PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA TERKAIT UJARAN KEBENCIAN

dokumen-dokumen yang mirip
SURAT EDARAN Nomor: SE/ 06 / X /2015. tentang PENANGANAN UJARAN KEBENCIAN (HATE SPEECH)

Penanganan Politik Uang oleh Bawaslu Melalui Sentra Gakkumdu

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 76/PUU-XV/2017

UPAYA PENEGAKAN HUKUM NARKOTIKA DI INDONESIA Oleh Putri Maha Dewi, S.H., M.H Dosen Fakultas Hukum Universitas Surakarta

No. Aturan Bunyi Pasal Catatan 1. Pasal 156 KUHPidana

SURAT EDARAN. Nomor: SE/06/X/2015. tentang PENANGANAN UJARAN HATE KEBENCIAN SPEECH ( ) Rujukan:

UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK [LN 2008/58, TLN 4843]

POLITIK HUKUM PENGATURAN PELINDUNGAN DATA PRIBADI

MAKALAH. Hate Speech: Ancaman terhadap Kebhinnekaan dan Demokrasi

TINJAUAN PUSTAKA. Upaya penanggulangan tindak pidana dikenal dengan istilah kebijakan kriminal

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Kebijakan Kriminal, Penyalahgunaan BBM Bersubsidi 36

BAB I PENDAHULUAN. Tercatat 673 kasus terjadi, naik dari tahun 2011, yakni 480 kasus. 1

Perbuatan yang Dilarang dan Ketentuan Pidana UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK (ITE)

BAB I PENDAHULUAN. legal apabila digunakan untuk tujuan yang positif. Namun

Surat Edaran Kapolri Tentang Ujaran Kebencian (Hate Speech), Akankah Membelenggu Kebebasan Berpendapat? Oleh: Zaqiu Rahman *

BAB I PENDAHULUAN. macam informasi melalui dunia cyber sehingga terjadinya fenomena kejahatan di

BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP SURAT EDARAN KAPOLRI NOMOR:SE/06/X/2015 TENTANG PENANGANAN UJARAN KEBENCIAN (HATE SPEECH) DI MEDIA SOSIAL

I. PENDAHULUAN. Penyalahgunaan izin tinggal merupakan suatu peristiwa hukum yang sudah sering

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Banyaknya tawuran antar pelajar yang terjadi di kota kota besar di

KONTROVERSI PERPRES NOMOR 20 TAHUN 2018 TENTANG PENGGUNAAN TENAGA KERJA ASING

I. PENDAHULUAN. Fenomena penyalahgunaan dan peredaran narkotika merupakan persoalan

I. PENDAHULUAN. seseorang (pihak lain) kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagai

I. PENDAHULUAN. kesehatan penting untuk menunjang program kesehatan lainnya. Pada saat ini

I. PENDAHULUAN. terpuruknya sistem kesejahteraan material yang mengabaikan nilai-nilai

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

POLITIK HUKUM PIDANA DALAM PERSPEKTIF PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA

PERLINDUNGAN DATA PRIBADI DALAM KEBIJAKAN REGISTRASI KARTU PRABAYAR

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

Kejahatan merupakan bayang-bayang peradaban manusia, bahkan lebih maju dari peradaban

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI PENGADAAN BARANG DAN JASA. Nisa Yulianingsih 1, R.B. Sularto 2. Abstrak

FUNGSI LEGISLASI: PEmbENtUkAN dan PELAkSANAAN beberapa UNdANG-UNdANG republik INdoNESIA

BAB I PENDAHULUAN. kejahatan yang bersifat trans-nasional yang sudah melewati batas-batas negara,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkembangan dan kemajuan teknologi informasi

II. TINJAUAN PUSTAKA

tulisan, gambaran atau benda yang telah diketahui isinya melanggar kesusilaan muatan yang melanggar kesusilaan

TINDAK PIDANA DI BIDANG MEDIA SOSIAL Oleh : Prof. Dr. H. Didik Endro Purwoleksono, S.H., M.H.

Berdasarkan keterangan saya sebagai saksi ahli di bidang Hukum Telematika dalam sidang Mahkamah Konstitusi tanggal 19 Maret 2009, perihal Pengujian

TINDAK LANJUT PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TENTANG VERIFIKASI PARTAI POLITIK

Makalah Kejahatan E-Commerce "Kasus Penipuan Online" Nama : Indra Gunawan BAB I PENDAHULUAN

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia

Pembahasan : 1. Cyberlaw 2. Ruang Lingkup Cyberlaw 3. Pengaturan Cybercrimes dalam UU ITE

I. PENDAHULUAN. diyakini merupakan agenda penting masyarakat dunia saat ini, antara lain ditandai

I. PENDAHULUAN. kemajuan dalam kehidupan masyarakat, selain itu dapat mengakibatkan perubahan kondisi sosial

ETIK UMB. Pencegahan dan Upaya Pemberantasan Korupsi. Modul ke: 13Fakultas EKONOMI. Program Studi Manajemen


LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ARTIS SEBAGAI KORBAN TINDAK PIDANA CYBERBULLYING PADA MEDIA SOSIAL INSTAGRAM DI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. perbuatan menyimpang yang ada dalam kehidupan masyarakat. maraknya peredaran narkotika di Indonesia.

BAB II. kejahatan adalah mencakup kegiatan mencegah sebelum. Perbuatannya yang anak-anak itu lakukan sering tidak disertai pertimbangan akan

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian Jalan, Bagian Jalan, & Pengelompokan Jalan

melaksanakan kehidupan sehari-hari dan dalam berinterkasi dengan lingkungannya. Wilayah

Pencegahan dan Upaya Pemberantasan Korupsi

PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PEMALSUAN DAN PENGEDARAN UANG PALSU SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. oleh berbagai pihak. Penyebabnya beragam, mulai dari menulis di mailing list

I. PENDAHULUAN. dari masyarakat yang masih berbudaya primitif sampai dengan masyarakat yang

LAPORAN SINGKAT KOMISI I DPR RI

Hate Speech (Ujaran Kebencian)

BAB III PENUTUP. Berdasarkan pembahasan diatas Pembuktian Cyber Crime Dalam. di dunia maya adalah : oleh terdakwa.

SINERGI KAWAL INFORMASI UNTUK MENANGKAL BERITA HOAX

POLITIK HUKUM PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG: Analisis Terhadap Beberapa Undang-Undang Tahun

AMNESTY INTERNATIONAL PERNYATAAN PUBLIK

PELAKSANAAN PERLINDUNGAN KHUSUS TERHADAP ANAK SEBAGAI KORBAN PENCABULAN MENURUT UU NO. 23 TAHUN 2002

Perspektif Etik dalam Komunikasi Persuasif

I. PENDAHULUAN. Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya untuk

PADA RAPAT PARIPURNA DPR-RI TANGGAL 18 JULI 2006

Bab 2 Etika, Privasi

I. PENDAHULUAN. Salah satu persoalan yang selalu dihadapi di kota-kota besar adalah masalah lalu lintas. Hal ini

BAB III KESIMPULAN DAN SARAN. Untuk menjawab rumusan masalah yang dikemukakan penulis, berdasarkan

I. PENDAHULUAN. Tindak pidana korupsi merupakan kejahatan yang merugikan keuangan negara

I. PENDAHULUAN. Masalah korupsi pada akhir-akhir ini semakin banyak mendapat perhatian dari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Hak dan kewajiban merupakan sesuatu yang melekat dan menyatu pada

Hadirkan! Kebijakan Perlindungan Korban Kekerasan Seksual. Pertemuan Nasional Masyarakat Sipil Untuk SDGs Infid November 2017

I. PENDAHULUAN. Akhir-akhir ini banyak sekali beredar makanan yang berbahaya bagi kesehatan para

ETIK UMB Pencegahan dan Upaya Pemberantasan Korupsi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Tindak pidana dan pemidanaan merupakan bagian hukum yang selalu

I. PENDAHULUAN. Anak adalah amanat sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang senantiasa

LAPORAN SINGKAT KOMISI I DPR RI

KEJAHATAN TRANSNASIONAL DI INDONESIA DAN UPAYA PENANGANANNYA. Penyunting Humphrey Wangke

cenderung meningkat, juga cukup besar dibandingkan komponen pengeluaran APBN yang lain,

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM UPAYA PENANGGULANGAN CYBERCRIME (CRIMINAL LAW POLICY IN PREVENTING CYBERCRIME)

Masih Dicari Hukum Yang Pro Kemerdekaan Berpendapat Friday, 21 October :50 - Last Updated Tuesday, 04 September :19

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Negara Indonesia sebagai negara yang berdasarkan Pancasila dan

IMPLIKASI PUTUSAN MK ATAS PENGGUNAAN HAK ANGKET DPR TERHADAP KPK

PELAKSANAAN SISTEM PEMIDAAN MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA ABSTRAK

POLITIK HUKUM PEMBERANTASAN TERORISME

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi

Kuasa Hukum Antonius Sujata, S.H., M.H., dkk, berdasarkan Surat Kuasa Khusus bertanggal 29 Mei 2017

PENDAHULUAN. penyalahgunaan, tetapi juga berdampak sosial, ekonomi dan keamanan nasional,

UJARAN KEBENCIAN: BATASAN PENGERTIAN DAN LARANGANNYA

BAB V ANALISIS. A. Analisis mengenai Pertimbangan Hakim Yang Mengabulkan Praperadilan Dalam

I. PENDAHULUAN. Pembangunan nasional adalah tujuan pemerintah Indonesia yang dilaksanakan

BAB I PENDAHULUAN. faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 31/PUU-XV/2017 Pidana bagi Pemakai/Pengguna Narkotika

I. PENDAHULUAN. Perdagangan orang (human traficking) terutama terhadap perempuan dan anak

BAB I PENDAHULUAN. kemajuan teknologi dari tahun ke tahun semakin cepat. Hal yang paling

Transkripsi:

Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR RI Gd. Nusantara I Lt. 2 Jl. Jend. Gatot Subroto Jakarta Pusat - 10270 c 5715409 d 5715245 m infosingkat@gmail.com BIDANG HUKUM KAJIAN SINGKAT TERHADAP ISU AKTUAL DAN STRATEGIS Vol. XI, No.03/I/Puslit/Februari/2019 1 PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA TERKAIT UJARAN KEBENCIAN Prianter Jaya Hairi Abstrak Data tiga tahun terakhir (2016-2018) menunjukkan peningkatan signifikan kasuskasus terkait ujaran kebencian. Hal ini menandakan bahwa penanggulangan tindak pidana ujaran kebencian belum begitu berhasil, karena efektivitas hukum pidana memang tidak bisa diukur dari banyaknya pelaku yang tertangkap. Penanggulangan tindak pidana ujaran kebencian ke depan harus dilakukan secara lebih komprehensif, tidak hanya menggunakan sarana penal secara represif, melainkan perlu langkahlangkah baru yang lebih bersifat preventif melalui sarana non penal. Tulisan ini mengkaji langkah ideal yang dapat dilakukan dalam upaya penanggulangan tindak pidana terkait ujaran kebencian. Indonesia dapat mencontoh Masyarakat Uni Eropa (EU) yang telah melakukan kerja sama dengan platform media sosial, agar dapat berkomitmen membantu pemerintah dalam menanggulangi masalah konten ilegal di media sosial. Selain itu, kerja sama perlu terus dibangun oleh pemerintah dengan tokoh-tokoh masyarakat dan agama, termasuk sosialisasi ke lembaga pendidikan untuk menekan potensi terjadinya tindak pidana ini. PUSLIT BKD Pendahuluan Data dari Kepolisian RI (Polri) menunjukkan tingginya kasus terkait ujaran kebencian (hate speech). Hingga Desember 2017, Polri telah menangani 3.325 kasus kejahatan ujaran kebencian, angka tersebut naik 44,99% dari tahun sebelumnya (2016), yang berjumlah 1.829 kasus (detik. com, 29 Desember 2017). Polri juga menyebutkan bahwa sejak pertengahan 2017 hingga Desember 2018, khususnya konten ujaran kebencian yang tersebar di media sosial saja sudah ada temuan berjumlah 3.884 konten. (news. okezone.com, 15 Januari 2019). Belum lama ini, kasus ujaran kebencian berupa penghinaan yang ramai menjadi perhatian publik melibatkan seorang public figure Ahmad Dhani. Pada 28 Januari 2019 Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan menjatuhkan vonis penjara selama satu tahun enam bulan kepadanya dengan dakwaan melanggar Pasal 45A ayat (2) jo

Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Pasal 28 ayat (2) jo Pasal 45A ayat (2) UU ITE, pada pokoknya menentukan bahwa: Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Pada era teknologi informasi saat ini, fenomena tingginya kasus terkait ujaran kebencian sebenarnya tidak begitu mengejutkan. Banyak kalangan yang sudah memperkirakan terjadinya fenomena ini. Hampir semua negara bahkan telah mengantisipasi hal ini dengan mengatur larangan perbuatan tersebut di negaranya. Meskipun secara pengaturan hukumnya mungkin berbeda di setiap negara, baik dalam hal lingkup perbuatannya, siapa yang melakukan, dan siapa yang menjadi target ujaran tersebut. Tercatat hanya ada tiga negara di dunia yang tidak membuat kebijakan kriminalisasi ujaran kebencian atau perbuatan hasutan untuk membenci, yakni Amerika Serikat, San Marino, dan Tahta Suci (Holy See) (Alexander Verkhovsky, 2016: 37). Dalam logika penegakan hukum, banyaknya pelaku tindak pidana yang terkena hukuman tentu bukanlah suatu prestasi, melainkan kegagalan negara dalam melakukan penanggulangan tindak pidana tersebut. Penanggulangan tindak pidana semestinya tercermin dari tingginya kesadaran hukum masyarakat dan menurunnya realitas peristiwa kejahatan di masyarakat itu sendiri. Romli Atmasasmita mengatakan, sesungguhnya semakin banyak perkara yang masuk dan diputus pengadilan serta semakin banyak manusia yang dimasukkan ke bui, itu suatu pertanda bahwa pembangunan hukum dan penegakan hukum itu telah mengalami kegagalan. Lebih lanjut dinyatakan sukses dalam penegakan hukum adalah jika perkembangan kejahatan semakin menurun dan mereka yang dibui semakin berkurang sehingga merupakan bukti bahwa kehidupan masyarakat telah tertib dan aman (tokoh.id, 15 Desember 2009). Oleh karena itu, dalam konteks ini, secara logika hukum ketika kasus-kasus ujaran kebencian semakin marak dan banyak masyarakat yang terjerat hukum dan akhirnya masuk penjara, maka sebenarnya tidak dapat dikatakan bahwa penanggulangan tindak pidana tersebut telah berhasil dilaksanakan. Sebaliknya, perlu dilakukan upaya lain agar penanggulangan tindak pidana ujaran kebencian dapat ditekan hingga berkurang dan bahkan tidak lagi dilanggar oleh masyarakat. Terkait persoalan tersebut, perlu dilakukan kajian secara terus menerus tentang bagaimana semestinya tindak pidana terkait ujaran kebencian dapat ditanggulangi, sekaligus mengurangi kemungkinan munculnya atau menambah persoalan dalam penegakan hukum nasional. Salah 2

3 satunya yakni masalah overcrowded lembaga pemasayarakatan. Tulisan ini secara khusus mengkaji mengenai bagaimana upaya yang dapat dilakukan dalam penanggulangan tindak pidana ujaran kebencian dari paradigma penanggulangan tindak pidana secara lebih luas. Upaya Penal dalam Penanggulangan Tindak Pidana Ujaran Kebencian Berangkat dari tujuan penanggulangan kejahatan yakni untuk melindungi kepentingan masyarakat, maka penegakan hukum pidana idealnya harus dilaksanakan secara lebih efektif. Menurut Barda Nawawi Arief, suatu pidana dikatakan efektif apabila pidana itu sejauh mungkin dapat mencegah dan mengurangi kejahatan. Jadi, kriteria efektivitas dilihat dari seberapa jauh frekuensi kejahatan dapat ditekan (Barda Nawawi Arief, 2002: 1). Lalu bagaimana menekan angka kejahatan? Menurut G P. Hoefnagels, upaya penanggulangan kejahatan dapat ditempuh dengan: 1) penerapan hukum pidana; 2) pencegahan tanpa pidana; dan 3) mempengaruhi pandangan masyarakat tentang kejahatan dan pemidanaan melalui media massa (Barda Nawawi Arief, 2002: 225). Jika dicermati, pendapat Hoefnagels ini pada dasarnya menitikberatkan pada dua cara, yakni cara penal dan cara non penal, sementara langkah mempengaruhi pandangan masyarakat melalui media massa dapat digolongkan sebagai bagian dari cara non penal. Mengenai hal tersebut, Soedarto mengatakan bahwa upaya penanggulangan kejahatan melalui jalur penal lebih menitikberatkan pada sifat repressive (penindasan/ pemberantasan/penumpasan), sesudah kejahatan terjadi. Sedangkan jalur non penal lebih menitikberatkan pada sifat preventive (pencegahan/penangkalan) sebelum kejahatan terjadi (Soedarto, 1986: 188). Apabila dianalisis dalam konteks penanggulangan tindak pidana terkait ujaran kebencian, secara penal dapat dikatakan sebenarnya sudah terbangun dalam sistem peradilan pidana terpadu (SPPT) dengan kerangka hukum positif yang diatur dalam beberapa undang-undang, antara lain dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), UU ITE, dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. UU ITE mengaturnya dalam Pasal 28 ayat (2) yang pada pokoknya memuat larangan menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Sedangkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis mengaturnya dalam Pasal 4 dan Pasal 16 yang memuat larangan menunjukkan kebencian atau rasa benci kepada orang karena perbedaan ras dan etnis. Selanjutnya KUHP mengaturnya dalam Pasal 156, Pasal 157, Pasal 310, dan Pasal 311 yang pada pokoknya juga mengatur tentang larangan menyatakan perasaan permusuhan, kebencian, atau penghinaan terhadap suatu atau beherapa golongan rakyat Indonesia, menyerang kehormatan atau nama baik seseorang, serta melakukan fitnah.

Terkait dengan UU ITE, pada tahun 2017, melalui Putusan Nomor 76/PUU-XV/2017 Mahkamah Konstitusi memperluas makna istilah antargolongan yang terdapat dalam Pasal 28 ayat (2) UU ITE, menjadi tidak hanya meliputi suku, agama, dan ras, melainkan meliputi semua entitas yang tidak terwakili atau terwadahi oleh istilah suku, agama, dan ras. Hal ini berimplikasi pada semakin luasnya lingkup target dari ujaran kebencian sehingga semakin membuka peluang penyelesaian pidana tindak pidana ini melalui jalur penal. Selain itu, sejak tahun 2015, sudah ada Surat Edaran Kapolri Nomor SE/6/X/2015 yang khusus mengatur mengenai penanganan ujaran kebencian. Surat Edaran Kapolri ini antara lain mengatur tentang langkah penanganan yang akan dilaksanakan oleh Polri, yakni melalui cara preventif dan kemudian represif dengan dasar hukum yang ada, yakni KUHP dan UU ITE. Dengan demikian, dipahami bahwa melalui jalur penal, penanggulangan perbuatan pidana ujaran kebencian sudah terimplementasi selama ini oleh aparat penegak hukum, terlepas dari berbagai kontroversi dalam pelaksanaannya. Namun upaya pemerintah dalam hal penanggulangan secara non penal dirasakan masih sangat minim. Masih ada ruang untuk memaksimalkan penanggulangan tindak pidana terkait ujaran kebencian secara non penal atau yang bersifat preventif. Dalam konsep kebijakan hukum pidana, upaya penanggulangan tindak pidana secara non penal pada hakikatnya jauh lebih strategis karena sifatnya yang mencegah sebelum terjadinya kejahatan. Upaya Nonpenal dalam Penanggulangan Tindak Pidana Ujaran Kebencian Pada dasarnya, upaya nonpenal sudah termuat dalam Surat Edaran Kapolri Nomor SE/6/X/2015, antara lain melakukan tindakan dengan mengedepankan fungsi Binmas dan Polmas untuk melakukan penyuluhan atau sosialisasi kepada masyarakat mengenai ujaran kebencian dan dampak negatif yang akan terjadi. Namun langkah preventif ini tentu masih perlu ditingkatkan. Indonesia dapat mencontoh upaya yang dilakukan Masyarakat Uni Eropa (European Union/ EU), yaitu dengan membuat kerja sama dengan media daring internasional untuk mengawasi dan memblokir segala berita terkait ujaran kebencian. EU dalam hal ini bekerja sama dengan Facebook, Twitter, Youtube dan Microsoft meluncurkan "pedoman perilaku" (code of conduct) di internet. Pedoman perilaku itu diumumkan 31 Mei 2016 dalam sebuah pernyataan yang disampaikan oleh Komisi Eropa (European Commission) yang pada pokoknya berbunyi: "Dengan menandatangani pedoman perilaku ini, perusahaanperusahaan teknologi informasi berkomitmen untuk terus berupaya menangani persoalan ujaran kebencian yang melawan hukum secara daring. Upaya ini mencakup pengembangan prosedur internal dan pelatihan staf yang terusmenerus guna menjamin bahwa mereka mempelajari sebagian 4

5 besar notifikasi yang valid untuk menghapus ujaran kebencian dalam kurun waktu kurang dari 24 jam (gatestoneinstitute.org, 3 Juni 2016). Langkah ini bahkan dilanjutkan oleh Pemerintah Jerman dengan menerapkan undang-undang baru yang mulai berlaku 1 Januari 2018 mengenai ujaran kebencian dengan ancaman denda hingga US$ 60 juta atau setara Rp805 miliar (nilai mata uang saat ini) yang ditujukan terhadap platform media sosial seperti Facebook, Twitter, Google, YouTube, Snapchat, dan Instagram yang tidak berupaya menyelidiki atau menghapus konten ilegal dalam waktu tertentu setelah ada keluhan (katadata.co.id, 5 Januari 2018). Langkah preventif lainnya yang dapat dilakukan oleh pemerintah yakni terus membangun kerja sama dengan tokoh-tokoh masyarakat dan agama, termasuk sosialiasi di lembaga pendidikan. Penyuluhan terkait informasi larangan ujaran kebencian perlu dilakukan secara lebih masif kepada masyarakat untuk menumbuhkan dan meningkatkan kesadaran hukum masyarakat serta budaya masyarakat, hal ini penting untuk dilakukan agar dapat menekan potensi terjadinya tindak pidana ini. Memprioritaskan upaya pencegahan dalam penanggulangan tindak pidana ujaran kebencian akan memberikan efek positif lainnya. Selain mengurangi kejahatan tersebut, juga mengurangi beban negara yang masih terus berupaya mengatasi persoalan overcrowded lembaga pemasyarakatan. Institute for Criminal and Justice Reform (ICJR) mencatat bahwa data per September 2018, jumlah penghuni rumah tahanan (Rutan) dan lembaga pemasyarakatan (Lapas) yakni sebanyak 248.340 orang, padahal, kapasitas total rutan dan lapas yang ada hanya 125.159 orang (Kompas.com, 17 Oktober 2018). Penutup Penanggulangan tindak pidana terkait ujaran kebencian secara lebih komprehensif dapat dilakukan dengan cara menggabungkan upaya dengan sarana penal dan nonpenal. Hal itu tentu perlu dilakukan agar tujuan penanggulangan tindak pidana yang ideal, yakni yang benar-benar melindungi kepentingan masyarakat dapat tercapai. Penegakan hukum secara berangsur-angsur akan semakin efektif seiring dengan tumbuhnya kesadaran masyarakat dan budaya masyarakat terkait larangan ujaran kebencian. Referensi Arief, Barda Nawawi. (2002). Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Bandung: Citra Aditya Bakti. Berapa Jumlah Hoaks & Ujaran Kebencian dari 2017-2018?Berikut Datanya, 15 Januari 2019, https://news.okezone.com/ read/2019/01/15/337/2004711/ berapa-jumlah-hoaks-ujaran- kebencian-dari-2017-2018- berikut-datanya, diakses 11 Februari 2019. European Union Declares War on Internet Free Speech, 3 Juni 2016, https://www. gatestoneinstitute.org/8189/ social-media-censorship, diakses 6 Februari 2019. ICJR: Rutan dan Lapas di Indonesia Sudah "Extreme Overcrowding", 17 Oktober 2018, https:// nasional.kompas.com/ read/2018/10/17/23242421/icjrrutan-dan-lapas-di-indonesiasudah-extreme-overcrowding, diakses 6 Februari 2019.

Realitas Hukum, 15 Desember 2015, https://tokoh.id/ publikasi/opini/realitashukum/, diakses 6 Februari 2019. RI Bakal Sulit Ikuti Jerman, 5 Januari 2018, https://katadata. co.id/berita/2018/01/05/ribakal-sulit-ikuti-jerman-atasiujaran-kebencian-lewat-dendatinggi, diakses 6 Februari 2019. Selama 2017 Polri Tangani 3.325 Kasus Ujaran Kebencian, 29 Desember 2017, https://news. detik.com/berita/d-3790973/ selama-2017-polri-tangani- 3325-kasus-ujaran-kebencian, diakses 6 Februari 2019. Soedarto. (1986). Kapita Selekta Hukum Pidana. Bandung: Alumni. Verkhovsky, Alexander. (2016). Criminal Law on Hate Crime, Incitement to Hatred and Hate Speech in OSCE Participating States. The Hague: SOVA Center. 6 Prianter Jaya Hairi prianter.hairi@dpr.go.id Prianter Jaya Hairi, S.H., LLM., menyelesaikan pendidikan S1 Ilmu Hukum di Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Palembang tahun 2006 dan S2 Program Pascasarjana di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta pada tahun 2009. Saat ini bekerja sebagai Peneliti Muda Bidang Hukum pada Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR RI. Beberapa karya tulis ilmiah yang telah dipublikasikan melalui jurnal dan buku antara lain: Kebijakan Kriminalisasi terhadap Tindakan Hakim dalam RUU tentang Mahkamah Agung (2014), Urgensi Penguatan Kewenangan Komnas HAM (2014), Penegakan Hukum di Laut oleh Pemerintah Daerah (2015). Info Singkat 2009, Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR RI http://puslit.dpr.go.id ISSN 2088-2351 Hak cipta dilindungi oleh undang-undang. Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi tulisan ini tanpa izin penerbit.