran, ialah bintang bersudut lima yang dibuat dari logam berwarna perak dengan garis tengah 35 milimeter, di sebelah muka dilukiskan tulisan "Darmajaya" dengan dilingkari rangkaian padi dan kapas, di sebelah belakang dilukiskan tulisan "Republik Indonesia". (2) Pita Bintang Darma bercorak seperti dilukiskan dalam daftar

lampiran, berukuran lebar 25 milimeter, panjang 35 milimeter dan berwarna dasar hijau-muda dengan strip-tegak- kuning di kedua pinggir pita yang lebarnya 2 milimeter. BAB IV PEMBERIAN. Pasal 9. (1) Bintang Sakti dan Bintang Darma dianugerahkan oleh Presiden/Panglima Tertinggi, berdasarkan usul dari Menteri Pertahanan disertai dengan pertimbangan Dewan Pertimbangan Tanda-tanda Bintang Kehormatan Angkatan Perang. (2) Tugas kewajiban, susunan dan segala sesuatu mengenai Dewan Pertimbangan tersebut di ayat 1 diatur dengan Surat Keputusan Menteri Pertahanan. Pasal 10. Tiap pemberian Bintang Sakti dan Bintang Darma disertai dengan penyerahan suatu piagam menurut bentuk seperti dilukiskan dalam lampiran, dalam mana dimuat uraian singkat tentang perbuatanperbuatan sifat-sifat yang menyebabkan pemberian anugerah tersebut. Pasal 11. Penyerahan Bintang Sakti dan Bintang Darma dilakukan dengan upacara militer menurut ketentuan Menteri Pertahanan. Pasal 12. Cara-cara pengusulan dan pemberian Bintang Sakti dan Bintang Darma ditetapkan oleh Menteri Pertahanan. Pasal 13. Pelaksanaan penyerahan Bintang Sakti dan Bintang Darma dilakukan oleh Menteri Pertahanan atau oleh pejabat-pejabat yang ditunjuk olehnya. BAB V PENGHARGAAN. Pasal 14. Kepada mereka yang memperoleh Bintang Sakti dan/atau Bintang Darma mendapat perlakuan-perlakuan istimewa sebagai berikut: 1. Kepada mereka diberikan hadiah sekaligus sebesar Rp. 2.000,- (dua ribu rupiah).

2. mereka diberi hormat terlebih dahulu oleh sesama pangkatnya yang tidak menerima Bintang Sakti dan/atau Bintang Darma, kecuali atasannya. 3. dalam hal meninggal dunia dimakamkan di makam pahlawan den ban upacara militer menurut ketentuan Kepala Staf Angkatan. BAB VI URUTAN TINGKATAN. Pasal 15. (1) Bintang Sakti adalah lebih tinggi tingkatannya dari pada Bintang Darma. (2) Bintang Darma adalah lebih tinggi tingkatannya daripada Satyalancana-satyalancana. BAB VII PEMAKAIAN. Pasal 16. Dengan mengingat urutan tingkatan yang ditentukan dalam pasal 14 jo. pasal 27 Undang-undang Darurat No. 2 tahun. 1958 tentang tanda-tanda penghargaan khusus militer, maka Bintang Sakti dan/atau Bintang Darma dipakai secara lengkap pada upacara peringatanperingatan hari nasional dan Hari Angkatan Perang dan upacaraupacara resmi lainnya yang ditentukan oleh Menteri Pertahanan, pada dada sebelah kiri dimulai dari sebelah kancing baju bejajar dari kanan ke kiri menurut tingkatan bintang, dengan selanjutnya mengingat ketentuan tersebut dalam pasal 28 Undang-undang Darurat No. 2 tahun 1958. Pasal 17. Pada waktu di luar dari pada yang ditentukan pada pasal 16 di atas, tiap-tiap bintang dapat dipakai dalam bentuk sebuah pita kecil, berukuran 25 X 10 milimeter, berwarna menurut pita asli, pada dada sebelah kiri, di atas saku baju, dimulai dari sebelah kancing baju bejajar dari kanan ke kiri menurut urutan tingkat bintang dengan selanjutnya mengingat ketentuan tersebut dalam pasal 29 Undang-undang Darurat No. 2 tahun 1958.

Pasal 18. Bintang atau pita tidak boleh dipakai oleh yang berhak pada waktu ia menjalankan hukuman penjara, hukuman penahanan atau selama menjalankan pekerjaan lain sebagai hukuman. Pasal 19. Di samping yang ditentukan dalam pasal 18 Menteri Pertahanan dapat menentukan peraturan-peraturan lain tentang larangan pemakaian bintang-bintang. BAB VIII PENCABUTAN. Pasal 20. Hak atas bintang-bintang dicabut apabila yang menerima: a. dengan putusan pengadilan yang tidak diubah lagi, dikenakan hukuman berupa dikeluarkan dari dinas ketentaraan, dengan atau tidak dengan pencabutan hak untuk masuk dalam dinas Angkatan Bersenjata; b. dengan putusan pengadilan yang tidak dapat diubah lagi, dikenakan hukuman karena sesuatu kejahatan terhadap keamanan Negara atau karena disersi; c. dengan putusan pengadilan yang tidak dapat diubah lagi, dikenakan hukuman penjara yang lamanya lebih dari satu tahun, atau dikenakan macam hukuman yang lebih berat; d. diberhentikan dari dinas ketentaraan tidak dengan hormat; e. memasuki dinas Angkatan Perang negara asing dengan tidak mendapat izin dahulu dari Pemerintah Republik Indonesia. BAB IX LAIN-LAIN. Pasal 21. (1) Seorang anggota Angkatan Perang diberi anugerah Bintang Sakti atau Bintang Darma untuk kedua kali, ketiga kali dan seterusnya, setiap kali ia memenuhi syarat-syarat yang ditentukan untuk pemberian anugerah seperti tersebut dalam pasal 2 dan 4 atau pasal 7, dengan ketentuan bahwa tindakan-tindakan atau tugasnya untuk mana diberikan anugerah tersebut tidak ada hubungannya, sangkut-pautnya ataupun merupakan kelanjutan dari tindakan-tindakan atau tugasnya untuk mana telah diberikan suatu anugerah.

(2) Seorang warga-negara Indonesia bukan anggota Angkatan Perang diberi anugerah Bintang Sakti untuk kedua kali, ketiga kali dan seterusnya setiap kali ia memenuhi syarat yang ditentukan untuk pemberian anugerah seperti tersebut dalam tugasnya untuk mana diberikan anugerah tersebut tidak ada hubungannya, sangkut-pautnya ataupun merupakan kelanjutan dari tindakan-tindakan atau tugasnya untuk mana telah diberikan suatu anugerah. Pasal 22. (1) Dalam hal tersebut dalam pasal 21 maka pemberian Bintang Sakti atau Bintang Darma kepada anggota Angkatan Perang yang bersangkutan dilakukan dengan menempatkan suatu bintang bersudut lima dibuat dari logam berwarna perunggu dengan garis- tengah 5 milimeter pada pita dari Bintang Sakti atau Bintang Darma atau pada pita kecil tersebut dalam pasal 17, dengan catatan bahwa lima bintang berwarna perunggu diganti dengan satu bintang berwarna perak. (2) Pemberian tersebut dipasal 21 tetap disertai dengan penyerahan suatu piagam seperti tersebut dalam pasal 10 dan dilakukan dengan upacara milimeter seperti tersebut dalam pasal 11. BAB X PENUTUP. Pasal 23. Segala sesuatu yang belum ditentukan dalam peraturan ini diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri Pertahanan. Pasal 24. Undang-undang ini disebut Undang-undang tentang Tanda-tanda Kehormatan Bintang Sakti dan Bintang Darma dan mulai berlaku pada hari diundangkan.

Agar setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatan dalam Lembaran-Negara Republik Indonesia. Diundangkan pada tanggal 19 Agustus 1958. Menteri Kehakiman, G.A. MAENGKOM. Menteri Pertahanan. JUANDA. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 11 Agustus 1958. Presiden Republik Indonesia, SOEKARNO.

MEMORI PENJELASAN MENGENAI UNDANG-UNDANG TENTANG TANDA-TANDA KEHORMATAN BINTANG SAKTI DAN BINTANG DARMA. A. PENJELASAN UMUM. Peraturan-peraturan sekarang yang telah ada tentang tanda- tanda penghargaan, yaitu: a. Undang-undang No. 30 tahun 1954, tentang Medali Sewindu Angkatan Perang. b. Undang-undang Darurat No. 2 tahun 1958 tentang tanda-tanda penghargaan khusus militer. Memuat ketentuan-ketentuan tentang pemberian tanda-tanda penghargaan kepada anggota Angkatan Perang dalam bentuk satyalancana (medali) dalam hal seorang anggota Angkatan Perang melaksanakan tutas kewajibannya dengan baik, sungguh-sungguh, setia, jujur, keikhlasan berkorban dan sebagainya, sebagaimana dapat diharapkan dari seorang prajurit sejati. Dengan tidak hendak mengurangi sedikitpun tentang sifat-sifat keprajuritan tersebut dan dengan tetap menjunjung tinggi nilai dari satyalancana-satyalancana tersebut diatas, namun masihlah dirasakan adanya sesuatu kekurangan yaitu untuk memberikan tanda-tanda penghargaan/kehormatan yang lebih tinggi nilainya dari pada satyalancana-satyalancana yang telah ada. Tanda-tanda penghargaan itu terutama dimaksud untuk dianugerahkan kepada para anggota Angkatan Perang yang menunjukkan sifat-sifat keprajuritan (i.c. keberanian) dan/atau menyumbangkan jasa-baktinya secara luar biasa melampaui dan melebihi panggilan kewajibannya dengan tidak merugikan tugas pokoknya. Syarat-syarat untuk mendapatkan penghargaan ini adalah lebih berat dari pada untuk mendapatkan tanda penghargaan dalam bentuk satyalancana, sedangkan maksud tujuan dari pada pemberian anugerah tanda kehormatan ini adalah tidak berbeda dengan pemberian satyalancana-satyalancana yaitu: memberikan suatu pengakuan dan pernyataan secara terlihat kepada seorang anggota Angkatan Perang yang layak menerimanya dan dengan demikian dapat memelihara dan memupuk sifat-sifat prajurit sejati menuju kepemeliharaan moril yang lebih tinggi. Berhubung dengan itu maka diadakanlah pemberian anugerah berupa Bintang Sakti dan Bintang Darma masing-masing untuk menghargai sifat-sifat kepahlawanan dan jasa-bakti seorang prajurit satu dan lain berdasarkan persyaratan yang ditentukan untuk itu. Agar dapat diperoleh suatu jaminan bahwa suatu tanda

kehormatan hanya dianugerahkan kepada seorang yang benar-benar memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan untuk itu, maka semua pengusulan untuk pemberian anugerah tersebut perlu dipertimbangkan semasak-masaknya oleh suatu Dewan Pertimbangan yang diangkat oleh Menteri Pertahanan. Perlu pula diinsyafi bahwa pemberian anugerah sesuatu tanda kehormatan hanyalah pada tempatnya bilamana dipenuhi syarat- syarat sebagai berikut: a. Untuk tanda kehormatan kepahlawanan: Sifat keberanian dan ketebalan tekad harus melebihi panggilan kewajiban, dalam mana diartikan bahwa suatu keberanian/tekad yang biasa atau baik sekali yang memang seharusnya diperlihatkan seorang prajurit yang baik belumlah cukup merupakan suatu alasan untuk pemberian anugerah tersebut. b. Untuk tanda kehormatan jasa-bakti: Dalam hal ini perlu diperhatikan, bahwa nilai jasa-baktinya harus melebihi dan melampaui panggilan kewajiban. Penilaian dapat diukur dengan mempertimbangan besarnya keuntungan-keuntungan yang diperoleh Angkatan Perang dan pula dengan mempertimbangkan kesungguhan, kepatuhan/ketaatan, kesetiaan dan keikhlasan berkorban demi kepentingan negara, yang harus diperlihatkan selama ia melakukan tugasnya sampai hasil yang nyata bagi Angkatan Perang. Perbedaan yang perlu diadakan dalam mengadakan penilaian antara tindakan-tindakan yang bersifat kepahlawanan dan jasa- bakti adalah, bahwa pada umumnya sifat-sifat kepahlawanan merupakan suatu tindakan tunggal atau rentetan tindakan yang satu sama lain tidak ada hubungannya dan soal waktu bukanlah suatu faktor sedangkan untuk menilai suatu jasa-bakti diperlukan suatu waktu yang cukup sampai dengan akhirnya yang membawa hasil gilang-gemilang. Dalam hal ini maka faktor waktu amatlah penting. Dari uraian tersebut diatas jelaslah bahwa suatu tanda kehormatan tidak saja merupakan suatu tanda pengakuan negara atas sifat-sifat dan jasa-jasa seseorang, tetapi perlu yang bersangkutan merupakan teladan untuk dicontoh. Berhubung dengan itu maka Undang-undang ini melimpahkan suatu tanggung-jawab pada pemegang anugerah tersebut untuk memelihara sifat-sifat dan tingkah laku sesuai dengan tanda-tanda kehormatan, dan oleh karena itu diadakan ancaman tentang larang pemakaian ataupun pencabutan tanda penghargaan/tanda kehormatan dalam hal-hal seperti disebut dalam Undang-undang. Tanda-tanda kehormatan sebagai yang dimaksud dalam Undangundang ini diperuntukkan terutama para anggota Angkatan Perang

karena kepahlawanan/jasanya. Istilah "anggota Angkatan Perang" dalam Undang-undang ini ditujukan tidak saja kepada para militer sukarela dan para militer wajib, akan tetapi juga kepada para warga-negara Indonesia (yang tidak termasuk golongan-golongan anggota Angkatan Perang tersebut) yang dalam melakukan tugas militer mempunyai kedudukan sebagai anggota tentara, dalam arti bahwa baginya berlaku hukum pidana tentara dan disiplin tentarapun ia termasuk kekuasaan pengadilan ketentaraan. Khusus mengenai Bintang Sakti, dalam Undang-undang ini ditentukan bahwa bintang ini dapat juga dianugerahkan kepada warganegara Indonesia bukan anggota Angkatan Perang, mengingat bahwa terutama dalam keadaan perang terdapat kemungkinan warganegara tersebut melakukan tugas kemiliteran. B. PENJELASAN PASAL DEMI PASAL. BAB I KETENTUAN UMUM. Pasal 1. BAB II BINTANG SAKTI. Pasal 2. Dalam pasal ini ditentukan syarat-syarat bagi jasa kepahlawanan yang dapat mengakibatkan pemberian Bintang Sakti didalam pertempuran maupun diluar pertempuran. Tidak dapat dipungkiri bahwa setiap anggota Angkatan Perang sudah seharusnya mempunyai keberanian dalam membela tanah air dan harus pula memenuhi segala kewajiban yang dibebankan kepadanya dalam melaksanakan tugas kemiliteran. Syarat-syarat yang utama untuk mendapat Bintang Sakti ialah ditekankan kepada syarat "keberanian dan ketebalan tekad melampaui dan melebihi panggilan kewajiban". Dalam syarat tersebut terkandung inti pengertian "mempertaruhkan jiwa" dalam arti ia menunjukkan keberanian yang luar biasa disertai kesadaran dan keikhlasan mengorbankan jiwa. Untuk selanjutnya periksa penjelasan umum. Pasal 3. Lihat bunyi huruf c dari konsiderans. Pasal 4. Pasal 5. Pasal 6. Yang dimaksudkan dengan pemberian anumerta (= posthuum)

adalah pemberian kepada mereka yang telah gugur atau meninggal dunia sebagai akibat luka-luka yang diperolehnya seperti tersebut dalam-pasal 2. Pemberian dilakukan kepada ahliwarisnya. BAB III BINTANG DARMA. Pasal 7. Didalam pasal ini tidak disebutkan macamnya jasa-bakti yang disumbangkan oleh yang bersangkutan, asalkan jasa-bakti tersebut memberikan keuntungan luar biasa bagi Angkatan Perang baik dilapangan pembangunan, ilmu pengetahuan, taktik kemiliteran maupun dilapangan pertempuran, sebagai hasil dari daya kerjanya yang dilakukan dengan "melebihi dan melampaui panggilan kewajiban". Untuk penjelasan lebih lanjut periksa penjelasan umum. Pasal 8. BAB IV PEMBERIAN. Pasal 9. Tentang maksud diadakannya Dewan Pertimbangan Tanda-tanda Bintang Kehormatan Angkatan Perang harap lihat penjelasan umum. Pasal 10. Pasal 11. Pasal 12. Pasal 13. BAB V PENGHARGAAN. Pasal 14. Disamping perlakuan-perlakuan istimewa yang ditetapkan dalam pasal ini, kepada mereka diberikan pula perlakuan-pelakuan lain, umpamanya: a. Pada peringatan-peringatan/upacara-upacara Hari Nasional/Angkatan Perang mereka diundang untuk mengikuti peringatan upacara tersebut dan disitu mereka diberi tempat yang sejajar dengan para terkemuka. b. Mereka dapat diberi hadiah sesuatu barang yang berharga baginya (Kitab Qur'an untuk mereka yang beragama Islam dan Kitab Injil untuk mereka yang beragama Kristen). BAB VI URUTAN TINGKATAN.

Pasal 15. Penentuan urutan tingkatan itu perlu diperhatikan antara lain untuk urutan pemakaian. Yang dimaksud dengan satyalancana-satyalancana dalam pasal ini ialah satyalancana-satyalancana yang ditentukan dalam Undangundang Darurat No. 2 tahun 1958 (Lembaran-Negara tahun 1958 No. 41), yaitu Satyalancana Bhakti, Satyalancana Teladan, Satyalancana Kesetiaan dan Satyalancana Peristiwa dan pula Medali Sewindu Angkatan Perang sebagaimana ditetapkan didalam Undang-undang No. 30 tahun 1954 (Lembaran-Negara tahun 1954 No. 85.). BAB VII PEMAKAIAN. Pasal 16. Pasal 17. Pasal 18. Karena pemberian satyalancana ini merupakan suatu kehormatan sudah selayaknya tanda penghormatan ini tidak boleh dipakai pada waktu yang menerimanya mendapat hukuman. Pasal 19. BAB VIII PENCABUTAN. Pasal 20. Lihat penjelasan pasal 18. BAB IX LAIN-LAIN. Pasal 21. Ayat 1. Sebagai syarat dari pada pemberian untuk kedua kali, ketiga kali dan seterusnya perlu dipenuhi syarat yang ditentukan untuk pemberian anugerah seperti tersebut dalam pasal 2 dan 4 atau pasal 7, dengan ketentuan bahwa tindakan-tindakan atau tugasnya untuk mana akan diberikan anugerah tersebut tidak ada hubungannya sangkut-pautnya merupakan kelanjutan dari tindakan-tindakan atau tugas untuk mana telah diberikan suatu anugerah. Hal ini berdasarkan pendirian bahwa suatu tindakan atau suatu jasa tidak dapat dihargai dua kali atau lebih. Tiap-tiap sifat kepahlawanan atau jasa-bakti harus dipertimbangkan lepas dari pada yang telah mendapat penghargaan. Ayat 2. Vide penjelasan ayat 1, berhubung dengan pasal 3 dan 4.

Pasal 22. Pasal 23. Pasal 24. BAB X PENUTUP. Termasuk Lembaran-Negara No. 116 tahun 1958. Diketahui: Menteri Kehakiman, G.A. MAENGKOM. Lampiran gambar lihat fisik -------------------------------- CATATAN *) Disetujui D.P.R. dalam rapat pleno terbuka ke-88 pada tanggal 3 Juli 1958, pada hari Kamis, P.331/1958 Kutipan: LEMBARAN NEGARA DAN TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA TAHUN 1958 YANG TELAH DICETAK ULANG Sumber: LN 1958/116; TLN NO. 1650