SIMPLIFIKASI ADMINISTRASI PERIZINAN DALAM MENINGKATKAN KEMUDAHAN MEMULAI USAHA DI INDONESIA 26 SIMPLIFICATION OF PERMIT S ADMINISTRATION IN INCREASING AN EASE OF STARTING A BUSINESS IN INDONESIA Naufal Sabda Auliya 27 dan Maria Dika Puspita Sari 28 Abstract Strengthening national competitiveness becomes an urgent agenda in the global competition era. Jokowi-JK regime has a high commitment in this issue by enacting some economic policy packages which is one of them is focusing on simplification of business permit. This policy, particularly in starting a business, will increase investment climate in Indonesia. However, there are still much obstacles to be faced, especially in local level. This research discusses what government have done and how the strategy to conduct a permit s simplification in starting a business in Indonesia using qualitative approach. Based on literary studies, in-depth interview and focus group discussion, the result shows that through the economic policy packages, the government has performed deregulation and debureaucratization in business permit. But, there are some challenges such as overlapping policy, institution effectiveness and apparatus profesionalism. Therefore, some strategies should be implemented to overcome that matters like synchronizing the policies, optimizing the authority s delegation to PTSP, utilising information technology, increasing human resources capacity, and enforcing reward and punishment. Keywords: Competitiveness, Business Permit, Permit Simplification. Abstrak Penguatan daya saing bangsa menjadi agenda yang mendesak di tengah persaingan global yang kian kompetitif dan terbuka. Pemerintahan Jokowi- 252 26 Tulisan ini merupakan pengembangan dari hasil penelitian Pusat Kajian Reformasi Administrasi-LAN tahun 2016 dengan judul Pengukuran Indeks Kompleksitas dalam Pelayanan Publik. 27 Pusat Kajian Reformasi Administrasi, Lembaga Administrasi Negara, Jl Veteran. No 10, Gambir, Jakarta Pusat, Indonesia 10110, email: naufalsabda@gmail.com. 28 Pusat Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah, Lembaga Administrasi Negara, Jl Veteran. No 10, Gambir, Jakarta Pusat, Indonesia 10110, email: maria.dika@gmail.com.
JK memiliki komitmen dalam peningkatan daya saing nasional ditandai dengan lahirnya berbagai paket kebijakan ekonomi yang salah satunya menyasar simplifikasi perizinan usaha. Kebijakan simplifikasi perizinan usaha, khususnya dalam memulai usaha akan meningkatkan iklim investasi di Indonesia. Namun, masih banyak tantangan yang dihadapi, khususnya pelaksanaan simpifikasi perizinan usaha di daerah. Penelitian ini membahas tentang upaya yang telah dilakukan pemerintah dan strategi simplifikasi administrasi perizinan memulai usaha di Indonesia. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Adapun metode pengumpulan data dilakukan dengan studi literatur, wawancara mendalam, dan focus group discussion. Hasil penelitian menunjukkan bahwa melalui paket kebijakan ekonomi, telah dilakukan deregulasi dan debirokratisasi dalam perizinan usaha. Pemerintah memangkas prosedur, waktu dan biaya dalam proses perizinan usaha. Namun, masih ditemui beberapa tantangan seperti tumpang tindih kebijakan, efektivitas PTSP dan profesionalisme SDM Aparatur. Untuk itu, strategi simplifikasi dapat dilakukan melalui sinkronisasi kebijakan atau peraturan, pendelegasian wewenang secara optimal kepada PTSP, pemanfaatan teknologi informasi dalam proses pelayanan perizinan, peningkatan kapasitas SDM aparatur dan penegakkan reward and punishment. Kata Kunci: Daya Saing, Perizinan Usaha, Simplifikasi Perizinan. PENDAHULUAN Pemerintahan Joko Widodo memiliki prioritas tinggi untuk menjadikan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang mandiri dan berdaya saing. Visi tersebut telah tertuang dalam Nawa Cita keenam dan menjadi arah kebijakan nasional, khususnya di bidang ekonomi. Upaya strategis yang telah dilakukan pemerintah adalah dengan menerbitkan Paket Kebijakan Ekonomi Jilid I hingga XIV (per November 2016). Melalui Paket Kebijakan Ekonomi, Pemerintah memangkas perizinan, birokrasi, dan aturan-aturan yang tidak perlu. Kebijakan deregulasi tersebut memangkas jalur birokrasi, menyederhanakan peraturan untuk memudahkan investasi, serta mendorong ekspor dan perdagangan dengan menurunkan tarif dan penghapusan sejumlah kewajiban pemeriksaan. Melalui deregulasi, pemerintah juga mempercepat pencairan anggaran belanja. Pemerintah juga mencairkan dana desa untuk menguatkan daya saing desa dengan prioritas pembangunan infrastruktur seperti jalan, jembatan, dan irigasi, sekaligus menciptakan lapangan kerja. Perbaikan perizinan sebagai salah satu upaya menguatkan daya saing, baik secara nasional maupun lokal, menjadi agenda pemerintah yang tidak dapat dielakkan seiring dengan meningkatnya dinamika persaingan global dengan adanya globalisasi dan integrasi ekonomi di 253
kawasan regional ASEAN (MEA). Proses pelayanan perizinan dan investasi di Indonesia sebenarnya mulai mengalami perbaikan, namun belum optimal sehingga tidak mengherankan jika hasil penilaian berbagai lembaga terkait kemudahan berusaha masih menunjukkan hasil yang belum memuaskan. Laporan yang dikeluarkan oleh World Bank terkait Doing Business misalnya, telah menempatkan Indonesia pada peringkat ke-91 dari 190 negara dalam peringkat kemudahan berusaha atau Ease of Doing Business (EoDB) pada tahun 2017. Pemeringkatan tersebut dikaji berdasarkan peraturan usaha dari sudut pandang usaha dalam negeri skala kecil hingga menengah. Pemerintah memang berwenang mengeluarkan berbagai aturan dan regulasi dalam rangka melindungi masyarakat dari penyalahgunaan. Namun, jika aturan dan regulasi tersebut dibuat tanpa kejelasan tujuan yang ingin dicapai, maka seperangkat aturan tersebut dapat dikatakan red tape (Bozeman, 1993). Hall (1968) dalam Bozeman (1968) mengungkapkan bahwa red tape mengandung tingkat formalisasi dan hambatan yang sangat tinggi, aturan dan prosedur yang tidak perlu, inefisiensi, penundaan yang tidak jelas, dan kesemuanya itu menimbulkan kefrustasian. Lebih jauh lagi, red tape dianggap sebagai penghambat kinerja organisasi sektor publik. Bozeman (1993) dalam Pandey and Scott (2000) menyebutkan bahwa beberapa peraturan memang berfungsi, tetapi dalam beberapa hal, peraturan tersebut malah menjadi beban kepatuhan dan dapat menimbulkan efek negatif pada kinerja organisasi. Budaya yang berkembang dalam birokrasi di Indonesia telah lama mengarah pada budaya kekuasaan, bukan budaya pelayanan (Dwiyanto, 2002). Birokrasi harus menempatkan kebutuhan warga negara sebagai pusat perhatian pemberian layanan, bukan sebagai klien yang berkedudukan lebih rendah. Memberikan pelayanan yang berkualitas dan berorientasi pada kepentingan publik merupakan bagian dari tugas birokrasi yang paling utama agar terwujud birokrasi yang profesional. Hal inilah yang menjadi urgensitas reformasi pelayanan atau secara khusus dalam kajian ini adalah pelayanan administrasi perizinan. Banyaknya prosedur yang justru menghambat masyarakat atau investor tidak sejalan dengan kebutuhan masyarakat dan birokrasi dituntut untuk mampu berubah. Kajian ini berfokus pada administrasi perizinan memulai usaha. 29 Tahap memulai usaha merupakan tahap yang paling krusial 254 29 Menurut World Bank (2016) dalam kemudahan berusaha terdapat 10 indikator yang dinilai, yaitu 1) kemudahan memulai usaha; 2) perizinan terkait pendirian bangunan; 3) akses mendapatkan listrik; 4) pendaftaran properti; 5) akses
dalam kaitannya menarik investor untuk berinvestasi di suatu negara, tak terkecuali dengan Indonesia. Apalagi, aspek memulai usaha menjadi salah satu aspek dengan predikat terburuk dibandingkan dengan aspek lainnya dalam kemudahan berusaha. Menurut data yang dikeluarkan World Bank, tahun 2017 aspek kemudahan berusaha Indonesia berada pada peringkat 151, ini merupakan kedua yang terburuk setelah aspek penegakan kontrak yang berada pada peringkat 166. Jika memulai usaha sudah sulit dan dinilai buruk oleh investor, maka proses selanjutnya akan terhambat bahkan dampak yang paling buruk adalah investor tidak jadi berinvestasi di Indonesia. Secara umum, peringkat Indonesia terkait memulai usaha cenderung fluktuatif dengan rentan peringkat yang relatif tinggi. Adapun secara lebih rinci tren peringkat indikator memulai usaha di Indonesia dalam rentang waktu 2012-2017 dapat dilihat dalam Grafik 1. berikut ini: 180 175 170 165 160 155 150 145 155 166 175 163 173 2012 2013 2014 2015 2016 2017 Grafik 1. Tren Peringkat Indikator Memulai Usaha di Indonesia Tahun 2012-2017 (World Bank, 2016) 151 Dari grafik di atas, peringkat indikator memulai usaha di Indonesia pada tahun 2017 sebenarnya merupakan tahun terbaik selama rentang tahun 2012-2017, namun peringkatnya masih termasuk tinggi. Penilaian aspek ini mengacu pada 13 indikator prosedur dalam memulai usaha, mulai dari pembayaran untuk pesan nama perusahaan di Bank hingga mendapatkan Nomor Pokok Wajib pajak (NPWP) dan Nomor Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (NPPKP). Kajian mengenai pelayanan perizinan usaha sebenarnya telah banyak dilakukan, antara lain ING (2015) yang menjabarkan dampak dan konsekuensi kerugian dari pelayanan perizinan usaha yang tidak prekreditan; 6) perlindungan terhadap investor minoritas; 7) pembayaran perpajakan; 8) perdagangan lintas negara; 9) penegakkan kontrak; dan 10) penyelesaian perkara kepailitan. 255
efisien, Steer (2006) yang mengulas permasalahan utama dalam perizinan usaha di Indonesia, Djankov (2002) menyoroti persyaratan legal yang harus dipenuhi dalam memulai usaha, The World Bank Group (2010) yang menguraikan cara mereformasi perizinan usaha di sebuah negara, dan The Asia Foundation (2007) yang melakukan pengukuran kinerja pelayanan perizinan terpadu melalui Indeks Kinerja Pelayanan Perizinan Terpadu (IKP). Namun demikian, masih jarang yang membahas mengenai strategi simplifikasi administrasi perizinan, khususnya perizinan memulai usaha dalam konteks di Indonesia. Kajian ini dimaksudkan untuk mengisi kekosongan tersebut. Disadari, memberikan pelayanan publik terbaik merupakan amanat utama yang dijalankan birokrasi. Sementara itu, birokrasi sendiri masih dihadapkan dengan keharusan untuk menjalankan berbagai aturan. Tantangan untuk mereformasi birokrasi semakin mendesak seiring dengan semakin dinamis dan terbukanya perdagangan bebas. Administrasi perizinan, khususnya dalam memulai usaha, menjadi pintu masuk penguatan ekonomi nasional agar mampu bersaing dan menjadi pemain aktif di tingkat global. Kajian ini akan menguraikan bagaimana upaya yang telah dilakukan pemerintah dalam rangka simplifikasi administrasi perizinan memulai usaha di Indonesia, serta bagaimana strategi simplifikasi administrasi perizinan dalam meningkatkan kemudahan memulai usaha di Indonesia. Adapun tujuannya untuk mengetahui dan menganalisis upaya yang telah dilakukan dan strategi simplifikasi administrasi perizinan dalam meningkatkan kemudahan memulai usaha di Indonesia. METODE PENELITIAN Kajian ini menggunakan pendekatan kualitatif untuk mendeskripsikan upaya yang telah dilakukan dan menggali strategi untuk simplifikasi administrasi perizinan dalam meningkatkan kemudahan memulai usaha di Indonesia. Pengumpulan data dilakukan dengan metode studi literatur, wawancara mendalam, dan focus group discussion (FGD). Studi literatur dilakukan dengan mempelajari peraturanperaturan terkait simplifikasi perizinan usaha, buku atau jurnal yang terkait, serta berbagai penelitian terdahulu. Wawacara mendalam dilakukan dengan Kemenko Bidang Perekonomian, KADIN Daerah, PTSP/BPTSP/Dinas Perizinan dan SKPD yang terkait dengan perizinan memulai usaha. Sementara, FGD dilakukan di daerah dan pusat. FGD di daerah dilakukan dengan KADIN daerah, Dinas 256
Perizinan/BPTSP/PTSP, serta dinas-dinas yang terkait dengan perizinan. Sedangkan FGD yang ada di pusat dilakukan dengan Gugus Tugas EoDB Indonesia pada Kemenko Bidang Perekonomian, BKPM, Kemendag, Statistisi dari BPS, Ekonom dari AIPEG dan Konsultan Internasional untuk EODB Indonesia. Analisis data dilakukan dengan mengorganisasi data, menginterpretasi data, dan menyajikan deskripsi secara naratif. Strategi ini dipilih untuk menjelaskan secara rinci upaya yang telah dilakukan dan strategi simplifikasi administrasi perizinan dalam meningkatkan kemudahan memulai usaha di Indonesia. HASIL DAN PEMBAHASAN a. Upaya Simplifikasi Perizinan Usaha dari Perspektif Kebijakan Kebijakan ekonomi suatu negara tentu tidak terlepas dari visi pembangunan yang telah dicanangkan. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025, telah ditetapkan visi pembangunan ekonomi berupa terwujudnya perekonomian yang maju, mandiri, dan mampu secara nyata memperluas peningkatan kesejahteraan masyarakat berlandaskan pada prinsip-prinsip ekonomi yang menjunjung persaingan sehat dan keadilan, serta berperan aktif dalam perekonomian global dan regional dengan bertumpu pada kemampuan serta potensi bangsa. Salah satu upaya yang dilakukan untuk menggenjot perekonomian nasional adalah melalui peningkatan aksesibilitas perizinan usaha. Pemerintahan Jokowi-JK memiliki komitmen yang kuat terhadap upaya penyederhanaan perizinan, hal ini utamanya dilakukan untuk meningkatkan iklim investasi di Indonesia. Darmin Nasution mengemukakan Penyederhanaan proses dan perizinan harus dilakukan, ini akan membuat negara kita semakin menarik untuk investor (dalam Kemenko Perekonomian, 2016). Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, komitmen pemerintah ini terlihat dari lahirnya paket kebijakan ekonomi I-XIV yang merupakan manifestasi bagi peningkatan ekonomi nasional (per November 2016). Simplifikasi administrasi yang dilakukan pemerintah dapat dikategorikan menjadi tiga langkah, yaitu: (1) Deregulasi; (2) Debirokratisasi; dan (3) Penegakan Hukum dan Kepastian Usaha. Beberapa paket kebijakan yang menyasar langsung efektivitas perizinan usaha antara lain: 1) Paket kebijakan ekonomi jilid I, mendorong daya saing industri nasional melalui deregulasi, debirokrasi, penegakan hukum dan kepastian usaha; 2) Paket kebijakan ekonomi jilid II, simplifikasi proses perizinan investasi 257
258 menjadi hanya tiga jam; 3) Paket kebijakan ekonomi jilid VII, penambahan kemudahan pada izin investasi, jika sebelumnya diperlukan waktu tiga jam untuk mendapatkan empat izin, selanjutnya ditingkatkan oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal menjadi sembilan izin dalam waktu tiga jam; dan 4) Paket kebijakan ekonomi jilid XII, pemerintah memangkas izin, prosedur, waktu, dan biaya untuk kemudahan berusaha di Indonesia. Deregulasi dan debirokratisasi ini dilakukan untuk memberikan kecepatan pelayanan, kepastian regulasi, sinkronisasi, kemudahan berinvestasi serta meningkatkan produktivitas bangsa. Sampai 23 Juni 2016, jumlah total regulasi yang dideregulasi pada Paket Kebijakan Ekonomi Tahap I-XII sebanyak 213 (50 tingkat Presidensial dan 163 tingkat K/L), dimana setelah dilakukan pembahasan diputuskan untuk mengeluarkan sebanyak 10 regulasi (1 tingkat Presidensial dan 9 tingkat K/L) sehingga jumlah efektif deregulasi sebanyak 203 regulasi (dalam Kemenko Perekonomian, 2016). Selanjutnya, untuk mendukung efektivitas layanan perizinan, terbitnya UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, sejatinya telah membuka peluang daerah untuk melakukan penyederhanaan perizinan, hal ini dikemukakan dalam pasal 349 ayat (1) bahwa Daerah dapat melakukan penyederhanaan jenis dan prosedur pelayanan publik untuk meningkatkan mutu pelayanan dan daya saing Daerah. UU ini tentu memberikan kesempatan bagi daerah untuk mampu menyelenggarakan pelayanan perizinan secara optimal untuk mendukung peningkatan daya saing daerah. Selain itu, dalam rangka mendekatkan dan meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, Pemerintah juga telah mengeluarkan Perpres No. 97 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP). Lebih lanjut, dalam Perpres tersebut dikemukakan bahwa PTSP merupakan pelayanan secara terintegrasi dalam satu kesatuan proses dimulai dari tahap permohonan sampai dengan tahap penyelesaian produk pelayanan melalui satu pintu. Lahirnya kebijakan PTSP menjadi salah satu momentum penting dalam peningkatan kualitas pelayanan perizinan usaha baik di tingkat pusat maupun daerah. Secara umum, berbagai instrumen kebijakan tersebut menjadi upaya pendorong dalam meningkatkan efektivitas kemudahan berusaha di Indonesia. Upaya ini mulai memberi sinyal positif dalam meningkatkan efektivitas kemudahan berusaha, walaupun belum sepenuhnya optimal. Dalam peringkat EoDB yang dikeluarkan oleh World Bank, tahun 2017 Indonesia berhasil naik 15 peringkat, dari
sebelumnya peringkat 106 menjadi peringkat 91. Indonesia merupakan salah satu Top Reformer dalam penetrasi EoDB. Namun, hal ini belum sepenuhnya memenuhi target Jokowi yang pernah mencanangkan Indonesia berada pada peringkat 40. Selain itu, tren positif ini juga terlihat dari adanya peningkatan realisasi investasi antara tahun 2014 sampai 2015 (periode Januari- Desember) dengan kenaikan sebesar 17,8% dan penanaman modal asing dengan kenaikan sebesar 19,2%. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam Gambar 1. berikut ini: Gambar 1. Realisasi Investasi Indonesia 2014-2015 (Riyatno, 2016) Upaya perbaikan perizinan usaha dapat dilihat dari prosedur, waktu dan biaya dalam pengurusan izin usaha. Paket kebijakan ekonomi XII menjadi salah satu kebijakan yang cukup sigifikan dalam memangkas prosedur, waktu dan biaya perizinan usaha. Beberapa turunan kebijakan dari paket kebijakan ekonomi XII antara lain Permendag No. 14/M-DAG/PER/3/2016 terkait penerbitan SIUP dan TDP secara simultan dan hanya memakan waktu paling lama dua hari kerja. Selain itu, pemerintah juga menghapus izin gangguan bagi usaha mikro dan kecil, perusahaan yang berada di kawasan tertentu dan untuk usaha tertentu dengan meluncurkan Permendagri No. 22 tahun 2016. Perubahan ini kemudian terlihat dari pengurangan prosedur, waktu dan biaya dalam pengurusan perizinan usaha. Menurut laporan Doing Business 2016, untuk memulai sebuah usaha baru di Indonesia membutuhkan 13 prosedur, dengan waktu rata-rata 47,80 hari dengan biaya berkisar antara Rp 6,8 7,8 juta. Izin yang harus diurus meliputi Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP), Tanda Daftar Perusahaan (TDP), Akta Pendirian, Izin Tempat Usaha, dan Izin Gangguan. Namun, melalui paket kebijakan ekonomi XII hal ini kemudian dipangkas. Kini pelaku usaha hanya akan melalui 7 prosedur selama 10 hari dengan biaya Rp 2,7 juta. Izin yang diperlukan bagi UMKM 259
adalah SIUP dan TDP yang terbit bersamaan, dan Akta Pendirian (dalam Bappenas, 2016). b. Beberapa Tantangan Simplifikasi Perizinan Usaha Berbagai instrumen kebijakan sebagaimana dikemukakan di atas tentu menjadi pondasi penting dalam upaya meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan perizinan memulai usaha di Indonesia. Deregulasi dan debirokratisasi yang terus digalakkan mulai menunjukkan hasil positif. Namun, dalam tataran implementasi tentu tidak selalu berjalan baik, bahkan cenderung banyak tantangan yang dihadapi. Beberapa diantaranya adalah masalah tumpang tindih kebijakan karena banyaknya regulasi dari instansi teknis. Permasalahan ini menjadi cukup krusial, KPPOD (2016) mengemukakan regulasi nasional yang mengatur (memayungi) perizinan usaha di daerah menjadi sumber utama kebermasalahan tata kelola perizinan, salah satu contoh masalah pada tataran kebijakan nasional tersebut adalah fragmentasi pengaturan yang menyebar dan tidak sinkron antar satu instansi dengan instansi lainnya. Walaupun sudah dikeluarkan kebijakan deregulasi, masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan dalam menanggulangi masalah over regulated ini. Dari hasil pemetaan regulasi yang dilakukan KPPOD (2016), teridentifikasi 180 regulasi nasional yang terdiri dari peraturan perundang-undangan dan peraturan kebijakan. Dalam regulasi izin memulai usaha, banyak regulasi nasional yang diterbitkan oleh kementerian sektoral ditandai dengan Peraturan Menteri (Permen) masih mendominasi regulasi perizinan. Pada gilirannya, hal ini akan menimbulkan kegamangan di daerah. Misalnya, yang dikemukakan Kepala BPMPT Kab. Karimun, Sularno, Kita ini terkadang bingung mau mengacu peraturan yang mana, di Permendagri izin ini harus selesai sekian hari tapi di Permendag beda, harus ada kepastian hukum dari pusat (hasil wawancara, 17 Mei 2016). Pemda di satu sisi sebagai pelaksana kebijakan nasional (sektoral), di sisi lain juga memiliki kewenangan untuk merumuskan peraturan atau melakukan diskresi terkait pelayanan perizinan usaha. Akhirnya, akan memunculkan beraneka ragam dan banyaknya jenis perizinan di daerah sehingga prosedur perizinan semakin berbelit, apalagi jika peraturan tersebut ternyata bertentangan dengan kebijakan nasional. Wakil Ketua Kadin Kab. Karimun, mengemukakan Disini masih cukup banyak prosedur, kami ini memberikan rekomendasi terkait surat izin agar simpel dengan menggunakan sistem online dan 260
satu surat itu sudah mencakup semuanya seperti di Singapur (hasil wawancara, 16 Mei 2016). Selanjutnya, dalam proses pelayanan melalui PTSP belum sepenuhnya optimal, khususnya di daerah. Pada level pusat sudah relatif baik, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) telah meluncurkan PTSP yang diresmikan pada tanggal 26 Januari 2015 oleh Presiden Joko Widodo. Lahirnya PTPS pusat mendapatkan respons yang positif dari dunia usaha. PTSP ini didukung oleh 22 perwakilan kementerian dan lembaga terkait. Dalam tahun awal kinerjanya (Januari-Desember 2015) PTSP pusat telah menerbitkan 17.238 izin. Apalagi, tahun 2016 BKPM telah meluncurkan program pelayanan izin 3 jam yang semakin memudahkan dunia usaha. Kepala Pusat Bantuan Hukum BKPM, Riyatno, mengemukakan Salah satu terobosan kita adalah 3 jam sudah bisa mendapatkan izin yang ujungnya adalah untuk meningkatkan investasi (dalam FGD, 22 Juni 2016). Namun, keberhasilan PTSP pusat ini belum sepenuhnya dapat diikuti pada level daerah. Ego sektoral masih menjadi kendala utama dalam penerapan PTSP di daerah. Beberapa daerah masih belum sepenuhnya mendelegasikan kewenangan perizinan usaha kepada PTSP. Dalam beberapa kasus, di PTSP masih dikenal istilah satu pintu banyak meja, artinya banyak dinas atau instansi teknis yang masih harus ditemui atau satu pintu banyak kunci yang artinya proses izin masih memerlukan pengesahan atau penandatanganan dari banyak pejabat. Hal ini menyebabkan waktu dan proses perizinan yang semakin lama atau melebihi target yang telah ditentukan dalam peraturan perundangan. Hal lainnya, terkait profesionalisme SDM. Disadari bahwa aspek SDM menjadi salah satu faktor kunci dalam mewujudkan efektivitas penyelenggaraan pelayanan. Namun, aspek SDM menjadi salah satu yang paling rentan karena kontrol yang tidak mudah. SDM aparatur dihadapkan pada masalah profesionalisme dalam penyelenggaraan pelayanan. Tidak sedikit, proses layanan perizinan bermasalah karena kurangnya kecakapan SDM aparatur. Bahkan, dalam beberapa kasus masih ditemui oknum aparatur yang melakukan pungli, apalagi jika masyarakat masih permisif terhadap praktekpraktek pungli, tentu akan semakin memelihara kompleksitas dalam pelayanan perizinan. 261
262 c. Pelayanan Administrasi Perizinan Usaha di Beberapa Daerah 1. DKI Jakarta DKI Jakarta merupakan salah satu barometer pusat pertumbuhan ekonomi di Indonesia (pusat bisnis dan investasi). Maka dari itu, DKI Jakarta dituntut mampu menyelenggarakan pelayanan publik, khususnya terkait perizinan usaha secara optimal. Di DKI Jakarta, instansi yang menangani pelayanan perizinan satu pintu telah berbentuk SKPD tersendiri, yaitu Badan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (BPTSP) DKI Jakarta. BPTSP dibentuk berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 12 tahun 2013 tentang penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu. Satuan kerja ini memiliki tugas untuk melayani perizinan dan non perizinan dengan sistem satu pintu (one stop service). Pada tahun 2017, BPTSP berubah nama menjadi Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP). Pada tahun 2016, DPMPTSP memiliki 318 service point yang tersebar di seluruh wilayah Jakarta. Adapun layanan perizinan terkait usaha yang ada di DPMPTSP DKI Jakarta mencapai 338 jenis perizinan (dalam www.pelayanan.jakarta.go.id). DPMPTSP DKI Jakarta telah memiliki mekanisme pelayanan perizinan yang jelas pada setiap izin yang diajukan. Pelayanan perizinan pada tahap awal (pendaftaran) dapat dilakukan secara online. Pemohon juga dapat melakukan pemantauan proses perizinan yang dilakukannnya secara online. Bahkan, DPMPTSP DKI Jakarta telah meluncurkan program AJIB (Antar Jemput Izin Bermotor), yaitu layanan antar jemput berkas izin usaha sampai pengurusan selesai guna meminimalisir dan menghapuskan adanya pungli, calo, suap dan segala bentuk pemberian lain kepada petugas yang bersangkutan dalam mengurus perizinan. AJIB menjadi solusi dalam mengurus perizinan agar lebih cepat, lebih mudah dan sudah pasti tanpa dipungut biaya (gratis) dan memudahkan warga Jakarta yang tidak sempat mengurus izinnya secara langsung. Dari segi waktu, pengurusan perizinan secara umum tidak memakan waktu lama, yaitu hanya 1 sampai 2 hari dengan catatan persyaratan sudah benar dan lengkap, contohnya penerbitan SIUP dan TDP telah dilakukan secara simultan dalam 2 hari kerja, SIUP Mikro Baru durasinya 1 hari dan pengurusan TDP Persekutuan Firma Baru durasinya 1 hari setelah perizinan tersebut didaftarkan. Wakil ketua KADIN DKI Jakarta, Sarman, mengemukakan Masalah perizinan investasi di Jakarta relatif sudah baik, paling tidak sudah ada kepastian hukum, misalnya adanya kejelasan dari segi waktu dan biaya (hasil wawncara, 12 Mei 2016). Selain itu, secara umum pengurusan izin
baru tidak dikenakan biaya, kecuali yang masuk retribusi daerah, seperti IMB. 2. Kota Bandung Kota Bandung sebagai salah satu kota yang dijadikan role model dalam inovasi pelayanan publik oleh Kementerian PAN dan RB. Inovasi pelayanan publik ini salah satunya adalah pada instansi pelayanan perizinan terpadu. Instansi pelayanan perizinan terpadu di Kota Bandung telah menjadi SKPD tersendiri, yaitu berbentuk Badan Pelayanan Perizinan Terpadu (BPPT) Kota Bandung. BPPT kota Bandung merupakan lembaga yang memegang peranan dan fungsi strategis di bidang penyelenggaraan pelayanan perizinan terpadu Kota Bandung, yang dibentuk berdasarkan Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 4 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 12 Tahun 2007 tentang Pembentukan dan Susunan Organisasi Lembaga Teknis Daerah Kota Bandung. Pada tahun 2017, BPPT ini berubah nama menjadi Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP). Dalam proses pelayanan perizinan di Kota Bandung, telah berbasis pada IT, persyaratan-persyaratan dalam pengajuan izin telah dapat dilakukan secara online. Pemohon tidak perlu datang langsung ke kantor DPMPTSP Kota Bandung dan menyerahkan dokumen persyaratan karena sebagian besar persyaratan ini dikirim secara soft file melalui website DPMPTSP Kota Bandung. Dalam website ini juga telah dilengkapi tracking system yang memudahkan pemohon untuk mengetahui perkembangan proses perizinan. Bahkan, DPMPTSP Kota Bandung telah meluncurkan program GAMPIL (Gadget Mobile Aplication for License), yaitu layanan perizinan yang berbasis pada IT dan sudah dapat diakses melalui ponsel pintar. Secara umum layanan perizinan dilakukan melalui 3 langkah mudah: 1) Mendaftar, melalui website http://dpmptsp.bandung.go.id/ dan lengkapi persyaratan; 2) Membayar, melakukan pembayaran via ATM atau Teller Bank; 3) Pengiriman, surat perizinan akan dikirim ke rumah via pos. Selain itu, DPMPTSP menaruh perhatian juga pada peningkatan kapasitas SDM Aparatur. Kasubbag Informasi dan Pengaduan DPMPTSP Kota Bandung, Yanti, mengemukakan Untuk meingkatkan kualitas pelayanan baik petugas di kita, kecamatan, maupun petugas layanan selalu mandapatkan pelatihan teknis, pada setiap akhir tahun kita selalu evaluasi (hasil wawancara, 25 Mei 2016). Selanjutnya, dari segi biaya sudah gratis, kecuali izin yang masuk dalam retribusi daerah seperti IMB. Adapun dari segi waktu, pelayanan DPMPTSP ditetapkan paling lama 7 (tujuh) hari kerja 263
264 terhitung sejak diterimanya dokumen Perizinan dan Non Perizinan secara lengkap dan benar. Waktu maksimal 7 hari ini masih lebih lama dibandingkan dengan ketentuan nasional, seperti SIUP dan TDP yang seharusnya dapat dilakukan 2 hari kerja. Hal ini dikarenakan masih adanya rekomendasi dari dinas teknis dan belum tersedianya SDM aparatur yang ditempatkan di DPMPTSP. Kasubbag Informasi dan Pengaduan DPMPTSP Kota Bandung, Yanti, mengemukakan Terkait rekomendasi dari instansi teknis memang sulit dihapus, karena mereka yang tahu hal-hal teknis, selain itu di kami saat ini tidak ada orang dari dinas teknis, mereka masih di instansinya masing-masing (hasil wawancara, 25 Mei 2016). 3. Kota Yogyakarta Kota Yogyakarta menjadi salah satu role model dalam ease of doing business di Indonesia, karena konsisten sebagai salah satu kota dengan peringkat teratas dalam EoDB di Indonesia menurut World Bank. Instansi pelayanan perizinan terpadu di Kota Yogyakarta telah dilakukan oleh Dinas, yaitu Dinas Perizinan Kota Yogyakarta. Dasar Pembentukan Dinas Perizinan Kota Yogyakarta adalah Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 17 Tahun 2005 Tentang Pembentukan, Organisasi dan Tata Kerja Dinas Perizinan. Pada tahun 2017, Dinas Perizinan berubah nama menjadi Dinas Penanaman Modal dan Perizinan (DPMP). Pelayanan Perizinan telah dilakukan secara online untuk izin yang tidak memerlukan tinjauan lapangan seperti SIUP dan TDP. Pemohon juga dapat melakukan pemantauan terkait pengembangan proses perizinan secara online atau melalui layanan SMS Gateway. Hal ini memudahkan pemohon dalam mengetahui perkembangan proses perizinan yang dilakukan. Dari segi biaya, sama seperti DKI Jakarta dan Kota Bandung, pengurusan izin sudah gratis, kecuali izin yang masuk dalam retribusi daerah seperti IMB. Sementara dari segi waktu, berdasarkan standar pelayanan perizinan pada DPMP Kota Yogyakarta, disebutkan bahwa waktu pengurusan: 1) SIUP selama 4 hari, meliputi izin 1 hari; legalisir 1 hari; dan duplikat 2 hari. 2) TDP selama 3 hari, meliputi izin, legalisir dan duplikat masing-masing 1 hari. Pengurusan SIUP dan TDP di Kota Yogya masih cenderung melebihi waktu yang ideal karena menurut Permendag No. 14/2016, menyebutkan bahwa pengurusan SIUP dan TDP secara simultan dilakukan selama 2 hari kerja. Wakil Ketua Umum Kadin Kota Yogya, Gunang, mengemukakan Banyak hal yang sifatnya intruksi presiden, dalam pelaksanaannya akan berbeda kalau sudah di bawah, misal presiden minta waktu berapa jam, tapi belum direalisasikan di daerah (hasil wawancara, 25 Juli 2016).
Beberapa daerah di atas tentu hanya sekelumit contoh dari berbagai daerah lainnya yang telah melakukan perbaikan dan pembaharuan dalam meningkatkan kualitas pelayanan perizinan usaha. Dari tiga daerah di atas, hanya DKI Jakarta yang telah melakukan perbaikan secara komprehensif dan mampu menjalankan mandat kebijakan nasional dengan baik. Sementara Kota Bandung dan Kota Yogya sebenarnya sudah baik, namun masih terkendala dalam pemenuhan target waktu pelayanan perizinan yang ditetapkan secara nasional, dalam hal ini SIUP dan TDP. Artinya, daerah seperti Kota Bandung dan Kota Yogya yang selama ini dinilai baik dalam kualitas pelayanan publik, masih menghadapi kendala dalam upaya simplifikasi perizinannya, khususnya dalam hal waktu. Beberapa kasus ini menjadi cerminan bahwa upaya simplifikasi perizinan bukan hal yang mudah. Bahkan, tidak sedikit daerah-daerah yang jauh belum optimal dalam penyelenggaraan pelayanan perizinan usaha di daerahnya. Hal ini tentu menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah ditengah tuntutan percepatan pembangunan dan peningkatan daya saing yang selalu digadang-gadang pemerintah. d. Strategi Simplifikasi Administrasi Perizinan Usaha Upaya simplifikasi administrasi perizinan usaha tentu tidak semudah membalikkan telapak tangan, berbagai pihak terkait harus terlibat aktif dalam upaya simplifikasi perizinan. Berdasarkan pembahasan sebelumnya, paling tidak ada beberapa strategi yang dapat dilakukan dalam upaya simplifikasi perizinan usaha, antara lain: 1. Sinkronisasi Kebijakan atau Peraturan Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, kondisi regulasi perizinan di tingkat nasional sering dihadapkan pada masalah klise tumpang tindih atau overlap antara satu kebijakan dengan kebijakan lainnya. Hal ini kemudian memicu kebingungan dan keberagaman jumlah izin di daerah. Maka dari itu, diperlukan sinkronisasi kebijakan atau peraturan baik di tingkat pusat maupun daerah. Sinkronisasi ini dapat berupa penghapusan, penggabungan atau penggatian peraturan perundangan yang terindikasi bermasalah atau overlap. Para pembuat kebijakan perlu duduk bersama, sehingga kebijakan atau peraturan yang dikeluarkan dapat terintegrasi dalam mendukung simplifikasi perizinan usaha serta memberikan kepastian hukum, misalnya dengan mengeluarkan Surat Keputusan Bersama. Selain itu, perlunya kesesuaian atau keselarasan peraturan perundangundangan secara vertikal berdasarkan sistematisasi hukum positif yaitu 265
266 antara peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dengan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah, khususnya pada tataran pemerintah daerah. Di satu sisi, Pemda memang memiliki kewenangan untuk mengeluarkan Perda terkait penyederhanaan jenis dan prosedur pelayanan publik, namun peraturan yang dibuat Pemda ini tidak boleh bertentangan dengan peraturan atau kebijakan nasional yang telah ditetapkan, sehingga semangat simplifikasi perizinan usaha dapat diimplementasikan juga di level daerah. 2. Pendelegasian Wewenang Pendelegasian wewenang adalah penyerahan tugas, hak, kewajiban, dan pertanggungjawaban Perizinan dan Nonperizinan, termasuk penandatanganannya atas nama pemberi wewenang. Salah satu bentuk pendelegasian wewenang secara institusioal adalah dengan adanya Pelayanan Terpadu Satu Pintu (one stop service). Pemerintah perlu membuat kebijakan pendelegasian wewenang pelayanan perizinan dari beberapa instansi kepada satu instansi pengurus perizinan, sehingga pelayanan perizinan menjadi terpadu dan terintegrasi di satu tempat. Maka dari itu, political will dari pihak yang terkait khususnya pimpinan daerah menjadi sangat penting. Selain itu, perizinan yang masih ada di level pusat, perlu didelegasikan kepada kantor wilayah yang ada di daerah, sehingga memudahkan proses perizinan dan rentang kendali. Adapun instansi pelayanan perizinan di daerah, paling tidak harus sudah berbentuk Dinas atau Badan, sehingga memiliki kewenangan dan rentang kendali yang lebih luas. Pendelegasian wewenang melalui instansi perizinan terpadu, selain memudahkan pengurusan izin juga dapat menekan ongkos yang dikeluarkan pemohon dan mempersingkat waktu pengurusan perizinan karena pemohon cukup mendatangi satu instansi saja. 3. Pemanfaatan Teknologi Informasi Dalam sepuluh tahun terakhir, pemanfaatan Teknologi Informasi (TI) menjadi hal yang sangat lekat dalam upaya peningkatan kualitas pelayanan publik. Penyelenggaraan pemerintah saat ini tengah bergerak di era digitalisasi atau kita kenal sebagai e-government. Pemanfaatan TI dalam proses layanan perizinan tentu menjadi mutlak diperlukan. Pemanfaatan sistem IT (online) akan meningkatkan aksesibilitas dan kemudahan pengguna layanan karena proses layanan dapat dilakukan kapan saja dan dimana saja. Pemanfaatan TI dalam pelayanan perizinan harus terintegrasi dengan sistem lainnya yang terkait, sehingga proses perizinan tidak tumpang tindih atau meinimalisir proses yang berulang. Dalam proses layanan perizinan, pemanfaatan sistem IT tidak hanya bersifat
informatif, namun juga harus komunikatif, dapat mengunduh dan upload dokumen serta memiliki fitur tracking system yang dapat memudahkan pemohon untuk mengetahui perkembangan proses perizinan. Pemanfaatan sistem IT dapat memberikan kepastian layanan dari segi waktu dan biaya serta meminimalisir praktik calo atau pungli sehingga proses perizinan dapat lebih efektif dan efisien. 4. Peningkatan Kapasitas SDM Aparatur SDM Aparatur sebagai ujung tombak dalam penyelenggaraan pelayanan tentu memiliki peran yang strategis. Dalam pelayanan perizinan, SDM aparatur harus memiliki beberapa kompetensi di bidang pelayanan publik seperti: (a) komitmen; (b) integritas; (c) tanggung jawab; (d) kecakapan dan keramahan; (e) mengerti kebutuhan pelanggan; (f) daya tanggap dan empati; (g) serta mempunyai etika dan moralitas yang tinggi. Untuk memenuhi kompetensi tersebut, maka diperlukan peningkatan kompetensi SDM pelayanan melalui pelatihan atau bentuk pengembangan lainnya secara berkala, sehingga SDM pelayanan dapat lebih terampil, sigap dan profesional. Selain itu, PTSP perlu didukung berbagai staf dari instansi teknis yang ditempatkan di PTSP untuk memudahkan pelayanan. Selain itu, SDM pelayanan harus ditetapkan dengan tepat berdasarkan pengetahuan, keahlian, keterampilan, sikap, dan perilaku yang dibutuhkan sehingga penyelenggaraan pelayanan dapat lebih optimal. 5. Penegakkan reward and punishment Pemberian reward terkait pelayanan publik sebenarnya telah banyak dilakukan. Pada skala nasional contohnya penghargaan PTSP dengan pelayanan terbaik dari BKPM, unit pelayanan publik role model terbaik dari Kementerian PANRB, inovasi administrasi negara terbaik dari LAN, dan lain sebagainya. Hal ini sebagai bentuk apresiasi atas pencapaian yang telah dilakukan suatu instansi dalam penyelenggaraan pelayanan publik, sekaligus dapat memberikan inspirasi bagi instansi lainnya untuk meningkatkan kualitas pelayanan yang dilakukannya. Pemberian reward ini perlu digalakkan juga di skala daerah maupun instansi. Hal ini utamanya untuk memberikan motivasi kepada pegawai agar selalu memberikan kinerja yang terbaik dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Selain pemberian reward, perlu diimbangi juga dengan penegakkan punishment. Penegakkan punishment menjadi salah satu instrumen kontrol agar instansi terus berupaya memenuhi target pelayanan publik yang ditetapkan pimpinan atau kepala daerah. Selain itu, penegakkan punishment dilakukan untuk meminimalisir perilaku moral hazard atau koruptif dari SDM aparatur. Kebijakan punishment 267
perlu didokumentasikan melalui peraturan, sehingga terdapat kriteria dan norma yang jelas dan terukur. Secara umum, penegakkan reward and punishment dilakukan melalui mekanisme monitoring dan evaluasi secara berkesinambungan. Dalam monev ini, perlu melibatkan masyarakat sebagai pengguna layanan. Jadi, secara umum strategi simplifikasi menyasar pada upaya deregulasi, debirokratisasi, dan penegakan hukum dan kepastian usaha. Deregulasi dilakukan dengan merasionalisasi peraturan dengan menghilangkan duplikasi, menyelaraskan peraturan, dan melakukan konsistensi peraturan. Debirokratisasi dilakukan dengan menyederhanakan dan memudahkan perizinan, mengoptimalkan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP), dan penerapan pelayanan perizinan melalui sistem elektronik. Sementara penegakan hukum dan kepastian usaha dilakukan dalam bentuk penyelesaian permasalahan regulasi dan birokrasi, pemberantasan pungutan liar, dan pemberian sanksi yang tegas dan tuntas. PENUTUP a. Kesimpulan Sebagai fasilitator sekaligus katalisator pembangunan dan pelayanan publik, Pemerintahan Jokowi-JK sesungguhnya memiliki komitmen dalam melakukan simplifikasi administrasi perizinan usaha. Hal ini terlihat dari lahirnya berbagai paket kebijakan ekonomi untuk memacu pertumbuhan ekonomi nasional dan meningkatkan daya saing. Melalui kebijakan ini, salah satu yang disasar adalah kebijakan deregulasi dan debirokratisasi dalam perizinan usaha. Presiden Jokowi bahkan terus menekankan pentingnya menaikkan peringkat kemudahan berusaha di Indonesia. Untuk itu, berbagai upaya dilakukan, baik pembenahan pada aspek peraturan, prosedur perizinan, waktu maupun biaya. Namun demikian, Peningkatan efektivitas kemudahan memulai usaha bukan hanya diarahkan untuk mengejar peringkat kemudahan berusaha (ease of doing business), tetapi juga untuk meningkatkan daya saing nasional dalam rangka menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN. Beberapa upaya yang telah dilakukan pemerintah mulai menunjukkan sinyal positif, salah satunya terlihat dari peningkatan peringkat EoDB Indonesia yang sebelumnya berada pada peringkat 106 menjadi peringkat 91 dari 190 negara. Namun, tentu hal ini belum optimal, apalagi jika merujuk pada target Jokowi yang mnginginkan Indonesia berada pada peringkat 40. Beberapa tantangan yang dihadapi dalam simplifikasi perizinan usaha antara lain masih adanya 268
tumpang tindih kebijakan, efektivitas PTSP khususnya di daerah yang belum sepenuhnya optimal dan profesionalisme SDM aparatur dalam penyelenggaraan pelayanan. Maka dari itu, terdapat beberapa strategi yang perlu dilakukan dalam upaya simplifikasi perizinan, antara lain sinkronisasi kebijakan atau peraturan di tingkat pusat maupun daerah, pendelegasian wewenang pelayanan perizinan usaha kepada PTSP, pemanfaatan teknologi informasi dalam proses pelayanan perizinan, peningkatan kapasitas SDM aparatur pelayanan, dan penegakkan reward and punishment dalam penyelenggaraan pelayanan perizinan. b. Saran Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, penulis memberikan beberapa saran, antara lain: 1. Perlunya peningkatan sosialisasi dan internalisasi paket kebijakan ekonomi khususnya kepada daerah, sehingga semangat deregulasi dan debirokratisasi yang digalakkan di tingkat pusat dapat didukung dan diikuti oleh Pemda. 2. Upaya simplifikasi membutuhkan komitmen semua pihak, khususnya unsur pimpinan. Perlu ada penguatan polical will dalam simplifikasi perizinan usaha. Pihak-pihak yang terkait harus merubah mind set ego sektoral menjadi kolaboratif dan gotong royong untuk mencapai tujuan bersama. 3. Perlunya penelitian lanjutan terkait evaluasi upaya simplifikasi perizinan usaha di Indonesia khususnya dalam hal implementasi paket kebijakan ekonomi, sehingga akan memberikan gambaran sejauhmana efektivitas dan dampak simplifikasi perizinan usaha di daerah khususnya dan di Indonesia pada umumnya. DAFTAR PUSTAKA Bozeman, B. 1993. A Theory of Government "Red Tape". Oxford Journals, 3(J-PART), p 273-303. Bappenas. 2016. Paket Kebijakan XII: Pemerintah Pangkas Izin, Prosedur, Waktu, dan Biaya untuk Kemudahan Berusaha di Indonesia. Retrieved from https://www.bappenas.go.id/id/berita-dan-siaran-pers/paketkebijakan-xii-pemerintah-pangkas-izin-prosedur-waktu-dan- 269
biaya-untuk-kemudahan-berusaha-di-indonesia/ tanggal 3 Agustus 2017) (diakses DPMP Kota Yogyakarta. Dinas Perizinan Pemerintah Kota Yogyakarta. Retrieved from http://pmperizinan.jogjakota.go.id/ (diakses tanggal 2 Agustus 2017) Djankov, Simeon, et al. 2002. The Regulation of Entry. The Quarterly Journal of Economics, VOL CXVIII. DPMPTSP Kota Bandung. Badan Pelayanan Perizinan Terpadu Kota Bandung. Retrieved from http://dpmptsp.bandung.go.id/ (diakses tanggal 2 Agustus 2017) DPMPTSP DKI Jakarta. Perizinan BPTSP DKI Jakarta. Retrieved from http://pelayanan.jakarta.go.id/ (diakses tanggal 2 Agustus 2017) Dwiyanto, Agus. 2002. Membangun Sistem Pelayanan Publik yang Memihak pada Rakyat. Populasi, 13(1), 3-18. ING, Lili Yan; Magiera, Stephen, and Widiana, Anika. 2015. Business Licensing: A Key to Investment Climate Reform. Economic Research Institute for ASEAN and East Asia. Kemenko Bidang Perekomian. 2016. Paket Kebijakan Deregulasi XII Kemudahan Memulai Usaha Bagi UKM. Jakarta: Kemenko Bidang Perekonomian.. 2016. Paket Kebijakan Ekonomi: Tahap I-XI. Jakarta: Kemenko Bidang Perekonomian. (2016). Penyederhanaan Perizinan Daerah Dorong Investasi. Retrieved from https://www.ekon.go.id/berita/view/penyederhanaanperizinan.2713.html (diakses tanggal 3 Agustus 2017). (2016). Perkembangan dan Tindak Lanjut Deregulasi (Paket I-XII) update 23 Juni 2016. Retrieved from 270
https://www.ekon.go.id/ekliping/view/perkembangan-dantindak.2462.html (diakses tanggal 3 Agustus 2017). KPPOD. 2016. Penyederhanaan Perizinan Usaha di Daerah. Jakarta: KPPOD. Pusat Kajian Reformasi Administrasi. 2016. Pengukuran Indeks Kompleksitas dalam Pelayanan Publik. Jakarta: PRAKSIS. Riyatno. 2016. Bahan paparan berjudul Kebijakan Penyederhanaan Pelayanan Perizinan di Bidang Penanaman Modal. Disampaikan dalam FGD di LAN tanggal 22 Juni 2016. Scott, P. G., & Pandey, S. K. 2000. The Influence of Red tape on Bureaucratic Behavior: An Experimental Simulation. Journal of Policy Analysis and Management, 19, 615-633. Steer, Liesbet. 2006. Business Licensing and One Stop Shops in Indonesia. The Asia Foundation. The Asia Foundation. 2007. Mengukur Kinerja Pelayanan Terpadu untuk Perizinan Usaha di Indonesia. The World Bank Group. 2010. Policy Framework Paper on Business Licensing Reform and Simplification. World Bank. 2016. Doing Business 2017. New York: World Bank. Peraturan-peraturan Kemendagri. Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 27 Tahun 2009 tentang Pedoman Penetapan Izin Gangguan di Daerah. Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 673. Jakarta: Kemendagri. Kemendag RI. Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonsia Nomor 14/M-DAG/PER/2016 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 77/M- DAG/PER/12/2013 tentang Penerbitan Surat Izin Usaha 271
Perdagangan dan Tanda Daftar Perusahaan Secara Simultan bagi Perusahaan Perdagangan. Jakarta: Kemendag RI. Kemenkumham RI. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 97 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 221. Jakarta: Kemenkumham RI. Kemenkumham RI. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244. Jakarta: Kemenkumham RI. Pemda DKI Jakarta. Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 12 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu. Jakarta: Pemda DKI Jakarta. Pemkot Bandung. Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 4 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 12 Tahun 2007 tentang Pembentukan dan Susunan Organisasi Lembaga Teknis Daerah Kota Bandung. Bandung: Pemkot Bandung. Pemkot Yogyakarta. Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 17 Tahun 2005 Tentang Pembentukan, Organisasi dan Tata Kerja Dinas Perizinan. Yogyakarta: Pemkot Yogyakarta. Sekretariat Negara RI. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005 2025. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 33. Jakarta: Sekretarian Negara RI. 272