HARMONISASI KEWENANGAN BANK INDONESIA DAN OTORITAS JASA KEUANGAN DALAM PENGAWASAN LALU LINTAS DEVISA NEGARA PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 25/PUU-XII/2014 Oleh : Prof. Dr. I Made Arya Utama,SH.,M.Hum. A. PENGANTAR Pasal 23D hasil amandemen ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) menetapkan Negara memiliki suatu bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab, dan independensinya diatur dengan undang-undang. Adapun undang-undang yang menjabarkannya dan saat ini sedang berlaku adalah Undang-Undang No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (UUBI) yang telah mengalami perubahan beberapa kali, terakhir dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 2 Tahun 2008 yang telah ditetapkan menjadi undang-undang berdasarkan Undang-Undang No. 6 Tahun 2009. Pasal 7 UUBI menetapkan Tujuan Bank Indonesia adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Sementara itu, tugas yang diemban Bank Indonesia untuk mewujudkan tujuan tersebut, menurut Pasal 8 UUBI adalah : a. menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter; b. mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran; c. mengatur dan mengawasi Bank. Dalam hubungannya dengan tugas mengatur dan mengawasi Bank, hal ini dapat dijumpai pada Pasal 24 sampai Pasal 35 UUBI. Pada Pasal 34 dan 35 diamanatkan tentang perlunya pembentukan organ pengawasan sebagaimana dinyatakan : a. Pasal 34 (1) Tugas mengawasi Bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen, dan dibentuk dengan undang-undang. (2) Pembentukan lembaga pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) akan dilaksanakan selambat-lambatnya 31 Desember 2002. b. Pasal 35 Sepanjang lembaga pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34ayat (1) belum dibentuk, tugas pengaturan dan pengawasan Bank dilaksanakan oleh Bank Indonesia. Sebagai tindak lanjut ketentuan di atas, maka pada tahun 2011 diamanatkan pembentukan lembaga pengawasan yang disebut Otoritas Jasa Keuangan (OJK) berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 yang disahkan dan diundangkan Materi FGD terkait Harmonisiasi kewenangan Bank Indonesia-OJK ~1
pada tanggal 22 Nopember 2012. Setelah berdirinya lembaga ini, kontroversi mengenai eksistensi OJK mengemuka seperti terkait permohonan uji materi Undang- Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan (UUOJK) ke Mahkamah Konstitusi pada tanggal 3 Maret 2014. Mengenai materi UU OJK yang diuji antara lain tugas, fungsi, dan wewenang pengaturan dan pengawasan OJK (Pasal 5, Pasal 6 dan Pasal 7). Para pemohon mendalilkan, ketentuan tersebut bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1) dan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945. Dari proses persidangan di Mahkamah Konstitusi, diputuskan berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi No. 25/PUU-XII/2014 bahwa Pasal 1 angka 1 UUOJK dimaknai Otoritas Jasa Keuangan, yang selanjutnya disingkat OJK, adalah lembaga independen, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang ini. Dalam kaitan itu, maka persoalan harmonisasi kewenangan Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan Dalam Pengelolaan Lalu Lintas Devisa Negara pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No. 25/PUU-XII/2014 menjadi menarik untuk dikaji. B. PEMBAHASAN B.1. Kewenangan Pengawasan Bank Indonesia atas Lalu Lintas Devisa Negara Analog dengan konsep pengelolaan dalam berbagai perundang-undangan di Indonesia, maka kata pengelolaan dapat dimaknai sebagai kegiatan menyeluruh dan berkelanjutan melalui penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan, dan pengendalian. Dalam kaitan ini, maka pengawasan merupakan salah satu kegiatan dalam pengelolaan. Sementara itu, menurut Pasal 1 angka 1 UU No. 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar adapun yang dimaksud dengan Lalu Lintas Devisa adalah perpindahan aset dan kewajiban finansial antara penduduk dan bukan penduduk termasuk perpindahan aset dan kewajiban finansial luar negeri antar penduduk. Sedangkan Devisa menurut Pasal 1 angka 2 diartikan dengan aset dan kewajiban finansial yang digunakan dalam transaksi internasional. Pada dasarnya devisa memiliki beberapa fungsi, antara lain sebagai : 1. Alat pembayaran luar negeri, seperti untuk perdagangan, ekspor, impor. 2. Alat pembayaran utang luar negeri. 3. Alat pembiayaan hubungan luar negeri, misalnya perjalanan dinas, hibah (hadiah, bantuan) luar negeri. 4. Sebagai sumber pendapatan negara. Devisa menjadi salah satu alat dan sumber pembiayaan yang penting bagi bangsa dan negara. Oleh karena itu pemilikan dan penggunaan devisa perlu diatur untuk dapat memperlancar lalu lintas perdagangan, investasi, dan pembayaran Materi FGD terkait Harmonisiasi kewenangan Bank Indonesia-OJK ~2
dengan luar negeri. Setiap penduduk, yakni orang, badan hukum, atau badan lainnya, yang berdomisili atau berencana berdomisili di Indonesia sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun, termasuk perwakilan dan staf diplomatik Republik Indonesia di luar negeri diakui dapat dengan bebas memiliki dan menggunakan Devisa. Bank dalam hal ini memiliki kedudukan startegis karena merupakan suatu badan usaha yang kegiatan usahanya menghimpun dana (funding) dan menyalurkan dana (financing), sehingga sering disebut juga sebagai lembaga intermediary. Dalam fungsinya sebagai lembaga intermediari antara pihak yang kelebihan dana dengan pihak yang membutuhkan dana, selain bank menghimpun dana bank juga harus menyalurkan dana tersebut kepada pihak yang membutuhkan dana dalam bentuk kredit/ pembiayaan, baik pada sektor riil maupun UMKM. Dalam hal ini pihak Bank Indonesia memiliki kewajiban untuk memberikan perlindungan dan penguatan kepada pelaku usaha kecil dan pelaku Usaha Mikro Kecil dan Menengah yang ada di masyarakat seperti di bidang pertanian, perkebunan, dan industri pelayanan pariwisata. Seiring dengan perkembangan dalam transaksi lalu lintas pembayaran yang tidak hanya melibatkan pihak dalam satu negara, tetapi juga melibatkan pihak dari berbagai negara mengaharuskan suatu bank untuk dapat memenuhi kebutuhan tersebut. Pemenuhan kebutuhan dalam lalu lintas pembayaran dalam negeri pada dasarnya sudah dapat dilaksanakan oleh bank-bank umum dalam negeri, namun untuk trnsaksi yang menyangkut transaksi lalu lintas pembayaran luar negeri belum sepenuhnya dapat dipenuhi. Penduduk termasuk juga pihak Bank didalam menggunakan devisa untuk keperluan transaksi di dalam negeri, wajib memperhatikan ketentuan mengenai alat pembayaran yang sah sebagaimana diatur dalam undang-undang tentang Bank Indonesia. Pihak Bank Indonesia juga diberikan wewenang meminta keterangan dan data mengenai kegiatan Lalu Lintas Devisa yang dilakukan oleh Penduduk. Tindakan pengawasan itu dimaksudkan dalam membangun sistem devisa dan yang dapat mendukung tercapainya stabilitas moneter. Dalam UUBI, kewenangan pengawasan terhadap pihak perbankan dijumpai dalam beberapa ketentuannya, yakni : a. Pasal 27, menetapkan Pengawasan Bank oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 adalah pengawasan langsung dan tidak langsung. b. Pasal 28, menetapkan : (1) Bank Indonesia mewajibkan Bank untuk menyampaikan laporan, keterangan, dan penjelasan sesuai dengan tata cara yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. (2) Apabila diperlukan, kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan pula terhadap perusahaan induk, perusahaan anak, pihak terkait, dan pihak terafiliasi dari Bank. c. Pasal 29, menetapkan : (1) Bank Indonesia melakukan pemeriksaan terhadap Bank, baik secara berkala maupun setiap waktu apabila diperlukan. Materi FGD terkait Harmonisiasi kewenangan Bank Indonesia-OJK ~3
(2) Apabila diperlukan, pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan terhadap perusahaan induk, perusahaan anak, pihak terkait, pihak terafiliasi, dan debitur Bank. (3) Bank dan pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib memberikan kepada pemeriksa : a. keterangan dan data yang diminta; b. kesempatan untuk melihat semua pembukuan, dokumen, dan sarana fisik yang berkaitan dengan kegiatan usahanya; c. hal-hal lain yang diperlukan. d. Pasal 30, menetapkan : (1) Bank Indonesia dapat menugasi pihak lain untuk dan atas nama Bank Indonesia melaksanakan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) dan ayat (2). (2) Pihak lain yang melaksanakan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib merahasiakan keterangan dan data yang diperoleh dalam pemeriksaan. (3) Syarat-syarat bagi pihak lain yang ditugasi oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Bank Indonesia. e. Pasal 31, menetapkan : (1) Bank Indonesia dapat memerintahkan Bank untuk menghentikan sementara sebagian atau seluruh kegiatan transaksi tertentu apabila menurut penilaian Bank Indonesia terhadap suatu transaksi patut diduga merupakan tindak pidana di bidang perbankan. (2) Berdasarkan penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia wajib mengirim tim pemeriksa untuk meneliti kebenaran atas dugaan tersebut. (3) Apabila dari hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diperoleh bukti yang cukup, Bank Indonesia pada hari itu juga mencabut perintah penghentian transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1). f. Pasal 32, menetapkan : (1) Bank Indonesia mengatur dan mengembangkan sistem informasi antarbank. (2) Sistem informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperluas dengan menyertakan lembaga lain di bidang keuangan. (3) Penyelenggaraan sistem informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat dilakukan sendiri oleh Bank Indonesia dan/atau oleh pihak lain dengan persetujuan Bank Indonesia. g. Pasal 33, menetapkan : Dalam hal keadaan suatu Bank menurut penilaian Bank Indonesia membahayakan kelangsungan usaha Bank yang bersangkutan dan/atau membahayakan sistem perbankan atau terjadi kesulitan perbankan yang membahayakan perekonomian nasional, Bank Indonesia dapat melakukan Materi FGD terkait Harmonisiasi kewenangan Bank Indonesia-OJK ~4
tindakan sebagaimana diatur dalam undang-undang tentang perbankan yang berlaku. Kewenangan pengawasan itu menurut UUBI dilakukan oleh Bank Indonesia secara independen, bebas dari campur tangan Pemerintah dan/atau pihak lain, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam undang-undang ini. Bank Indonesia mempunyai otonomi penuh dalam merumuskan dan melaksanakan tugas pengawasan yang menjadi wewenangnya. Pihak luar tidak dibenarkan mencampuri pelaksanaan tugas Bank Indonesia, dan Bank Indonesia juga berkewajiban untuk menolak atau mengabaikan intervensi dalam bentuk apapun dari pihak manapun juga. Kedudukan yang khusus tersebut diperlukan agar Bank Indonesia dapat melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai pemegang otoritas moneter secara lebih efektif dan efisien. Dengan demikian, Bank Indonesia memiliki kedudukan strategis dalam pengelolaan lalu lintas devisa negara melalui pengawasan. Kedudukan hukum lembaga Bank Indonesia sebagai lembaga negara yang memiliki otonomi dan kemandirian disebutkan secara tegas pada Pasal 4 ayat (2) UU No. 23 Tahun 1999 jo UU No. 4 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia. Ketentuan tersebut menegaskan bahwa Bank Indonesia adalah lembaga negara yang independen dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya, bebas dari campur tangan dari pemerintah dan atau pihak-pihak lain, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur oleh undang-undang ini. Sebagai lembaga negara yang independen, Bank Indonesia bertindak sebagai Bank Sentral Negara Indonesia yang dapat mewakili/bertindak atas nama Negara dalam lingkungan nasional maupun hubungan dengan negara lain. Kedudukan Bank Indonesia tidak sejajar dengan Lembaga Tinggi Negara maupun Kementerian, karena kedudukan Bank Indonesia berada diluar Pemerintah. Bank Indonesia meskipun berkedudukan sebagai lembaga negara independen, dalam melaksanakan tugasnya tetap melakukan hubungan kerja dan koordinasi yang baik dengan lembaga tinggi maupun kementerian, karena pada hakikatnya semua lembaga untuk tujuan yang sama mewujudkan tujuan bernegara yang diamanatkan pada alinea keempat Pembukaan UUD 1945. Bank Indonesia sebagai bagian lembaga negara dalam melaksanakan kewenangannya tentunya berwenang membentuk produk hukum sebagai implementasi Negara Indonesia sebagai negara hukum. Bank Indonesia berwenang mengeluarkan produk hukum seperti Peraturan Bank Indonesia dan Peraturan Dewan Gubernur yang materi muatannya mempunyai sifat sebagai peraturan perundangundangan. Namun demikian, Pasal 7 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 tidak mengatur secara tegas Peraturan Bank Indonesia dalam hierarki perundang-undangan Indonesia. Pasal 8 UU No. 12 Tahun 2011 menyebutkan bahwa jenis peraturan perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Materi FGD terkait Harmonisiasi kewenangan Bank Indonesia-OJK ~5
Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/ Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundangundangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan. Oleh karena itu, produk hukum yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia sebagai lembaga negara yang independen tidak dapat disandingkan dengan hierarki produk hukum yang dibuat oleh pemerintah, seperti peraturan pemerintah sebagai pelaksana undang-undang. B.2. Kewenangan Pengawasan Bank Indonesia atas Lalu Lintas Devisa Negara Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No. 25/PUU-XII/2014 Salah satu sub putusan pertama Mahkamah Konstitusi No. 25/PUU-XII/2014 menetapkan bahwa OJK mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam UU OJK. Dengan kata lain, kewenangan pengawasan yang diatur dalam UU OJK sebagai penjabaran ketentuan Pasal 34 UUBI mendapat penguatan oleh Mahkamah Konstitusi. Mengingat putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat (final and binding) maka persoalan kewenangan OJK dalam melakukan tugas pengawasan mendapat pengakuan secara konstitusional. Persoalannya lebih lanjut adalah mengenai ruang lingkup pengawasan yang dimaksudkan dibatasi pada yang ditentukan dalam UU No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. Mengenai dasar fiosofis dibentuknya OJK dikemukakan untuk mewujudkan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan yang terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel, serta mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, dan mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat. Adapun yang dimaksudkan dengan lembaga jasa keuangan menurut Pasal 1 angka 2 UUOJK adalah lembaga yang melaksanakan kegiatan di sektor Perbankan, Pasar Modal, Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya. Dalam lembaga pembiayaan lainnya, salah satunya yang dimaksudkan adalah lembaga pembiayaan ekspor Indonesia. Mengenai tujuan dibentuknya OJK menurut Pasal 4 UUOJK dimaksudkan agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan: a. terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel; b. mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil; dan c. mampu melindungi kepentingan Konsumen dan masyarakat. Selanjutnya untuk melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan di sektor Perbankan menurut Pasal 7 UUOJK mempunyai wewenang: a. pengaturan dan pengawasan mengenai kelembagaan bank yang meliputi: 1. perizinan untuk pendirian bank, pembukaan kantor bank, anggaran dasar, rencana kerja, kepemilikan, kepengurusan dan sumber daya manusia, Materi FGD terkait Harmonisiasi kewenangan Bank Indonesia-OJK ~6
merger, konsolidasi dan akuisisi bank, serta pencabutan izin usaha bank; dan 2. kegiatan usaha bank, antara lain sumber dana, penyediaan dana, produk hibridasi, dan aktivitas di bidang jasa; b. pengaturan dan pengawasan mengenai kesehatan bank yang meliputi: 1. likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, kualitas aset, rasio kecukupan modal minimum, batas maksimum pemberian kredit, rasio pinjaman terhadap simpanan, dan pencadangan bank; 2. laporan bank yang terkait dengan kesehatan dan kinerja bank; 3. sistem informasi debitur; 4. pengujian kredit (credit testing); dan 5. standar akuntansi bank; c. pengaturan dan pengawasan mengenai aspek kehati-hatian bank, meliputi: 1. manajemen risiko; 2. tata kelola bank; 3. prinsip mengenal nasabah dan anti pencucian uang; dan 4. pencegahan pembiayaan terorisme dan kejahatan perbankan; dan d. pemeriksaan bank. Pada Pasal 9 OJK lebih lanjut dikemukakan untuk melaksanakan tugas pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, OJK mempunyai wewenang: a. menetapkan kebijakan operasional pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan; b. mengawasi pelaksanaan tugas pengawasan yang dilaksanakan oleh Kepala Eksekutif; c. melakukan pengawasan, pemeriksaan, penyidikan, perlindungan Konsumen, dan tindakan lain terhadap Lembaga Jasa Keuangan, pelaku, dan/atau penunjang kegiatan jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan; d. memberikan perintah tertulis kepada Lembaga Jasa Keuangan dan/atau pihak tertentu; e. melakukan penunjukan pengelola statuter; f. menetapkan penggunaan pengelola statuter; g. menetapkan sanksi administratif terhadap pihak yang melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan; dan h. memberikan dan/atau mencabut: 1. izin usaha; 2. izin orang perseorangan; 3. efektifnya pernyataan pendaftaran; 4. surat tanda terdaftar; Materi FGD terkait Harmonisiasi kewenangan Bank Indonesia-OJK ~7
5. persetujuan melakukan kegiatan usaha; 6. pengesahan; 7. persetujuan atau penetapan pembubaran; dan 8. penetapan lain, sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan. Mengkaji beberapa ketentuan di atas maka dijumpai makna kewenangan pengawasan yang diberikan kepada OJK terhadap lembaga jasa keuangan tidak terukur. Hal ini tidak terlepas dari ketidakjelasan konsep pengawasan yang diberikan kepada OJK. Pengawasan sebagai bagian tindakan preventif telah diperluas dengan tindakan represif berupa pemberian sanksi hukum. Konsekuensinya, norma tersebut berpotensi konflik dengan ketentuan UUBI, seperti terkait Pasal 15 ayat (1) huruf b kewenangan BI dalam rangka mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran berupa melaksanakan dan memberikan persetujuan dan izin atas penyelenggaraan jasa sistem pembayaran, dimana salah satunya terkait lembaga pembiayaan ekspor Indonesia. Dengan demikian, pengakuan terhadap keberadaan OJK secara konstitusional membutuhkan harmonisasi kewenangan dengan Bank Indonesia melalui harmonisasi produk hukum yang mengatur kedua lembaga tersebut. C. PENUTUP Mendasarkan hasil pembahasan yang telah disampaikan, maka kesimpulan yang dapat dikemukakan adalah : 1. bahwa Bank Indonesia sebagai Bank Sentral Negara Indonesia sesuai amanat Pasal 23D UUD1945, untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah memiliki kewenangan dalam menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter yang efektif dan efisien untuk mewujudkan sistem keuangan yang sehat, transparan, terpercaya, dan dapat dipertanggungjawabkan yang didukung oleh sistem pembayaran yang lancar, cepat, tepat, dan aman; 2. bahwa harmonisasi pengaturan kewenangan OJK sebagai pelaksana sebagian kewenangan Bank Sentral di bidang moneter khususnya bidang mengatur dan mengawasi Bank dengan kewenangan Bank Indonesia yang menjadi Bank Sentral Negara Indonesia, termasuk juga dalam pengembangan akses keuangan dan pengembangan UMKM di Indonesia dilakukan melalui ketegasan konsep pengawasan beserta ruang lingkup, subyek, dan obyeknya, sehingga terjadi kepastian hukum dan terhindar adanya kekaburan, kekosongan dan/atau konflik norma dalam pengaturan kewenangan antara Bank Indonesia dengan kewenangan OJK. Materi FGD terkait Harmonisiasi kewenangan Bank Indonesia-OJK ~8
BAHAN RUJUKAN Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472); Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843); Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang- Undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253). Materi FGD terkait Harmonisiasi kewenangan Bank Indonesia-OJK ~9