BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah PISA-OECD (Programe for Internasional Student Assessment- Organisation for Economic Cooperation and Development) tahun 2006, merupakan suatu bentuk studi lintas negara yang memonitor dari sudut capaian belajar peserta didik. Hasil studi PISA Nasional tahun 2006 menunjukkan bahwa tingkat literasi sains anak-anak Indonesia masih berada pada tingkatan rendah, yakni 29% untuk konten, 34% untuk proses, dan 32% untuk konteks. Temuan tersebut merefleksikan hasil PISA-OECD tahun 2006. Studi PISA Nasional 2006 juga menyimpulkan bahwa peningkatan kinerja anak-anak Indonesia dalam PISA tidak akan terwujud sebelum terjadi perubahan signifikan dalam praktik pembelajaran ilmu pengetahuan alam (IPA) di sekolah. Rendahnya tingkat literasi sains anak-anak Indonesia seperti terungkap oleh PISA Nasional 2006 dan PISA Internasional sebelumnya perlu dipandang sebagai masalah yang serius (Firman, 2007). Rendahnya literasi sains siswa pada aspek konten dapat disebabkan oleh proses pembelajaran yang hanya menitikberatkan pada aspek hapalan, sehingga siswa tidak memahami apa yang ia pelajari tetapi hanya sebatas mengingat dan sewaktu-waktu dapat dengan mudah terlupakan. Rendahnya literasi sains siswa pada aspek proses lebih disebabkan oleh proses pembelajaran yang berpusat pada guru. Aktivitas siswa dapat dikatakan hanya mendengarkan penjelasan guru dan 1
mencatat hal-hal yang dianggap penting (Mahyuddin, 2007), sehingga siswa hanya mempelajari sains sebagai produk bukan sebagai proses, sikap, dan aplikasi. Rendahnya literasi sains siswa pada aspek konteks disebabkan oleh konteks-konteks dalam materi pelajaran tidak dihubungkan dengan lingkungan di sekitar siswa itu sendiri. Pelaksanaan pendidikan IPA di Indonesia pada tingkat SMP/MTs masih mengajarkan IPA sebagai mata pelajaran yang terpisah (kimia, fisika, biologi) sehingga menyebabkan siswa tidak bisa menghubungkan kaitan antara mata pelajaran tersebut. Disamping itu siswa menjadi kurang bisa mengaplikasikan materi pelajaran kedalam lingkungannya karena seolah-olah semuanya tidak saling berkaitan. Banyak guru SMP/MTs yang belum begitu paham mengenai pembelajaran IPA yang terintegrasi dan masih memberikan pelajaran IPA secara parsial serta tidak menyampaikan keterkaitan antara mata pelajaran-mata pelajaran IPA tersebut. Model pembelajaran IPA terpadu merupakan salah satu model implementasi kurikulum yang dianjurkan untuk diaplikasikan pada jenjang pendidikan SMP. Model ini pada hakekatnya merupakan suatu pendekatan pembelajaran yang memungkinkan peserta didik baik secara individu maupun kelompok aktif mencari, menggali, dan menemukan konsep serta prinsip sains secara holistik dan otentik (Depdikbud,1996). Pembelajaran IPA terpadu ini relevan dalam satu tema tertentu (pembelajaran tetamatik). Pembelajaran tematik lebih menekankan pada penerapan konsep belajar sambil melakukan sesuatu (learning by doing). Melalui pembelajaran ini, peserta didik dapat memperoleh 2
pengalaman langsung, sehingga dapat menambah kekuatan untuk mencari, menyimpan dan menerapkan konsep yang telah dipelajarinya. Dengan demikian peserta didik terlatih untuk menemukan sendiri berbagai konsep yang dipelajari secara menyeluruh, bermakna, otentik, dan aktif. Pengalaman belajar yang menunjukkan kaitan unsur-unsur konseptual yang dipelajari dengan sisi bidang kajian IPA yang relevan akan membentuk skema kognitif, sehingga siswa memperoleh keutuhan dan kebulatan pengetahuan. Perolehan keutuhan belajar IPA serta kebulatan pandangan tentang kehidupan, dunia nyata dan fenomena alam hanya dapat direfleksikan melalui pembelajaran IPA terpadu. Pembelajaran literasi sains merupakan pembelajaran yang relevan untuk mengembangkan IPA yang sesuai dengan proses dan produk yang sehari-hari digunakan dalam masyarakat. Pembelajaran yang menggunakan pendekatan literasi sains melibatkan proses penyelesaian masalah dan pengambilan keputusan sosial-ilmiah. Tujuan dari pengembangan literasi sains adalah mengembangkan kemampuan kreatif dengan menggunakan pengetahuan berikut cara kerjanya di dalam kehidupan sehari-hari dan untuk memecahkan masalah serta membuat keputusan yang dapat meningkatkan mutu kehidupan (Holbrook dan Rannikmae dalam Holbrook, 1998). Hal ini dimaksudkan untuk memperoleh kemampuan intelektual yang meliputi keterampilan yang berhubungan dengan pendidikan, sikap komunikatif, bermasyarakat dan interdisipliner pengetahuan (Holbrook, 2005). Ada beberapa penelitian yang menilai literasi sains baik guru maupun siswa. Shwartz, et al. (2005) melakukan kegiatan melalui workshop untuk melatih 3
keterlibatan guru SMA dalam mendefinisikan arti literasi kimia, hasilnya guru menjadi lebih fokus terhadap pengetahuan kimia, guru sudah mulai memahami literasi kimia dan mulai memperkenalkan gagasan kimia terhadap siswa. Pada tahun 2006, peneliti yang sama melakukan penelitian terhadap siswa SMA untuk menilai perkembangan literasi sains siswa pada pelajaran kimia dasar dan kimia lanjutan, hasilnya pelajaran kimia dasar dan kimia lanjutan yang diberikan pada siswa SMA berkontribusi terhadap nominal literasi (mengetahui konsep kimia) dan fungsional literasi (menjelaskan konsep kimia) tetapi tidak pada konseptual literasi (menjelaskan fenomena secara kimia) dan multidimensi literasi (membaca dan memahami artikel pendek). Holbrook, et al. (2003), menerapkan pembelajaran berbasis isu sosial (lokal dan global) yang dilakukan di Estonia dan hasilnya menunjukkan bahwa pembelajaran ini dapat mendukung kemampuan kreativitas siswa. Kemampuan kreativitas siswa laki-laki ternyata lebih baik dibanding siswa perempuan, terutama pada kemampuan memprediksi konsekuensi. Studi penerapan pembelajaran berbasis literasi sains dan teknologi juga telah dilakukan beberapa peneliti di Indonesia pada mata pelajaran IPA/Kimia (Mudzakir, et. al., 2007; Runtinah, 2008; Losarini, 2009; dan Ditha, 2009). Runtinah (2008) dan Mudzakir, et al. (2007) masing-masing menerapkannya pada materi pokok laju reaksi dan sifat asam basa di tingkat SMA. Losarini (2009) menerapkannya pada tema Asupan Makanan dan Pengaruhnya terhadap Kerja Ginjal dengan materi pokok pemisahan campuran di tingkat SMP. Ditha (2009) menerapkannya pada tema Kemasan Makanan dengan materi pokok perubahan 4
materi. Semua penelitian tersebut menemukan bahwa pembelajaran berbasis literasi sains tidak saja dapat meningkatkan motivasi belajar siswa, tetapi sekaligus dapat meningkatkan penguasaan konten, proses, konteks aplikasi, dan sikap sains siswa. Salah satu materi IPA dalam kurikulum 2006 yang memiliki potensi untuk dikembangkan melalui pembelajaran IPA terpadu adalah perubahan materi yang diajarkan di tingkat SMP/MTs. Materi ini sangat berkaitan dengan kehidupan sehari-hari, baik dilihat dari mata pelajaran kimia, biologi maupun fisika. Pembelajaran IPA terpadu menitikberatkan penerapan konsep belajar sambil melakukan sesuatu sejalan dengan aspek-aspek yang akan diukur pada literasi sains yang meliputi aspek konten, proses sains, konteks apliksi sains, dan sikap sains. Sebenarnya telah ada penelitian tentang perubahan materi pada tema kemasan makanan, akan tetapi materi perubahan materi dapat diajarkan tidak hanya dengan tema kemasan makanan. Tema lain yang akan diangkat dalam penelitian ini adalah Sampah dan Usaha Penanggulangannya tema ini diangkat karena saat ini sampah seolah-olah sudah menjadi permasalahan yang tidak ada penyelesainnya. Setiap hari kita dapat melihat sampah menumpuk dimana-mana tanpa penanganan yang jelas dan dapat merusak lingkungan. Tema Sampah dan Usaha Penanggulangannya ini dapat dibahas secara terpadu berdasarkan kompetensi dasar Kimia (membedakan sifat fisika dan sifat kimia zat, menyimpulkan perubahan fisika dan kimia berdasarkan hasil percobaan sederhana), kompetensi dasar biologi (melaksanakan pengamatan objek secara terencana dan sistematik untuk memperoleh informasi gejala biotik dan abiotik, 5
dan mengaplikasikan peran manusia dalam pengelolaan lingkungan untuk mengatasi pencemaran dan kerusakan lingkungan), dan fisika (menyelidiki sifatsifat zat berdasarkan wujudnya dan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari, mendeskripsikan peranan kalor dalam mengubah wujud zat dan suhu suatu benda serta penerapannya dalam kehidupan sehari-hari). Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut, maka peneliti memandang perlu adanya pengembangan pembelajaran IPA terpadu pada materi pokok perubahan materi dan mengkaji model IPA terpadu tersebut sehingga dapat meningkatkan literasi sains siswa SMP/MTs. Dengan prinsip dasar IPA terpadu dan pembelajaran berbasis literasi sains diharapkan dapat meningkatkan kemampuan literasi sains siswa SMP khususnya dalam aspek konten, proses, konteks, aplikasi dan sikap sains. B. Masalah Penelitian Dari uraian latar belakang sebelumnya, maka masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah Bagaimanakah pembelajaran IPA terpadu pada tema sampah dan usaha penanggulangannya dapat meningkatkan literasi sains siswa SMP? Berdasarkan masalah tersebut, dibuat pertanyaan penelitian sebagai berikut : 1. Bagaimana keterlaksanaan penerapan model pembelajaran IPA terpadu berbasis literasi sains pada tema sampah dan usaha penanggulangannya di tingkat SMP? 6
2. Bagaimanakah peningkatan literasi sains siswa SMP pada aspek konten sains setelah mengikuti pembelajaran IPA terpadu berbasis literasi sains yang telah dikembangkan? 3. Bagaimanakah peningkatan literasi sains siswa SMP pada aspek proses sains setelah mengikuti pembelajaran IPA terpadu berbasis literasi sains yang telah dikembangkan? 4. Bagaimanakah peningkatan literasi sains siswa SMP pada aspek konteks aplikasi sains setelah mengikuti pembelajaran IPA terpadu berbasis literasi sains yang telah dikembangkan? 5. Bagaimana tanggapan siswa dan guru terhadap pembelajaran IPA terpadu berbasis literasi sains yang telah dikembangkan? C. Batasan Masalah Untuk lebih memfokuskan arah dan jalannya penelitian, maka masalah penelitian dibatasi sebagai berikut: 1. Keterlaksanaan penerapan model pembelajaran IPA terpadu berbasis literasi sains pada tema sampah dan usaha penanggulangannya hanya dibahas mengenai tahapan pembelajaranya. 2. Penguasaan literasi sains hanya dibatasi pada aspek konten sains, proses sains, dan konteks aplikasi sains. 3. Peningkatan literasi sains pada aspek konten meliputi sifat fisika, sifat kimia, perubahan fisika, dan perubahan kimia. 7
4. Peningkatan literasi sains siswa pada aspek proses sains merujuk pada proses sains menurut PISA 2006 tentang mengidentifikasi permasalahan ilmiah, menjelaskan fenomena ilmiah, dan menggunakan bukti ilmiah. D. Tujuan Penelitian Berdasarkan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk: 1. Memperoleh model pembelajaran IPA terpadu pada tema sampah dan usaha penanggulangannya untuk meningkatkan literasi sains siswa SMP/MTs; 2. Memperoleh informasi tentang faktor pendukung dan kendala yang mungkin dihadapi pada implementasi pembelajaran IPA terpadu yang dikembangkan. E. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi dunia pendidikan, diantaranya sebagai berikut: 1. Bagi guru, hasil penelitian ini dapat memberikan informasi dan wawasan tentang pembelajaran IPA terpadu yang dapat digunakan sebagai pembelajaran alternatif untuk meningkatkan literasi sains siswa SMP/MTs. 2. Bagi sekolah, sebagai bahan pertimbangan dalam meningkatkan kualitas pembelajaran di sekolah. 3. Bagi pembuat kebijakan, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan masukan dalam membuat kebijakan pendidikan, yaitu dalam revisi kurikulum pada tingkat nasional (penetapan kompetensi dasar) maupun tingkat operasional di sekolah (penetapan materi pelajaran dan proses pembelajaran). 8
4. Bagi penelitian lain, sebagai bahan pertimbangan untuk melakukan penelitian serupa pada pokok bahasan yang lain. F. Definisi Operasional 1. Pembelajaran IPA terpadu, meliputi pembelajaran yang terpadu dalam satu disiplin ilmu, terpadu antar mata pelajaran, serta terpadu dalam dan lintas peserta didik (Fogarty dalam Puskur Balitbang Depdiknas). Pada penelitian ini pengertian IPA terpadu yang dipakai adalah terpadu antar mata pelajaran (model keterpaduan). 2. Pembelajaran literasi sains adalah pembelajaran yang didasarkan pada pengembangan kemampuan pengetahuan sains di berbagai sendi kehidupan, mencari solusi permasalahan, membuat keputusan, dan meningkatkan kualitas hidup (Holbrook dan Rannikmae dalam Holbrook, 1998). 3. Literasi sains didefinisikan sebagai kemampuan menggunakan pengetahuan sains, mengidentifikasi pertanyaan, dan menarik kesimpulan berdasarkan bukti-bukti, dalam rangka memahami serta membuat keputusan berkenaan dengan alam dan perubahan yang dilakukan terhadap alam melalui aktivitas manusia (PISA, 2006). Peningkatan literasi sains yang dimaksud dalam penelitian ini adalah peningkatan perolehan nilai siswa dari pretest dan posttest dalam mempelajari perubahan materi menggunakan model pembelajaran IPA terpadu berbasis literasi sains. 4. Konten sains adalah salah satu dimensi dari literasi sains merujuk kepada konsep-konsep kunci yang diperlukan untuk memahami fenomena alam dan 9
perubahan yang dilakukan terhadap alam melalui aktivitas manusia (PISA, 2006). Konten sains yang digunakan dalam penelitian ini adalah sifat fisika, sifat kimia, perubahan fisika, dan perubahan kimia. 5. Proses sains adalah salah satu dimensi dari literasi sains, yang mengandung pengertian proses mental yang terlibat ketika menjawab suatu pertanyaan atau memecahkan masalah, seperti mengidentifikasi dan menginterpretasi bukti serta menerangkan kesimpulan (PISA, 2006). Proses sains yang dimaksud dalam penelitian ini adalah mengidentifikasi permasalahan ilmiah, menjelaskan fenomena ilmiah, dan menggunakan bukti ilmiah. 6. Konteks aplikasi sains merupakan salah satu dimensi dari literasi sains dengan pengertian situasi yang ada hubungannya dengan penerapan sains dalam kehidupan sehari-hari yang menjadi lahan bagi aplikasi proses dan pemahaman konsep sains (PISA, 2006). Konteks aplikasi sains yang dimaksud dalam penelitian ini adalah sampah yang berhubungan dengan pengelolaan lingkungan, sampah yang berhubungan dengan komponen biotik dan abiotik, tape singkong, bahan bakar kendaraan, dan balok kayu. 10